12 Juta Anak Indonesia Putus

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 12 Juta Anak Indonesia Putus as PDF for free.

More details

  • Words: 5,475
  • Pages: 20
12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah By Robert Manurung

155.965 anak berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta menjadi pekerja di bawah umur. Mereka sasaran empuk perdagangan anak. Oleh : Robert Manurung SETELAH membaca artikel ini, Anda pasti merasa sangat beruntung, dan mendapat alasan baru untuk mensyukuri kemujuran hidup Anda. Tapi sebaliknya Anda pun bisa dihinggapi rasa bersalah; prihatin dan cemas. Tentu, kita semua sangat beruntung karena setidak-tidaknya telah menyelesaikan pendidikan SMA, bahkan sebagian besar di antara kita sudah bergelar sarjana. Bandingkanlah dengan nasib apes anak-anak di sekeliling kita; yang terpaksa putus sekolah karena orangtua tak mampu lagi membiayai; lalu menjalani hari-hari yang hampa dan menatap masa depan dengan rasa gamang. Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Ternyata, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Lihatlah, pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas PA apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan. Bayangkan, gairah belajar 12 juta anak terpaksa dipadamkan. Dan 12 juta harapan yang melambung kini kandas di dataran realitas yang keras, seperti balon raksasa ditusuk secara kasar–kempes dalam sekejap. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas, dan bahkan mengerikan!

Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orangtua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayosekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Tahu-tahu sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah, dan menyaksikan pameran kemewahan di sekitarnya–yang dari hari ke hari semakin vulgar dan telanjang. Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga Anda. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat Anda, tapi mungkin berada di tempat yang jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini Apakah aku, Anda dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh; berdalih bahwa itu adalah tanggungjawab pemerintah; lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish? Adakah yang bisa aku lakukan selain mewartakan bencana ini melalui blog ? Dan tidak adakah yang bisa Anda lakukan selain merasa prihatin sejenak, lalu meninggalkan komentar, kemudian mencari di blog lain artikel yang lebih menyenangkan dan menghibur hati Anda ? *** PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia, misalnya konglomerat Liem Sioe Liong, cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang. Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat! Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.” “Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur. *** MENURUT catatan Komnas PA, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Bukan cuma itu. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.

Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari,. ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko. Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi— termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah ? Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan SBY-JK masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat—seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit. Percayalah, SBY-JK baru akan yakin bahwa ada masalah—sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan. MERDEKA! Tag: berita, dekadensi, ekonomi, fenomena, Indonesia, pendidikan, politik, presiden, sekolah, sosial, tragedi Tulisan ini dikirim pada pada 22 Maret, 2008 10:40 am dan di isikan dibawah merdeka. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.

39 Tanggapan ke “12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah”

1.

Sawali Tuhusetya Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 1:59 pm

sebuah kenyataan yang bener2 ironis ini bung robert ketika dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar 9 tahun, demikian masif diiklankan melalui TV. sepanjang yang saya tahu, ada juga program retrieval yang mempunyai sasaran untuk mencari dan memburu anak2 putus sekolah karena alasan ekonomi. mereka dipanggil kembali ke sekolah agar bisa ikut menikmati bangku pendidikan. jika tidak salah, program retrival itu juga menyediakan anggaran untuk beli pakaian sekolah. mereka tinggal aktif masuk sekolah saja. namun, kita bener2 tersentak ketika mendapati kenyataan bahwa ternyata masih ada sekitar 8 juta anak putus sekolah. tampaknya ini juga butuh aksi kolektif dari semua pihak utk bisa menyelamatkan masa depan mereka. mari kita mulai dari diri sendiri, bung, meski baru berupa tindakan kecil. 2.

Robert Manurung Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 3:37 pm

Inilah fakta paling jujur mengenai keadaan bangsa kita hari ini, Pak Sawali. Maaf aku koreksi, jumlah anak putus sekolah bukan 8 juta tapi 12 juta. Anak-anak SD juga drop out. Memang bukan cuma lantaran kesulitan membayar SPP; tapi juga karena tak punya uang untuk beli seragam; tidak punya ongkos naik angkot ke sekolah; dan paling memilukan : orang tuanya tak sanggup lagi menyediakan sarapan pagi………. Jadi, persoalannya tidak lagi hanya di seputar institusi pendidikan, tapi sudah bergeser ke jantung realitas paling hakiki yaitu BERTAHAN UNTUK HIDUP. Benar Pak, kita harus berbuat dengan segala keterbatasan kita masing-masing. Aku dan beberapa teman sedang menghimpun dana untuk menyokong puluhan anak SD yang terancam putus sekolah. Apa boleh buat memang baru segitu yang kami mampu. 3.

