TUGAS KEBIJAKAN “KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)”
DOSEN PENGAMPUH: ABU AMAT
DIBUAT SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH KEBIJAKAN PADA JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
OLEH:
NAMA
: RYAN ANTONIUS
NIM
: 03021381621084
KELAS
:B
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alatalat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
1.2. Rumusan Masalah: 1. Apa saja Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur tentang K3? 2. Apa saja peralatan yang diperlukan untuk K3?
1.3. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai K3 baik dari segi hukum, peralatan dan keguanaanya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Filosofi dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau disingkat K3 adalah melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, melalui upayaupaya pengendalian semua bentuk potensi bahaya yang ada di lingkungan tempat kerjanya. Bila semua potensi bahaya telah dikendalikan dan memenuhi batas standar aman, maka akan memberikan kontribusi terciptanya kondisi lingkungan kerja yang aman, sehat, dan proses produksi menjadi lancar, yang pada akhirnya akan dapat menekan risiko kerugian dan berdampak terhadap peningkatan produktivitas. K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) “Occupational Health and Safety”, disingkat OHS. K3 adalah kondisi yang harus diwujudkan di tempat kerja dengan segala daya upaya berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran mendalam guna melindungi tenaga kerja, manusia serta karya dan budayanya melalui penerapan teknologi pencegahan kecelakaan yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundangan dan standar yang berlaku. Beberapa pendapat mengenai pengertian keselamatan dan kesehatan kerja antara lain: a)
Menurut Mangkunegara (2002) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
b) Menurut Suma’mur (2001), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. c) Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja. d) Mathis dan Jackson (2002), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum. e) Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam
pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. f)
Jackson (1999), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Undang-Undang Atau Peraturan Mengenai K3 3.1.1. Peraturan Mengenai K3 Secara Umum Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada. Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. 3.1.2. Peraturan Mengenai K3 di sektor mineral dan batubara Dalam sektor pertambangan mineral dan batubara, K3 merupakan kunci bisnis yang menjadi prioritas. Seperti yang tercantum dalam Pasal 5, Ayat 1, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 tentang K3 Pertambangan Umum, dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan, baik eksplorasi maupun eksploitasi baru dapat dimulai setelah pemegang Kuasa Pertambangan (sekarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan) memiliki Kepala Teknik Tambang (KTT), yaitu seseorang yang memimpin dan bertanggung jawab atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan K3 pada suatu kegiatan usaha pertambangan. Kemudian, ketika kegiatan pertambangan telah berlangsung, pengusaha harus menghentikan pekerjaan apabila KTT atau petugas yang ditunjuk tidak berada pada pekerjaan usaha tersebut, seperti yang tercantum dalam Pasal 4, Ayat 7, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995. K3 juga merupakan kewajiban yang melekat bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagaiman tercantum dalam Pasal 96,
Huruf a, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya, pelaksanaan K3 pada kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK tersebut diawasi oleh pemerintah melalui Inspektur Tambang seperti yang tercantum dalam Pasal 141, Ayat 1 dan Ayat 2, UU No. 4 Tahun 2009. Dari penjelasan tersebut, sangat jelas bahwa sektor pertambangan mineral dan batubara memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap K3 yang pengelolaannya diarahkan untuk mendukung kebijakan dalam menciptakan kegiatan pertambangan yang aman, bebas dari kecelakaan kerja, kejadian berbahaya dan penyakit akibat kerja. Berdasarkan Pasal 140 Ayat 3, UU No. 4 Tahun 2009, Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau IUPK. Berdasarkan Pasal 141 Ayat 1, hal yang menjadi aspek pengawasan adalah: a)
Teknis pertambangan,
b) Pemasaran, c)
Keuangan,
d) Pengelolaan data mineral dan batubara, e)
Konservasi sumber daya mineral dan batubara,
f)
Keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,
g) Keselamatan operasi pertambangan, h) Pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang, i)
Pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri,
j)
Pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan,
k) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, l)
Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan,
m) Kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum, n) Pengelolaan IUP atau IUPK, dan o) Jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. Pengawasan terhadap teknis pertambangan; konservasi sumber daya mineral dan batubara; keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; keselamatan operasi pertambangan; pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang; penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan, dilakukan oleh Inspektur Tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 141 Ayat 2).
