Wacana Publik Ancaman Kebebasan Pers & Hak Masyarakat Memperoleh Informasi Oleh Syaiful W. Harahap* “Beritakan Kemkiskinan, Pemred Radar Diperiksa”. Itulah judul berita di Harian “Radar Banten” edisi 13 September 2007. Dari judul berita itu muncul pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah memberitakan kemiskinan seorang warga negara, yang seharusnya memperoleh kehidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang dijamin oleh negara (baca: pemerintah) seperti diatur dalam UUD 45 merupakan penghinaan kepada pemerintah, dalam hal ini Camat? Camat Pulo Merak, Kota Cilegon, Andi Afandi, melaporkan M Iqbal, Ketua PPMI Cilegon, ke polisi. Pemred “Radar Banten” dan wartawan yang menulis berita diperikesa sebagai saksi. Sayang dalam berita itu tidak disebutkan materi pengaduan Pak Camat. Yang ada hanya “Pelapor membawa kliping Koran yang menulis tentang Sabawi, itu yang dijadikan barang bukti.” Tapi, dalam berita itu sama sekali tidak ada kata dan kalimat yang mengacu ke pribadi atau jabatan Pak Camat. Berita itu justru membuktikan (masih) ada kemiskinan, khususnya di Kecamatan Pulomerak. Ini juga kontadiktif dengan ulah segelintir orang yang menolak pembukaan kantor LSM bersama Republik Mimpi (acara di sebuah televisi swasta nasional) yang akan mendata orang miskin di Cilegon. Pemerotes mengatakan tidak ada orang miskin di Cilegon. Pengaduan Pak Camat itu bak pisau bermata dua. Pengaduan itu pun bagaikan menepuk air di dulang. Terpercik muka sendiri.Pengaduan itu membuka tabir yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di wilayahnya, seperti kasus yang diberitakan oleh “Radar Banten”. Dalam UU No. 40/1999 tentang Pers disebutkan pada Pasal 3 ayat 1 “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial.” Kemudian di Pasal 4 ayat 3 “Untuk menjamin kemderkekaan pers, pers nasional mempunyak hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Setelah saya membaca dua berita yang ditulis oleh wartawan “Radar Banten” (1) Awalnya Merasa Aneh, Tapi Lama Kelamaan Biasa Juga, Sabawi, Yang Sehari-Hari Terpaksa Hanya Bisa Makan Daun Singkong & Jantung Pisang (23/8) dan (2) Sabawi, Yang Sehari-Hari Terpaksa Makan Daun Singkong & Jantung Pisang (2-Habis) Ketemu Nasi 2 Kali Seminggu, Minta Dicarikan Pekerjaan (24/8) saya melihat tidak ada kata atau kalimat yang menyerang seseorang, badan, institusi atau instansi. Dalam kaidah jurnalistik berita itu merupakan fakta empiris yaitu kenyataan yang bisa dibuktikan. Yang bisa digugat adala berita yang mengedepankan fakta opini. Artinya, wartawan memakai pikirannya untuk menyampaikan sesuatu tapi tidak ada kenyataannya. Hal ini sejalan dengan peranan pers nasional yang diatur dalam UU Pers.
Pada Pasal 6 ayat a disebutkan “Pers nasional melaksanakan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.” Ayat d disebutkan “Pers nasional melaksanakan peranan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.” Pengaduan itu lagi-lagi membuktikan resistensi pejabat terhadap kritik yang kali ini disampaikan melalui berita di media massa. Biar pun zaman sudah di-reformasi ternyata yang berganti hanya ‘baju’ sedangkan pola pikir tetap seperti era Orba yang mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Kemiskinan merupakan penghinaan negara, dalam hal ini pemeritah, terhadap harkat dan derajat kemanusiaan karena dalam UUD 45 Pasal 28H disebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Maka adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak warga negara ini. Polisi memakai Pasal 207 KHUP tentang penghinaan terhadap penguasa. Kalau berita itu dibaca dengan nalar maka tidak ada satu kata pun yang menghina Pak Camat, dalam hal ini Pemkot Cilegon. Memang, polisi tidak bisa menolak pengaduan, baik dari masyareakat, pejabat sebagai pribadi atau institusi, tapi mengaitkan Pasal 207 dengan berita itu jelas keliru. Lagi pula kalau yang diadukan M Iqbal dalam berita itu dia bukan narasumber. Buktinya, tidak ada kutipan pernyataan dari M Iqbal. Tidak ada pula kata atau kalimat yang bersumber dari M Iqbal yang menghina seseorang atau institusi. Memang, UU Pers tidak mengatur pasal-pasal tentang penghinaan, fitnah, dan perbuatan yang tidak menyenangkan. Tapi, dalam berita itu secara eksplisit tidak ada kata atau kalimat yang mengandung penghinaan, fitnah dan perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap seseorang, baik sebagai pribadi maupun pejabat publik, instansi, badan, dan institusi. Kalau ada berita yang menghina, fitnah, dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan maka sesuai dengan UU Pers yang dilakukan adalah menggunakan Hak Jawab yaitu menulis bantahan kepada media ybs. dengan tembusan ke Dewan Pers Indonesia dan Dewan Kehormatan PWI. Hal ini diatur dalam UU Pers pada Pasal 5 ayat 2 dan 3. Kalau pengaduan Pak Camat bertolak dari berita di “Radar Banten” maka tidak ada alasan untuk mengadukan M Iqbal. Pak Camat pun belum menggunakan Hak Jawab. Materi yang ditulis oleh wartawan merupakan fakta empiris dengan penyajian deskriptif tanpa dibumbui dengan opini. Secara eksplisit (faktual) dalam berita tidak ada individu, institusi, atau instansi yang didiskreditkan terkait dengan kemiskinan Sabawi. Reportase ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan sumber berita dan pengamatan di lapangan (observasi). Ini merupakan fakta. Kalau saja kita mekakai hati nurani membaca berita itu maka yang muncul adalah empati terhadap keluarga Sabawi dan penduduk miskin lain di seluruh Nusantara, serta kemarahan dalam diri sebagai manusia Pancasila yang membiarkan saudara kita hdiup di bawah garis kemiskinan.
Fakta itu menunjukkan ada ketidakadilan di masyarakat yang mendengung-dengungkan diri sebagai masyarakat yang beradab, berbudaya, dan beragama. Di sisin lain karena kesibukan jajaran pemerintah (kota) tentu saja ada yang luput dari perhatian. Kalau pejabat terkait membaca berita itu dengan nurani maka terima kasihlah yang berkumandang karena berita itu sudah menguak realitas sosial. Tapi, fakta menunjukkan masyarakat Indonesia, terutama pejabat, sangat resisten terhadap realitas sosial terutama yang membuka aib dan kebobrokan sosial. Apakah kebiasaan (buruk) ini tetap akan kita pertahankan? *** * Penulis adalah direktur eksekutif LSM “InfoKespro”, Jakarta, institusi yang bergerak dalam bidang selisik media (media watch). [Sumber: Harian “Radar Banten”, Serang, 18 September 2007]