417509_kelompok 11 Produk-produk Pa Dan Eksekusinya.docx

  • Uploaded by: Muhammad Ulil Amri
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 417509_kelompok 11 Produk-produk Pa Dan Eksekusinya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,112
  • Pages: 11
BAB II PEMBAHASAN A. Produk-Produk Peradilan Agama 1. Putusan a. Pengertian Putusan Penjelasan pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: “Putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa”. Sedangkan Drs. H. A. Mukti Arto, S. H. memberi definisi terhadap putusan, yaitu: “Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan”. Kemudian Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., menerangkan lebih lanjut tentang pengertian putusan ini sebagai berikut: “Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-Qada’u (Arab) yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau jurisdicto contentiosa”. Jadi, pengertian putusan secara lengkap dapat dirumuskan sebagai berikut: “Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu produk pengadilan (agama) sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.” Putusan peradilan perdata, termasuk peradilan agama, selalu membuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, dan menghukum sesuatu. Jadi, diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan. Perintah dari pengadilan ini,

jika tidak dilaksanakan dengan sukarela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut eksekusi. 1

2.

Penetapan a. Pengertian Penetapan Penjelasan pasal 60 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 memberi definisi tentang

penetapan sebgaia berikut: “Penetapan ialah keputusan pengadilan atas perkara permohonan” Penetapan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan/voluntair. Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan dengan jurisdicto voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan. Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak berbunyi “menghukum” melainkan hanya menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire). 2

B. Perbedaan Putusan dengan Penetapan 1. Dilihat dari ada tidaknya gugatan Sebelum dikeluarkan suatu putusan oleh hakim pada pengadilan, penggugat mengajukan gugatan atas perkara yang merugikan dirinya yang ditujukan untuk tergugat kepada pengadilan yang berwenang. Pada penetapan, sebelum dikeluarkannya penetapan oleh Hakim, pemohon mengajukan permohonan atas perkara yang akan ia ajukan ke pengadilan.

1

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.156-157. 2 Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 205-206

2. Para pihak yang berperkara Di dalam putusan, pihak yang berperkara ada dua yaitu penggugat dan tergugat. Penggugat adalah seseorang yang merasa atau memang haknya dilanggar oleh seseorang sedangkan tergugat adalah seseorang yang dilaporkan oleh penggugat karena penggugat merasa dilanggar haknya oleh tergugat. Di dalam penetapan, pihak yang berperkara hanya ada 1, yaitu pemohon dimana pemohon itu sendiri adalah pihak yang menganggap hak dan/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu Perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, Badan hukum Publik atau privat, dan/ atau Lembaga negara. 3. Kata-kata penegasan yang dipakai Di dalam putusan, hakim menggunakan kata mengadili dimana kata itu digunakan untuk mempertegas bahwa tergugat bersalah dan harus membayar ganti rugi materiil atau immateriil kepada penggugat sebagai pihak yang dirugikan haknya. Sedangkan di dalam penetapan, hakim hanya menggunakan kata menetapkan untuk memutuskan perkara yang diajukan oleh para pemohon. 4. Berdasarkan artinya Putusan disebut dengan jurisdiction contentiosa karena adanya pihak tergugat dan penggugat sebagaimana ada dalam pengadilan yang sesungguhnya. Penetapan disebut dengan jurisdiction valuntaria karena yang ada di dalam penetapan hanyalah pemohon dan untuk selanjutnya disebut dengan pemohon I dan pemohon II. 5. Ada tidaknya konflik atau sengketa Jauh sebelum adanya gugatan dan putusan, ada sengketa atau konflik yang menimbulkan gugatan dan putusan tersebut sedangkan sebelum ada penetapan tidak ada konflik atau sengketa yang melatarbelakangi munculnya penetapan itu.

C. Pengertian Eksekusi Pelaksanaan

putusan/eksekusi

adalah

putusan

pengadilan

yang

dapat

dilaksanakan, yaitu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berarti

putusan tersebut sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Pengadilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama di atas adalah: 1. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan. 2. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusanputusannya. Pelaksanaan putusan hakim dapat secara sukarela atau secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara. Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.3

D. Macam – Macam Eksekusi Menurut Sudikno Mertokusumo 4 , ada 3 macam bentuk pelaksanaan putusan atau eksekusi, antara lain:5 1. Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan pasal 208 Rbg dimana seorang dihukum untuk Membayar sejumlah uang. Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang

3

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.174 4 Yang dikutip oleh Dr. Abdul manan SH,SIP, M.Hum dalam bukunya “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” 5 Ibid.

tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial. 2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg dimana seorang dihukum untuk Melaksanakan suatu perbuatan. Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan. Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Agama mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka. 3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap, yang disebut eksekusi riil yang diatur dalam pasal 1033 Rv. Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.6 Sementara dalam bukunya Sulaikin Lubis dkk. menambahkan satu lagi bentuk eksekusi yaitu Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang yang terdapat dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2 R.Bg.7 Mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang, isi ketentuan pokoknya antara lain: 1. Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang; 2. Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau; 3. Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;

6

Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan pada tanggal 29 September 2009 dari http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-hakimeksekusi%E2%80%9D/ dan diakses pada tanggal 22 November 2018 pukul 19.27 7 Hj. Sulaikin Lubis, SH., MH., et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet. 3, (Jakarta; Kencana, 2008) hlm.175.

4. Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan; 5. Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak bergerak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari; 6. Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan; 7. Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli; 8. Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli. PUTUSAN YANG DAPAT DIEKSEKUSI Di dalam dunia peradilan, putusan yang dapat dieksekusi ada beberapa jenis atau syaratsyarat pelaksanaannya, yaitu: 1.

Putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.

Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat. Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan. Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh

pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum.8 Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela. Pengecualian terhadap jenis putusan ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah: a. Pelaksanaan Putusan Serta Merta, Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad) Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi. b. Pelaksanaan Putusan Provisional Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului). c. Akta Perdamaian. Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa. d. Eksekusi terhadap Grosse Akta Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.9 2.

8

Putusan Tidak dijalankan secara Sukarela

M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6. 9 Ibid, hlm. 7-9.

Putusan yang dimaksud adalah dikarenakan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua Pengadilan Agama. Ada dua cara menjalankan isi putusan, yaitu: 1. Secara Sukarela Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi). Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim. Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral. 2. Menjalankan Putusan dengan jalan Eksekusi Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan. Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit. 3.

Putusan yang dapat dieksekusi bersifat Kondemnator

Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Noneksekutabel). Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: a) Putusan Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi “Menghukum dan seterusnya”; b) Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum, dan c)

Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.10

4.

Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama

10

Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hlm. 127.

Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.11 E. Masalah – Masalah saat Pelaksanaan Eksekusi Penegakan Hukum merupakan titik krusial dalam pengamalan supremasi hukum dan keadilan. Penegasan dalam Undang-undang 1945 setelah adanya perubahan keempat, bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum, dalam pelaksanaannya ternyata belum dapat terselenggara dengan baik Mekanisme ataupun proses penegakan hukum, yang sesungguhnya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, ternyata masih menemui kendala- kendala serius di lapangan. Sehingga hakekat dan makna penegakan hukum menjadi pudar. Warga masyarakat menjadi apatis tentang pelaksanaan penegakan hukum. Dan Negara hukum, semakin kehilangan kewibawaannya. Sebagai institusi terakhir dalam penegakan hukum, tidak lain adalah jajaran peradilan, Lembaga peradilan, tercakup dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman. Menurut pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat lingkungan peradilan dan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang menjadi titik sentral dalam artian selalu menarik perhatian warga masyarakat luas, baik pihak pencari keadilan maupun para pakar, dan pecinta keadilan, tidak lain di lingkungan peradilan umum. Pelaksanaan putusan peradilan di lingkungan peradilan umum, yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana dan perdata masih sering diwarnai berbagai kendala, serta didiragukan ada yang bertentangan dengan keadilan, dan supremasi hukum. Putusan-putusan yang dapat dieksekusi ini berupa gresse (salinan resmi) dari minut (asli) putusan yang sudah mempunyai kekuasaan hukum pasti. Yang lain menurut sebagian pendapat orang tidak diatur dalam HIR tetapi dikenal dalam praktek adalah

11

M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991),hlm. 18.

eksekusi riil (R.V Pasal 1033) yang dapat diperbandingkan dengan pasal 200 (11) HIR/218 (2) RBg. Yang pertama : Eksekusi mengenai hukuman terhadap pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang ((HIR pasal 296/RBg pasal 208). Yang kedua : Eksekusi mengenai hukuman terhadap pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan perbuatan tertentu (HIR pasal 225/RBg pasal 259) Eksekusi sebagai tindakan hokum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hokum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg (Yahya Harahap 1993 : 1)

Beberapa masalah kasus eksekusi : 1. Terkesekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar. 2. Pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai dengan : a. Eksekusi ditunda apabila penolakan diajukan sebelum eksekusi dijalankan. b. Eksekusi dijalankan terus apabila penolakan diajukan pada saat eksekusi sedang dijalankan. 3. Kedua belah pihak menolak dieksekusi a. Eksekusi segera diberhentinan, apabila keadaan eksekusi belum terlampau jauh dilaksanakan. b. Eksekusi terus diselesaikan jika penolakan diajukan pada saat eksekusi sudah hampir selesai. 4. Amar putusan kurang jelas. a. Eksekusi dikaitkan dengan pertimbangan keputusan b. Bila ukuran dan batas tidak jelas, lakukan pemeriksaan setempat. c. pendapat majelis yang memutuskan. d. Menanyatakan noneksekutabel atas alasan amar putusan tidak jelas. 5. Luas tanah berbeda dengan amar. 6. Amar meliputi pihak yang tidak digugat. 7. Eksekutorial Verkoop meliputi seluruh harta debitur. 8. Sita eksekusi dan lelang lanjutan. 9. Eksekusi dikaitkan dengan banding dan kasasi yang terlambat.

Menangkan

10. Eksekusi terhadap tergugat yang tidak banding atau kasasi. 11. Mengulang eksekusi yang keliru. 12. Perampasan kembali sesudah eksekusi selesai. 13. Eksekusi berdasar harga pasaran.12

12

LAPORAN AKHIR TIM PENELITIAN HUKUM TENTANG MASALAH HUKUM PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI, Jakarta, 2015.

Related Documents

Pa-11: F&m Poll
October 2019 16
Pa
May 2020 33
Pa
May 2020 39
Pa
June 2020 34
Pa
June 2020 33

More Documents from "Abdul majid sinaga"