Hanna Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 4:18 pm

Saya tak bisa komen banyak. Bagaimanapun saya ini hanya anak lulusan SLTP. Saat ini belajar menulis karena ingin berbuat sesuatu. Setidaknya memotivasi anak2 yang senasib dengan saya agar mau belajar lagi di luar sekolah. 4.

realylife Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 5:05 pm

bener banget pak kebetulan saya lagi ada di Medan sekarang dan menemukan banyak realita pahit mau membantu saya bang ????

5.

tasmerah Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 7:46 pm

salam bang! mungkin mas pernah denger Compasion International? mereka adalah orang luar yang peduli ama anak2 indonesia. saya pernah terlibat,… 6.

Singal Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 10:19 pm

Pemerintah harus memberi prioritas pada pendidikan dan menghargai orang “pintar” memberi mereka kesempatan berkarya. Sekolah harus gratis. Saat ini, pengangguran makin banyak pula, karena, disamping putus sekolah (masyarakat tidak mampu membayar uang sekolah), mungkin juga orang tidak tertarik atau tidak ingin sekolah ke pendidikan yang lebih tinggi. Karena mereka meiihat, kalau pemerintah memilih birokratnya, harus lulus kelayakan dan kepatutan alias “Fit and Proper Test” dulu. Selayaknya memang demikian, namun…. 7.

FIFers Berkata: 22 Maret, 2008 pukul 10:42 pm

Saya turut bergabung dan mendukung ya..contact me..keep spirit and keep in touch 8.

adi isa Berkata: 23 Maret, 2008 pukul 8:37 pm

its my first comment, bang robert, data yang anda berikan itu, benar2 akurat ya? well, saya jadi ngeri membayangkan, masa depan negara ini, bila sekian juta anak2 yang putus sekolah dan tidak berpendidikan, gimana nasib kelak bangsa ini? mereka adalah penerus kita, kriminalistas akan semakin besar, tanpa bisa di elakan, kadang persoalan agama dan akidah menjadi nomor 2, yang penting perut kenyang, maka jalan pintas adalah pilihan paling utama, pembunuhan dan perampokan… ada tidak ya, lembaga orang perorang semacam LSM yang benar2 menunjukan upaya real, dalam urusan ini? 9.

ariss_ Berkata: 23 Maret, 2008 pukul 9:34 pm

Nyaris saya tidak punya “amunisi” untuk merespon setiap tulisan yang memaparkan catatan hitam pendidikan negeri ini. Tapi saya memiliki secercah harapan positif–yang

mungkin utopis dan terlalu spekulatif–yakni bahwa, semua realitas ini adalah satu isyarat, atau lebih tepatnya kita sebut saja, “skenario Tuhan”. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa sekolah sudah tidak bisa lagi dipercaya sebagai lembaga/institusi formal yang mampu menelurkan manusia-manusia berkualitas (iman dan intelektual), meski berhasil meraih seribu gelar. Nah, barangkali diantara 12 juta lebih anak Indonesia yang putus sekolah ini, taruhlah setengahnya (6 juta anak) ada yang bisa memetik 1001 pelajaran di “universitas kehidupannya” sendiri-sendiri dan menjadi manusia yang tangguh luardalam, sebab sudah terbiasa ditempa kejam dan ganasnya kehidupan real. Nah, orangorang seperti inilah yang bakal menjadi tumpuan harapan kita kelak. Mereka sudah terbiasa menjalani keras dan beratnya hidup. Hingga akhirnya, jika emosi hidup mereka sudah matang, mereka akan memiliki kualitas SQ yang tidak main-main, dan kita harapkan mereka bakal menjadi manusia di garda depan dalam merobohkan status quo berkepanjangan di negeri ini, hingga akhirnya mereka menjadi pemimpin yang diidamkan dan menjadikan negeri ini menjadi negeri utopia. . Saya ucapkan selamat, buat anda-anda yang sudah berkenalan dan dididik langsung oleh para “guru universitas kehidupan”. . Terakhir, yang bisa kita lakukan saat ini, adalah “moving”, bergerak. Kemana? Ya kemanapun, asal progresif, dan mampu mengeliminir satu per satu problem krusial di sekitar… (tentu, sesuai dengan kapasitas masing-masing). . Salam, [maaf kalau terkesan out of topic] 10.

Elfrida Berkata: 23 Maret, 2008 pukul 10:12 pm

wah dari baca tulisan ini, mata hatiku terbuka, karena di lingkunganku jarang anak yang putus sekolah, bahkan mereka putus sekolah bukan karena gak punya uang, tapi memang udah tidak pengen sekolah. Karena seperti yang telah dikatakan oleh “tasmerah” di daerah saya memang ada yayasan compasion. Dan yayasan itu bekerjasama dengan gereja2. Kalo tidak salah, pusatnya ada di Bandung. Salam Kenal ya Pak. GBU 11.