Khusus untuk K3, pengawasan K3 pertambangan dilaksanakan dengan tujuan menghindari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Ruang lingkup K3 pertambangan meliputi: a)
Keselamatan kerja,
Yang dimaksud keselamatan kerja antara lain berupa: Manajemen risiko, Program keselamatan kerja, Pelatihan dan pendidikan keselamatan kerja, Administrasi keselamatan kerja, Manajemen keadaan darurat, Inspeksi dan Audit keselamatan kerja, Pencegahan dan penyelidikan kecelakaan. b) Kesehatan kerja, Yang dimaksud kesehatan kerja antara lain berupa: Program kesehatan kerja Pemeriksaan kesehatan pekerja, Pencegahan penyakit akibat kerja, Diagnosis dan pemeriksaan penyakit akibat kerja Hiegiene dan sanitasi, Pengelolaan makanan, minuman dan gizi kerja, Ergonomis. c)
Lingkungan Kerja,
Yang dimaksud lingkungan kerja antara lain berupa: Pengendalian debu, Pengendalian kebisingan, Pengendalian getaran, Pencahayaan, Kualitas udara kerja (kuantitas dan kualitas) Pengendalian radiasi House keeping. d) Sistem Manajemen K3. Selain K3, dalam pertambangan mineral dan batubara dikenal pula “Keselamatan Operasi Pertambangan”. Pengawasan Keselamatan Operasi Pertambangan dilaksanakan
dengan tujuan menciptakan kegiatan operasi pertambangan yang aman dan selamat. Ruang lingkup Keselamatan Operasi Pertambangan meliputi: Evaluasi laporan hasil kajian, Pemenuhan standardisasi instalasi, Pengamanan instalasi, Kelayakan sarana, prasarana dan instalasi peralatan pertambangan Kompetensi tenaga teknik. Pelaksanaan pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan oleh Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dilaksanakan dalam bentuk: a)
Pengawasan Administratif
Pengawasan administratif meliputi: Bahan peledak (Format IVi / Rekomendasi) Laporan kecelakaan (Format IIIi; Vi; VIi; VIIi; VIIIi; IXi) Peralatan (dokumen untuk perijinan) Persetujuan (hasil kajian tinggi jenjang, ventilasi, penyanggaan, dan lain-lain) Laporan pelaksanaan program K3 (Triwulan) Rencana Kerja Tahunan Teknis dan Lingkungan (RKTTL) b) Pengawasan Operasional / Lapangan Pengawasan operasional / lapangan meliputi: Inspeksi K3, Inspeksi dilaksanakan oleh PIT/IT yang berkordinasi dengan pengawas daerah. Contoh objek yang diinspeksi antara lain area penambangan, haul road, perbengkelan, pabrik, pengolahan, pelabuhan, fasilitas dan instalasi lainnya. Pemeriksaan / Penyelidikan Kecelakaan Pemeriksaan / Penyelidikan Kejadian Berbahaya Pengujian Kelayakan Sarana, Peralatan dan Instalasi c)
Pengujian sarana, peralatan dan instalasi meliputi: Sistem Ventilasi, Sistem Penyanggaan, Kestabilan Lereng, Gudang Bahan Peledak Penimbunan Bahan Bakar Cair Kapal Keruk Kapal Isap
Alat Angkut Orang, Barang, dan Material Alat Angkat Bejana Bertekanan Instalasi Pipa Pressure Safety Valve Peralatan Listrik Pengujian Kondisi Lingkungan Kerja Pengujian/penilaian kompetensi d) Pengujian/penilaian kompetensi meliputi; Penilaian kompetensi calon Kepala Teknik Tambang Pengujian kompetensi Juru Ledak Pengujian Kompetensi Juru Ukur Pengujian Kompetensi Pengawas Operasional (POP; POM; POU) Pengujian Kompetensi Juru Las (bekerja sama dengan pihak ke-3) Pengujian Kompetensi Operator alat angkat (bekerja sama dengan pihak ke-3) Peraturan / Undang-undang di Sektor Mineral dan Batubara yang Mengatur K3
Beberapa peraturan yang menjadi dasar pengelolaan K3 di pertambangan mineral dan batubara adalah sebagai berikut: a)
UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
b) UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah c)
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampi dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
d) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. e)
Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat
pekerjaan yang diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Undang-undang nomor 23 tahun 1992, pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya kesehatan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya hingga diperoleh produktifitas kerja yang optimal. Karena itu, kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja. f)
PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemprov dan Pemkab/Kota
g) PP No.19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan K3 di Bidang Pertambangan h) Kepmen No.555.K Tahun 1995 tentang K3 Pertambangan Umum i)
Kepmen.No.2555.K Tahun 1993 tentang PIT Pertambangan Umum.
