Filsafat

  • Uploaded by: galih
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Filsafat as PDF for free.

More details

  • Words: 2,479
  • Pages: 9
SEJARAH SINGKAT Diogenes Sinope (Bahasa Yunani: Διογένης ὁ Σινωπεύς Diogenes ho Sinopeus) , seorang filsuf Yunani, lahir di Sinope (sekarang kota Sinop, Turki, pada tahun 412 SM (menurut beberapa sumber 404 SM), dan wafat di Korintus. Rincian yang diketahui tentang kehidupannya berasal dari anekdot-anekdot yang ditulis oleh Diogenes Laërtius, dalam bukunya Hidup dan Pendapat Para Filsuf Ternama(Bahasa Yunani: Βίοι καὶ γνῶμαι τῶν ἐν φιλοσοφίᾳ εὐδοκιμησάντων). Diogenes Sinope diasingkan dari kota kelahirannya, dan kemudian pindah ke Athena. Di sana dia menjadi pengikut Antisthenes, yang pernah menjadi murid Sokrates. Diogenes yang menjadikan jalanan Athena sebagai rumahnya menjunjung kemiskinan ekstrim sebagai nilai yang patut dipuji. Dia dikatakan hidup di dalam gentong besar. Dia disebut pernah berjalan di jalanjalan membawa lampu di siang hari, sambil berkata bahwa dia mencari manusia namun tidak mampu menemukannya. Pada akhirnya dia bermukim di Korintus, tempat dia terus mengikuti ideal seorang sinis tentang berdiri di atas kaki sendiri: hidup yang alamiah dan tidak tergantung kepada kemewahan peradaban. Diogenes adalah sebuah legenda tersendiri. Aristoteles memanggilnya ”si Anjing”, atau, dalam bahasa Yunani, ”Kyon”. Filosof yang aneh ini, yang hampir 30 tahun lebih tua ketimbang Aristoteles, tak berkeberatan. Pandangan hidupnya memang bisa membuat ia dimaki. Ia seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak punya apa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui memalsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, baginya, adalah auterkeia, ”swasembada”. Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawa kantong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan kepada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah memberikan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir. Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergulung di pasir yang terik di musim panas dan memeluk patung yang tertutupi salju di musim dingin. Terkadang ia tinggal di sebuah bilik kecil yang disediakan salah

seorang temannya, atau, bila itu tak ada, ia akan tidur di pendopo Kuil Zeus di Athena atau di dalam pithos, bak besar di Metroum, kuil ibu dewa-dewa. Dalam sejarah filsafat barat Sokrates (470-399 SM) merupakan filsuf yang berpengaruh. Ajarannya yang terkenal adalah tentang pengenalan akan eudaimonia atau akan ‘yang baik' yang bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan. Dan ini merupakan sebuah keutamaan. Meskipun Sokrates tidak mendirikan sekolah dan menciptakan mazhab, dalam perkembangan filsafat Yunani selanjutnya muncul dua kelompok yang mengaku mengikuti ajarannya. Dua kelompok tersebut adalah mazhab hedonis yang terkenal dengan ajaran hedonisme-nya, dan mazhab sinis yang terkenal dengan sinisme-nya. Hedonisme dengan tokohnya yang terkenal Aristippos (435-355 SM) menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari ‘yang baik' atau kebahagiaan dengan kesenangan (hedone). Maksudnya kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Jadi anjuran untuk hidup ‘yang baik' berkaitan rat dengan suatu kerangka pengertian rasional tentang kenikmatan baik secara emosional maupun badaniah. Sementara itu, Sinisme beranggapan bahwa manusia memiliki keutamaan bila rela melepaskan diri dari kesenangan duniawi. Diogenes dari Sinope (412-323 SM) misalnya rela hidup di dalam gentong (kolong jembatan) untuk menunjukkan sikap radikalnya melawan kenikmatan dan kehormatan. Simbol filsafat Diogenes adalah seekor anjing, yang dalam bahasa Yunani disebut Kyon. Dari kata ‘kyon' kemudian di-Inggriskan menjadi cynic (sinis) atau cynicism (sinisme). Jadi secara etimologi (berdasarkan asal usul katanya) anjing sama dengan sinis sama dengan kyon. Menurut Diogenes anjing sangat tepat untuk dijadikan simbol filsafatnya, karena sangat dekat dengan hidup masyarakat sebagai hewan peliharaan. Kendati demikian keberadaan anjing bisa saja ‘menggonggong' bahkan ‘menggigit' siapapun. Hal yang sama dimaksudkan untuk sinismenya yang kadang tidak hanya menegur atau mengoreksi realitas, tapi bahkan lebih dari itu membongkar sebuah kemapanan. Lelaki tua, petualang dengan sebuah troli sangkar anjing, seperti yang dikisahkan di atas, bisa pula merupakan ‘penjelmaan' sinisme Diogenes. Ajarannya adalah kesaksian hidupnya yang hendak mengatakan kepada kita pentingnya ugahari. Tapi itu mungkin terlalu radikal, sehingga sinisme kadang dipandang sebagai gila.

