ANALISIS JURNAL A. Judul penelitian
Case 34-2012: A 27-Year-Old Woman in Ethiopia with Severe Pain, Bleeding, and Shock during Labor B. Penulis Birhanu Sendek Getahun, M.D., M.P.H., Melisachew M. Yeshi, M.D., and Drucilla J. Roberts, M.D. From the Department of Obstetrics and Gynecology, Gondar College of Medicine and Health Sciences, University of Gondar, Gondar (B.S.G.), and the Department of Pathology, Ayder Referral Hospital, Mekelle University, Mekelle (M.M.Y.) — both in Ethiopia; and the Department of Pathology, Massachusetts General Hospital, and the Department of Pathology, Harvard Medical School (D.J.R.) — both in Boston.N Engl J Med 2012;367:1839-45. DOI: 10.1056/NEJMcpc1209508 Copyright © 2012 Massachusetts Medical Society. Diterbitkan dalam jurnal the new England journal and medicine pada tanggal 8 november 2012. C. Isi Penelitian tentang kasus perdarahan massif pakibat rupture uteri pada seorang wanita usia 27 tahun dengan keluhan nyeri hebat disertai dengan perdarahan dan syok selama proses persalinan. Metode yang dilakukan adalah studi kasus atau case study di rumah sakit Ayder yang merupakan rumah sakit pendidikan untuk fakutas ilmu kesehaan universitas Mekelle Ethiopia. Afrika. Perjalanan kasus secara singkat pasein adalah wanita usia 27 tahun dengan kehamilan anak ke tiga usia kehamilan 20 minggu dimana persalinan sebelumnya dilakukan di rumah secara sponta tanpa bantuan petugas medis ataukah dukun bersalin. Anak pertama lahir dengan berat 2800gr dan lahir sehat. 2 tahun kemudian pasien mengalami kelahiran mati berat badan bayi tidak diketahui, pemetikasaan USG juga tidak pernah dilakukan. Dari riwayat kesehatan pasien tidak memiliki riwayat prosedur bedah,pasien belum di sunat, pasien tinggal di daerah terpencil bersama suami dan anaknya. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit pasien sudah mengeluh kesakitan dengan tanda persalinan kemudian pasien dibantu oleh dukun bersalin sekitar 24 jam kontrasi terasa aktif dan ada dorongan meneran. Kira kira 3 jam sebelum melahirkan tiba tiba pasien mengalami perdarahan yang aktif disertai rasa nyeri yang berat dan di ikuti dengan penghentian kontraksi secara progresif. Kemudian pasien di bawa ke rumah sakit untuk mencapai rumah sakit diperlukan perjalanan yang panjang dan tanpa dukungan tenaga medis, dengan keadaan umum pasien sadar, pucat, lemah, TD 60/30 mmHg, HR 112 x/mnt lemah, mukosa bibir kering, konjungtiva pucat, tampak perut distensi tidak teratur, DJJ tidak terdengar, pemeriksaan laboratorium segera dengan hasil hemtokrit 12% lalu diberikan cairan intravena dengan kecepatan tinggi lalu dalam 30 menit setelah kedatangan semua prosedur dilakukan. Diagnose banding antara lain chorioamnionitis yang dsebabkan karena persalinan lama 24 jam hal ini tidak di dukung dengan keluhan demam saat persainan aaukan ada riwayat keputihan selama kehamilan. Solusio placenta merupaka diagnosis yang paling dicurigai dalam kondisi ini dimana timbul nyeri abdomen yang tiba – tiba selama persalinan yang disertai denan perdarahan dan di ikuti dengan kondisi syok, hal ini terjadi karena sebagian lacenta di dorong dari dinding endometrium oleh darah arteri ibu sehigga terjadi kehilangan perfusi jaringan