FIFers Berkata: 23 Maret, 2008 pukul 10:25 pm

Terpikirkah oleh anda, berapa banyak anak-anak Indonesia yang tidak mempunyai seragam sekolah ? Tahukah anda ? Banyak anak-anak yang berasal dari wilayah yang paling miskin di Indonesia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah. Alasannyapun beragam, salah satu alasan utama adalah orang tua mereka tidak sanggup membelikan anaknya pakaian seragam sekolah. see for detail info

http://liteforward.com/blog/?p=1 Salam Kemanusiaan! 12.

syiena Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 8:27 am

membaca tulisan ini seharusnya pemerintah sadar bahwa program Wajar 9 tahun di negeri ini Gatot alias gagal total. Saya jadi inget kemarin pas nonton kompetisi dangdut dadakan di sebuah tv, pas edisi anak tiri…disitu realita pendidikan kita juga ditampakkan begitu nyata oleh para kontestan, beberapa diantara mereka mending jadi penyanyi (pengamen jalanan) dari pada sekolah–Lha sekolah sekarang mahal– alasan putus sekolah memang beragam, namun tetep ini menjadi tanggungjawab bersama. Bagaimana mau meningkatkan kualitas pendidikan sementara sistem (lebih tepatnya yang menjalankan) tidak serius dalam melaksanakan program ini, jadi saya pikir pantas saja jumlah siswa putus sekolah mencapai angka demikian fantastis. artinya jumlah itu adalah beban negara. Semoga Negeri ini segera Merdeka dari segala bentuk Penjajahan. Salam Kenal bos 13.

annida Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 10:07 am

kenyataan pahit yang di hadapi bangsa Indonesia memang membutuhkan perhatian ekstra, khususnya pada masalah pendidikan atau putus sekolah. Anak-anak yang masih dalam usia belia di paksa untuk dewasa karena mesti menjalani kehidupan yang keras, bahkan dengan alasan untuk bertahan hidup yang membuat berbagai macam kesempatan terbuka untuk melakukan kejahatan. Persoalan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah maupun pemimpin kita saja, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Orang tua yang bersangkutan yang juag sangat-sangat terlibat, orang terdekat maupun negara yang mempunyai andil besar. Untuk menanggulanginya, tidak hanya cukup menyelesaikan satu permasalahan saja, melainkan beruntun, karena masalah ini mempunyai benang merah yang panjang, serta menjangkau segala macam segi kehidupan dan kepentingan. 14.

erander Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 10:40 am

Saya teringat kisah perjuangan ibu Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih dalam memberikan pendidikan anak-anak yang tidak bersekolah formal dengan memberikan pendidikan langsung. Atau bagaimana Ahmad Dhani yang lebih senang dengan sistem home shcool dibandingkan pendidikan formal.

Memang .. masalah dunia pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Jangankan yang putus sekolah. Yang sekolah saja, apakah ’semua’nya bisa diandalkan?? .. atau apakah sekolah yang ada sudah memenuhi standar. Dan belum lagi bicara soal hasilnya .. dimana yang sarjana masih banyak menganggur. Tapi kita ga boleh nyerah. Mulai dari yang mudah. Jika ada anak terlantar atau yang ada disekitar kita, kita angkat menjadi anak asuh dan kita sekolahkan. Atau masuk dalam gerakan GN-OTA, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh .. kita ga bisa menolong 12 juta anak, tapi kalo masing-masing menolong 1 orang .. Insya Allah, semua bisa diatas bersama-sama. 15.

nancy Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 10:49 am

Iya, Pak saya pun turut prihatin dengan keberadaan anak-anak Putus Sekolah ini. Saya bekerjasama dengan satu Yayasan Sosial untuk memberikan bantuan bagi anak-anak ini, sekaligus memberi “kail” bagi orangtua mereka meningkatkan pendapatan. Tanap perduli latar belakang Suku, Ras dan Agama. Situsnya ada di http://www.wordharvest.cc Mengenai Tawaran Bea Siswa yagn saya muat di website saya ini bagi yang Graduate Study (Master dan Doctor). Tolong disebarkan. Saya juga sedang menghimpun informasi Universitas lain yang memberi Bea Siswa tertuama di S.Korea, yang akan saya muat nanti. Keep the spirit pak! 16.