j)
Keputusan Bersama Menteri ESDM dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 1247.K/70/MEM/2002 dan No. 17 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Inspektur Tambang dan Angka Kreditnya
3.2. Alat-Alat Yang Diperlukan Dalam K3 Kecelakaan kerja tentu saja merupakan masalah yang besar bagi kelangsungan suatu operasional pertambangan. Kerugian yang akan diderita tidak hanya berupa kerugian materi, namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa. Kehilangan sumber daya manusia merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumberdaya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Menyikapi hal tersebut diatas, maka perusahaan-perusahaan di bidang Pertambangan/ Perminyakan berusaha menjaga keselamatan para pekerjanya beserta segala asset yang ada, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu caranya dengan melengkapi para pekerjanya dengan beberapa alat keselamatan yang memadai. Di Perusahaan tambang, alat keselamatan kerja ini biasanya dikenal dengan sebutan APD (Alat Pelindung Diri). APD di perusahaan pertambangan merupakan kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja. APD dipakai sesuai dengan tingkat bahaya dan risiko pekerjaaan, demi menjaga keselamatan pekerja dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja RI. Semua jenis APD harus digunakan
sebagaimana mestinya berdasarkan pedoman yang benar-benar sesuai dengan standar keselamatan kerja (K3L 'Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan'). Alat-alat keselamatan kerja (APD) yang sering dipakai di sebuah perusahaan pertambangan dan migas adalah seperti dibawah ini
a)
Safety Helmet (Helm Pengaman): Fungsi helm pengaman yang paling utama adalah untuk melindungi kepala dari jatuhan dan benturan benda secara langsung. Perlengkapan keselamatan ini merupakan perlengkapan yang cukup vital bagi para pekerja didunia Pertambangan dan Perminyakan. Safety Helmet sangat menolong pekerja karena sifatnya yang melindungi kepala dari bahaya terbentur benda keras seperti pipa besi ataupun batu yang jatuh selama para pekerja berada diarea kerja. Safety Helmet memiliki berbagai desain yang memiliki bentuk berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Selain itu, warna helmet yang digunakan menunjukkan jenis pekerjaannya.
b) Safety Vest (Rompi Reflektor): Rompi ini diengkapi dengan iluminator, yaitu sebuah bahan yang dapat berpendar jika terkena cahaya. Bahan berpendar ini akan memudahkan dalam mengenali posisi pekerja ketika berada di kegelapan. Umumnya didunia Pertambangan, operasional berlangsung selama 24 jam dimana kecenderungan kecelakaan kerja terjadi dimalam hari. Hal ini biasanya disebabkan penerangan di area tambang tidak begitu baik, sehingga seringkali pekerja yang berada didalam area tambang tidak terlihat. Rompi reflektor ini menjadi penting
untuk mencegah hal yang tidak diinginkan seperti tertabrak/terlindas oleh kendaraan alat berat. c)
Safety Shoes (Sepatu Pengaman): Safety Shoes bentuknya seperti sepatu biasa, tetapi terbuat dari bahan kulit yang dilapisi metal dengan sol dari karet tebal dan kuat. Safety Shoes berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki seperti tertimpa benda tajam atau benda berat, benda panas, cairan kimia, dsb.
