BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Leukemia merupakan suatu penyakit keganasan sel darah dimana terjadi proliferasi berlebihan dari sel darah putih yang berasal dari sumsum tulang, dengan ditemukan adanya sel-sel abnormal pada pemeriksaan darah tepi. Pada leukemia, terdapat gangguan dalam hal produksi dari leukosit. Gangguan ini menyebabkan jumlah leukosit yang dihasilkan sumsum tulang menjadi berlebihan dan fungsi dari leukosit ini menjadi abnormal. Leukemia akut merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Di dunia, anak-anak yang terdiagnosis mengidap leukemia akut sebesar 30-40% dari semua jenis keganasan. Insidens rata-rata leukemia adalah 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun (Permono dan Ugrasena,2010). American Cancer Society memprediksikan angka kejadian Akut LimfoblastikLeukemia (ALL) di Amerika Serikat mencapai 6.020 kasus (kasus anak-anak dan dewasa) dan angka kematiannya mencapai 1.440 kasus pada tahun 2014 (ACS, 2013). Di Eropa tercatat bahwa angka kejadian LLA pada anak-anak usia 0 – 14 tahun mencapai sekitar 80% dan insiden rata-rata anak-anak yang menderita leukemia sekitar 0,7% (Enhis, 2009). Menurut Riskesdas (2007) dalam panduan yang diluncurkan Kementrian Kesehatan RI (2013), prevalensi kanker di Indonesia mencapai 4,3 per 1.000 penduduk dan kanker menduduki peringkat ketujuh penyebab kematian. Sedangkan Sistem Registrasi Kanker di Indonesia (Srikandi) tahun 2005-2007 dalam Kemenkes (2013) mencatat angka kejadian kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 9 per 100.000 anak-anak dengan prevalensi leukemia (kanker tertinggi
pada anak) adalah 2,8 per 100.000 anak-anak. Data yang tercatat pada Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi leukemia tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara sebanyak 0,11% sedangkan di Sumatera Utara sebanyak 0,01%. Dalam penelitian Widiaskara (Sari Pediatri Utara 2 ,2010), tercatat bahwa leukemia akut menduduki peringkat pertama penyebab keganasan pada anak dari tahun 1991-2000 di Rumah Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya sejumlah 524 kasus / 59% dari seluruh keganasan. Dari 524 kasus, didapatkan bahwa 430 diantaranya didiagnosis mengidap leukemia akut jenis limfoblastik atau ALL. Sedangkan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”,setiap tahunnya angka kejadian ALL meningkat sebanyak 8 kasus (Rini, 2010). Dalam pengobatan leukemia, terdapat dua jenis penanganan yaitu suportif dan kuratif. Penanganan suportif adalah penanganan yang mengobati penyakit penyerta leukemia dan komplikasinya, sedangkan penanganan kuratif adalah penanganan yang bertujuan menyembuhkan leukemia yaitu kemoterapi. Kemoterapi terbagi ada tiga tahapan, yaitu tahapan induksi, konsolidasi, dan rumatan (Permono dan Ugrasena, 2010). Apabila terapi kemoterapi tidak dilakukan maka akan mempercepat perkembangan sel kanker didalam tubuh dan yang paling fatal akan terjadi kematian pada penderita leukimia tersebut (Rini, 2010). Berdasarkan data yang didapat di RSUD Arifin Achmad pekanbaru pada 1 bulan terakhir penyakit terbanyak pasien yang di rawat diruangan anak non infeksi RSUD arifin ahmad ALL selalu menduduki peringat pertama dan setiap bulannya sering ditemukan kasus baru yang terdiagnosa ALL artinya kejadian Akut Limfoblastik Leukimia pada anak meningkat pada setiap tahunnya. Berdasarkan data diatas kelompok tertarik mengangkat kasus ALL untuk jadi bahan kasus seminar di RSUD Arifin Ahmad.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Akut Limfoblastik Akut di ruang Merak 1 Anak Non infeksi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengertian akut limfoblastik leukemia (ALL) 2. Mengetahui etiologi ALL 3. Mengetahui patofisiologi ALL 4. Mengertahui manifestasi klinis ALL 5. Mengetahui klasifikasi ALL 6. Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada ALL 7. Mengetahui penatalaksanaan pada ALL 8. Mengetahui efek chemotherapy 9. Mengetahui asuhan keperawatan pada ALL
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu fungsi sel normal lain (Permono, 2010). B. Etiologi Menurut Permono,2010 penyebab leukemia akut belum diketahui, akan tetapi factor - faktor berikut ini penting dalam patogenesis leukemia: 1. Radiasi ionisasi. 2. Bahan - bahan kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut (LMA) 3. Obat - obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA). 4. Pertimbangan Genetik: Kembar identik: Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia dibawah 5 tahun, risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%. 5. Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.
