Bab Two Eby.docx

  • Uploaded by: feby
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Two Eby.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,372
  • Pages: 10
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lotion Lotion merupakan emulsi yang terbentuk dari dua cairan yang tidak saling campur. Kebanyakan lotion mengandung bahan serbuk halus yang tidak larut dalam media disperse dan disuspensikan dengan menggunakan zat pensuspensi dan zat pendispersi. Lotion rentan terhadap ketidakstabilan seperti mudah terjadi creaming, sedimentasi, flokulasi, peleburan, dan inverse atau berubah tipe dari yang semula bertipe o/w menjadi w/o. Untuk mencegah ketidakstabilan dari emulsi tersebut, maka dalam pembuatannya ditambahkan emulsifier dan pengental dalam jumlah tertentu. Zat pengemulsi atau emulsifier memiliki dua sifat yang menguntungkan, yaitu dapat menurunkan tegangan muka antara kedua cairan yang tidak saling campur dan stabilitas fase dispers terhadap medium dispers. Zat pengental disisi lain dapat menghambat reaksi secara sebagian antara zat yang terkandung dalam emulsi (Moravkova dan Filip, 2014). Lotion digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat karena sifat bahanbahannya. Lotion dimaksudkan untuk pemakaian yang merata, cepat, segera kering setelah digunakan, mudah dioleskan, mudah menyebar, dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit (Ansel, 1989; Jone, 2008). Selain itu, bentuk sediaan lotion lebih disukai untuk pengobatan pada kondisi lokal karena bentuk larutannya lebih berair dan tidak memerlukan penambahan pengawet (Jone, 2008). Lotion dapat juga didefinisikan sebagai suatu sediaan dengan medium air yang digunakan pada kulit tanpa digosokkan. Biasanya mengandung substansi tidak larut yang tersuspensi, dapat pula berupa larutan dan emulsi di mana mediumnya berupa air. Biasanya ditambah gliserin untuk mencegah efek pengeringan, sebaliknya diberi alkohol untuk cepat kering pada waktu dipakai dan memberi efek penyejuknya (Anief, 1984). Wilkinson 1982 menyebutkan, lotion adalah produk kosmetik yang umumnya berupa emulsi, terdiri dari sedikitnya dua cairan yang tidak tercampur dan mempunyai viskositas rendah serta dapat mengalir dibawah pengaruh gravitasi. Lotion ditujukan untuk pemakaian pada kulit yang sehat.

Jadi, lotion adalah emulsi cair yang terdiri dari fase minyak dan fase air yang distabilkan oleh emulgator, mengandung satu atau lebih bahan aktif di dalamnya. Lotion dimaksudkan untuk pemakaian luar kulit sebagai pelindung. Konsistensi yang berbentuk cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan merata pada permukaan kulit, sehingga mudah menyebar dan dapat segera kering setelah pengolesan serta meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit (Lachman et al., 1994). 

Formulasi Lotion Sediaan lotion tersusun atas komponen zat berlemak, air, zat pengemulsi dan humektan.

Komponen zat berlemak diperoleh dari lemak maupun minyak dari tanaman, hewan maupun minyak mineral seperti minyak zaitun, minyak jojoba, minyak parafin, lilin lebah dan sebagainya. Zat pengemulsi umumnya berupa surfaktan anionik, kationik maupun nonionik. Humektan bahan pengikat air dari udara, antara lain gliserin, sorbitol, propilen glikol dan polialkohol (Jellineck, 1970). Dalam pembuatan lotion, faktor penting yang harus diperhatikan adalah fungsi dari lotion yang dlinginkan untuk dikembangkan. Fungsi dari lotion adalah untuk mempertahankan kelembaban kulit, melembutkan dan membersihkan, mencegah kehilangan air, dan mempertahankan bahan aktif (Setyaningsih, dkk., 2007). Lotion juga dipakai untuk menyejukkan, mengeringkan, anti pruritik dan efek protektif dalam pengobatan dermatosis akut. Sebaiknya tidak digunakan pada luka yang berair sebab akan terjadi caking dan runtuhan kulit serta bakteri dapat tetap tinggal di bawah lotion yang menjadi cake (Anief, 1984). Komponen-komponen yang menyusun lotion adalah pelembab, pengemulsi, bahan pengisi, pembersih, bahan aktif, pelarut, pewangi, dan pengawet (Setyaningsih, dkk., 2007). Proses pembuatan lotion adalah dengan cara mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air pada bahan-bahan yang larut dalam fase lemak, dengan cara pemanasan dan pengadukan (Schmitt, 1996). Bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam pembuatan lotion adalah sun screen, humektan, thickening, mineral oil, setil alkohol, silikon dan preservatif. Sun screen berfungsi sebagai ultra violet filter, yaitu melindungi kulit dari panas matahari juga bahan dasar pembuatan krim/lotion. Gliserin sebagai humektan berfungsi menahan air di bawah lapisan kulit agar tidak keluar sehingga mencegah kehilangan air yang berlebihan. Mineral oil dan silikon berfungsi sebagai pelembab (moisturizing) kulit. (Setyaningsih, dkk., 2007).