d) Safety Goggles/Glasses (Kacamata Pengaman): Kacamata pengaman ini berbeda dari kacamata pada umumnya. Perbedaanya terletak pada lensa/kaca yang menutupi mata secara menyeluruh, termasuk bagian samping yang tidak terlindungi oleh kacamata biasa. Dengan menggunakan safety Goggles/Glasses ini, pekerja terhindar dari terpaan debu diarea Pertambangan ataupun cipratan dari minyak saat proses drilling. Kacamata ini memiliki bermacam jenis tergantung keperluan dan jenis pekerjaannya. Untuk orang berkacamata minus atau plus, disediakan lensa khusus sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan. Yang pasti, lensa ini tidak boleh terbuat dari kaca, karena jika terjadi benturan dan lensa pecah, serpihan kaca malah akan membahayakan penggunanya. e)
Safety Masker/masker respirator (Penyaring Udara): Safety Masker berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb). Di berbagai area pertambangan banyak bertaburan debu, yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada pernafasan dalam jangka waktu yang panjang. Ada berbagai jenis masker yang tersedia, mulai dari masker debu hingga masker khusus dalam menghadapi bahan kimia yang mudah menguap.
f)
Safety Gloves (Sarung Tangan Pengaman): Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Penggunaan Safety Gloves menjadi hal yang wajib digunakan didunia pertambangan. Hal ini dikarenakan para pekerja banyak berinteraksi (menyentuh) benda2 yang panas, tajam, ataupun yang beresiko terluka tergores saat melakukan pekerjaannya. Penggunaan safety gloves pun beragam sesuai dengan jenis pekerjaannya. Ada safety gloves khusus pekerjaan seperti mekanik/montir, ada yang khusus untuk pekerjaan yang berhubungan dengan bahan kimia, ataupun pekerjaan seperti pengelasan.
g) Ear Plugs (Pengaman Telinga): Ear Plugs berfungsi sebagai alat pelindung yang dilekatkan di telinga pada saat bekerja di tempat yang bising. Ear plugs merupakan
alat pelindung pendengaran dari kebisingan. Penggunaan earplug ini mencegah pekerja mengalami gangguan pendengaran seperti penurunan pendengaran akibat terpapar kebisingan sewaktu bekerja di area kerja yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi atau bekerja dengan peralatan yang mengeluarkan kebisingan tinggi. Umumnya alat pendengaran kita hanya mampu menahan besaran kebisingan sampai dengan 80-85 dB. Ear plugs pun memiliki berbagai ragam bentuk dan jenis sesuai dengan peruntukkannya dalam pekerjaan. h) Lampu Kepala: Alat keselamatan ini biasanya khusus digunakan pada penambangan bawah tanah (underground). Malam dan siang hari di terowongan tak ada bedanya, sama-sama gelap. Itulah sebabnya, lampu kepala wajib dikenakan. Lampu ini bisa bertenaga aki (elemen basah) atau baterai (elemen kering) yang digantung di pinggang. Dibandingkan dengan baterai, aki memiliki beberapa kelemahan, selain ukuran dan bobot aki yang lebih berat, cairan asam sulfat yang bocor dapat merusak pakaian. i)
Self Rescuer: Dalam kondisi darurat akibat kebakaran atau ditemukannya gas beracun, alat inilah yang dapat mennjadi penyelamat bagi para pekerja. Alat ini dirancang dapat memasok oksigen secara mandiri kepada pekerja. Tidak lama memang, tapi ini diharapkan memberikan cukup waktu bagi pekerja untuk mencari jalan keluar atau mencapai tempat pengungsian yang lebih permanen.
j)
Safety Boot (Sepatu Boot): Pada kondisi area pertambangan yang umumnya licin dan berlumpur, sepatu boot menjadi kebutuhan pokok. Sepatu pendek hanya akan menyebabkan kaki terbenam dalam lumpur. Sepatu boot juga harus dilengkapi dengan sol berlapis logam untuk melindungi jari kaki.
k) Safety Harness (Tali Pengaman): Alat ini berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian. Alat ini wajib digunakan apabila bekerja pada ketinggian lebih dari 1,8 meter. l)
Safety Belt (Sabuk Pengaman): Berfungsi sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lainnya yang serupa (mobil, alat berat, pesawat, helikopter, dsb).
m) Raincoat (Jas Hujan): Berfungsi untuk melindungi pekerja dari percikan air saat bekerja (misal bekerja pada waktu hujan atau sedang mencuci alat). Terpapar air secara langsung dan terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya penyakit seperti infulensa dan demam, yang pada akhirnya akan mengganggu optimalisasi pekerjaan dari pekerja tersebut.
n) Face Shield (Pelindung Wajah): Alat ini berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan benda asing saat bekerja (misal pekerjaan menggurinda dan las). Di dunia tambang, alat ini biasanya banyak digunakan oleh para mekanik dan welder. o) Lifevest (Pelampung): Alat ini wajib digunakan saat kita beraktivitas di wilayah perairan/di atas air. Biasanya untuk menjangkau suatu lokasi tambang harus melewati perairan dengan menggunakan alat transportasi. Alat ini harus selalu dikenakan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan (alat transportasinya karam/terbalik). Lifevest harus selalu rutin di periksa untuk mengecek daya ambang atau daya apungnya.