C. Patofisologi Leukemia adalah jenis gangguan pada system hemapoetik yang fatal dan terkait dengan sumsum tulang dan pembuluh limfe ditandai dengan tidak terkendalinya proliferasi dari leukosit. Jumlah besar dari sel pertama-tama menggumpal pada tempat asalnya (granulosit dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan menyebar ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih besar sehingga mengakibatkan hematomegali dan splenomegali. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringa perifer serta mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya, hematopoesis normal terhambat, mengakibatkan penurunan jumlah leukosit, eritrosit, dan trobosit. Eritrosit dan trombosit jumla hanya dapat rendah atau tinggi tetapi selalu terdapat sel imatur. Proliferasi dari satu jenis sel sering mengganggu produksi normal sel hematopoetik lainnya dan mengarah ke pembelahan sel yang cepat dan sitopenia atau penurunan jumlah. Pembelahan dari sel darah putih meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi karena penurunan imun. Trombositopeni mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan oleh ptekie dan ekimosis atau perdarahan dalam kulit, epistaksis atau perdarahan hidung, hematoma dalam membrane mukosa, serta perdarahan saluran cerna dan saluran kemih. Tulang mungkin sakit dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang. (Hidayat, 2008)
D. Manifestasi Klinis Gambaran klinis terjadi karena hal - hal berikut: Kegagalan Sumsum Tulang 1. Anemia (pucat, letargi, dan dispnea);
2. Neutropeni (demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianus, atau bagian lain); 3. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragia) (Hoffbrand, 2013). Infiltrasi Organ Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda - tanda penekanan mediastinum pada LLA sel T (Hoffbrand, 2013). Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa ekstranodus dengan blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi diterapi juga seperti LLA (Hoffbrand,2013). Gambaran Laboratorium Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu : 1. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm³) terjadi pada kira - kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira - kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000mm³ (Fianza, 2009).
2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel - sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi (Fianza, 2009). 3. Sitokimia Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang - kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan
mieloperoksidase
akan
memberikan
hasil
yang
negatif.
Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan BLLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow, 2009).cytomerty (Fianza). 4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry) Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap : a. Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT. b. Untuk sel T: CD1a,CD2,CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT.
c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22. Pada sekitar 15% - 54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang,dan perjalanan penyakitnya buruk (Fianza,2009). 5. Pemeriksaan
lainnya
Pungsi
lumbal
untuk
pemeriksaan
cairan
serebrospinal (CSS) tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum, laktat dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk T-LLA (Hoffbrand, 2013).
E. Klasifikasi Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008) berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok BLLA (LLA sel B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasit (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan prognosis. Pada TLLA (LLA sel T) kariotipe abnormal ditemukan pada 50% 70% kasus (Hoffbrand, 2013). Sedangkan secara morfologik, menurut FAB (French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu: 1. L1: LLA dengan sel limfoblas kecil - kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA. 3. L3: LLA mirip dengan limfoma Burkit, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)
Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi: 1. Sel pra B awal : 60% - 70% dari pasien LLA dengan precursor sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin (cIg), sehingga disebut dengan “LLA umum”, Juga terdapat human leukocyte antigen (HLA) – DR 2. Sel pra – B : 20% - 30% dari pasien LLA dengan precursor sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan dari tipe sel B, lebih matur dari sel pra - B awal, namun kurang matur dari sel B. ditemukan antigen CD10 dan HLA DR, memiliki prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel pra - B awal. 3. Sel pra - B transisional : Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan, CD10 negatif, dan terdapat beberapa ketidaknormalan pada kromosom, prognosis paling buruk 4. Sel T : 10% - 15% LLA, biasanya pada anak yang lebih tua, hitung leukosit lebih tinggi dan prognosisnya lebih jelek dibandingkan prekursor sel B. 5. Sel B mature : 1% - 2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan HLA - DR (Orkin, et al., 2009).
F. Pemeriksaan diagnostic Hitung darah lengkap complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis memiliki memiliki prognosis paling baik; jumlah lekosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
1.
Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat
2. Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum. 3.
Aspirasi sumsum tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis.
4. Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang. 5. Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik. 6. Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan.(Betz, Cecily L. 2009).
G. Penatalaksanaan 1. Transfusi darah Diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 gr%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan yang massif dapat diberikan transfuse trombosit. 2. Kortikostiroid seperti prednisone, kortison, deksametason dan sebagainya. Setelah dicapai remisi (sel kanker sudah tidak ada lagi dalam tubuh dan gejala klinik membaik ), dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan. 3. Sitostatika bentuk terapi utama adalah kemoterapi dengan kombinasi : vinkristine, asparaginase, prednisone, untuk terapi awal dan dilanjutkan dengan
kombinasi
mercaptopurine,
metotrexate,
vincristine,
dan
prednisone untuk pemeliharaan. Radiasi untuk daerah kraniospinal dan injeksi intratekal obat kemoterapi dapat membantu mencegah kekambuhan pada system saraf pusat. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang bebas hama).
4. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang baru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia yang cukup rendah (105-106), imuno terapi diberikan. Pengobatan yang spesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Crynae bacterium dan dimaksutkan agar terbentuk antibody yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. 5. Transplantasi sumsum tulang.(Betz, Cecily L. 2009)..
H. Efek kemotrapi(Fianza,2009). 1. Sulit tidur. 2. Mimisan. 3. Rambut rontok. 4. Mual dan muntah. 5. Gampang memar. 6. Gusi berdarah. 7. Konstipasi atau diare. 8. Kehilangan nafsu makan. 9. Kulit kering dan terasa perih 10. Rasa lelah dan lemah sepanjang hari. 11. Sesak napas dan detak jantung tidak biasa akibat anemia