AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA Mengomunikasikan Identitas Budaya Banyumasan di Luar Daerah
Dosen pengampu : Rivga Agusta, S.IP, MA Disusun Oleh :
GALIH PRADANA INDRANOVAN 17.96.0265 17 - S1IK – 04
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 2018
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Interaksi antar individu yang berbeda budaya merupakan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Diantara fenomena tersebut dapat kita amati komunikasi yang terjadi antara masyarakat yang berasal dari daerah Banyumasan dengan masyarakat yang berbeda asal daerah. Identitas budaya masyarakat Banyumasan identik dengan dialek Ngapak yang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Adanya kebutuhan yang dimiliki setiap individu mengakibatkan adanya mobilitas sosial atau disebut dengan isitilah merantau dengan beragam kepentingan pekerjaan, pendidikan, keluarga. Hal ini biasanya dilakukan dengan suka rela (voluntary migrant) mengingat kebutuhan yang tidak bisa mereka dapatkan di daerah asalnya. Mobilitas yang dilakukan masyarakat yang berasal dari daerah Banyumasan memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda asalnya, masyarakat di lingkungan barunya yang saling berbeda budaya, inilah yang menyebabkan terjadinya komunikasi antarbudaya. Perbedaan masyarakat yang berinteraksi dengan budaya berbeda dapat berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan. Salah satu yang membedakan dari cara mereka berkomunikasi adalah latar belakang budaya yang berbeda(Anugrah, 2008:31). Budaya memberikan identitas kepada sekelompok orang, diantaranya dapat diidentifikasi dari komunikasi dan bahasa. Sistem komunikasi, verbal dan nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Karakteristik budaya yang berbeda yang dibawa saat keduanya berinteraksi juga dapat menimbulkan konflik(Mulyana dan Rahmat, 2003:58).
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana akomodasi komunikasi dalam interaksi antarabudaya masyarakat yang berasal dari Banyumasan terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas buadayanya? 2. Bagaimana hambatan penyesuaian dalam komunikasi antarbudaya pada masyarakat yang berasal dari Banyumasan? 1
BAB II PEMBAHASAN A. Teori Teori Akomodasi (Accomodation Theory) Teori ini merupakan salah satu teori tentang perilaku komunikasi yang sangat berpengaruh. Teori ini dirumuskan oleh Howard Giles dan para kolegannya, teori akomodasi menjelaskan bagaimana dan kenapa kita menyesuaikan perilaku komunikasi kita terhadap tindakan orang lain. Richard dan Turner mendefinisikan bahwa akomodasi sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan seccara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain. Alo menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya mengharuskan setiap pelakunya berusaha mendapatkan, mempertahankan dan membangun aspek-aspek kognitif bersama. Seseorang harus mengetauhi keberadaan budaya yang menjadi latarbelakang kehidupannya, seseorang itupun harus berusaha untuk mendapatkan dan memahami latar belakang budaya orang lain. Pengetahuan itu diperoleh dari informasi tentang kebudayaan orang lain, pengalaman pergaulan yang terus-menerus sehingga pengalaman itu dapat mempengaruhi persepsi sikap seseorang tehadap orang lain. Akomodasi adalah proses yang opsional dimana dua komunikator memutuskan apakah untuk mengakomodasi, salah satu, atau keduanya. Giles percaya bahwa pembicaraan terkadang menojolkan perbedaan verbal dan nonverbal diantara diri mereka sendiri dan orang lain. Ia menyebutkan hal ini divergensi (divergence). Divergensi sangat berbeda dengan konvergensi dalam hal ini bahwa ini merupakan proses disosiasi. Alih-alih menunjukan bagaimana dua pembicara mirip dalam hal kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukan persamaan antara para pembicara. Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain.
2
Akomodasi baik pada konvergensi maupun divergensi dapat terjadi pada semua perilaku komunikasi melalui percakapan termasuk kesamaan atau perbedaan dalam hal intonasi suara, kecepatan, aksen, volume suara, kata-kata, tata bahasa, gerak tubuh dan lain-lain. Konvergensi dan divergensi dapat bersifat mutual, kedua pembicara dapat menjadi sama-sama menyatu atau sama-sama menjauh atau bersifat nonmutual, salah seorang pembicara menyatu dan pembicara lainnya menjauh. Konvergensi adakalanya disukai dan mendapatkan apresiasi atau sebaliknya tidak disukai. Orang cenderung memberikan respon positif kepada orang lain yang berupaya mengikuti atau meniru gaya bicara atau pilihan kata-katanya, tetapi orang tidak menyukai terlalu banyak konvergensi, khususnya jika hal itu tidak disukai atau tidak pantas. Dalam hal ini, seseorang yang tidak meniru gaya berbicara lawan bicaranya tetapi meniru hal lain yang dianggap sama dengan lawan bicara (stereotype) dapat menimbulkan masalah.