3.3. STUDI KASUS Contoh Kasus Kecelakan Tambang di Sawahlunto: Kecelakaan tambang di sawahlunto yang terjadi pada tanggal 16 juni 2010 hari selasa pukul 10.30 WIB ini menjadi cambuk bagi dunia pertambangan indonesia soalnya kecelakaan yang terjadi di kecamatan talawi ini merupakan kecelakaan tambang terparah yang pernah terjadi beberapa dekade ini yang menewaskan 33 pekerja tambang serta puluhan orang dirawat karena mengalami luka-luka. Kecelakaan ini berupa ledakan tambang bawah tanah yang berada diwilayah kuasa pertambangan PT Dasrat Sarana Arang Sejati di bukit ngalau cigak dengan status eksploitasi berdasarkan SK No. 05.39/PERINDAKOP/2006 berlaku mulai 2 juni 2006 sampai dengan 2 juni 2011 dengan pelaksana pertambangan kontraktor CV. Perdana. Sebagai informasi untuk kita menganalisis kesalahan-kesalahan apa yang menimbulkan ledakan tambang bawah tanah yang memakan korban lebih dari 40 orang maka perlu kita meninjau tambang di sawahlunto tersebut. Sawahlunto merupakan sebuah kabupaten yang terletak di provinsi sumatera barat yang kaya akan Sumber daya alamnya berupa Batubara. Saat ini telah tercatat cadangan batubara di sawahlunto sebesar 12.161.521,94 ton dengan cadangan terbukti sebesar 7.755.690,03 serta cadangan terkira sebesar 12.161.521,94. Besarnya cadangan batubara di sawahlunto telah memanggil para investor untuk menanamkan modalnya untuk perusahaan-perusahaan tambang yang akan mengeksploitasi wilayah tersebut sehingga sampai saat ini tercatat ada 13 perusahaan tambang yang telah mendapat izin dari dinas ESDM setempat untuk melakukan kegiatan pertambangan diwilayah ini. Dengan 10 perusahaan beroperasi dengan menggunakan metode tambang bawah tanah serta tiga perusahaan lainya menggunakan metode tambang terbuka sehingg pendapatan terbesar APBD dari kabupaten sawahlunto adalah dari pertambangan.
Dengan potensi yang besar serta banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tambang batubara sawahlunto menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya masyarakat di sekitar tambang, PETI, serta pengawasan terhadap proses penambangan tersebut sehingga akibat dari semua permasalahan tersebut berujung pada ledakan tambang yang terjadi bukit ngalau cigak tersebut. Ledakan tambang yang terjadi di sawahlunto dikategorikan sebagai kecelakaan tambang karena mengandung unsur-unsur diantaranya: a)
Benar - benar terjadi.
b) Mengakibatkan cedera pekerja tambang atau orang yang diberi ijin oleh KTT. c)
Akibat kegiatan usaha pertambangan.
d) Terjadi pada jam kerja pekerja tambang yang mendapat cedera atau setiap saat orang yang diberi ijin. e)
Terjadi di dalam kegiatan usaha pertambangan atau wilayah proyek.
