3. Sistema Respirasi .docx

  • Uploaded by: Feby Ferdina
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3. Sistema Respirasi .docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,795
  • Pages: 11
LAPORAN KEGIATAN PPDH ROTASI INTERNA HEWAN KECIL SISTEMA RESPIRASI

Disusun oleh : FEBY FERDINA, S.KH

(170130100011008)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

SISTEMA RESPIRASI Canine Sinonasal Aspergillosis  PENDAHULUAN Sinonasal aspergillosis (SNA) adalah penyakit kedua terbesar yang menyebabkan nasal discharge pada anjing setelah nasal neoplasia, SNA adalah penyakit mikotik yang tersebar diseluruh dunia yang ditandai dengan adanya lesi diantara cavum nasal dan sinus frontais. SNA berhubungan dengan respirasi bagian atas dan paru-paru. SNA biasanya terjadi pada anjing dolichocephalic, pertengahan usia dan berukuran yang besar. Gejala klinis Sinonasal aspergillosis (SNA) menunjukkan adanya discharge mucopulurent atau discharge darah, bersin, kesakitan ketika dipalpasi dan depigmentasi atau ulser unilateral/bilateral.  TINJAUAN PUSTAKA a. Etiologi Aspergillus merupakan jamur yang bersifat saprofit. Genus Aspergillus terdiri lebih dari 190 spesies, namun hanya beberapa yang terlibat dalam infeksi opportunistic, diantaranya Aspergillus fumigatus merupakan spesies yang paling sering menginvasi jaringan, A. flavus, A. niger, A. terreus, A. deflectus, A. nidulans, dan A. flavipes sifatnya aerobic dan tumbuh cepat, membentuk koloni setelah inkubasi. Infeksi respiratori sering terjadi karena menghirup spora dan menyebabkan trauma pada jaringan. b. Gejala Klinis Gejala klinisnya berupa lethargy, nyeri hidung, ulcer pada mukosa hidung, frontal sinus osteomyelitis, bersin, purulen nasal discharge yang tidak berespon terhadap antibiotik, epistaxis dan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini dapat terjadi pada rongga hidung maupun sinus paranasal. Terjadi kerusakan pada os turbinatio dengan gambaran radiografi berupa peningkatan radiolusen pada os turbinatio. Kerusakan tersebut dapat berlanjut menjadi penetrasi pada otak. Faktor predisposisinya adalah imunosupresi, paparan spora dalam jumlah banyak dan trauma pada wajah.

c. Patogenesa Conidia yang mengandung spora berukuran cukup kecil yaitu 2 sampai 3 µm dapat mencapai alveoli paru-paru dan paparannya terjadi melalui inhalasi. Infeksi pada jamur ini tergantung dari sistem imun dan faktor virulensi dari organisme jamur. Aspergillus spp menstimulasi reseptor permukaan sel fagositik toll-like receptor (TLR)-4. Kemudian conidia tersebut menyebabkan makrofag memproduksi sitokin pro inflamasi seperti tumour necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1α and IL-1β. Hyphae menghasilkan produksi IL-10 melalui jalur TLR-2, hal ini menyebabkan mekanisme host protektif ketika terdapat adanya antigen dan produksi mediator inflamasi maka sistem imun innate memberikan perintah ke sistem imun adaptif untuk memberikan perlindungan yang panjang. Sel dendritik menangkap dan memproses antigen jamur dengan mengekspresikan limfosit dan bermigrasi ke ogan limfoid untuk mensekresikan sitokin dan menstimulasi respon imun adaptif. Sitokin yang dilepaskan memberikan perlindungan dengan menghasilkan CD4 + limfosit T menjadi sel T-helper (Th) -1 atau Th-2, Sel T helper 1 menghasilkan Interferon (IFN)-γ, IL-6, TNF-α and IL-12 sedangkan, Th-2 menghasilkan IL-4 dan IL-10. Respon Th-1 memberikan perlindungan hanya dengan infeksi ringan atau tanpa gejala terjadi, sedangkan respon Th-2 terjadi pada kejadian yang parah atau alergi. Aspergillus spp menghasilkan produk sekretorik dan memiliki bebagai jenis toxin yang dapat mengurangi fungsi mukosiliar, hal ini menyebabkan jamur dapat dengan mudah mencapai permukaan epitel dan menghasilkan kerusakan dan berpotensi untuk invasi. Invasi tersebut menyebabkan pertumbuhan jamur di jaringan hospes melalui extraseluler matrix dan serum protein termasuk laminin, fibronektin, kolagen, fibrinogen dan complement komponen C3. Metabolisme jamur tersebut menyebabkan terganggunya proses fagositosis dalam menghancurkan konidia dan hifa. Sistem imun alamiah akan berusaha menyingkirkan spora mulai dari lapisan mukosa dan gerakan silia pada saluran pernapasan. Selanjutnya, jika spora sudah terlanjur masuk, akan ada perlawanan dari makrofag dan netrofil melalui fagositosis. Beberapa spesies Aspergillus memproduksi metabolit toksin yang menghambat proses fagositosis ini.

