Anemia hemolitik autoimun Diposkan oleh Darman Rasyid Baido di 18.21 Rabu, 24 November 2010 Label: Artikel Ilmu Penyakit Dalam Anemia Hemolitik adalah Kelainan dapatan dimana terbentuk Autoantibodi IgG , yang akan mengikat membran eritrosit. Antibodi ini biasanya langsung melawan komponen dasar sistem Rh yang terdapat pada semua eritrosit manusia. Ketika antibodi IgG melingkupi eritrosit, bagian Fc antibodi dikenali oleh makrofag lien, dan bagian yang lain dikenali oleh sistem retikuloendotelial. Interaksi antara makrofag lien dan eritrosit yang terlingkupi antibodi menyebabkan rusaknya membran eritrosit dan pembentukan sferosit karena penurunan rasio permukaan dengan volume eritrosit Selsel sferosit ini mengalami penurunan kelenturan dan akan terjebak dalam pulpa merah lien , karena tidak mampu melewati fenetrasi yang berdiameter kecil. Jika pada eritrosit terdapat IgG dalam jumlah yang banyak, mungkin komplemen dapat menahannya. Lisis sel langsun g jarang terjadi, namun adanya C3b pada permukaan menyebabkan sel kupffer dalam hepar ikut berperan dalam proses hemolitik karena pada sel Kupffer terdapat reseptor C3b.
Kurang lebih separuh kasus anemia hemolitik autoimun untuk bersifat idiopatik. Kelainan ini juga bisatampak sehu bungan denagan Systemic Lupus Eritematosus ( SLE ) leukemia limfositik kronis atau limfoma. Hal ini harus dibedakan dengan Anemia hemolitik akibat terinduksi obat. Metildopa sering menstimulasi produksi autoantibodi dengan spesifitas sama dengan anemia hemolitik autoimun idiopatik. Obat-obatan yang lain ( penisilin, Kuinidin ) melingkupi membran eritrosit, dan antibodi langsung melawan komplek membran-obat.
Tes antiglobulin Coomb menjadi dasar diagnosis kelainan hemolitik imun ini. Reagen coomb adalah an tibodi IgM kelinci yang dikuatkan melawan IgG manusia atau komplemen manusia. T es coomb direk dilakukan dengan cara mencampur eritrosit pasien dengan reagen coomb dan dicari ad anya aglutinasi, yang menunjukkan antibodi pada permukaan eritrosit. Tes coomb indirek dilakukan dengan mencampur serum pasien dengan panel eritrosit O setelah inkubasi, ditambahkan reageen Coomb. Adanya aglutinasi menunjukkan adan ya antibodi bebas dalam serum pasien. Karena tes Coomb tradisional menggunakan Aglutinasi yang terlihat sebagai hasil akhi r, tes ini tidak terlalu sensitif dan tidak dapat mendeteksi anemia hemolitik imun jika pada eritrosit hanya terdapat IgG dalam jumlah yang kecil. Tes yang lebih sensitif ( mikro coomb ) sekarang telah tersedia.
Gambaran Klinis :
Anemia Hemolitik autoimun sering menimbulkan anemia dengan onset cepat dan da pat mengancam jiwa. Pasien mengeluhkan mudah lelah dan mungkin bersama angina atau gagal jantung kongestif. pada pemeriksaan biasanya didapatkan splenomegali dan ikterus. Jika pasien memiliki kelainan lain seperti SLE atau leukemia limfositik kronik , dijumpai juga gambaran penyaki-penyakit tersebut.
Hasil Laboratorium Derajat Anemia bervariasi, tapi mungkin berat, dengan hematokrit kurang dari 10 % biasanya didapatkan retikulositosis dan tampak sferosit pada apusan darah tepi. Pa da kasus hemolisis berat sumsum tulang yang tertekan mungkin melepaskan eritrosit yang berinti. seperti halnya kel ainan hemolitik lain, bilirubin indirek meningkat. Kurang lebih 10 % pasien anemia hemolitik autoimun mempunyai koinsiden trombositopenia imun Syndrom Evans ).
Tes Coomb direk memberikan hasil positif sedangkan tes coomb indirek mungkin positif atau mungkin tidak. Tes coomb indirek positif menunjukkan adanya autoantibod i dalam jumlah besar yang memiliki ikatan tersaturasi dalam eritrosit, dan sebagai akibatnya tampak dalam serum. pasien dengan anemia hemolitik Sferositik dapatan yang mungkin merupakan v arian autoimun dan tes Coomb-nya negatif, harus diperiksa dengan tes mikro-coomb ( dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pada 10 % kasus ) karena serum pasien biasanya mengandung autoantibodi, sulit untuk mendapatk an donor yang cocok . ketersediaan donor perlu diseleksi dengan metode laboratorium khusus. Terapi Terapi awal yang digunakan ialah Prednison, 1-2 mg/kgbb/hari dalam dosis yang terbagi. sebagian besar darah transfusi dapat bertahan sebaik eritrosit pasien itu sendiri. Meski begitu karena sulitnya melakukan Crossmatch, mungkin darah yang diberikan ternyata tidak cocok, sehingga pasien perlu dim onitor selama transfusi. keputusan transfusi harus dibuat dengan konsultasi hematologis. Jika Prednison tidak efektif atau jika penyakit kambuh saat penurunan ( tapering ) dosis, harus dilakukan splenektomi. Pasien anemia hemolitik autoimun yang terhadap resisten prednison dan tidak dapat dilakukan Splenektomi, bisa diterapi dengan agen imunosupresif, seperti siklofosfamid, azatiopirin atau siklosporin. Danazol dengan dosis 600-800 Mg/ hari mungkin efektif, meski tidak seefektif jika digunakan untuk trombositopenia imun . Imunoglobulin dosis tinggi yaitu 500 Mg/kg/ hari selama 4 - 5 hari. yang diberikan intravena sangat efektif dalam mengontrol hemolisis. Namun hal i tu hanya berlangsung singkat ( 13 minggu ) dan obat ini sangat mahal. terapi dengan Igiv hanya diberika jika prednison merupa
kan kontraindikasi. Prognosis jangka panjang pasien cukup baik, tindakan splenektomi sering berhasil mengontrol kelainan ini