Setil alkohol berfungsi sebagai surfaktan, emolient dan pelembab (Setyaningsih, dkk., 2007). Selain itu, setil alkohol pada sedian lotion berfungsi sebagai thickening agent (Rowe, et al., 2003) dengan konsentrasi 2%, 6% dan 10%. Thickening merupakan pengental yang berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan Hidrofil Lipofil Balance (HLB). Thickening agent adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam suatu formula, yang berfungsi sebagai bahan pengental atau pengeras di dalam formula lotion. Bahan pengental atau thickening agents digunakan untuk mengatur kekentalan produk sehingga sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetik dan mempertahankan kestabilan dari produk tersebut (Mitsui, 1997). Bahan pengental yang digunakan dalam pembuatan skin lotion bertujuan untuk mencegah terpisahnya partikel dari emulsi. Umumnya water soluble polymers digunakan sebagai bahan pengental yang diklasifikasikan sebagai polimer alami, semi sintetis polimer, dan polimer sintetis (Mitsui, 1997). Menurut Schmitt (1996), bahan pengental polimer seperti gum alami, derivat selulosa dan karbomer lebih sering digunakan dalam sistem emulsi dibandingkan dalam formulasi berbasis surfaktan. Penggunaan bahan pengental dalam pembuatan skin lotion biasanya digunakan dalam proporsi yang kecil yaitu dibawah 2,5% (Strianse, 1996). 2.2 Kegunaan, keuntungan dan kerugian lotion 2.2.1 Kegunaan Lotion Kegunaan lotion dapat diaplikasikan ke kulit dengan kandungan obat/agen yang berfungsi sebagai: 1. Antibiotik 2. Antiseptik 3. Anti jamur (anti fungi) 4. Kortikosteroid 5. Anti Jerawat 6. menenangkan, smoothing (pelembut), pelembab atau agen pelindung (seperti Calamine) 7. Pijat 8. Memperbaiki kulit (estetika) Selain penggunaan untuk medis, lotion banyak digunakan untuk perawatan kulit serta kosmetik.

2.2.2 Keuntungan dan Kerugian Lotion a. Keuntungan

Lebih mudah digunakan (penyebaran lotion lebih merata daripada krim) Lebih ekonomis (Lotion menyebar dalam lapisan tipis) Umumnya dosis yang diberikan lebih rendah Kerja sistemnya rendah b. Kerugian Bahaya alergi umumnya lebih besar Penyimpanan BSO Lotion tidak tahan lama BSO kurang praktis dibawa kemana-mana (ansel, 2008)

2.2.3 Evaluasi, pegujian keamanan dan sensitivitas 1. Uji Organoleptis Evalusai yang pertama adalah uji organoleptis. Uji organoleptis menggunakan panca indra, mulai dari bau, warna, tekstur sedian, konsistensi pelaksanaan menggunakan subyek responden ( dengan kriteria tertentu ) dengan menetapkan kriterianya pengujianya ( macam dan item ), menghitung prosentase masing- masing kriteria yang di peroleh, pengambilan keputusan dengan analisa statistik. 2. Uji pH Evaluasi yang kedua adalah uji pH. Uji pH menggunakan alat pH meter untuk mengetahui pH pada sediaan, dengan cara mengambil 500 mg sediaan dan di tambah aquadest 5 ml aquadest kemudian diaduk. Masukkan alat pengukur pH ke campuran sediaan tersebut dan lihat pH yang terbentuk, catat hasil yang tertera pada pH meter. 3.Uji Daya Sebar Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui daya sebar salep atau sediaan setengah padat yang lain ketika di oleskan pada kulit, dengan cara mengambil sediaan sebanyak 500 mg kemudian di letakkan di atas kaca yang berskala. Kemudian bagian atasnya di beri kaca yang sama, dan di tingkatkan bebanya, dan di beri rentang waktu 5 menit dengan beban antara lain 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Kemudian diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan

beban, saat sediaan berhenti menyebar ( dengan waktu tertentu secara teratur ). Semakin menyebar menunjukkan kemampuannya dalam distribusi merata. 4. Uji Homogenitas Uji homogenitas lakukan untuk mengetahui homogenitas dari sediaan yang ditaruh diatas kaca transparan. Dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediian pada kaca transparan (object glass) kemudian, diamati secara visual. Suatu sediaan yang homogen akan menunjukkan susunan partikel yang tersebar tanpa adanya butir-butir yang kasar. 2.2.4 Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Sebagai cairan penyari, digunakan air, eter, atau campuran etanol dan air (Depkes RI, 1995). Pada ekstrak tumbuhan (umumnya konsentrasi etanolnya berbeda-beda), jika bahan pengekstraksinya diuapkan sebagian atau seluruhnya, maka diperoleh ekstrak yang dikelompokkan menurut sifat-sifatnya menjadi : 1.

Ekstrak encer (extractum tenue). Sediaan seperti itu memiliki konsistensi madu dan dapat dituang.

2.

Ekstrak kental (extractum spissum). Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Sediaan obat ini pada umumnya juga tidak sesuai lagi dengan persyaratan masa kini. Tingginya kandungan air menyebabkan suatu instabilitas sediaan obat (kontaminasi bakteri) dan bahkan instabilitas bahan aktifnya (penguraian secara kimia). Selain itu, ekstrak kental sulit untuk ditakar (penimbangan dan sebagainya) .

3.

Ekstrak kering (extractum siccum). Ekstrak ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan. Melalui penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan terbentuk suatu produk yang memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

4.

Ekstrak cair (extractum fluidum). Merupakan suatu ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sebanding dengan dua (kadang – kadang lebih) bagian ekstrak cair (Voigt, 1994).

2.2.5 Kulit Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kira-kira 15% dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2m. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit merupakan organ yang vital dan esensial serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Sloane, 2004).

Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Kulit disebut juga integument atau kutis, tumbuh dari dua macam jaringan yaitu jaringan epitel yang menumbuhkan dermis (kulit dalam). Kulit merupakan organ yang paling luas sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia, sinar matahari, mikroorganisme dan menjaga keseimbangan tubuh dengan lingkungan (Sloane, 2004). Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh dan bersambung dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit mempunyai banyak fungsi yaitu di dalamnya terdapat ujung saraf peraba, membantu

mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh, juga mempunyai sedikit kemampuan ekstori, sekretori dan absorbsi. Bagian luar yang kuat dan kering menandakan sifat fisik kulit. Morfologi dan ketebalan kulit berbeda pada setiap bagian tubuh. Kulit mempertahankan karakterisasi fisikokimia seperti struktur, suhu, pH dan keseimbangan oksigen dan karbondioksida. Sifat asam dari kulit ditemukan pertama kali oleh Heuss pada tahun 1982 dan kemudian disahkan oleh Schade dan Marchionini pada tahun 1928 yang dianggap bahwa keasaman digunakan sebagai pelindung dan menyebutnya sebagai “pelindung asam” dan beberapa literatur saat ini menyatakan bahwa pH permukaan kulit sebagian besar asam antara 5,5 – 6,5 (Sloane, 2004). Absorpsi perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache, 1993). Fenomena absorpsi perkutan (permeasi pada kulit) dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan stratum korneum, difusi melalui stratum korneum, epidermis dan dermis, masuknya molekul ke dalam sirkulasi sistemik. Penetrasi melalui stratum korneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal dan penetrasi transappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya melalui epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal).. Difusi melalui lapisan tanduk (stratum korneum) merupakan suatu proses yang pasif. Difusi pasif merupakan suatu proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat, setengah padat atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase cair. Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model pendekatan membran biologis. Membran padat juga digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan (Aiache, 1993).