Ada wujud sinisme yang lebih lembut dan terkesan romantik. Teman-teman mahasiswa di kampus saya kebanyakan menggunakan sepeda ontel sebagai kendaraan utama. Boleh dibilang bahwa hanya di kampus saya saja yang masih mewariskan tradisi sehat itu. Ini juga bisa ditafsirkan sebagai simbol filsafat. Ke mana-mana sepeda ontel menjadi teman seperjalanan. Suatu ketika seluruh mahasiswa dengan sepeda ontelnya pergi membagi-bagikan sembako untuk korban banjir di Kampung Melayu dan wilayah sekitar Pedongkelan. Sepeda ontel masuk lebih jauh manyapa derita dan kesengsaraan ketimbang Avanza atau Soluna yang enggan menyentuh tanah basah. Pernah pula suatu ketika kami berkampanye hidup sehat dengan bersepeda mengelilingi kota Jakarta. Sebuah ‘sinis' untuk realitas yang tidak ramah lingkungan, karena terjadi pencemaran di mana-mana yang dampaknya sangat serius. Inilah filsafat, dan beginilah berfilsafat. Ketika gagasan dan seabrek argumentasi tidak mampu menghantam ketimpangan dan pembiasaannya, maka kesaksian hidup bisa hadir menyapa dengan lebih mengena. Diogenes sudah berfilsafat dengan kyion, saya mencoba dengan sepeda ontel, atau barangkali ada yang lain?

PEMBAHASAN Tidak seperti tiga filsuf besar Yunani (Socrates,Plato,Aristotle), Diogenes tidak terlalu dikenal umum. Diogenes adalah pendiri aliran Sinisme dalam filsafat Yunani. Dia menaifkan semua kenikmatan dunia dan berpendapat bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia tidaklah perlu mempunyai apa-apa. Bagi Diogenes, manusia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari obyek yang diimpikan, yang tidak perlu atau yang sudah banyak dimilikinya. Seperti aliran yang dia ajarkan, Diogenes sendiri menjalankan hidupnya persis seperti pengemis, tidak punya apa-apa kecuali yang melekat di badan. Dan dia sangat bangga dengan keadaannya, sehingga dijuluki “si anjing” karena gaya hidupnya itu. Ada yang melihat persamaan antara perilaku Diogenes dan ajaran Kristen dan Buddhisme: memandang hidup dengan mengambil jarak dari hidup itu. Dalam salah satu kuliah filsafat di Collège de France di tahun 1984, Michel Foucault menyebut Diogenes sebagai pelopor gerakan yang menjadikan hidup sebagai ”lain”. Mungkin, kata Foucault, tema ini ikut membuka pintu bagi berkembangnya pandangan zuhud agama Kristen kemudian. Tapi sudah tentu ada beda antara Buddha, Yesus, dan Diogenes. Si Anjing menyalak keras dan bisa menggigit. Menurut sebagian orang, dari sanalah asal-usul kata ”sinis” yang kita pakai hari ini. ”Sinisisme” (cynicism dalam bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin cynicus, terjemahan atas kata Yunani kynikos, ”seperti anjing”. Dari laku para pengikut Diogenes kemudian—yang menyebalkan banyak orang—kata itu akhirnya jadi penanda sikap yang hanya mau melihat cacat manusia, bukan budi baiknya. Diogenes sendiri tak demikian. Tapi ucapan-ucapannya memang ketus. Niatnya adalah memprovokasi orang untuk bertukar pikiran. Ia mencegah mereka pasif. Ia bukan saudagar kata-kata bagus yang bisa membuat hadirin tenang dan senang. Bahkan ia bisa kurang-ajar: konon ia tak ragu untuk berak dan masturbasi di depan orang, sebagai sebuah ekspresi ”tak-ada-rasa-malu” (anaideia). Mungkin baginya ”malu” adalah bagian dari ketidakbebasan. Memang ada sikap angkuh di situ. Plato benar. Cerita yang paling terkenal tentang dia adalah kisah percakapannya dengan Yang Agung. Alexander sebagai seorang raja yang gandrung filsafat (dia adalah murid Pada suatu hari Diogenes menginjak-injak permadani miliknya, sambil berujar: ”Lihat, kuinjak-injak sikap jumawa