placenta yang tiba – tiba dan mengakibatkan oksigenasi janin berkurang sehingga menyebabkan kematian bayi dan perdarahan ibu. Ruptur uteri atau pecahnya uterus yang dapat terjadi sebagian atau seluruh dari serviks atau myometrium sehingga dapat menghentikan kontraksi uterus. Peristiwa ini sangat jarang terjadi di Negara maju sayangnya di wilayah dengan geografis yang miskin sumber daya ruptur uterus dalam persalinan tidak jarang terjadi. Pravalensi rupture uteri pada Negara maju adalah 1 kasus pada 4800 persalinan sedangkan pada Negara berkembang tejadi 1 kasus pada 325 persalinan dan pada Negara miskin 1 dari 56 persalinan. Penyebab rupture uteri di Negara maju umumnya disebabkan oleh trauma seperti bekas operasi section caecarea, miomektomi atau metroplasti. Rupture uteri traumais dapat terjadi selama penggunaan obat – obatan uterotonika, persalinan dengan tindakan (bantuan instrument), dan prosedur obstetric. Pecahnya Rahim yang spontan dapat terjadi tanpa persalinan atau lebih umum sebagai komplikasi persalinan. Rupture uteri spontan dapat terjadi pada uteri yang tidak berkerut sebagai sekuel persalinan lama dan terhambat dan paling sering disebsbkan oleh disproporsi sefalopelvis tetapi juga dapat disebabkan oleh presentasi sungsang, wajah dan malformasi kongenital (misalnya asites janin dan kembar siam). Faktor lain yang meningkatkan resiko komplikasi obstetric termasuk rupture uteri adalah pernikahan dini dengan kehamlan terlalu muda, malnutrisi dan praktik tradisional yang berbahaya seperti pemotongan genital wanita. Presentasi klinis untuk pasien ini sangat klasik dengan rupture uteri. Dengan keluhan nyeri perut yang tajam dan menusuk di ikuti oleh penghentian kontraksi, penghentian dorongan untuk meneran, dan perdarahan pervaginam. Yang disertai syok dengan takikardia, takipnoe, dehidrasi, demam, dan kebingungan karena tealah terjadi kehilanan darah denan cepat. Pada pemeriksaan fisik menunjukan bagian janin yang mudah teraba, area nyeri, tidak ada DJJ dan tanda tanda pengumpulan darah. Pada pemeriksaan dalam menunjukan dilatasi servix dengan bukti dispropors sefalopelvik. Penatalaksanaan dan pencegahan dimulai dengan resusitasi cairan kristaloid, pemberian darah, dekompresi lambung dengan pemasangan pipa nasogastric, kateterisasi urin, dan pengobaan dengan antibiotic spectrum luas, laparatomi merupakan penatalaksanaan standar untuk semua kasus uterus pecah keputusan manajemen definitive dibuat atas dasar keinginanan pasien dengan empertimbangkan kesuburan masa depan, tipe atau jenis anatomi rupture, lamanya rupture dan ada atau tidaknya komplikasi seperti infeksi. Dengan demikian penatalaksanaan dapat berkisar dari perbaikan dengan atau tanpa ligase tuba hingga histrectomi abdominal total. Resiko atonia uteri persisten adalah faktor utama dalam keputusan tentang histrektomi atau hanya perbaikan uterus, keputusan ini juga dipengaruhi oleh luas, lokasi pecahnya uterus dan status klinis pasien. Penanganan pasca operasi sama sulit dan pentingnya dengan operasi termasuk transfui, instirahat kandung kemih, perawatan luka, dan pemberian antibiotic. Morbiditas dan mortalitas tetap tinggi pasca operasi, setelah perbaikan resiko rupture uteri tetap tinggi oleh karena itu perbaikan perbaikan pad pasien di Ethiopia selalu disertai dengan ligase tuba bilateral. Di semua Negara keputusan untuk melakukan ligase tuba hanya akan dlakukan dengan persetujuan pasien dan keluarga. Pencegahan membutuhkan perbaikan manajemen persalinan seperti perbaikan progress yang gagal, disproporsi sefalopelvik, da mal presentasi serta didukung oleh “tiga terlambat” yaitu
D.
E. F.
G.