Mardies Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 12:47 pm

Artikelnya panjang dan keren. Empat jempol buat Anda. Jika kita lihat, jurang pemisah antara si kaya dan si Miskin di Jakarta sangat lebar dan dalam. Kita tahu, dalam semalam para jetset bisa menghamburkan puluahn juta Rupiah. Nah, kalau saya pikir secara logika, pasti pajak hiburan dari tempat-tempat seperti itu besar sekali. Sayang sekali pendapatan dari pajak sering kali bocor. Seandainya saja tingkat korupsi negara kita tidak terlalu nggilani. Ah, saya terlalu berandai-andai. Kalau tidak bisa dari yang besar, memang kita perlu memulai dari yang kecil. Minimal dari lingkungan kita lah. Makasih tyelah mengingatkan. Tetap ngeblog aja dan saya tunggu tulisan menarik berikutnya. Salam!

17.

Edi Psw Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 4:39 pm

Kasihan sekali. Masa depannya hancur dan dia hanya pasrah untuk menjalani hidup ini seperti air mengalir. 18.

bhadra31 Berkata: 24 Maret, 2008 pukul 5:07 pm

bang di jawa timur ada STM yang memperbolehkan siswanya membayar dengan sayuran…kira-kira solusi bukan ya….??? yang pasti, selain uang, mereka juga butuh motivasi bang, biar maju… artinya, ada juga yang putus asa, gara-gara merasa sekolah nggak ada gunanya. mending kerja bisa beli ha-pe, beli m3, trus mejeng tiap malem. karena tantangan di sekolah saya bukan hanya tidak punya uang, tapi pergaulan yang salah kaprah. daripada uang buat sekolah, mending buat beli ha-pe. apalagi sekolah saya dekat lokalisasi…wah, penuh tantangan. Dan saya tetap mendukung mereka yang tergerak dengan kondisi pendidikan..semoga terus berjuang..tetap optimis..suatu saat kita pasti berubah..aamiin.. 19.

Marudut p-1000 Berkata: 25 Maret, 2008 pukul 1:03 pm

Ada satu ungkapan dalam bahasa latin : ” Non Scholae Sed Vitae Discimus” (kalau ejaannya salah tolong diperbaiki), kira-kira artinya, Kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup. Persoalan dalam artikel di atas terjadi karena selama ini kita beranggapan bahwa belajar itu sama dengan sekolah (mendapatkan ijazah). Ungkapan Latin tersebut sudah ada dari ribuan tahun yang lalu (jaman Socrates). Di jaman itu, setiap orang belajar di mana saja: di pinggir jalan, di pasar-pasar, di warung-warung, di bukit-bukit dll. Mata pelajarannya adalah apa yang mereka amati dan rasakan. Banyak teori-teori dan temuan-temuan yang lahir kemudian didasarkan pada hasil diskusi, perdebatan dan permenungan para filsuffilsuf itu. Kembali ke masalah di atas, kearifan lokal masyarakat indonesia masih banyak yang bisa digali untuk pembelajaran, tidak diperlukan biaya besar untuk mempelajarinya apalagi seragam untuk sekolah. Sebagai contoh adalah : seseorang dapat menjadi dokter dengan mempelajari obat-obat tradisional yang materialnya sudah tersedia di alam indonesia. Banyak contoh-contoh kearifan lokal lainnya, sayang semuanya memang belum terdokumentasi secara baik untuk bisa menjadi literatur bagi generasi berikutnya.

Persoalan di atas terjadi karena selama ini pemerintah, sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab, hanya bisa men-duplikasi tanpa ada modifikasi dan penyesuaian terhadap kearifan lokal. Melihat kondisi yang ada sekarang ini, sebaiknya masyarakat indonesia jangan berharap banyak kepada pemerintah. Pemerintah indonesia tidak pernah tau, atau tidak mau tau ,atau pura-pura tidak tau akan kebutuhan rakyatnya. Semua kebijakan yang diambil selalu project basis, berapa bagian mereka? Jangan pernah mau putus sekolah (belajar) karena masih banyak yang bisa dipelajari dalam kehidupan kita. 20. yuzandre Berkata: 31 Maret, 2008 pukul 9:12 am

cukup ironis memang,negara yang sangat menghargai sekali hak azazi manusia dan memiliki undang undang perlindungan anak harus menelan pahitnya kecaman dampak buruk sosial dalam jelmaan anak jalanan yang begitu besar,belum lagi dampak buruk sosial yang lain berupa perdagangan manusia,dan kasus sosial lainnya yang membuat negara ini semakin malu pada peradaban dunia,apa gunanya semboyan wajib belajar sembilan tahun,namun pada kenyataannya,itu hanyalah tinggal sebuah semboyan yang tak berarti,kita tidak perlu menyalahkan siapa2 dalam hal ini,yang kita perlukan hanyalah berbenah diri,sejauh mana hati nurani kita bisa peduli pada mereka yang kurang beruntung itu,dan sedikit beraalih,jika seandainya kita yang menggantikan mereka disana,apa kita masih bisa tutup mata dengan semua ini. 21.