Plato.” Plato pun menyahut: ”Ya, Diogenes – dengan sikap jumawa yang lain.” Tapi sikap jumawa itu berkait dengan kemerdekaan diri. Kita ingat kisah yang termasyhur ini: pada suatu hari Iskandar Agung datang ke tempat si Anjing berbaring seraya berjemur. Orang kuat dari Makedonia ini memperkenalkan diri: ”Aku, Alexander Agung.” Sang filosof menjawab: ”Aku, Diogenes, si Anjing.” Ia acuh tak acuh. Kepada Iskandar ia pun berkata, kasar: ”Jangan berdiri di situ, menghalangi matahari.” Kisah ini agaknya cuma bagian dari sebuah fantasi, tapi yang penting ialah gambaran tentang hubungan kekuasaan yang tiba-tiba ternyata problematik. Foucault menguraikannya dengan cemerlang berdasarkan risalah yang dituturkan oleh Dio Prusaeus, seorang filosof yang dalam pembuangan selama 14 tahun mengikuti jalan kaum Sinis, mengembara miskin di dekat Laut Hitam, hampir dua milenium yang lampau. Dalam risalah Dio Prusaeus, status Iskandar dan Diogenes digambarkan sebagai sebuah paradoks: si Anjing yang tak punya apa-apa justru lebih tinggi tarafnya. Sebab Iskandar adalah sebuah kekurangan: ia butuh kekuasaan, dan dengan itu perlu pasukan, kekayaan, dan juga kesediaan rakyat Makedonia untuk patuh. Sebaliknya Diogenes: ia sudah dalam tahap auterkeia. Tentu saja Iskandar mampu membinasakan Diogenes yang kurang ajar itu. Tapi si Anjing menghadirkan sebuah dilema, ketika ia berkata: ”Kau punya kemampuan dan sanksi hukum untuk membunuhku. Tapi cukup beranikah kamu untuk mendengarkan apa yang benar dari mulutku, atau kau pengecut?” Di sini sebuah ”permainan parrhesiastik”, di mana kemerdekaan bicara berlangsung, dijalankan dengan penuh risiko. Tapi pada akhirnya tampak, kekuasaan sang raja bukanlah satu-satunya kekuasaan. Ada kekuasaan ala Diogenes—sebuah titik nol dalam bak kosong yang mengandung kekuatan tersendiri. Itu sebabnya teman saya tak ingin jadi presiden. Meskipun ia tak menjalani hidup zuhud seperti kaum Sinis, ia tahu ada ukuran tentang kekuasaan-dan-kekuatan yang berbeda-beda yang harus diakui dalam hidup masyarakat. Ia kembali bercerita tentang si Anjing. Pada suatu hari, di sebuah pertandingan atletik dan lomba kuda, Diogenes datang untuk meletakkan mahkota pemenang di kepalanya sendiri. Ketika ia hendak diusir, ia menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena ia telah berhasil memenangi sebuah ”lomba”: ia telah mengatasi kemiskinan,

pengasingan, dan putus asa. Bukankah hal itu lebih sulit ketimbang melempar cakram, bertanding gulat, dan lari cepat? Membuat kekuasaan dan ukurannya jadi beragam—dan menunjukkan bahwa kekuasaan itu bisa hinggap di mana-mana—itulah sebenarnya yang dicapai Diogenes. Mungkin karena menyadari hal ini konon Iskandar pernah berkata: ”Seandainya aku bukan Iskandar, aku ingin jadi Diogenes.”