2.1.6 Definisi bakteri staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang bersifat oportunistik (menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah). Bakteri ini adalah salah satu patogen utama infeksi nosokomial, khususnya yang berkaitan dengan infeksi benda asing. Orang yang paling rentan terhadap infeksi ini adalah pengguna narkoba suntikan, bayi baru lahir, lansia, dan mereka yang menggunakan kateter atau peralatan buatan lainnya. Organisme ini menghasilkan glycocalyx "lendir" yang bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel, dan juga menyebabkan resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenis antibiotik. Staphylococcus epidermidis memberikan kontribusi sekitar 6590% dari semua staphylococcus yang ditemukan dari flora aerobik manusia Orang yang sehat dapat memiiliki hingga 24 strain (jenis) dari spesies, beberapa di antaranya dapat bertahan di permukaan yang kering untuk waktu yang lama. Hospes bagi organisme ini adalah manusia dan hewan berdarah panas lainnya ( Nilsson 1998). 1)

Klasifikasi Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis (Breed, dkk., 1957) Divis (Dvisio)

: Eukariota

Kelas (Classis)

: Schizomycetes

Bangsa (ordo)

: Eubacteriales

Suku (Familia)

: Micrococcaceae

Marga (Genus)

: Staphylococcus

Jenis (Spesies)

: Staphylococcus epidermidis

2) Karakteristik (ciri-ciri) Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis memiliki beberapa karakteristik, antara lain : a) Bakteri gram positif, koagulase negatif, katalase positif. b) Aerob atau anaerob fakultatif. c) Berbentuk bola atau kokus ,berkelompok tidak teratur. d) berdiameter 0,5 1,5 µm. e) Tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih f)

Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37oC.

g) Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada manusia.

h) Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan. (Breed, dkk., 1957)

DAFTAR PUSTAKA Anief, M. 1984. Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Aiache, 1982, Biofarmasetika, diterjemahkan oleh Widji Soeratri, Edisi II, 438-460, Airlangga Press, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 1995 . Farmakope Indonesia Edisi III

Jellineck, S. (1970). Formulation and Function of Cosmetics. New York : Wiley Interscience.

Lachman, L., H.A. Lieberman, and J.L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Jilid II, Edisi III. Jakarta : Universitas Indonesia.

Mitsui, T. 1997. New Cosmetic and Science. Elsevier Amsterdam Netherlands : 191-198, 335-338. Nillson, Lars, Flock, Pei, Linberg, Guss . 1998 . A Fibrinogen-Binding Protein of Staphpyloccus

Rowe, Raymond C., Paul J. S., Paul J. W. 2003. Handbook of Pharmaceutical Exipients. London: Pharmaceutical Press.

Sularto, S. A. dkk. 1995. Pengaruh Pemakaian Madu sebagai Penstubtitusi Gliserin dalam Beberapa Jenis Krim Terhadap Kestabilan Fisiknya. Laporan Penelitian, LP Unpad. Bandung: Universitas Padjajaran. Sloane Djuanda, A., Hamzah, M., dan Aisah, S., 2004.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, pada Wasitaatmadja, S. M., (Ed) Anatomi Kulit dan Kelamin, Edisi III, 3-8, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Setyaningsih, Owi, Erliza Hambali, dan Muharamia Nasution. 2007. Aplikasi Minyak Sereh Wangi (Citronella Oil) dan Geraniol Dalam Pembuatan Skin Lotionpenolak Nyamuk. Jurnal Teknologi Indonesi Vol 17(3) : 97-103.

Schmitt, W.H. 1996. Skin Care Products. In : Williams, D.F. and W.H. Schmitt (Ed). London: Cosmetics And Toiletries Industry. 2nd Ed. Blackie Academy and Profesional.

Strianse, S. J. 1996. Hands Creams and Lotion in Cosmetics Science and Technology Vol.1. 2nd Ed. New York : Willy Interscience, a Division of John Wiley and Sons, Inc. Voight, Rudolf. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Related Documents

Two Stege Bab 3
November 2019 4
Bab Two Eby.docx
May 2020 35
Two
December 2019 57
Two
December 2019 660
Two
October 2019 48
Two
April 2020 26

More Documents from ""

Chapter 5.docx
May 2020 32
Bab Two Eby.docx
May 2020 35
328669_bab 4 Rai.docx
April 2020 33
Ipggg.docx
April 2020 36
328669_bab 4 Rai.docx
May 2020 23