Asumsi - Asumsi Teori Akomodasi Komunikasi 1. Asumsi pertama, banyak prinsip teori akomodasi komunikasi berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara para komunikator dalam sebuah percakapan. Pengalaman – persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan pengalaman dan latar belakang yang bervariasi ini akan menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasi orang lain semakin mirip sikap dan keyakinan kita dengan orang lain, semakin kita tertarik untuk mengakomodasi terhadap orang lain. 2. Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevalusi sebuah percakapan. Asumsi ini terletak baik pada persepsi maupun evaluasi. Akomodasi komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang memersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi di dalam
sebuah
percakapan.
Persepsi
adalah
proses
memperhatikan
dan
menginterpretasikan pesan, sedangkan evaluasi merupakan proses menilai percakapan. Orang pertama-tama memersepsikan apa yang terjadi di dalam percakapan sebelum mereka memutuskan bagaimana mereka akan berperilaku dalam percakapan. 3. Asumsi ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa terhadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan. Pikiran apa yang terjadi ketika dua orang berbicara dalam bahasa yang berbeda berusaha untuk 3
berkomunikasi dengan satu sama lain. Bahasa yang digunakan dalam percakapan, karenanya, akan cenderung merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, keanggotaan kelompok menjadi hal yang penting karena terdapat keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok yang dominan. 4. Terakhir asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kapantasan sosial. Kita telah melihat bahwa akomodasi dapat bervariasi dalam kepantasan sosial. Tentu saja terdapat saat-saat ketika mengakomodasi tidaklah pantas.
Bentuk-bentuk adaptasi 1. Konvergensi, yaitu sebuah strategi dimana para pelaku yang terlibat dalam pembicaraan beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain. Proses ini merupakan proses yang selektif, dan disadari pada persepsi terhadap pelaku pembicara yang lain. 2. Divergensi, yaitu sebuah perilaku dimana para pelaku yang terlibat di dalam pembicaraan tidak menunjukan adanya kesamaan di antara satu dengan yang lain. Akan tetapi divergensi bukanlah kondisi untuk meniadakan respons terhadap lawan bicara, akan tetapi lebih pada usaha untuk melakukan disosiasi terhadap komunikator yang menjadi lawan bicaranya
Tahap adaptasi budaya 1. Tahap 1 adalah priode “bulan madu”, saat mana individu menyesuaikan diri dengan budaya baru yang menyenangkan karena penuh dengan orang-orang baru, serta lingkungan dan situasi baru. 2. Tahap 2 adalah masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi frustasi, cemas, dan bahkan permusuhan, karena kenyataan hidup dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi labih terlihat. 3. Tahap 3 menandai dimulainya proses penyesuaian kembali, karena masing-masing mulai mengembangkan cara-cara mengatasi frustasi mereka dan menghadapi tantangan situasi baru. 4. Tahap 4, penyesuaian kembali barlanjut. Selama priode ini mungkin akan muncul beberapa macam hasil. Pertama, banyak orang memperoleh kembali level keseimbangan dan kenyamanan, mengembangkan hubungan yang penuh makna dan sebuah penghargaan baru bagi budaya baru. Kedua, ada orang yang tidak bisa 4
sepenuhnya menerima budaya baru, tetapi ia bisa menemukan cara yang baik untuk mengatasi persoalan guna meraih tujuan secara memadai. Ketiga, menemukan cara untuk melakukan yang terbaik meskipun secara substansial disertai dengan ketegangan dan ketidaknyamanan pribadi. Akhirnya, ada pula yang gagal bahkan dalam meraih kelanjutan level penyesuaian ulang, dan menemukan satu-satunya alternatif adalah mengundurkan diri dari situasi itu.