PENUTUP Kira-kira 2300 tahun yang lalu, ada seorang yang bernama Diogenes, di kota Athena di tengah-tengah matahari begitu terang benderang di tengah-tengah siang bolong dia jalan kaki dengan membawa lampu sehingga orang-orang begitu heran, matahari terbit begini terang engkau membawa lampu untuk apa? Tetapi dia tidak banyak omong. Dia mengatakan, "Cahaya matahari tidak cukup terang karena saya belum menemukan orang baik, saya memerlukan tambahan lampu ini sehingga dengan tambahan lampu ini saya berharap boleh menemukan orang yang benar di dalam dunia". Dia terus memikirkan terang di dunia itu, di mana? Terang dunia itu di angkasa, kah? Matahari, kah? Cahaya lampu, kah? Siapa yang bisa memberikan pengharapan dan cahaya kepada manusia? Dia orang yang sangat sederhana sehingga suatu hari tidur di dalam tong yang besar sekali dan hanya mendapatkan cahaya matahari yang lewat melalui lubang gentong itu ke dalam dia. Mendadak dia merasa menjadi gelap dan dia melihat sesuatu di luar gentong itu, ada sesuatu yang besar. Siapakah dia? Itu adalah kaisar, Raja Iskandar yang agung. Mendengar nama filosof Diogenes, maka raja itu datang mencari dia, raja itu ingin mengetahui ada orang yang minta terang tetapi dia memakai lampu kecil, jalan-jalan di kota, mau mencari kebenaran. Waktu kaisar itu datang mencari dia, orang-orang mengatakan itu yang ada di dalam gentong. Pada waktu kaisar muda itu berdiri di depannya ia berkata, "Kaukah Diogenes itu? Engkaukah filosof itu?" Dia tidak menjawab. Orang yang jadi raja, kalau mau mencari satu orang, orang itu adalah orang yang berbahagia, tapi bagi filosof ia tidak peduli dia raja atau orang biasa, tidak ada hubungan dengan saya. Maka dia mengatakan "Kaisar Iskandar, silakan pergi dari sini, jangan menghalangi matahari, saya memerlukan terang". Saya kira ajaran dari Diogenes menjadi inspirasi yang tidak habis-habis di dalam sejarah, bahwa manusia memerlukan terang cahaya, yang terus menerus memerlukan pengharapan yang abadi. Tetapi di dalam sejarah tidak ada satu orang pun yang cahayanya cukup untuk memberikan pengharapan kepada manusia. Itu sebabnya di dalam theologi reformed, di dalam Westminster Confession of Faith ada kalimat penting yang mengatakan the natural light is not adequate maksudnya cahaya alamiah itu tidak cukup.

