Analisis Jurnal Fix.docx

  • Uploaded by: putri firda erlina
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Jurnal Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,114
  • Pages: 13
ANALISIS JURNAL EFEKTIVITAS PEMBERIAN NEBULASI DENGAN HYPERTONIC SALINE 3% PADA PASIEN DENGAN BRONKIOLITIS AKUT

Disusun Oleh Emilia Eka Putri

(I4B018038)

Aliyatul Aeni

(I4B018040)

Nia Rizkiyanti

(I4B018018)

Syafira Nurul Hasna

(I4B018008)

Dena Melati Wahda N.

(I4B018028)

Mega Putri Triyaning

(I4B018022)

Ilham Maulana A.

(I4B018003)

Adha Didah Apriliani

(I4B018006)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2018

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang disebabkan oleh virus, biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab utama dari bronkiolitis adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Tanda dan gejala yang muncul dinding dada tampak distensi dengan retraksi, takipnea, pucat, lelah, dispnea, adanya suara mengi dan terdengar ronkhi halus pada saat auskultasi. Episode mengi dapat terjadi beberapa bulan setelah serangan bronkiolitis. Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan lendir, serta debris-debris seluler. Proses patologis yang terjadi tersebut akan mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang makin menurun pada alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi bronkiolitis akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke3. Bronkiolitis merupakan masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadian pada anak anak balita. Di negara berkembang bronkiolitis mencapai 25% 50%. Angka kejadian ini lebih tinggi lagi pada musim dingin (Yuswianto, 2010). Setiap tahun di perkirakan 4 juta anak balita meninggal karena ISPA (terutama pneumonia dan bronkiolitis) di Negara berkembang (Said, 2010). Bronkiolitis mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak balita. Bronkiolitis juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit di sebabkan oleh bronkiolitis (Triska dan Lilis, 2010). Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh bronkiolitis mencakup 20%

- 30% kematian yang tersebar umunya adalah karena pneumonia pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Maulana, 2011). Penelitian di jawa (2010/2011) menemukan bahwa 27,8% bayi dan 30,5% balita meninggal karena bronkiolitis. Salah satu penatalaksanaan yang dapat yang dilakukan adalah dengan memberikan

terapi

simpatomimetik

bronkodilator.

Beberapa

obat

bronkodilator

yang selektif terhadap adrenoreseptor

adalah

golongan

orsiprendlin,

salbutamol, terbutalin, ispenturin dan fenoterol. Selain itu obat-obatan tersebut mepunyai sifat yang lebih efektif dengan masa kerja lebih lama dan efek samping lebih kecil dari pada bentuk non selektif, yaitu adrenaline, efedrin, dan isoprenlin. A. Tujuan 1. Mengetahui efektivitas pemberian nebulasi dengan Hypertonic saline 3% pada pasien dengan bronkiolitis akut.

BAB II RESUME JURNAL

A. Judul Pengaruh teknik pernapasan buteyko terhadap ACT (Asthma Control Test). Jurnal ini diterbitkan dalam jurnal keperawatan silampari. Volume 1 No 2 Januari -Juni 2018. Penelitian ini dilakukan oleh Marlin Sutrisna, Emmy H. Prenggono, dan Titis Kurniawan. B. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh teknik pernapasan buteyko terhadap ACT (asthma control test). C. Metode Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental dengan pendekatan pretest and post test one group design yang terdiri dari 14 pasien asma dengan consecutive sampling. Penelitian dilakukan di Poli Paru Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dari tanggal 20 Juni sampai 24 Juli 2017. Instrument ACT (Asthma Control Test) dilakukan secara time series artinya diukur pada saat pretest, minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan inferensial yaitu dengan menggunakan uji Repeated ANOVA dan dilanjutkan dengan anlisis uji Post Hoc dengan skala signifikansi p<0,05. D. Hasil Hasil uji statistik Repeated ANOVA pada penelitian ini diperoleh nilai p < 0,05 yang artinya terdapat perbedaan rerata ACT (Asthma Control Test) pada pengukuran pre test, minggu 1, minggu 2, minggu 3 dan post test minggu ke-4 pada kelompok yang diberikan teknik pernapasan buteyko dengan kontrol. Hasil perbedaan rata-rata dengan uji Post Hoc menunjukan semua responden terjadi peningkatan rerata skor ACT yang signifikan setelah diberikan teknik pernapasan buteyko dalam setiap minggu (p<0,05), artinya skor ACT pada minggu IV