5
B. Analisis Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa jawa kuno (kawi). Bahasa Banyumasan terkanal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah karesidenan Banyumasan (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen ). Dibanding dengan bahasa jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lainnya bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan oleh masyarakat luar Banyumasan disebut sebagai bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak. Saat pertama berada di rantauan, sebelum mereka dapat beradaptasi dengan baik, awalnya mereka mengalami shock culture. Hal tersebut wajar terjadi apabila seseorang pendatang berada di tempat yang baru. Adaptasi terhadap budaya terutama dilakukan agar halhal yang kelak dapat menjadi kendala dalam komunikasi dapat terhindari. Banyak sekali teman-teman yang berasal dari daerah Banyumasan (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen ), mereka tidak sepenuhnya menggunakan dialek Ngapak tersebut karena ada pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah perasaan malu, menganggap bahwa Bahasa Jawa yang berdialek Ngapak tersebut dianggap lucu dan mereka merasa khawatir bila menggunakan dialek tersebut akan ditertawakan. Kemudian faktor kedua adalah faktor eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah kurang adanya dukungan dari lingkungan sekitar agar mereka dapat dengan leluasa menggunakan dialek Ngapak saat berinteraksi dengan mereka. Selain itu adanya persepsi tertentu mengenai tersebut membuat mereka berpikir ulang untuk menggunakan dialek Ngapak. Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain (West dan Turner, 2008:207). Communication Accomodation Theory (CAT) memberikan perhatian pada interaksi 6
memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu. Masyarakat Banyumasan pada dasarnya memiliki rumpun bahasa yang sama dengan suku jawa, namun mereka memiliki dialek yang khas dan berbeda dengan dialek Bahasa Jawa lainnya. Melaui Communication Accomodation Theory (CAT) pemahaman antar orang-orang dari kelompok yang berbeda manjadi bagian penting untuk terciptanya tujuan komunikasi mengenai kesamaan kekuasaan budaya dalam interaksi. Tujuan inti dari teori akomodasi komunikasi adalah untuk menjelaskan cara-cara dimana orang-orang yang berinteraksi dapat mempengaruhi satu sama lain selama interaksi. Teori akomodasi komunikasi berfokus pada mekanisme dimana proses psikologi sosial mempengaruhi perilaku yang diamati dalam interaksi. Akomodasi, menunjuk pada cara-cara dimana individu-individu dalam berinteraksi memantau dan mungkin menyesuaikan perilaku mereka selama interaksi. Ketika seseorang melakukan pengungkapan diri terhadap orang lain, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang tersebut merasa nyaman dan leluasa dalam berkomunikasi terhadap apa yang ingin mereka ungkapkan. Salah satu dari pengungkapan diri adalah keberanian seseorang dalam mengomunikasikan identitas budaya. Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi para pendatang yang dapat menggunakan bahasa atau sekedar aksen asalnya saat berinteraksi di tempat ia merantau. Mereka melakukan pengungkapan diri yang berbeda-beda, namun ada dua faktor yang dapat menjadi inti. Faktor pertama adalah setting of communication dimana mereka dapat mengomunikasikan identitas budaya pada ruang atau setting tertentu. mereka merasa harus memilih untuk berkomunikasi menggunakan dialek Ngapak. Kepada teman-teman yang berasal dari daerah yang sama mereka bisa bertemu dan berkumpul dengan meletakan identitas budaya, namun tidak demikian ketika mereka berada pada ruang lingkup yang formal dan berkumpul dengan orang-orang yang berbeda daerah, akan sulit menerima mereka menggunakan dialek Ngapak tersebut. Sedangkan foktor kedua adalah jenis kelamin, dimana mereka merasa lebih nyaman dan lebih mudah untuk mengomunikasikan identitas budaya diarahkan pada jenis kelamin yang sama. Adanya persepsi mengenai identitas budaya secara lansung dan tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asalnya. Persepsi identitas budaya orang Banyumasan lebih identik pada bahasa yang berdialek Ngapak. Persepsi 7