infoGue Berkata: 1 April, 2008 pukul 3:56 pm

artikel anda sangat bagus, artikel anda: http://www.infogue.com/pendidikan/12_juta_anak_indonesia_putus_sekolah_/ anda bisa promosikan artikel anda di infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca di Indonesia. Semoga bermanfaat, salam! http://www.infogue.com/ 22.

ochiemrock3r Berkata: 4 April, 2008 pukul 12:23 am

2008 0rang PUTUS CINTA DAN PUTUS TALI KOLOR ! bagaimana nih ? 23.

Robert Manurung Berkata: 4 April, 2008 pukul 8:10 am

@ Hanna Salut buatmu Hanna. Mudah-mudahan semangatmu untuk terus belajar, meski tidak melalui lembaga formal, bisa jadi inspirasi bagi puluhan juta anak Indonesia yang putus sekolah hari ini. @ realylife apa yang bisa kubantu, kawan ? @ tas merah di daerah mana saja Compassion International beroperasi ? Kasih info dong, mungkin bermanfaat bagi orang banyak. @ Singal Betul sekali Pak Singal. 62 tahun merdeka, bangsa ini masih berkutat pada persoalan dasar, bagaimana ini? Lucunya, ketika Soeharto berkuasa dia berani mengadakan konferensi APEC di Indonesia, apa nggak ngaca ? Horas @ FIFers OK kawan. Aku senang karena unit bisnis seperti FIF masih mau memikirkan persoalan kemasyarakatan. Itu cara berbisnis yang baik. Terima kasih. @ adi isa Datanya akurat. Memang mengerikan. Tapi sebenarnya masih ada peluang untuk menyelamatkan sebagian, agar jangan menjadi bencana nasional yang mengerikan untuk jangka panjang. Kita terutama berharap pada saudara-saudara yang muslim, terutama yang punya kemampuan untuk naik haji kedua kali dan seterusnya. Ini jumlahnya cukup besar. Bayangkan kalau saudara-saudara kita yang ingin naik haji kesekian kalinya itu mau menunda dulu, lalu uang yang buat naik haji disumbangkan buat pendidikan. Besar sekali nilainya itu. Pendeknya, kita semua bisa berbuat dengan kemampuan masing-masing, dan mulai dulu dari lingkungan keluarga kemudian ke tetangga terdekat. Merdeka! @ ariss

Aku setuju, kita tidak boleh pesimis. harus terus berharap. Aku sendiri juga seorang otodidak, tapi menurut pengalamanku belajar sendiri dari “universitas kehidupan” itu banyak sekali yang nyasar, kecuali dia menemukan peta yang tepat atau pemandu yang bertanggungjawab. Kemungkinan terbesar orang-orang yang pendidikan formalnya rendah akan terikat seumur hidupnya dengan indeks UMR atau polisi pamongpraja. Belum lagi masalah yang akan muncul berkaitan dengan KDRT karena kurangnya pengetahuan, dan bimbingan anak yang salah karena orang tuanya berwawasan sempit. @ Elfrida Terima kasih. Sepintas lalu memang tidak ada problem putus sekolah di kalangan Kristen, mungkin karena kegiatan katarsis sudah terorganisir baik dan menjadi bagian integral dari kehidupan beragama. Tapi mungkin gambaran ini hanya berlaku di pulau Jawa. Bagaimana di Papua, Maluku, Flores dll. Sekadar info, di Tapanuli saja sudah ditemukan sejumlah anak putus sekolah. Padahal masyarakat Batak sangat mementingkan pendidikan dan selalu tolong-menolong, plus adanya HKBP yang merupakan gereja protestan terbesar di Asia. Otokritik juga ini buat aku. Memang memalukan, tapi faktanya begitu… @ FIFers Soal seragam, itu masalah klasik. Sekarang, sejalan dengan kesulitan ekonomi yang makin mencekik kalangan miskin, penyebab putus sekolah adalah karena orang tua tidak mampu lagi memberikan sarapan pagi buat anak-anaknya yang akan berangkat sekolah… @ syiena Salam kenal. Aku sependapat dengan semua yang syiena katakan. Ini masalah besar buat kita semua, perlu sikap prihatin dan ikhtiar. @ annida Betul. Apa yang harus kita lakukan ? Dengan sharing begini mudah-mudahan akan muncul ide-ide untuk jalan keluarnya atau setidaknya menjalin solidaritas agar kita bisa berempati terhadap anak-anak yang tidak beruntung itu. @ erander Aku pun sudah lama mengagumi dua ibu kakak beradik itu. Tapi belakangan aku dengar sekolah untuk anak jalanan yang mereka jalankan malah digusur oleh pemda…kecuali ada uang pelicin!