Dari Sokrates, Kong Fu Chu, Aristotles, Plato, pengajar-pengajar, pendidik-pendidik yang besar di dalam dunia tidak pernah memberikan kepuasan kepada manusia. Itu sebabnya manusia memerlukan cahaya yang lebih besar daripada cahaya-cahaya itu. Tetapi cahaya yang lebih besar itu, siapa? Alkitab mengatakan cahaya yang lebih besar itu Yesus Kristus. Karena Dia adalah terang dunia. Di dalam Yohanes 1:4 dikatakan: "Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia". Pasal 9:5 mengatakan : "Akulah terang dunia". Di dalam bahasa Grika bentuknya singular, artinya Dia adalah terang satu-satunya dan terang itu menjadi suatu cahaya, pengharapan bagi umat manusia. Mengapa Yesus Kristus menjadi pengharapan dunia? Di dalam Yesus Kristus pengharapan apakah yang diperoleh? Apakah yang kita terima dari Yesus Kristus yang tidak ada di dalam Kong Fu Chu? Apakah yang kira terima dari Yesus Kristus yang tidak kira terima dari Sokrates? Apakah yang kira terima dari Yesus Kristus yang tidak ada di dalam Sidharta Gautama? Apakah yang kita terima dari Yesus Kristus yang tidak ada di dalam Musa? Apakah yang kita terima dari Yesus Kristus yang tidak ada di dalam Muhamad? Apakah yang kita terima dari Yesus Kristus yang tidak ada di dalam filsuffilsuf lain? Jikalau Yesus terang dunia, jikalau Yesus pengharapan dunia, jikalau Yesus satu-satunya yang membawa manusia kepada Allah. Apakah kelebihan dari Yesus Kristus? Ini pertanyaan yang begitu kritis, menjadi pertanyaan yang begitu dasar dan menjadi pertanyaan yang begitu prinsipal di dalam hidup pribadi saya sendiri. "Di antara semua orang yang kudus kepada siapakah engkau harus berpaling?" Ini pertanyaan yang ditanyakan di dalam buku Ayub lebih 3500 tahun yang lalu. Ini berarti pertanyaan yang abadi dari jaman ke jaman, Among all the saint, which one should you turn yourself to follow? Di antara semua orang suci yang begitu banyak, mereka semua orang agung, pendiri- pendiri agama, pendiri-pendiri aliran filsafat, pendiri-pendiri dari bapak-bapak kebudayaan, mereka semua adalah orang yang pintar, agung, orang yang punya pikiran yang luar biasa. Tetapi apakah mereka hidupnya suci? Jawabnya adalah tidak. Jikalau mereka hidupnya betul- betul suci, maka Alkitab bertanya: "Di antara semua orang suci yang ada, kepada siapa engkau harus berpaling? Kita harus menerima, siapa? Kita harus percaya, siapa? Kita harus mengikuti, siapa?"

Pertama-tama yang harus diperhatikan: Di antara semua orang agung yang saya sebut dan sebagian yang belum saya sebut, perhatikan bahwa tidak ada satu orang yang hidup tidak berdosa. Ayub yang begitu suci mengatakan sendiri: "Dosaku lebih tinggi daripada kepalaku". Daud yang begitu berkenan di hadapan Tuhan, mengatakan: "Sesungguhnya dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku (Mzm. 51:7). Kong Fu Chu sendiri berkata, "Jikalau menambah umurku 5 tahun atau sepuluh tahun sehingga aku lebih banyak mempelajari kitab 'I Ching', maka aku dihindarkan daripada perbuatan kesalahan-kesalahan yang besar. Sokrates mengetahui dirinya adalah orang yang tidak sempurna maka ia mengajar: "Manusia harus menuntut, mengejar akan kebenaran dan kebajikan". Orang yang saya sebut adalah orang-orang agung yang suci tetapi mereka sendiri mengaku bahwa mereka sendiri adalah orang berdosa. Kedua, di antara semua orang suci tidak ada satu yang seperti Yesus Kristus. Bahkan dia mengatakan suatu tantangan: "Come and follow me". Tidak ada satu orang yang berkata: "Datang, marilah ikuti aku". Karena apa? Karena mereka sendiri mengakui bahwa, mereka sendiri sedang mencari, sedang menunggu, sedang mengejar sesuatu yang tidak ada di dalam diri mereka. Jadi para pemimpin agama tahu bahwa mereka bukan kebenaran, mereka adalah orang yang sadar diri, orang yang berdosa dan mereka memerlukan kebenaran, mereka tidak suci, mereka adalah orang berdosa yang sadar diri tidak suci dan mereka menuntut, mencari, melatih, bermeditasi, dan menjadikan diri supaya lebih suci. Maka mereka tidak berani mengatakan: "Ikutlah aku, ikutlah teladanku, akulah contohmu". Tidak pernah keluar dari mulut Kong Fu Chu, Sokrates, Sidharta, Muhamad, atau pendiri agama yang lain yang berkata: "Ikutlah aku!" Kecuali Yesus Kristus, Karena hanya Yesus satu-satunya yang berkata: "Come and follow me". Karena Dia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia.

Related Documents

Filsafat
November 2019 56
Filsafat
June 2020 38
Filsafat
December 2019 60
Filsafat
August 2019 58
Filsafat
June 2020 32
Filsafat
November 2019 49

More Documents from ""