 STUDI KASUS A. SIGNALEMENT 

Jenis Hewan

: Anjing



Ras/Breed

: Rottweiler



Umur

: 18 Bulan



Jenis Kelamin

: Jantan

B. ANAMNESA Anjing mengalami keluhan adanya discharge purulen dari hidung becampur dengan darah dan bersin selama 6 bulan lamanya, sudah diterapi dengan menggunakan antibiotik tetapi tidak ada peubahan dan terjadi penurunan berat badan sampai 10 kg. C. PEMERIKSAAN FISIK Pada

saat

pemeriksaan

fisik

ditemukan

adanya

discharge

bilateral

sanguinopurulent dari hidung, depigmentasi pada hidung dan kulit (regio paranasal).

Purulen nasal discharge, depigmentasi pada hidung dan kulit (regio paranasal)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 

X-Ray

Gambar 2. Gambaran x-ray posisi latero-lateral dan ventrodorsal menunjukkan gambaran berkurangnya radiolusensi pada lubang hidung sebelah kiri hal ini mengindikasi adanya destruksi pada concha nasal. 

Rhinoscopy

Gambar 3. Gambaran rhinoscopy yang menunjukkan adanya discharge purulen dan terdapat masa berwarna gelap pada sinus frontal



Pemeriksaan Mikroskopis

Gambar 4. Gambran mikroskopis dengan perbesaran 400 x, menunjukkan adanya Aspergillus hyphae dan sel-sel inflamasi.

Gambar 5. Gambaran mikroskopis aspergillus fumigatus diisolasi dari kultur sinus nasal frontalis



UJI SEROLOGIS (ELECTRO-SYNERESIS)

Gambar 6. Electrosyneresis pada Plate Selulosa Asetat menunjukkan pada strip ketiga (atas ke bawah) formasi banyak lengkungan curah hujan yang menunjukkan hasil positif, khususnya bila dibandingkan dengan strip keempat (antigen kontrol metabolik). E. DIFFERENTIAL DIAGNOSA Penentuan diagnose banding dilakukan dengan cara melihat gejala klinis yang mirip satu sama lainnya dengan penyakit Canine Sinonasal Aspergillosis (SNA), sehingga dalam hal ini diagnosa banding sebagai berikut: 1. Rhinitis Purulenta Pada penyakit ini tanda-tanda klinis yang terlihat seperti bersin, nasal discharge, hidung tersumbat atau perdarahan hidung, sedangkan Rhinitis purulenta disebabkan karena adanya infeksi dari bakteri dan pada pemeriksaan penunjang tidak ada pertumbuhan bakteri, sehingga diagnosa banding Rhnitis purulenta dapat dieliminasi.

2. Neoplasia Pertumbuhan jaringan berlebihan pada cavum nasal yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum. Gejala klinis pada cavum nasal berupa obstruksi hidung. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Tetapi dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan rhinoskopi tidak ditemukan adanay benda asing atu pertumbuhan jaringan yang berlebihan sehingga diagnosa banding dari neoplasi bisa dieliminasi.

F. DIAGNOSA Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaa penunjang menunjukkan bahwa anjing tersebut mengalami Canine Sinonasal Aspergillosis (SNA) G. PENGOBATAN Itraconazole 5 mg/kgBB secara per oral 2 kali sehari selama 30 hari H. PROGNOSA Fausta  PEMBAHASAN Sinonasal Aspergillosis sering terjadi pada anjing dengan ras dolichocephalic dan mesaticephalic pada usia muda hingga dewasa. Golden retriever dan collie merupakan ras yang beresiko tinggi dibandingkan ras lainnya. Jarang terjadi pada kucing, spesies yang paling sering menyebabkan nasal Aspergillosis adalah A. fumigatus. Gejala klinisnya berupa lethargy, nyeri hidung, ulcer pada mukosa hidung, frontal sinus osteomyelitis, bersin, purulen nasal discharge yang tidak berespon terhadap antibiotik, epistaxis dan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini dapat terjadi pada rongga hidung maupun sinus paranasal. Sinonasal Aspergillosis dapat terjadi pada saluran respirasi bagian atas maupun bawah karena Aspergillosis merupakan infeksi opurtunistik, paling sering terjadi pada paru-paru, dan disebabkan oleh spesies Aspergillus yaitu Aspergillus fumigatus, jamur yang terutama ditemukan pada pupuk kandang dan humus. Spora spesies ini dapat diisap masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan infeksi kronik kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh (Agarwal, dll. 2013)

Conidia yang mengandung spora berukuran cukup kecil yaitu 2 sampai 3 µm dapat mencapai alveoli paru-paru dan paparannya terjadi melalui inhalasi. Infeksi pada jamur ini tergantung dari sistem imun dan faktor virulensi dari organisme jamur. Aspergillus spp menstimulasi reseptor permukaan sel fagositik toll-like receptor (TLR)-4. Kemudian conidia tersebut menyebabkan makrofag memproduksi sitokin pro inflamasi seperti tumour necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1α and IL-1β. Hyphae menghasilkan produksi IL-10 melalui jalur TLR2, hal ini menyebabkan mekanisme host protektif ketika terdapat adanya antigen dan produksi mediator inflamasi maka sistem imun innate memberikan perintah ke sistem imun adaptif untuk memberikan perlindungan yang panjang. Sel dendritik menangkap dan memproses antigen jamur dengan mengekspresikan limfosit dan bermigrasi ke ogan limfoid untuk mensekresikan sitokin dan menstimulasi respon imun adaptif. Sitokin yang dilepaskan memberikan perlindungan dengan menghasilkan CD4 + limfosit T menjadi sel T-helper (Th) -1 atau Th-2, Sel T helper 1 menghasilkan Interferon (IFN)-γ, IL-6, TNF-α and IL-12 sedangkan, Th-2 menghasilkan IL-4 dan IL-10. Respon Th-1 memberikan perlindungan hanya dengan infeksi ringan atau tanpa gejala terjadi, sedangkan respon Th-2 terjadi pada kejadian yang parah atau alergi. Aspergillus spp menghasilkan produk sekretorik dan memiliki bebagai jenis toxin yang dapat mengurangi fungsi mukosiliar, hal ini menyebabkan jamur dapat dengan mudah mencapai permukaan epitel dan menghasilkan kerusakan dan berpotensi untuk invasi. Invasi tersebut menyebabkan pertumbuhan jamur di jaringan hospes melalui extraseluler matrix dan serum protein termasuk laminin, fibronektin, kolagen, fibrinogen dan complement komponen C3. Metabolisme jamur tersebut menyebabkan terganggunya proses fagositosis dalam menghancurkan konidia dan hifa. Sistem imun alamiah akan berusaha menyingkirkan spora mulai dari lapisan mukosa dan gerakan silia pada saluran pernapasan. Selanjutnya, jika spora sudah terlanjur masuk, akan ada perlawanan dari makrofag dan netrofil melalui fagositosis. Beberapa spesies Aspergillus memproduksi metabolit toksin yang menghambat proses fagositosis ini. Aspergillus secara mikroskopis menunjukkan adanya tangkai konidia (konidiofora), vesikel dan spora/konidia berbentuk bulat berwarna hijau kebiruan. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan adanya tangkai konidia (konidiofora) pendek halus berwarna kehijauan, kepala konidia (vesikel) berbentuk seperti gada (clavate) dan bulat, dan menjadi lonjong (columnar) dengan bertambahnya umur koloni. Sterigmata tampak menutupi setengah bagian atas dari vesikel. Spora/konidia berbentuk bulat, berwarna kehijauan, dan permukaan bergerigi (echinulate) (Redig,