@ nancy Yup, aku akan posting nanti info beasiswa itu. Tapi bagaimana pendapatmu mengenai isu brain drain ? 24.

hilda alexander Berkata: 4 April, 2008 pukul 8:11 am

Adakah prestasi yang bisa dibanggakan dari bangsa kita, selain catatan-catatan buruk…? Bank Dunia (World Bank) baru-baru ini melansir pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia, khususnya Asia Timur melemah menjadi sekitar 6-7%. Indonesia termasuk di dalamnya…. apakah ini ada kaitan antara bertambahnya angka anak putus sekolah dan perlambatan pertumbuhan ekonomi? 25. Justice May be Blind « Desmeli’s Weblog Berkata: 8 April, 2008 pukul 2:45 pm

[...] Lantas siapa yang bertanggung jawab atas nasib warga Sidoarjo pada kasus Lapindo, anak-anak yang mati kelaparan, anak-anak putus sekolah. [...] 26.

La An Berkata: 8 April, 2008 pukul 8:19 pm

kira2 solusinya apa nieh…. 27.

erwin harmono Berkata: 8 April, 2008 pukul 10:18 pm

Menurut hemat saya, banyaknya anak putus sekolah disebabkan oleh paradigma masyarakat terhadap dunia pendidikan kita. saya pernah mendengar salah seorang ibu yang sedang berbicara dengan anaknya.”Nak, buat sekarang hidup tidak mudah, semuanya mahal, udah mending gini aja, kamu gak perlu sekolah yak nak, kamu gak perlu ngelanjutin ke SMA, kalo kamu sekolah, uangnya dapat dari mana?masuk sekolah itu mahal! ema ga sanggup ngebiayain kamu. buat apa sekolah?udah banyak orang-orang pinter, udah banyak yang mau jadi presiden, mending di rumah bantuin ema ma bapa y”. anak itu hanya mengangguk tanda setuju. mungkin dia pikir juga, buat apa sekolah, toh sekarang banyak orang-orang yang pintar. Aku hanya bisa bertanya, kenapa pendidikan kita mahal?walaupun dari pemerintah sudah memberikan solusinya yang di antaranya dengan adanya BOS dan BOM, lalu adanya sekolah gratis untuk SD dan SMP, tapi apakha orang dapat mampu membeli buku-buku pelajarannya? selain itu pula,saya bingung, banyak orang yang bilang”wah, kalo banyak anak yang putus sekolah, itu sudah melanggar HAM”. Tapi di mana pelanggaran HAM-nya?mohon kepada siapa saja, tolong beri komentar atau jawaban dan berikan solusinya

28.

basir chabir muhammad Berkata: 18 April, 2008 pukul 8:37 pm

12 juta anak indonesia bisa sekolah, kalo dana skandal BLBI dikembalikan untuk membiayai pendidikan anak putus sekolah ini. di sulawesi selatan gubernur yang terpilih mencanangkan pendidikan gratis dari sd sampai smp, tapi diberlakukan secara bertahap sampai akhir jabatannya baru keseluruhan biaya pendidikan gratis, artinya sama aja bohong pak gubernur. sekalian daftar lagi calon kemudian program pendidikan gratis lanjutan. 29.

Teteh Berkata: 4 Mei, 2008 pukul 3:13 am

Salam sejahtera bang Manurung. Salam dari London. Sudah kelewat lama saya mikirin terus nasib anak-anak kita di Indonesia, belum lagi teratasi anak-anak yg putus sekolah, eh mereka juga jadi korban musibah dan konflik dari Aceh hingga di ujung timur sana. Sistim mentalitas dari ruler yang harus dirubah, itu yang nomor satu, mulai dari tanggung jawab mereka utk melaksanakan uud 45. Kalau mereka bermoral mestinya difikirkan masa depan bangsa ini, bukan? Bantuan berupa kepedulian sosial kita tidak akan mementaskan masalah ini…namun, kami yg diluar berupaya ngumpulin uang receh sambil jualan lumpia..mencoba menolong anak-anak yang the most ‘vulnarable one’. terima kasih untuk data yang saya fikir sangat akurat and really helpful yang sudah lama saya cari. Moga kita berjumpa suatu hari. Salam, Teteh. 30.