Tentunya kecelakaan ini diakibatkan oleh adanya kesalahan-kesalahan dari berbagai aspek yang mengakibatkan terjadinya bencana yang merugikan manusia atau perusahaan diantaranya adalah manusia, peralatan, material, dan SOP suatu perusahaan. Empat aspek inilah yang akan membantu kita dalam menganalisis ledakan tambang yang terjadi di sawahlunto ini. Berikut analisis ledakan tambang yang terjadi di sawah lunto. Dapat kita analisis satu persatu kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga mengakibatkan ledakan tambang serta memberikan penegasan apakah aspek ini benar-benar penyebab utama dari kecelakaan tersebut. a)
Manusia
PT. Dasrat Sarana Arang Sejati merupakan perusahaan tambang yang memfasilitasi para korban yang melakukan penambangan atau dengan kata lain 50 orang yang menjadi korban ledakan tambang tersebut adalah karyawan dari PT. Dasrat Sarana Arang Sejati. Sebuah data yang dilansir oleh majalah tambang terbitan 25 juni 2009 menyatakan bahwa PT. Dasrat Sarana Arang Sejati mempekerjakan 40-50 orang dengan teknik manual pada tambang bawah tanah. Berdasarkan data diatas maka 40-50 orang tersebut adalah kuli tambang yang memiliki keterampilan dan ilmu pertambangan dibawah standar nasional serta tidak menghiraukan K3. Maka dengan ini kita dapat beranggapan bahwa 50 orang yang menjadi korban ledakan tersebut adala kuli tambang yang dipekerjakan oleh PT. DSAJ dengan menggunakan perlatan manual dan memiliki keterampilan serta tidak memiliki ilmu dan pengalaman dalam hal pertambangan. Sehingga dapat kita katakan manusia dalam masalah ini adalah aspek yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kecelakaan tambang ini. Berikut ini faktor manusia dalam kecelakaan tambang ini:
50 orang yang menjadi korban ledakan tambang tersebut merupakan kuli tambang 50 orang tersebut tidak memiliki keterampilan dalam hal pertambangan 50 orang tersebut tidak memiliki pengalaman dan ilmu yang cukup tentang K3 dan seluk beluk pertambangan. 50 orang tersebut mengabaikan K3. 50 orang tersebut terdata lulusan SMA kebawah. Adanya kebiasaan buruk dari pekerja tersebut yaitu merokok dalam tambang bawah tanah. Padahal ini sangat dilarang dalam K3 karena sedikit percikan api akan menyulutkan gas metanan yang terperangkap dengan kadar tinggi menjadi bom yang dahsyat dan mampu melontarkan material 150 m. Mengabaikan instruksi dari inspektur tambang atau pengawas pertambangan. Pengusaha dan pengawas tidak memfasilitasi para pekerja tentang K3 baik secara pengetahuan maupun peralatan. Solusi dari permasalahan tersebut: Pengusaha dan pengawas harus mematuhi keselamatan pekerjanya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB IV Pengawasan Pasal 5, ayat (1) dan (2) yang berbunyi : (1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya. (2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan. ” Pengurus dengan segera melengkapi pekerja dengan peralatan perlindungan diri yang ditetapkan. Sesuai isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB X Kewajiban Pengurus Pasal 14 Butir c, yang berbunyi : “ Pengurus diwajibkan :Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. ”
Para pekerja harus mengetahui dan mematuhi Hak dan Kewajiban tenaga kerja. Sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun1970 BAB VIII Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja Pasal 12, yang berbunyi : “ Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk : i.
Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
ii.
Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
iii.
Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; d.Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. ”
Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB IX Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja Pasal 13 yang berbunyi : “ Barangsiapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. ” b) Peralatan Dalam melakukan proses penambangannya 50 orang korban ledakan ini menggunakan peralatan seadanya yaitu berupa belincong dan palu. Dan tidak ada perlatan-perlatan tambang bawah tanah modern yang digunakan. Tentu ini berdampak buruk karena belincong yang digunakan untuk melubangi lapisan batu bara akan memercikan api dan ini mengakibatkan gas metana yang terperangkap dalam tambang tersebut meledak. Kedaaan ini sebenarnya dapat diatas asal saja para pekerja memiliki peralatan yang memadai berupa ventilasi buatan yang akan menormalkan kadar gas metana dalam tambang bawah tanah tersebut. Selain dari pada itu juga diperlukan gas detector untuk mengetahui kandungan gas-gas berbahaya dalam tambang tersebut. Andaikan para pekerja denga peralatan yang lengkap dan modern tentunya kecelakaan dapat dihindari karena dengan perlatan seperti gas detector maka akan diketahui kandungan gas metana saat itu adalah 5-15% dan ini berbahaya jika dilakukan penambangan maka salah satu cara mengantisipasinya dengan mengaktifkan ventilasi buatan untuk mengalirkan udara kedalam tambang sehingga mampu meneralkan gas metana hingga menjadi normal kembali sampi 0,25-2%. Dengan ini jelas peralatan yang digunakan berpengaruh terhadap terjadinya ledakan tambang tersebut selain itu diperkirakan ledakan tambang tersebut disebabkan oleh peralatan yang dibawa para pekerja seperti genzet dan genzet