setelah diberikan teknik buteyko signifikan lebih tinggi daripada skor ACT pada minggu III, II, I, dan pretest. E. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh latihan teknik pernapasan buteyko terhadap ACT (asthma control test) dengan rincian : 1. Skor ACT setelah diberikan teknik pernapasan buteyko lebih tinggi daripada sebelum diberikan teknik pernapasan buteyko. 2. Perbedaan yang signifikan antara skor ACT setelah diberikan teknik pernapasan buteyko dengan skor ACT pada minggu III, minggu II, minggu I, dan pretest (p=0,00). Post hoc analisis menemukan skor post test minggu ke empat signifikan lebih tinggi (p=0,00) daripada posttest minggu III, minggu II, minggu I, dan pretest. F. Jurnal Pembanding 1 Effect of Buteyko breathing technique on patients with bronchial asthma G. Jurnal Pembanding 2 Efektivitas teknik pernafasan buteyko terhadap pengontrolan asma di balai kesehatan paru masyarakat semarang

BAB III PEMBAHASAN

Pencampuran cairan hipertonik salin diharapkan dapat melembabkan (hidrasi) cairan permukaan jalan nafas (airway surface liquid), menurunkan edema submukosa

dan meningkatkan sifat rheologic lender (elastisitas dan viskositas) dan

dengan demikian meningkatkan pembersihan sekret yang bisa menyebabkan sumbatan jalan nafas. Cairan

Hipertonik

mungkin,

secara

teori,

memperbaiki

kelainan patofisiologi pada bronkiolitis virus akut. Penambahan hipertonik akan menambah

ketebalan

permukaan, menurunkan

beberapa

cairan epitel

salin edema

meningkatkan sifat lender rheologic (elastisitas dan viskositas), dan mempercepat kecepatan transportasi lendir (Mandelberg & Amirav, 2010). Inhalasi cairan hipertonik meningkatkan tingkat transportasi mukosiliar bahkan pada subyek normal dengan ada bukti dehidrasi, lendir hipersekresi atau edema

subepitel (Soon,

Bennett, Zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003). Selain itu,

dengan

menyerap air dari mukosa dan submukosa, larutan cairan salin hipertonik secara teoritis dapat mengurangi edema dinding saluran napas. Cairan Hipertonik juga dapat menyebabkan induksi dahak dan batuk, yang dapat membantu untuk membersihkan dahak dari saluran udara dan yang meningkatkan kejadian obstruksi napas. Penggunaan ultrasonic nebuliser system dianjurkan agar cairan dan obat yang diberikan secara inhalasi dapat dipecah dan diubah ke menjadi uap yang konstan. Kenyataan yang terjadi di lapangan pada saat tindakan nebulizer untuk pasien bronkiolitis akut anak menggunakan larutan bronkodilator seperti ventolin atau obat lainnya yang diencerkan dengan NaCl 0,9% (normal saline). Hal itu akan menimbulkan efek yang tidak baik apabila dikonsumsi secara terus menerus dikarenakan bronkodilator tidak memberikan perbaikan yang signifikan pada saturasi oksigen, risiko dirawat, dan lama rawat dirumah sakit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Luo (2010), menyatakan bahwa NaCl 3% lebih memiliki dampak yang signifikan pada pasien bronkiolitis akut. Hal ini dikarenakan NaCl 3% (hipertonic saline) memiliki konsentrasi terlarut yang tinggi. Hipertonik salin (HS) dapat memperbaiki beberapa kelainan patofisiologi yang diakibatkan oleh virus bronkioloitis. Larutan tersebut penting untuk membersihkan mukosa jalan napas. Selain itu, HS dapat meningkatkan ketebalan permukaan saluran pernapasan, nenurunlan edema epitel, meningkatkan elastisitas lendir dan viskositas, mempercepat laju pengangkutan lendir. Temuan lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa HS aman untuk bayi yang mengalami bronkiolitis sedang sampai berat, dikarenakan tidak adanya efek samping yang dapat terjadi ketika HS sering di hirup. 1.