astari Berkata: 14 Mei, 2008 pukul 7:19 pm

Gimana cara agar Indonesia bisa maju, masih banyak anak yang putus sekolah!!!! yang kayak gini nih harus ditindaklanjuti. 31. Zuraida Hamid Berkata: 8 Juni, 2008 pukul 7:44 pm

punya data terakhir total anak putus sekolah? data anda diperoleh dari mana? tolong balas. thx atas infonya. 32.

altins Berkata: 12 Juni, 2008 pukul 9:52 am

Dear Mr.Robert Manurung,

Cobalah untuk jangan hanya menulis fakta, tapi coba beri solusi bagaimana untuk mengatasi hal ini. Saya sudah baca tulisan anda, dan iya, saya merinding membacanya. Tapi kemudian, apa yang dapat saya lakukan, saya tidak memiliki petunjuk sama sekali. Kita sekarang sudah mengetahui permasalahannya, dan perlu dipikirkan bagaimana solusinya. Cukuplah sudah kita andalkan pemerintah yang masih tidak peduli melihat hal ini. I ask you Mr. Robert Manurung, what should I do? 33.

Robert Manurung Berkata: 26 Juli, 2008 pukul 5:50 pm

@ All Sorry baru aku tanggapi sekarang, setelah hampir empat bulan buat sebagian, dan sekitar satu bulan buat pemberi komentar terbaru. Alasan yang paling sopan, dan tidak berbohong, karena aku masih kerepotan menyelaraskan waktuku untuk pekerjaan rutin dan ngeblog (menulis artikel, memoderasi dan menanggapi komentar, serta menjawab email lewat jalur pribadi dari pengunjung blog ini). @ Mardies Aku menulis artikel ini karena dorongan keprihatinan yang kuat, dan tidak terlalu mempertimbangkan aspek estetikanya. Namun demikian, terima kasih untuk apresiasinya. Salam @ Edi Psw Kasihan memang anak-anak itu. Tapi kita pun harus merasa iba pada diri sendiri, karena dampak dari bencana nasional di bidang pendidikan ini pasti akan kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pasti akan jadi beban sosial, dan itu bisa menimbulkan macam-macam ekses. @ bhadra Terima kasih untuk infonya. Mudah-mudahan ada yang terinspirasi. Itulah salah satu solusinya. Hanya salah satu. @ Marudut p-1000 Aku setuju kita tidak boleh menyerah. kalaupun putus sekolah tak bisa dielakkan jangan merasa hidup sudah berakhir. Namun bagaimanapun pilihan terbaik adalah mengusahakan agar anak-anak itu tetap bersekolah.

@ yuzandre Betul, kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, tapi jangan pula membiarkan saja. Masing-masing kita bisa membantu mereka semampu kita. Masalahnya bukan mampu, tapi mau nggak ? @ hilda alexander Poblemnya adalah ketidakadilan pembagian kue nasioanal. Ada lapisan kecil yang kelewat kaya, dan ada lapisan terbesar yang kelewat miskin. Pembangunan di negeri ini tidak pernah berpihak pada orang miskin, tapi malah menyengsarakan dan menjadikannya tumbal. Itu soalnya. @ La An Solusinya ? Mari kita ubah cara hidup kita yang boros dan sikap kita yang tak pedulian pada orang-orang yang tak beruntung itu. Kita bisa menghabiskan ratusan ribu untuk SMS-an yang tak terlalu penting. Kalau pemborosan itu dikurangi, bisa disumbangkan buat anak-anak itu supaya kembali bersekolah. Cobalah mengajak teman-teman mendiskusikan masalah ini. Mulailah dari lingkungan yang paling dekat dan akrab. Lalu lihat di sekeliling, siapa tahu ada anak putus sekolah; dan bantulah semampu kalian. Selamat mencoba. @ erwin harmono Dikatakan pelanggaran HAM, barangkali, karena UUD 45 mengamanatkan negara untuk mengurus anak-anak telantar, yatim piatu dan fakir miskin. Dan negara tidak melakukan itu. @ basir chabir Betul. Dana BLBI cukup untuk membiayai pendidikan 12 juta anak itu. Tapi rasanya kita tak bisa mengharapkan itu, dan tidak juga mengandalkan janji-janji manis para calon pemimpin. Yang terbaik adalah mari kita coba menggalang solidaritas sosial. @ Teteh Salam sejahtera Teteh. Mudah-mudahan kehidupan Anda di London cukup menyenangkan, sambil tetap memikirkan nasib bangsa kita yang tercinta ini. Aku harap kita dapat berjumpa kelak untuk sharing mengenai masalah-masalah sosial di Indonesia, yang tidak menjadi agenda penting bagi para politisi. @ astari Betul. Tak boleh dibiarkan.