ini mengalami konsleting sehingga memercikkan api yang mengakibatkan munculnya ledakan tambang batu bara tersebut. Solusi dari permasalahan diatas : Menghindari penggunaan mesin/ peralatan peledakan yang berbahaya. Sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 ayat (1) dan (2)Butir a yang berbunyi : “(1)Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. (2)Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana : a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan”. c)
Material
Tambang sawah lunto merupakan tambang bawah tanah dengan barang tambang berupa batubara.Kita mengetahui setiap lapisan batubara mengandung CBM atau coal bed methane (gas metana). Gas metatna ini akan keluar dengan sendirinya jika bersentuhan dengan udara. Kadar normal gas metan yang diperbolehkan dalam tambang bawah tanah adalah 0,25-2% sedangkan kondisi saat ledakan tersebut berkisar antara 5-15%. Apakah ini sebuah masalah tentu saja tidak.Keadaan seperti ini sebenarnya kerap terjadi di tambang bawah tanah hanya saja untuk menetralkannya dibutuhkan ventilasi buatan yang memadai. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa material bukanlah faktor yang berpengaruh akan terjadinya kecelakaan tersebut. Solusi permasalahan dari segi material adalah : Adanya peningkatan keselamatan kerja ketika dilakukan kegiatan penambangan material. Sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB II Ruang Lingkup Pasal 2 ayat (2) Butir e yang berbunyi : Pekerja harus berhati-hati agar tidak terkena material yang terpelanting pada saat peledakan dengan memakai peralatan yang ditetapkan. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1970 BAB II Ruang Lingkup Pasal 2 ayat (1) dan (2) Butir k yang berbunyi :
“(1)Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. (2)Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana :k.dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.” d) SOP Perusahaan memiliki tanggung jawab atas semua yang terjadi di wilayah KP-nya seperti kecelakaan dan sebagainya. Maka dari pada itu untuk mengantisipasi hal tersebut dibutuhkan pemahaman karyawan akan K3 dan SOP yang berlaku di perusahaan tersebut untuk dapat menimalisir kecelakaan-kecelakaan yang akan terjadi. Sekarang mari kita tinjau kasus ledakn tambang di sawahlunto. Beberapa korban yang selamat ada yang menturkan bahwa ada beberapa karyawan yang merokok dalam melakukan proses penambangannya tentu saja ini sudah menyalahi K3. Dengan ini di dapat dua kemungkinan apakah perusahaan tersebut yang tidak memiliki manajemen K3 dan SOP atau karyawannya yang tidak menghiraukan SOP dan K3 dari perusahaan. Maka untuk menjawab ini kita membutuhkan data-data penunjang salah satunya bahwa kecelakaan yang terjadi pada 16 juni 2009 ini bukanlah kecelakaan yang pertama namun ini adalah kecelakan yang ke sekiankalinya pada posisi yang sama. Dari tahu 2002-2009 terhitung 91 korban meninggal akibat ledakan tambang bawah tanah tersebut.Ini menandakan tidak adanya SOP dan K3 di perusahaan yang menguasai wilayah KP tersebut karena seringnya terjadi kecelakaan tambang dan tidak ada upaya antisipasi. Solusi kesalahan dari segi SOP adalah : Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 BAB III Syarat-Syarat Keselamatan Kerja Pasal 3 ayat(1) Butir a-f yang berbunyi : “ (1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk : a.mencegah dan mengurangi kecelakaan; b.mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; c.mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; d.memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; e.memberi pertolongan pada kecelakaan. f.memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja. ” Dari empat aspek diatas dapat kita simpulkan bahwa ledakan tambang yang terjadi di sawahlunto diakibatkan oleh faktor SOP dan K3 perusahaan yang tidak ada, peralatan yang
digunakan tidak menunjang K3, manusia atau pekerja yang tidak terampil dan tidak berpengalaman dalam dunia pertambangan dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif.
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan