Analisis Jurnal

  • Uploaded by: siti novia talibo
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Jurnal as PDF for free.

More details

  • Words: 4,065
  • Pages: 17
ANALISIS JURNAL PENGARUH PEMBERIAN SELIMUT HANGAT TERHADAP PERUBAHAN SUHU PADA PASIEN HIPOTERMI POST OPERASI

OLEH

NAMA : SITI NOVIA TALIBO,S.KEP

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipotermia adalah keadaan suhu inti tubuh dibawah 36ºC (normotermi: 36,6º C37,5ºC). Hipotermia merupakan suatu kondisi kedaruratan medis yang dapat timbul ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat dari pada produksi panas. Ketika suhu tubuh turun, sistem saraf dan organ lain tidak dapat bekerja normal. Jika tidak ditindak lanjuti, hipotermia akhirnya dapat menyebabkan kegagalan jantung dan sistem pernapasan, dan bahkan kematian (Guyton & Hall, 2008). Hipotermi merupakan salah satu dari komplikasi dari tindakan pembedahan. Hipotermi sangat sulit dihindari pada pasien post operasi. Hipotermi post operasi sangat mengganggu kenyamanan pasien dalam proses pemulihan. Hipotermia ini disebabkan karena ruang operasi dan ruang ICU memiliki suhu yang rendah. Hipotermia post operasi juga dapat terjadi karena luka terbuka, aktifitas otot-otot inhalasi gas-gas yang dingin infus dengan cairan yang dingin, agens obat-obatan (bronkodilator, fenotiasin, anesthesia), usia lanjut dan neonatus (Black, 2014). Menurut Ganong (2008), tubuh akan melakukan mekanisme pembuangan panas apabila tubuh terpapar oleh suhu yang dingin (secara radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi). Kehilangan panas pada pasien bersumber dari kulit dan daerah yang terbuka pada saat dilakukan operasi. Ketika jaringan tidak tertutup kulit akan terpapar oleh udara dingin di kamar operasi, sehingga terjadi kehilangan panas secara berlebihan. Semakin lama tubuh terpapar suhu yang dingin, akan semakin banyak panas tubuh yang dikeluarkan untuk mekanisme penyesuaian suhu sehingga semakin besar resiko terjadinya hipotermi. Pemberian anastesi umum ataupun spinal sangat mempengaruhi terjadinya hipotermia. Temperatur inti biasanya turun antara 0,5ºC - 1,5ºC pada jam pertama setelah induksi anestesi, baik melalui anestesi umum atau neuroaksial akibat adanya redistribusi panas dari pusat ke perifer. Setiap obat anestesi, baik opioid maupun obat sedasi, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan kontrol otonom termoregulasi, hal ini memfasilitasi terjadinya hipotermia (Pamuji, 2008). Penanganan yang bisa diberikan untuk mengatasi masalah menggigil diantaranya pemberian selimut hangat elektrik dengan suhu 38ºC selama pembedahan. Dimana selimut tersebut di desain untuk penderita selama proses operasi, selimut bagian atas menutupi tangan, dada, leher dan bisa juga untuk kepala. Selimut hangat tersebut diciptakan fleksibel untuk menjaga suhu pada berbagai posisi.

1.2.Tujuan

Untuk mengetahui efektifitas selimut hangat elektrik dalam perubahan suhu terhadap pasien hipotermia post operasi 1.3. Manfaat 1.3.1. Manfaat Praktis Bagi Program Studi Profesi Ners, diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai perkembangan teori yang dapat diterapkan dalam teori tambahan dan aplikasi dalam asuhan keperawatan medikal bedah. 1.3.2. Manfaat Teoritis 1. Bagi Program Studi Profesi Ners Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan bacaan tentang keperawatan medikal bedah. 2. Bagi Perawat Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perawat dalam asuhan keperawatan medikal bedah. 3. Bagi Rumah Sakit Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan medikal bedah khususnya di ruang Tropik/Infeksi.

BAB II METODE DAN TINJAUAN TEORITIS 2.1. Metode Pencarian Analissi jurnal ini menggukan 2 (dua) media atau metode pencarian jurnal, yaitu sebagai berikut : 1. Google Cedekia: www.scholar.google.co.id 2. Ebsco dengan alat situs : http://search.ebscohost.com 2.2. Konsep tentang Tinjauan Teoritis 2.2.1. Suhu Tubuh Suhu tubuh merupakan perbedaan antara total panas yang dihasilkan oleh proses tubuh dan total panas yang pergi ke luar lingkungan. Suhu bagian perifer berfruktuasi bergantung dari pada aliran darah ke kulit dan total panas yang pergi ke lingkungan luar. walaupun dalam suasana tubuh yang ekstrem serta aktivitas fisik, proses kontrol suhu manusia tetap mengatur suhu inti tubuh dan suhu jaringan seluruh tubuh dalam relatif stabil. Karena perubahan suhu permukaan ini, besaran suhu dapat terjadi berkisar 36ºC sampai 38ºC (Potter & Perry, 2006). Lokasi untuk pengukuran suhu tubuh seperti oral, rektal, aksila, membran timpani, esofagus, arteri pulmonal, atau kandung kemih adalah salah satu faktor yang menunjukkan suhu tubuh yang sebenarnya. Lokasi yang dapat mengetahui suhu inti adalah indikator suhu tubuh yang lebih dapat dipercaya dan diandalkan daripada lokasi yang memperlihatkan suhu perifer. Untuk orang dewasa yang tidak sakit rata-rata suhu oral 37ºC. Pengukuran suhu tubuh dilakukan untuk mendapatkan suhu inti tubuh ratarata yang representatif. Suhu normal rata-rata bervariasi tergantung tempat dilakukan pengukuran. Penilaian suhu tubuh pada area paru adalah standar apabila dibandingkan dengan semua lokasi yang dinilai lebih akurat. Arteri paru memperlihatkan angka suhu yang paling representatif karena darah berada banyak di daerah tersebut dari semua bagian tubuh (Guyton & Hall, 2008). 2.2.2. Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh Mekanisme fisiologis dan perilaku meregulasi keseimbangan suhu tubuh. Supaya suhu tubuh selalu stabil dan selalu berada dalam batas yang normal. Hipotalamus yang terletak diantara hemisfer serebral, mengatur suhu inti tubuh. Suhu lingkungan sangat nyaman atau setara dengan set point maka hipotalamus akan berespon sangat ringan dan sedikit, sehingga suhu akan mengalami perubahan yang ringan dan relatif stabil. Hubungan antara produksi dan pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme neurologis dan kardiovaskuler. Hipotalamus anterior

mengendalikan panas yang keluar, dan hipotalamus mengendalikan panas yang dihasilkan. Penurunan suhu tubuh terjadi karena sel syaraf di hipotalamus anterior menjadi lebih panas melebihi set point. Gangguan atau perubahan pada pengaturan suhu yang sangat fatal dapat terjadi pada kondisi dimana adanya lesi dan trauma pada hipotalamus atau korda spinalis. Berkeringat, vasodilatasi pembuluh darah, dan hambatan produksi panas merupakan suatu mekanisme pengeluaran panas. Mekanisme konversi panas mulai bekerja, apabila hipotalamus posterior merespon suhu tubuh lebih rendah dari set point Proses menggigil terjadi pada tubuh apabila ketidakefektifan vasokontriksi pembuluh darah dalam mengurangi tambahan pengeluaran panas. Distribusi darah ke kulit dan ekstermitas berkurang karena terjadinya Vasokontriksi pembuluh darah. Kontraksi otot volunter dan gerakan pada otot merangsang atau merupakan kompensasi pergantian produksi panas (Guyton & Hall, 2008). Pusat pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus distimulasi oleh dua termoreseptor. Termoresepror tersebut yaitu termoreseptor perifer kulit dan termoreseptor sentral (terdapat di hipotalamus, sistem saraf pusat, organ abdomen). Pada pengaturan suhu tersebut mengatur produksi dan pelepasan panas dalam tubuh. Tubuh menghasilkan panas dengan cara adaptasi perilaku (aktivitas, konsumsi makanan, dan perubahan emosi) dan pergerakan tonus otot/ menggigil. Hilangnya panas dilakukan dengan salah satu cara berkeringat dan berubahnya pembuluh darah dengan vasokontriksi menjadi vasodilatasi. 2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suhu Tubuh Adapun faktor yang menjadi pengaruh perubahan suhu tubuh. Faktor yang mengganggu hubungan panas yang diproduksi dan panas yang hilang akan menjadi faktor perubahan suhu tubuh dalam rentang normal. Perawat harus sadar bahwa faktor yang mempengaruhi suhu tubuh harus dikaji sebelum dilakukan pengukuran suhu tubuh. Menurut Potter & Perry (2006), faktor yang mempengaruhi suhu tubuh yaitu : a. Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi suhu tubuh. Suhu antara bayi, anak, dewasa, dan lansia akan sangat berbeda karena adanya perbedaan fungsi kematangan dari hipotalamus. Bayi baru lahir akan beradaptasi dari rahim ibu ke lingkungan luar. Suhu badan bayi akan relatif konstan pada perut ibu, tetapi akan sangat rentan untuk berubah pada saat di lingkungan luar. Hal ini terjadi karena mekanisme pengontrolan suhu pada bayi masih sangat imatur. Kondisi tersebut membuat bayi harus dapat beradaptasi dengan lingkungan. Pakaian dan selimut diberikan sebagai

penghangat dari paparan suhu lingkungan yang ekstrem bagi tubuh bayi. Suhu tubuh bayi dipertahankan pada 35,5ºC sampai 39,5ºC apabila terlindung dari cuaca atau lingkungan yang ekstrim. Bayi baru lahir dapat mengeluarkan lebih dari 30% panas tubuhnya melalui kepala sehingga perlu dilakukan pemasangan penutup kepala. Memasuki masa kanak-kanak, Produksi panas akan meningkatkan seiring dengan pertumbuhan. Pengaturan suhu tubuh belum stabil sampai anak-anak pubertas. Rentang suhu normal turun secara berangsur-angsur sampai orang mendekati lanjut usia (lansia). Rata-rata suhu tubuh pada lanjut usia berkisar antara 36ºC. Dewasa awal memiliki interval suhu tubuh yang lebih lebar daripada lansia. Terjadinya kemunduran mekanisme kontrol, terutama pada kontrol vasomotor (kontrol vasokontriksi dan vasodilatasi), penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjar keringat dan penurunan metabolisme membuat lansia menjadi lebih sensitif terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Perbedaan secara individu 0,25ºC sampai 0,55ºC adalah normal. b. Jenis Kelamin

Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan konsistensi suhu tubuh. Secara general, perempuan mempunyai fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar dari pada lakilaki. Hal ini terjadi karena pengaruh produksi hormonal yaitu hormon progesteron. Hormon progesteron rendah, maka suhu tubuh akan mengalami penurunan beberapa derajat di bawah batas normal. Hormon progesteron meningkat dan menurun secara bertahap selama siklus menstruasi. Naik turunnya hormon progesteron mengakibatkan fluktuasi suhu tubuh pada wanita. Pada saat ovulasi (pembuahan) pada wanita hormon progesteron lebih banyak diproduksi dan masuk kedalam sistem sirkulasi. Dengan adanya Kondisi tersebut fluktuasi suhu tubuh dapat menjadi perkiraan masa subur pada wanita. Menopouse (penghentian menstruasi) pada wanita dapat mempengaruhi perubahan suhu tubuh. Wanita yang sudah berhenti menstruasi dapat mengalami periode panas tubuh dan berkeringat banyak, 30 detik sampai 50 menit. Hal tersebut karena kontrol vasomotor yang tidak stabil dalam melakukan vasodilatasi dan vasokontriksi. c. Aktivitas dan stress

Aktivitas otot dapat meningkatkan produksi panas, untuk itu aktivitas otot membutuhkan sirkulasi yang tinggi dan pemecahan zat karbohidrat dan lemak. Pemecahan zat karbohidrat dan lemak mengakibatkan metabolisme menjadi tinggi dan

peningkatan produksi panas. Semua jenis aktifitas ringan, sedang, dan berat dapat membuat produksi panas menjadi lebih banyak sehingga suhu tubuh menjadi naik. Aktivitas berat yang memiliki frekuensi yang tinggi seperti lari jarak jauh, dapat mengakibatkan suhu tubuh naik untuk sementara sampai 41ºC. Energi dibutuhkan untuk pergerakan volunter seperti aktivitas otot. Aktifitas otot dapat menaikkan 200 kali kecepatan metabolisme dan panas yang dihasilkan meningkat di atas normal. Stres fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan persyarafan. Panas yang diproduksi terjadi karena perubahan fisiologis dan psikologis. Pasien yang cemas saat masuk rumah sakit atau ke pelayanan kesehatan suhu tubuhnya dapat lebih tinggi dari normal. Untuk itu perlu pengkajian kecemasan dalam pengukuran suhu. Akan tetapi perubahan suhu tersebut tidak terlalu signifikan. d. Lingkungan

Suhu tubuh dipengaruhi juga oleh lingkungan. Jika pasien terpapar dengan lingkungan yang hangat maka tubuh akan meregulasi perubahan lingkungan dengan berbagai kompensasi. Jika terpapar panas terus menerus regulasi dalam ambang batas maka suhu tubuh akan menyesuaikan suhu lingkungan sehingga pasien akan terjadi peningkatan suhu. Jika pasien berada di lingkungan yang dingin, suhu tubuh pasien akan turun karena penyebaran yang efektif dan pengeluaran panas yang konduktif. Suhu lingkungan akan sangat mempengaruhi Bayi dan lansia karena mekanisme suhu mereka kurang efektif. 2.2.4. Hipothermi Post Operasi Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Corwin, 2009). Semua tindakan bedah atau prosedur operasi mempunyai risiko integritas atau keutuhan tubuh terganggu bahkan dapat merupakan ancaman kehidupan pasien. Masalah-masalah lain juga bisa timbul berkaitan dengan teknik anestesi, posisi pasien, obat-obatan, komponen darah, kesiapan ruangan untuk pasien, suhu dan kelembaban ruangan, bahaya peralatan listrik, potensial kontaminasi, dan secara psikososial adalah kebisingan, rasa diabaikan dan percakapan yang tidak perlu. Perawatan pasien post operasi dapat menjadi kompleks akibat perubahan fisiologis yang mungkin terjadi, diantaranya komplikasi perdarahan, irama jantung tidak teratur, gangguan pernafasan, sirkulasi, pengontrolan suhu (hipotermi), serta fungsi-fungsi vital lainnya seperti fungsi neurologis, integritas kulit dan kondisi luka, fungsi genitourinaria, gastrointestinal, keseimbangan cairan dan elektrolit serta rasa nyaman

(Potter & Perry, 2006). Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah hipotermi. Hipotermi post operasi adalah suhu inti lebih rendah dari suhu tubuh normal yaitu 36ºC setelah pasien dilakukan operasi. Dalam keadaan normal, tubuh manusia mampu mengatur suhu di lingkungan yang panas dan dingin melalui refleks pelindung suhu yang diatur oleh hipotalamus. Selama anastesi umum, reflek tersebut berhenti fungsinya sehingga pasien akan rentan sekali mengalami hipotermia. Kejadian ini didukung dengan suhu ruangan operasi dan ICU di bawah suhu kamar. Hipotermia post operasi sangatlah merugikan bagi pasien. Hipotermia post operasi dapat menyebabkan disritmia jantung, memperpanjang penyembuhan luka operasi, menggigil, syok, dan penurunan tingkat kenyamanan pasien. (Marta, 2013). 2.2.5. Mekanisme Hipothermi Post Operasi Hipotermi timbul ketika daerah pre optik dari hipotalamus terpapar oleh dingin. Secara klasik, jalur efferent hipotermi berasal dan turun dari hipotalamus posterior. Perubahan suhu memerantarai perubahan aktivitas neuronal di formasi retikuler mesencepalik dan di pontin dorsolateral serta formasi retikuler medulla kemudian turun ke saraf spinal dan meningkatkan tonus otot. Motor neuron α dari saraf spinal dan cabang-cabang aksonnya merupakan cabang akhir yang mengkoordinasikan gerakan dan hipotermi (De Witte & Sessler, 2006). Bila temperatur tubuh turun, pusat motorik untuk menggigil teraktivasi kemudian meneruskan sinyal yang menyebabkan menggigil melalui traktus ke batang otak, ke kolumna lateralis medulla spinalis, dan akhirnya ke neuron motorik anterior. Sinyal ini sifatnya tidak teratur dan tidak menyebabkan gerakan otot sebenarnya. Sinyal ini meningkatkan tonus otot rangka di seluruh tubuh, ketika tonus otot meningkat diatas nilai kritis tertentu, proses menggigil dimulai. Kemungkinan hal ini dihasilkan dari umpan balik osilasi mekanisme reflex regangan dari gelendong otot. Selama proses menggigil, pembentukan panas tubuh dapat meningkat sebesar empat sampai lima kali normal (Guyton & Hall, 2008) 2.2.6. Faktor Yang Mempengaruhi Hipothermi Post Operasi a. Obat anestesi Anestesi memiliki arti yakni hilangnya rasa atau sensasi. Pemberian obat ini dilakukan agar Anda tidak merasakan rasa sakit saat operasi berlangsung. Cara kerja pemberian anestesi adalah dengan memblok sinyal saraf dari rasa sakit yang dirasakan selama operasi atau tindakan medis lainnya yang berlangsung. Anestesi

dapat diberikan dengan beberapa cara, yakni sebagai salep atau semprotan, suntikan, serta pemberian gas yang harus dihirup oleh pasien. Tujuan memberikan anestesi adalah untuk membuat pasien merasa nyaman saat operasi berlangsung, meminimalisir atau menghilangkan rasa nyeri yang dirasakan, maupun membuat rasa mengantuk dan terlelap tidur sehingga pasien tidak menyadari operasi yang dilakukan. Tindakan ini sangat membantu seorang pasien, terlebih bagi pasien yang mengalami ketakutan dengan proses pembedahan atau tindakan medis lainnya. Ada beberapa jenis anestesi yaitu anaestesi regional dan anestesi umum (Corwin, 2009). b. Lama Operasi. Orang yang terpapar lingkungan yang dingin akan mengalami kehilangan panas dari tubuhnya dalam jumlah yang banyak melalui beberapa mekanisme pengeluaran panas. Pada pasien pembedahan, seseorang akan terpapar pada ruangan operasi dengan suhu yang dingin dalam waktu yang lama sehingga akan menyebabkan terjadinya hipotermia. Ini berkaitan dengan lama operasi operasi. Semakin lama dilakukan pembedahan maka semakin lama metabolisme akan menurun sehingga dalam waktu yang bersamaan tubuh akan berkurang dalam produksi panas. Hal tersebut akan mempercepat terjadinya proses hipotermia pada pasien (Suanda, 2014). c. Usia Usia sebagai faktor yang penting. Pasien anak mempunyai luas permukaan tubuh per kilogram berat badan lebih luas dibandingkan pasien dewasa. Umur sangat mempengaruhi metabolisme tubuh akibat mekanisme hormonal sehingga memberi efek tidak langsung terhadap suhu tubuh. Pada neonatus dan bayi, terdapat mekanisme pembentukan panas melalui pemecahan (metabolisme) lemak coklat sehingga terjadi proses termogenesis tanpa menggigil (non-shivering thermogenesis). Secara umum, proses ini mampu meningkatkan metabolisme hingga lebih dari 100%. Pembentukan panas melalui mekanisme ini dapat terjadi karena pada neonatus banyak terdapat lemak coklat. Mekanisme ini sangat penting untuk mencegah hipotermi pada bayi (Suanda, 2014). d. Jenis Kelamin Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan konsistensi suhu tubuh. Secara general, perempuan mempunyai fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar dari pada laki-laki. Hal ini terjadi karena pengaruh produksi hormonal yaitu hormon

progesteron. Hormon progesteron rendah, maka suhu tubuh akan mengalami penurunan beberapa derajat di bawah batas normal. Hormon progesteron meningkat dan menurun secara bertahap selama siklus menstruasi. Naik turunnya hormon progesteron mengakibatkan fluktuasi suhu tubuh pada wanita. Pada saat ovulasi (pembuahan) pada wanita hormon progesteron lebih banyak diproduksi dan masuk kedalam sistem sirkulasi. Dengan adanya Kondisi tersebut fluktuasi suhu tubuh dapat menjadi perkiraan masa subur pada wanita. Menopouse (penghentian menstruasi) pada wanita dapat mempengaruhi perubahan suhu tubuh. Wanita yang sudah berhenti menstruasi dapat mengalami periode panas tubuh dan berkeringat banyak, 30 detik sampai 50 menit. Hal tersebut karena kontrol vasomotor yang tidak stabil dalam melakukan vasodilatasi dan vasokontriksi.(Potter & Perry, 2006). 2.2.7. Penanganan Hipotermi Hipotermia post operasi sangatlah merugikan bagi pasien. Hipotermia post operasi dapat menyebabkan disritmia jantung, memperpanjang penyembuhan luka operasi, menggigil, dan penurunan tingkat kenyamanan pasien. Intervensi yang efektif penghangat membantu pasien dalam mempertahankan normotermia. Penghangat aktif untuk tubuh yang mengalami hipotermia post operasi dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kenyaman pasien. Intervensi penghangat ini bahkan dapat mengurangi keluhan nyeri pada pasien yang mendapat luka pembedahan post operasi (Marta, 2013) Kenyamanan termal adalah salah satu dimensi dari kenyamanan pasien secara keseluruhan yang ditunjukan dengan pemberian intervensi penghangat post operasi. Suhu merupakan komponen integral dari persepsi kesejahteraan pasien selama pengalaman perioperasi. Perasaan kenyaman termal atau ketidaknyaman selama perioperasi berpengaruh pada kepuasan pasien. Efek intervensi penghangat post operasi menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan meningkatkan kandungan energi dalam kompartemen termal pada perifer tibuh. Hal ini penting karena sulit untuk mengatasi hipotermia yang terjadi pada pasien dengan anastesi umum. Anastesi diketahui mampu menghentikan reflek pengaturan suhu di hipotalamus. Sehingga proses penghangatan dari inti ke perifer tidak terjadi dan bahkan tubuh mengalami vasokontriksi (Wagner, 2006).

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Author

Tahun

Judul

Metode

Hasil

Source

Sugianto, Farida Juanita

2013

quasy experime ntal prepost test control group design

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang bermakna pemberian selimut hangat elektrik selama operasi pada suhu 38OC terhadap kejadian menggigil pasca bedah dengan uji statistik mann whitney p = 0,000 (α < 0,05).

Google cendek ia

I Made Suindrayasa

2013

Pengaruh pemberian selimut elektrik suhu 38oc selama tur-p Dengan sab terhadap kejadian menggigil pasca bedah Di rs aisyiyah bojonegoro Efektifitas Penggunaan Selimut Hangat Terhadap Perubahan Suhu Pada Pasien Hipotermia Post Operasi Di Ruang Icu Rsud Buleleng I

quasy experime ntal prepost test control group design

Evy Marlinda, M.Rizky Ramdani, Evi Risa Mariana

2017

Hasil penelitian Google menunjukan bahwa cendek ada perbedaan yang ia signifikan antara suhu sebelum dengan setelah pemberian penghangat selimut. Dari hasil penelitian suhu sebelum pada kelompok yang menggunakan selimut rata-rata sebesar 34,95° C dan suhu sesudah rata-rata 35,5° C. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan terdapat kenaikan suhu sebesar rata-rata 0,55° C selama 30 menit pemasangan selimut. Rata-rata waktu Google kembalinya suhu cendek normal pada ia kelompok control selama 22.67 menit, sedangkan pada kelompok perlakuan menunjukkan ratarata waktu kembalinya suhu normal selama 10.07 menit. Ada perbedaan kecepatan

Perbandingan selimut hangat dengan selimut hangat dilapisi selimut aluminium foil terhadap kecepatan kembalinya suhu tubuh normal pada pasien