@ Zuraida Sumber data : Komnas Perlindungan Anak @ altins Apa yang harus kita lakukan ? Benar-benar perduli, mengorbankan sedikit kemewahan hidup kita sehari-hari, dan menyumbang biaya sekolah anak-anak putus sekolah di lingkungan kita. Mulailah dari lingkungan paling dekat, dan lakukan semampu Anda. Lebih bagus lagi kalau bisa menggugah orang lain untuk ikut peduli, tapi jangan terlalu mementingkan pembentukan organisasi formal karena nanti malah sibuk mengatasi problem internal organisasi. Lebih baik berupa komunitas atau lingkungan teman-teman. 34. Riza Novriani Berkata: 17 September, 2008 pukul 11:42 am

Bagaimana nasib negara kita, apabila penerus bangsa kita putus sekolah ? Ironisnya sekarang sekolah adalah ajang bisnis…..menyedihkan……… 35.

Diah Rofika Berkata: 21 Nopember, 2008 pukul 11:11 am

apa yang dikatakan oleh mas Robert itu benar, banyak sekali anak-anak tetangga saya yang putus sekolah, dan mungkin jauh di kampung halaman saya, terdapat juga saudarasaudara saya yang juga putus sekolah. Hal ini sangat mengganggu pikiran saya sehingga saya berencana untuk membuat semacam pendidikan kesetaraan di lingkungan saya. Semoga cara yang akan saya tempuh ini bisa sedikit mengurangi angka anak putus sekolah di negeri tercinta ini. Bravo 36.

anwar tribowo Berkata: 22 Nopember, 2008 pukul 8:45 am

Anda benar. Di sekitar kantor TAMZIS Baituttamwi juga banyak anak putus sekolah. Tamzis telah membuat program di bidang sosial dengan membuat lembaga TAMADDUN. Di bidang pendidikan, Tamaddun telah mengadakan santunan beasiswa bagi anak-anak orang miskin dengan nama BINA SISWA CERDAS. Selama ini beasiswa telah disalurkan kepada 300 siswa yang tersebar dari Klaten JAteng, hingga Jakarta. Kami sangat berharap Anda bersedia menyalurkan donasi lewat TAMZIS. Untuk lebih jelas silahkan buka situs http://www.tamzis.com atau www//csrtamaddun.com 37.

dj_oko Berkata: 7 Januari, 2009 pukul 2:41 pm

yah ini adalah bukti yang harus dipikirkan oleh kita semua ,bukan hanya menyalahkan pemerintah tapi kita harus bertanya pada diri kita “sudah berbuat apa kah saya hari ini untuk membantu mereka” ana Berkata:

38.

12 Januari, 2009 pukul 12:37 am

ehm…mau bantu. gimana caranya. aku masih kuliah. sebelum masuk kampus. aku sempat gak sekolah satu tahun. depresi hebat karena aku cinta sekolah. tapi sambil menunggu tes tahun berikutnya aku aktif di desa dan mengadakan acara untuk pemuda setempat. fokusnya membantu mereka mencari pekerjaan. UKM. megidentifikasi potensi dan membantu menabngun jaringa kerja buat mereka. saat ada event acara motivasi telah kutemukan melalui questioner kecil bahwa ternyata pendidikan mereka membuatku tersontak. bahkan ada yang SD-nya kejar paket-an. aku yang hanya lulus SMA saat itu berpikir bahwa aku beruntung. oia ayahku sellau memotivasi akau sejak kecil untuk bercita-cita dan sekolah setinggitingginya, lalau memeberikan contoh sejarah orang-orang sukses berkat sekolah berikut perjuanagn mereka untuk seklah. aku berpikir giamana kalau hal tersebut juga diterpakan pada anak-aank usia dini. ntar meskipun tanpa kita mereka juga teteap punya tekad. (udah dilakukan juga ya oleh kalian!) Larasati Silalahi Berkata:

39.

12 Januari, 2009 pukul 3:56 pm

Salam kenal abang Robert Manurung! What an eye-opener! Thanks for posting this and letting us know what is really happening around us. Saya pribadi sangat percaya kalau pendidikan itu sangat penting dan menjadi hak setiap manusia. Maka dari itu, kalau kita punya knowledge-nya, dan passion-nya, sebaiknya mulai bergerak dan melakukan sesuatu. Mungkin salah satu cara mudah untuk membantu anak-anak yang putus sekolah juga bisa dilakukan dengan berpartisipasi di sini: http://www.samsunghope.org/ PS. I believe passion is contagious. Let’s spread the words and do some actions!

Tinggalkan Balasan

Nama (wajib) Surat (tidak akan dipublikasikan) (wajib)

Situs web

Notify me of follow-up comments via email.

Blog pada WordPress.com. Masukan (RSS) dan Komentar (RSS).

Related Documents