Kesamaan antara jurnal utama dengan jurnal pembanding Berdasarkan diskusi analisa kelompok terdapat beberapa hal kesamaan dari kedua jurnal tersebut, diantaranya adalah: a.

Kedua jurnal sama-sama mengangkat judul berkaitan dengan efektifitas nebulasi dengan cairan hipertonik salin 3% pada pasien bronkiolitis.

b.

Pengaruh terhadap dahak / sputum Selain dari respons fisiologis, peneliti juga mencatat adanya respons psikologis yang didapatkan dari wawancara dengan responden setelah dilakukan inhalasi bonkodilator. Responden yang diberikan inhalasi bronkodilator dengan pengenceran Nacl 0.9% menyatakan bahwa jika diberikan inhalasi bronkodilator dengan pengenceran NaCl 0.9% maka dia merasa bahwa dahaknya lebih mudah dikeluarkan, dan merasa lebih lega dibandingkan dengan responden yang diberikan inhalasi bronkodilator tanpa pengenceran NaCl 0,9%.

2.

Perbedaan antara jurnal utama dengan jurnal pembanding Berdasarkan diskusi analisa kelompok, ada beberapa hal kesamaan di kedua jurnal tersebut, diantaranya adalah : Ada peningkatan fungsi paru (VEP1) pada pasien asma yang diberikan inhalasi tanpa pengenceran NaCl 0,9% lebih besar daripada yang diberikan dengan pengenceran NaCl 0,9%.

Pemberian terapi inhalasi dengan bronkodilator tanpa pengenceran NaCl 0.9% tetap memberikan efek memberikan efek bagi peningkatan nilai VEP1 pada penderita asma. Bahkan bila dilihat dari nilai peningkatan VEP1 pada inhalasi tanpa pengenceran dibandingkan dengan inhalasi dengan pengenceran NaCl 0.9%, maka peningkatan VEP1 pada inhalasi tanpa pengenceran lebih besar (108,33 ml/detik) dibandingkan dengan pengenceran NaCl 0.9% (96.67 ml/detik). Peningkatan VEP1 pada pasien asma setelah dilakukan pemberian inhalasi bronkodilator salbutamol/ventolin tanpa pengenceran menyebabkan terbukanya saluran pernapasan akibat terjadi vasodilatasi otot polos bronkus dan bronkeolus sebagai respon terhadap stimulus yang diterima reseptor β2 sehingga menyebabkan aktivasi syaraf simpatis pada area bronkus dan brokeolus. Obatobatan brokodilator pada pasien asma bekerja lebih kurang selektif terhadap reseptor β2 adrenergis dan praktis tidak terhadap reseptor- β1 (stimulasi jantung). Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pemberian bronkodilator inhalasi tanpa pengenceran juga memberikan efek peningkatan fungsi paru. Hal ini terlihat dari peningkatan VEP1 setelah dilakukan tindakan terapi. Dengan demikian terapi inhalasi bronkodilator tanpa pengenceran efektif dalam meningkatkan VEP1 pada pasien asma.

Tabel 4.2. Perbandingan jurnal utama dengan jurnal pembanding Parameter

Jurnal Utama

Jurnal Pembanding

Effectiveness of 3% Hypertonic Saline Nebulization in Nebulized Hypertonic Saline Treatment In Hospitalized Children Judul

Acute Bronchiolitis among Indian Children: A Quasi- With Moderate To Severe Viral Bronchiolitis. Experimental Study. Penelitian uji klinis dengan pengambilan sampel secara Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 sampai acak dan double-blind sebanyak 33 pasien dengan November 2009 di Children's Hospital, Universitas Kedokteran bronkiolitis

akut

untuk

masing-masing

kelompok. Chongqing pada 112 pasien yang mengalami bronchiolitis sedang

Kelompok pertama mendapatkan nebulisasi hipertonik hingga berat.responden dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok Metode

salin 3%, kelompok kedua mendapatkan nebulisasi NaCl intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi sebanyak 57 0,9% dan kelompok ketiga mendapatkan nebulisasi NaCl responden diberikan cairan HS sebanyak 57 pasien yang terdiri dari dengan salbutamol 0,15 mg/KgBB. Masing-masing (32 laki-laki; 25 perempuan). Sedangkan, pada kelompok kontrol intervensi menggunakan laju aliran oksigen 8 L/menit.

sebanyak 55 responden diberikan cairan NS yang terdiri dari (31 laki-laki; 24 perempuan).