terlambat dalam mengenali maslah persalinan terlambat memutuskan dan mencari bantuan medis, dan terlambat dalam mencapai faskes serta intervensi yang tepat. Hal ini dapat mentyebabkan komplikasi obstetric di daerah dengan minim sumber daya. Dalam kasus ini terdapat dua keterlambatan yaitu terlambat mengenali masalah persalinan/ mencari bantuan medis (proses persalinan 24 jam) dan terlambat mencapai fasilitas kesehatan (perjalanan lebih dari 2 jam). Komplikasi pasien ini mengalami rupture uteri kemungkinan akibat kala dua memanjang dalam proses persalinan yang beresiko mengalami fistula vesikovaginal yaitu komplikasi lain dari persalinan macet atau persalinan lama yang terhambat. Fistula vesikovaginal biasanya di mulai pada hari ke 10 setelah melahirkan diagnosis dapat ditegakkan atas dasar riwayat klinis dan pemeriksaan fisik yang terdokumentasi. Hasil penelitian Wanita multigravida memilki riwayat persalinan dengan bayi lahir mati disertai persalinan lama dan nyeri perut yang tiba – tiba, nyeri bersifat berat dan tajam, dan disertai dengan perdarahan pervaginam. Pada pemeriksaan fisik menemukan bagian janin mudah teraba dengan tanda – tanda vital ibu tidak normal dan tidak ada detak jantung janin. Dengan demikian diagnosis yang paling mungkin adalah rptur uteri spontan akibat disproporsi sefalopelvik dan persalinan lama. Penatalaksanaan dilakukan laparatomi darurat. Diagnosis klinis rupture uteri spontan. penyebab umum disproporsi sefalopelvik di daerah dengan minim sumber daya dalah disbetes gestasional disertai dengan obesitas yang berpotens meningkatkan kejadian bayi besar. Dalam kasus ini tidak ada bukti makrosomia. Dan status glikemik tidak di periksa selama kehamilan. Kemungkinan adanya emboli cairan amnionitik dapat di singkirkan karena pasien tidak mungki bertahan selama 2 jam atau setidaknya dia tidak sadar saat proses persalinan. Kejadian rupture uteri paling banyak terjadi di Negara berkembang terutama pada ibu yang tidak melakukan ANC dan persalinan di Rumah sakit serta mengandalkan pengobatan spiritual. Salah satu hal penting dalam kasus ini adalah kurangnya bank darah dimana dalam hal ini jika terjadi anemia berat maka petugas memanggil keluarga untuk menyumbangkan darah mereka hal ini terjadi karan ada anggapan bahwa donor darah dapat membuat mereka sakit atau lemah sehingga mereka selalu menolak. Kelebihan penelitian Merupakan kasus yang jarang terjadi dan merupakan bagian dari program MDGs Kelemahan penelitian Dalam penelitian ini tidak di gambaraakn secara rinci gambaran social budaya masyarakat yang mempengaruhi pemahaman tentang proses persalinan Penerapan di Indonesia Menurut data dari kementerian kesehatan tahun 2014 bahwa kematian ibu di Indonesia adalah 359 per 100.000 persalinan hidup angka ini masih sangat tingg mengingat target WHO adalah 102 per 100.000 persalinan hidup dan penyebab terbanyak adalah perdarahan baik pada saat sebelum persalinan, saat persainan maupun setelah persalinan (SDKI 2014). Salah satu penyebab perdarahan adalah rupture uteri Pada dasarnya penerapan penanganan ibu dengan ruptur uteri di Indonesia hampir sama dengan penanganan pada peneltian di atas mungkin yang paling penting adalah pencegahan sebelum terjadinya tanda bahaya dalam persalinan dengan
adanya pemasangan bendera tanda bahaya dan penggunaan skoring puji rohayati pada ibu hamil. Untuk penolong persalinan. Dari data kementerian kesehatan tahun 2014 mengatakan bahwa 90.88% persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan namun belum tentu semua persalinan dlakukan di fasilitas kesehatan. Sebanyak 38% persalinan dilakukan di RB/klinik/tempat praktek nakes dan sebanyak 29,6% dilakukan di rumah dan sisanya baru dilakukan di RS/Polindes/Puskesmas. Untuk mengantsipasi hal tesebut maka pemerintah mengeluarkan pedoman penyelenggaraan puskesmas mampu PONED nomor HK.02.03/II/1911/2013 tetang petunjuk teknis penanganan pelayanan obstetric neonatal emerges dasar yang sebagian besar sudah dilakukan oleh tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan seperti polindes, pustu, puskesmas PONED dan Rumah sakit PONEK. Untuk akses menuju ke fasilitas kesehatan rata rata masih mengalami kendala terutama untuk daerah terpencil sedangkan untuk kebutuhan darah kondisi emergensi masih mengalami kekurangan 1 juta kantong darah untuk seluruh Indonesia yang seharusnya adalah 5.2 juta kantong darah pertahun dihitung berdasarkan kebuuhan minimal yaitu 2 % dari jumlah penduduk (media indonesai 3 juli 2018) pad tahun 2016 tersedia 4,2 juta kantong darah dari 3,3 juta donasi atau sekitar 92% berasal dari donasi sukarela ketersediaan ini sangat penting terutama utuk kondisi gawat darurat khususnya bagi ibu yang melahirkan berdasarka data rutin kesehatan keluarga tahun 2017 di Indonesia terdapat 27,1% kematian ibu melahirkan karena mengaai perdarahan. Jadi secara regulasi dan system pelaksnaan Indonesia masih jauh lebih baik dalam hal penanganan masalah persalinan ibu dengan perdarahan baik karena rupture uteri maupun penyebab lain. Sumber : 1) Survey dasar kesehatan Indonesia tahun 2014, kemenkes 2014 2) Media Indonesia, indriany astute, Indonesia kekurangan 1 juta kantong darah setiap tahun, 3 juli 2018.