Menggapai nikmat Allah. Kesempatan untuk bisa menunaikan ibadah secara khusyuk dan tertib, sungguh merupakan nikmat Allah yang besar. Ibadah, selain bernilai spiritual, maka ibadah menjadi akar dari pembentukan sikap atau watak terpuji, seperti disiplin waktu, cinta kebersihan, sehat fisik, taat aturan, tuma’ninah (teratur), memiliki kesadaran prima (kontroling), bersikap hatihati, tabah dan setia. Sikap itu amat diperlukan dalam mengarungi kehidupan kini dan menatap keberhasilan masa depan (dunia dan akhirat). Karenanya amat mudah membuat garis kaedah terhadap orang yang lalai dalam ibadahnya, berkecenderungan melalaikan tugas-tugas fisik dari pekerjaan yang ada didepannya. Dan berkecendrungan pula untuk mengkhianati amanah yang dipetaruhkan padanya. Ramadhan adalah satu bulan mulia yang senantiasa datang secara khusus, penuh kegembiraan, sebagai bulan pengampunan. Ramadhan adalah penghulu sekalian bulan, juga dinamai bulan puasa, sesuai ibadah shaum atau menahan yang dilaksanakan sepanjang bulan, yang didahului oleh imsak, sesudah sahur, menjelang subuh tiba. Maka tidak berlebihan, bila bulan Ramadhan disambut dengan ucapan ”marhaban bil-muthahhir”, artinya, “selamat datang wahai pembersih”, sebagai dijelaskan oleh Rasulullah SAW, “al-muthahhiru syahru Ramadhana, yuthahhiruna min dzunubii wal ma’ashiy artinya, pembersih itu adalah Ramadhan, dia membersihkan kita dari dosa dan ma’shiyat.”Dalam ucapan itu tersirat makna yang dalam. Kebahagiaan menyambut bulan itu, kesiapan beribadah, ketersediaan waktu yang lapang, keluasan untuk mengasuh dan mengasah jiwa menuju kebersihan, dan upaya untuk meraih taqwa. Bersihnya diri adalah bukti ketaqwaan seseorang. Puasa (shaum) sebagai satu ibadah khusus dibulan Ramadhan, berperan membersihkan diri pelakunya. Sesuai firman Allah :”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (pengikut Taurat dan Injil) agar kamu bertaqwa (tetap terpelihara, bersih dari dosa dan makshiayat)”. (QS.2, al Baqarah,ayat 183). Ramadhan ditetapkan sebagai bulan pelaksanaan ibadah shaum (puasa), dan bulan turunnya Al Quran yang berisi petunjuk, bimbingan, pembeda antara benar dan salah, penjelasan tentang paradigma hidup manusia. Maka seorang Mukmin yang memasuki bulan Ramadhan wajib melaksanakan ibadah shaum (puasa). Meski sakit sekalipun, kewajiban puasa tidak gugur. Allah memberikan keringanan( rukhsah), berupa keizinan untuk mengganti puasa Ramadhan dengan berpuasa dihari (bulan) lainnya. Kalaupun masih tidak sanggup, maka dapat digantikan dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Ketentuan Allah ini membuktikan anugerah kemudahan dari Allah SWT bagi manusia. Ajaran agama (Islam) sama sekali tidak memberatkan, sehingga tidak ada alasan seseorang menolak beribadah. Pada hakekatnya puasa adalah ibadah khas orang beriman (mukmin) serta mampu bersyukur (berterima kasih) kepada Allah yang telah menjadikan, dan memberi segala sesuatu keperluan dalam hidup manusia ini (Al Quran,Surat Al Baqarah (2) ayat 184-187). Ambillah hikmah dari kehadiran bulan Ramadhan, dengan akhlak suka memberi, dan melapangi dalam hidup bermasyarakat. Shaum atau puasa Ramadhan mesti dilaksanakan sebulan penuh. Tidak boleh kurang. Begitu ketentuan Allah menurut Wahyu-Nya, "Wa litukmilul- 'iddah", artinya "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya", yaitu sebulan penuh, tidak kurang seharipun. Pelaksanaan shaum atau puasa, semata karena membesarkan
Allah Yang Maha Agung, menjadi bukti ridha atau kerelaan melaksanakan perintah Allah, dan menjadi salah satu ibadah utama. Puasa dapat menjadi ibadah pengganti denda (kafarat) yang mesti ditunaikan semata-mata karena Allah saja. Suatu contoh, ketika seorang yang tengah menunaikan ibadah haji, atau umrah di Masjidil Haram, terlalai melaksanakan rukun hajinya, maka ia harus membayar berbentuk denda (dam). Jika hudya atau pemotongan hewan qurban sebagai dam itu tak mampu dibayar, karena ketiadaan, maka denda atau dam ini dapat diganti dengan shaum (puasa), tiga hari di musim haji (ditanah Haram), ditambah tujuh hari di kampung halaman, setibanya di tanah air dari perjalanan hajinya itu. Jadi disimpulkan, bahwa puasa dapat dijadikan ibadah pembayar hutang dam (hudya) di dalam berhaji. Demikian juga halnya, ketika seseorang membayar kifarat atas sumpah, maka dia dapat melunasi kifarat itu dengan shaum atau puasa. Sebagaimana juga terjadi, shaum dijadikan ibadah nazar, ketika terkabulnya cita-cita. Karena itu, peliharalah ibadah puasa ini dengan baik dan sempurna. Wallahu a’lamu bis-shawaab.