PreExperim ental dengan rancanga n penelitia n Staticgroup compari son

hipotermipost sc (sectio caesar) di recovery room rsud ulin banjarmasin

design

Xiaohui Liu, MD et al

2017

Effect of an electric blanket plus a forcedair warming system for children with postoperative hypothermia

quasy experime ntal prepost test control group design

Frank Lista, MD et al

2018

The Impact of Perioperative Warming in an Outpatient Aesthetic Surgery Setting

Restrosp ektif Case Control

waktu kembalinya suhu tubuh normal antara penggunaan selimut hangat dengan selimut hangat dilapisi selimut aluminium foil yaitu nilai p = 0. Tidak ada Perbedaan antara 3 kelompok kelompok C dan E, dan kelompok EF yang signifikan meningkat setelah 10 menit tiba di PACU ( P <. 05). Anak-anak dalam kelompok EF memiliki waktu rewarming terpendek (35,61 ± 16.45minutes, P <. 001) dan tertinggi rewarming effisiensi (0,028 ± 0,001 ° C / menit, P <. 001), sementara tidak ada perbedaan peningkatan suhu rektal antara 3 kelompok. Anakanak dalam kelompok EF memiliki insiden lebih rendah dari aritmia, menggigil, mual, dan muntah ( P <. 05). Secara signifikan lebih rendah untuk kelompok menghangatkan (111 vs 125 mg fentanil pada kelompok kontrol; P = . 042). Pasien dalam kelompok menghangatkan diperlukan sedikit waktu di ruang pemulihan dan

Ebsco

Ebsco

memenuhi kriteria debit cepat (127 vs 141 menit; P = . 001). Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam kejadian komplikasi. 3.2. Pembahasan Dari kelima jurnal diatas semua membahas tentang pengaruh pemberian selimut hangat untuk pasien hipotermi dan semuanya mendapatkan hasil penelitian yang hampir sama walaupun dari jurnal yang 1 dengan jurnal yang lainnya berbeda memiliki perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang pertama dilakukan oleh Sugianto, Farida Juanita yang dipublikasikan tahun 2013 yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh selimut elektrik pada kejadian mengigil pasca bedah. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental

dengan

pendekatan pretest dan posttest control grup. Pada penelitian ini juga, peneliti menggunakan sampel sebanyak 30 orang dengan yang diambil dari pasien bedah TUR-P dengan SAB di kamar bedah yang diambil melalui teknik consecutive sampling yang dibagi secara random allocation kelompok perlakuan dan control. Pada penelitian ini

diberikan metode pemanasan eksternal aktif berupa pemberian selimut hangat elektrik dengan suhu 38℃ selama tindakan pembedahan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adalah pengaruh yang signifikan terhadap pemberian selimut hangat pada pasien hipotermi dengan kelas control mengalami kejadian menggigil pada menit k-1 sampai menit k-10 pasca pembedahan sedangkan pada kelas perlakuan tidak terjadi kejadian menggigil. Sedangkan pada Jurnal kedua dari penelitian yang dilakukan oleh Evy

Marlinda, M.Rizky Ramdani, Evi Risa Mariana yang dipublikasikan tahun 2013 yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan selimut hangat dan selimut dilapisi

aluminium foil terhadap kecepatan kembalinya suhu tubuh normal pada pasien hipotermi post operasi SC (Sectio Caesar). Pada penelitian ini dengan penelitian diatas, keduanya sama-sama menggunakan metode quasi eskperimental dan sama-sama juga menggunakan sampel sebanyak 30 orang yang diambil dengan teknik purposive sampling. Selimut yang dipakai pada penelitian ini adalah selimut yang dilapisi dengan aluminium foil dan didapatkan hasil bahwa selimut inimmembutukan waktu rata-rata 10.07 menit untuk menaikkan suhu ke keadaan normal.

Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh I Made Suindrayasa yang dipublikasikan tahun 2017 yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan

selimut hangat terhadap perubahan suhu pada pasien hipotermia post operasi. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian dan sampel yang sama dengan kedua penelitian yang telah dibahas diatas. Dari hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ada perbedaan yang signifikan antara suhu sebelum dengan setelah pemberian penghangat selimut. Dari hasil penelitian suhu sebelum pada kelompok yang menggunakan selimut rata-rata sebesar 34,95° C dan suhu sesudah rata-rata 35,5° C. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan terdapat kenaikan suhu sebesar rata-rata 0,55° C selama 30 menit pemasangan selimut. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pnelitian yang didapatkan dari jurnal internasional yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian selimut hangat elektrik terdapat percepatan penurunan menggigil pada pasien hipotermi yang didukung oleh dua jurnal yang didapatkan yaitu penelitian pertama yang dilakukanoleh Frank Lista, MD, FRCSC, Chris D. Doherty, MD,Richard M. Backstein, MD and Jamil Ahmad, MD, FRCSC dipublikasikan tahun 2017 yang bertujuan mengetahui

dampak dari pemanasan perioperatif

dalam pengaturan operasi plastik rawat jalan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa persyaratan untuk analgesia intraoperatif secara signifikan lebih rendah untuk kelompok menghangatkan (111 vs 125 mg fentanil pada kelompok kontrol; P = . 042). Pasien dalam kelompok menghangatkan diperlukan sedikit waktu di ruang pemulihan dan memenuhi kriteria debit cepat (127 vs 141 menit; P = . 001). Dan penelitian yang kedua yang dilakukan oleh Xiaohui Liu, MD, Yufang Shi, MD, Chunguang Ren, MD, Xia Li, MD, Zongwang Zhang, MD dipublikasikan tahun 2018 yang bertujuan mengetahui dampak Pengaruh selimut

listrik ditambah sistem pemanasan udara paksa untuk anak-anak dengan hipotermia pasca operasi. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara 3 kelompok kelompok C dan E, dan kelompok EF yang signifikan meningkat setelah 10 menit tiba di PACU ( P <. 05). Anak-anak dalam kelompok EF memiliki waktu rewarming terpendek (35,61 ± 16.45 minutes, P <. 001) dan tertinggi rewarming effisiensi (0,028± 0,001 ° C / menit, P <. 001), sementara tidak ada perbedaan peningkatan suhu rektal antara 3 kelompok. Anak-anak

dalam kelompok EF memiliki insiden lebih rendah dari aritmia, menggigil, mual, dan muntah ( P <. 05). Pada hasil

pembahasan diatas

disimpulkan

terdapat

pengaruh

penggunaan selimut hangat pada pasien hipotermi. Penggunaan selimut hangat ini membantu mengurangi pengeluaran panas dengan mempertahankan panas secara konduksi yaitu panas yang berpindah dari satu zat ke zat yang lain dengan cara bersentuhan langsung. Selain sebagai penghangat, intervensi penggunaan selimut hangat juga dapat untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan pasien.

Contoh penggunaan selimut hangat pada pasien hipotermi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari kelima jurnal yang di analisis didapatkan adalah pengaruh pemberian selimut hangat elektrik pada pasien post operasi mempercepat penurunan menggigil (Hipotermi) pasca bedah.

4.2. Saran Pemberian selimut hangat elektrik pada pasien post operasi dapat dijadikan salah satu prosedur tetap pelayanan pasien bedah untuk mengurangi kejadian mengigil post operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Manajemen Klinis Untuk Hasil yang Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Diharapkan. Edisi 8. Buku 2. Singapore : Elsevier Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9, Jakarta : EGC. Marta. (2013). A comparison of warming interventions on the temperatures of inpatients undergoing colorectal surgery. Association of operating room nurses. AORN Jurnal 97.3 Pamuji, A. (2008). Perbandingan Daya Guna Ketamin 0,25 mg/kgbb intravena dengan Ketamin 0,5 mg/kgbb intravena untuk Mencegah Shiverung Pasca Anestesi Umum. Thesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Perry & Potter. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Vol.2. Jakarta: EGC. Sessler & Witte. (2006). Perioperative Shivering, Physiology and Pharmacology. Anesthesiology, 96 (2): 467-84. Suanda. (2014). Pemberian magnesium sulfat 20 mg/kgBB intravena sama efektif dengan meperidin 0,5 mg/kgBB intravena dalam mencegah menggigil pasca anastesi umum. Denpasar. Universitas Udayana Wagner. (2006). Effect of comfort warming on preoperative patients. Association of operating room nurses. AORN Jurnal 97.3

Related Documents


More Documents from ""