Rata-rata usia responden adalah 3,4 bulan. Usia rata-rata Pada kelompok HS dan kelompok NS, mengi dan batuk berkurang pasien dalam tiga kelompok adalah masing-masing 3,71 setelah 1,2 hari, bunyi crackles menghilang setelah 1,8 hari, dan Hasil

bulan, 3,34 bulan dan 3,35 bulan. Pada hari ketiga lama perawatan menurun setelah 1,6 hari. Skor keparahan klinis masing-masing kelompok mendapatkan rata-rata skor awal adalah 8,8 ± 1,1 pada kelompok HS dan 8,5 ± 1,5 pada Clinical Severity (CS) yaitu 1,0, 1,1 dan 0,5 dengan nilai kelompok NS. p = 0,000. Rata-rata responden lama tinggal di rumah

Skor keparahan klinis pada kelompok HS pada hari pertama, kedua,

sakit (LOS) adalah 3,4 hari, 3,7 hari dan 4,9 hari dengan ketiga dan keempat masing-masing adalah 5,7 ± 1,5, 3,5 ± 1,1, 2,4 ± nilai p = 0,001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 0,9 dan 1,7 ± 0,6. Pada kelompok NS, skor keparahan klinis pada terdapat pengaruh yang signifikan antara sebelum dan hari pertama, kedua, ketiga dan keempat masing-masing adalah 7,3 sesudah pemberian terapi menggunakan cairan hipertonik ± 1,7, 5,9 ± 1,5, 4,1 ± 1,1 dan 3,1 ± 0,7. Skor keparahan klinis salin 3% dengan nilai p ≤0,050, sebelum terapi nilai p = menurun lebih signifikan pada kelompok HS daripada di kelompok 0,146 dan sesudah terapi nilai p = 0,000.

NS pada setiap hari dalam waktu 96 jam setelah diberikan intervensi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan nebulasi Penelitian ini menunjukkan bahwa gejala HS yang sering dihisap hipertonik saline 3% (tanpa bronkodilator tambahan) dan tanda-tanda lebih cepat daripada NS, dan memendekkan LOS efektif dan aman dilakukan untuk pengobatan tanpa secara signifikan untuk bayi dengan bronchiolitis sedang sampai Kesimpulan

ashma dan bronkiolitis akut. Hal tersebut mampu berat, tanpa efek samping yang jelas. menurunkan skor CS secara signifikan dan lama tinggal di rumah sakit dengan pembanding nebulisasi normal salin 0.9% dan normal salin 0.9% dengan tambahan salbutamol.

DAFTAR PUSTAKA

Alasagaff

H, Mukti HA, 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit

Airlangga University Press, Surabaya.

Andarmoyo, S.

(2012). Kebutuhan dasar

manusia

(oksigenasi): Konsep,

proses dan praktik keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ari, A., & Fink, J., B. (2011). Guidelines for aerosol devices in Infant, Children & Adult. Expert, Rev, Resp, Med, 5(4).

Berman, A., & Snyder, S.J. (2012). Kozier

& Erb fundamentals of

nursing: 9th Concepts, Process and practice (9

ed). New Jersey: Pearson

Education Inc.

Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Kozier, B, Erb, G, Berman, A, & Snyder, S.J. (2011). Fundamental of nursing: Concepts, process, and practice. New Jersey: Pearson Education.

Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D dkk, 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ( Tim Kelompok Kerja Asma). Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 28-79

Potter, P.A., &

Perry, A.G. (2015). Fundamental

keperawatan ed. 5,

Terjemahan Yasmin Asih, dkk. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2009).

Saputra, L. (2012). Pengantar kebutuhan dasar manusia. Tangerang Selatan: Bina Rupa Aksara.

Wedri, N.A (2013).Saturasi oksigen perkutan dengan derajat keparahan asma.Bali:Jurusan

keperawatan

Poltekkes

Denpasar.

Related Documents


More Documents from ""