2005). Aspergillus fumigatus koloni muncul sebagai filamen putih kemudian berubah warna hijau tua atau hijau gelap dengan pinggiran putih dan permukan bawah koloni berwarna kekuningan sampai coklat. Koloni Aspergillus fumigatus yang tumbuh berwarna hijau kebiruan, diameter 1-2 cm, permukaan koloni seperti beludru (velvety) (Akan et al., 2002). Aspergillus niger berwarna koloni hitam dengan pinggiran putih dan permukaan bawah koloni berwarna kekuningan sampai coklat. Secara mikroskopis dicirikan dengan warna konidia, phialid memenuhi seluruh permukaan vesikel dan vesikel bulat besar. Aspergillus niger memiliki warna koloni hitam dan bagian bawah koloni berwarna putih kekuningan. Secara mikroskopis vesikel berbentuk bulat hingga semi bulat. Konidia bulat hingga semi bulat dan berwarna coklat (Wangge dkk., 2012). Aspergillus flavus yang tumbuh mula-mula berwarna putih kemudian pada hari ke empat berubah menjadi hijau kekuningan dengan pinggiran putih dan permukaan bawah koloni berwarni kekuningan sampai coklat. Aspergillus flavus secara makroskopis koloni yang terlihat berwarna hijau kekuningan dan pada bagian bawahnya berwarna kekuningan sampai coklat. Secara mikroskopis konidiofor tampak jelas, tidak berpigmen, kasar, panjangnya kurang dari 1 mm (Gautam dan Bhadauria, 2012). Pengobatan yang diberikan untuk infeksi dari jamur aspergillus spp yaitu dengan itraconazole, obat ini berfungsi sebagai agen penghambat biosintesis ergosterol yang merupakan komponen dari membrane jamur dengan cara sistem enzim p450 akan memblokir 14α-sterol demethylase yang dihasilkan dari akumulasi lanosterol dalam membran jamur.  KESIMPULAN Berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung pemeriksaan penunjang maka anjing ini didiagnosa sinonasal aspergillosis yang diterapi dengan itraconazole..  DAFTAR PUSTAKA Akan, M., R. Hazroˇglu, Z. Ilhan, B. Sareyy¨upoˇglu, R. Tunca. 2002. A case of aspergillosis in a broiler breeder flock. Avian Diseases 46(2): 497–501. Agarwal R, Chakrabarti A, Shah A, D Gupta, Meis JF, Guleria R.. 2013. Alergi bronchopulmonary aspergillosis: tinjauan literatur dan usulan kriteria diagnostik dan klasifikasi baru. Clin Exp Allergy. 2013 Agustus, 43 (8): 850-73. Gautam, A.K., R. Bhadauria. 2012. Characterization of Aspergillus species associated with commercially stored triphala powder. African Journal Biotechnol 11 (104): 16814-16823.

Redig, P. 2005. Mycotic infections in birds I: Aspergillosis. North American Veterinary Conference Proceedings, Eastern States Veterinary Association 1192–1194. Wangge, E.S.A., D.N. Suprapta, G.N.A. Wirya. 2012. Isolasi dan identifikasi jamur penghasil mikotoksin pada biji kakao kering yang dihasilkan di Flores. J. Agric. Sci. and Biotechnol 1(1): 39-47.

Related Documents


More Documents from "Mellya Rizki"