orang Banyumasan dimata orang-orang yang berbeda asal daerah menurut mereka dialek tersebut lucu, memiliki kesan wong ndeso, ditertawakan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup resmi, logatnya terdengar kasar. Dialek Ngapak merupakan bagian dari rumpun Bahasa Jawa, namun banyak orang yang memiliki penilaian tersendiri mengenai dialek Ngapak yang dianggap berbeda dengan dialek Bahasa Jawa lainnya. Persepsi tersebut mempengaruhi mereka dalam pengungkapan diri menggunakan dialek Ngapak sebagai bagian dari identitas budaya. Hal ini merupakan bentuk emotional vulnerability (identitas kelompok dan identitas individu akan mempengaruhi caracara seseorang dalam memersepsikan, berpikir dan berperilaku dalam lingkungan sehari-hari) mereka untuk dapat diterima dengan baik di tempat mereka merantau. Dalam proses pengungkapan diri terhadap identitas kultural, mereka tidak melekukannya dengan luluasa kepada semua orang dan pada semua situasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengungkapan diri tersebut, diantaranya adalah setting of communication, faktor kedalaman hubungan, faktor jenis kelamin dan faktor asal daerah. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri mereka adalah setting of communication. Mereka merasa harus memilih untuk berkomunikasi menggunakan dialek Ngapak. Kepada teman-teman yang berasal dari daerah yang sama mereka bisa bertemu dan berkmumpul dengan melakukan identitas buadaya. Namun tidak ketika mereka berada pada ruang formal dan berkumpul dengan orang-orang yang berbeda daerah. Faktor berikutnya adalah kedalaman hubungan, faktor ini terbagi atas tahap perkenalan, tahap persahabatan, dan tahap keakraban. Para tahap perkenalan mereka cenderung menggunakan Bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemudian pada tahap perkembangan hubungan, faktor kedalaman hubungan mempengaruhi mereka dalam berkomunikasi menggunakan dialek ngapak. Dengan orang lain yang dianggap sudah lebih dekat mereka lebih leluasa untuk menggunakan dialek Ngapak. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh dari kedalaman hubungan mempengaruhi tindakan komunikasi seseorang dalam mengomunikasikan identias budaya. Faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri selanjutnya adalah jenis kelamin, mereka merasakan adanya kecenderungan untuk lebih terbuka dalam berkomunikasi menggunakan dialek Ngapak kepada sesama jenis dibandingkan lawan jenis. Faktor yang terakhir adalah asal daerah, dengan teman-teman yang berasal dari daerah yang sama, mereka 8
merasa lebih nyaman saat menggunakan dialek Ngapak. Karena sebagai perantau, mereka akan merasa senang apabila bertemu dengan orang yang memiliki identitas budaya sama. Kepada hampir semua yang berasal dari daerah berbeda, mereka enggan menggunakan dialek Ngapak. Kendala komunikasi antarbudaya yang dapat membuat komunikasi yang dilakukan tidak efektif. Hambatan-hambatan tersebut terjadi karena adanya sikap etnosentrisme, ketidaksadaran dalam memahami perbedaan identitas budaya serta adanya stereotip yang melekat terhadap orang yang menggunakan dialek Ngapak. Tidak adanya kesadaran oleh orang-orang yang memberikan stereotip terhadap mereka yang berasal dari daerah Banyumasan cenderung membuat komunikasi yang terjadi tidak seimbang, bahkan membuat mereka cenderung menghindari untuk berkomunikasi menggunakan dialek asalnya.
9
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ketika seseorang melakukan interaksi dengan kolompok budaya lain pada dasarnya ia membawa identitas budayanya. Identitas tersebut depat berupa perilaku dan bahasa. Tidak ada yang salah dengan identitas budaya dan seharusnya tidak perlu menahan diri saat seseorang berhadapan dengan budaya lain. Namun kebanyakan masyarakat yang memiliki latar belakang dialek Ngapak saat berinteraksi dengan kelompok kebudayaan lain merasa tidak percaya diri dengan bahasa dan dialeknya. Mereka cenderung mengurangi bahkan menghilangkan bahasa dan dialek tersebut dalam pergaulan sehari-hari. Dalam hal ini mengakibatkan suatu proses akomodasi, dimana kelompok budaya yang lebih rendah kemudian berusaha mengakomodasi kelompok buadaya yang dianggap lebih tinggi dalam bentuk yang mereka pahami.
10
DAFTAR PUSTAKA Hamad, Ibnu (Penterjemah). 2014. Komunikasi dan Perilaku manusia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Liliweri, Alo. 2009. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Mulyana, Deddy dan Rahmat. 2009. Komunikasi Antarbudaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Sihabudin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta : PT Bumi Aksara. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26875/3/MARIA%20ULPAFDIKOM.pdf, diakses pada tanggal 14 Juli 2018 pukul 20.00 http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsabila.pdf, diakses pada tanggal 14 Juli 2018 pukul 20.30. https://www.kompasiana.com/hestiedityo/5500a0e6813311681ffa7b15/jawa-ngapak-yangbikin-ngakak, diakses pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 19.45 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Banyumasan, diakses pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 19.00 https://pakarkomunikasi.com/teori-akomodasi-komunikasi, diakses pada tanggal 17 Juli 2018 pukul 20.30
11