1. Lp Batu Ginjal Dan Pcnl.docx

  • Uploaded by: Hanna Mardhotillah Fachrudin
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1. Lp Batu Ginjal Dan Pcnl.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,660
  • Pages: 26
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN Batu Ginjal dan PCNL (Percutaneous Nephrolithotomy) Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Surgical di Ruang OK Rumah Sakit Panti Nirmala Malang

Oleh:

Oleh: BEKTI MEGAPURI SUSANTI NIM: 170070301111066

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. B DENGAN Batu Ginjal dan PCNL (Percutaneous Nephrolithotomy) Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Surgical di Ruang OK Rumah Sakit Panti Nirmala Malang

Oleh : Bekti Megapuri Susanti NIM. 170070301111066

Telah diperiksa dan disetujui pada : Hari : Tanggal :

Pembimbing Akademik

Pembimbing Klinik

(

)

(

)

Kepala Ruang OK

(

)

LAPORAN PENDAHULUAN Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) A) Konsep Pembedahan Ginjal 1) Nefrostomi 1. Definisi Nefrostomi Suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan urin atau nanah dari sistem pelvikaliseal melalui insisi di kulit diikuti dengan pemasangan alat/slang Ureter kateter/NGT no 8/10) di daerah nefron atau ureter di atas sumbatan (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 2. Tujuan Nefrostomi a. Mengeluarkan cairan/urin yang tersumbat tidak bisa turun ke vesika urinaria. b. Mencegah infeksi c. Mencegah terjadinya gagal ginjal akut (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 3. Indikasi Nefrostomi a. Hidronefrosis b. Sumbatan ureter (Ureterolithiasis) c. Nephrolithiasis (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 4. Teknik Nefrostomi Nefrostomi untuk uropati obstruktif dapat dilakukan dengan 2 cara: a. Terbuka, ada 2 macam teknik: 1) Bila korteks masih tebal 2) Bila korteks sudah sangat tipis b. Perkutan (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 5. Komplikasi Nefrostomi Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan dan ekstravasasi urin (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 6. Perawatan Pascabedah Nefrostomi 1. Ukur umlah urin dan produksi drain sebagai pedoman terapi cairan dan elektrolit. 2. Kateter jangan sampai tertekuk, terjepit atau tertarik sehingga mengganggu kelancaran aliran urin. 3. Pelepasan kateter sesuai indikasi. 4. Pelepasan drain bila dalam 2 hari berturut-turut setelah pelepasan kateter produksinya <20 cc/24 am. 5. Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 2) Nefrektomi 1. Definisi Nefrektomi Suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat bagian ginjal dengan atau tanpa kelenjar getah bening regional (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 2. Jenis Nefrektomi a. Total b. Parsial (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 3. Indikasi Nefrektomi a. Disfungsi ginjal b. Tumor ginjal stadium IIIA c. Tumor ginjal sudah menginfiltrasi jaringan lain d. Trauma ginjal berat

e. Ruptur ginjal dimana didapatkan fragmentasi ginjal atau ruptur pedikel dengan hemodinamik yang tidak stabil (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 4. Komplikasi Nefrektomi a. Infeksi luka operasi b. Internal bleeding c. Renal failure d. Ekstravasasi urine (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 5. Perawatan Pascabedah Nefrektomi a. Pelepasan kateter 24 am setelah penderita siuman. b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi <220 cc/24 jam. c. Pelepasan benang jahitan keseluruhan 7 hari pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 3) Pielolitotomi 1. Definisi Pielolitotomi Suatu tindakan pembedahan terbuka untuk mengeluarkan batu ginjal yang terletak di pielum ginjal (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 2. Indikasi Pielolitotomi Batu ginjal yang berada di pielum dengan batu sekunder yang dapat diambil dari pielum (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 3. Komplikasi Pielolitotomi a. Internal bleeding b. Infeksi pascabedah (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 4. Perawatan Pascabedah Pielolitotomi a. Pelepasan kateter 24 jam setelah penderita siumn. b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi <20 cc/24 jam. c. Pelepasan benang jahitan selang-seling 4 hari pascabedah bila luka operasi kering dan pelepasan benang keseluruhan 7 hari pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 4) Bivalve Nefrolitotomi 1. Definisi Bivalve Nefrolitotomi Suatu tindakan bedah untuk mengeluarkan batu baik dari pielum dan kalik ginjal dengan membelah ginjal dengan menjadi 2 sisi anterior dan posterior (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 2. Indikasi Bivalve Nefrolitotomi Batu ginjal yang bercabang dan memenuhi seluruh sistem pelviokaliseal atau dengan batu sekunder yang banyak (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). 3. Perawatan Pascabedah Bivalve Nefrolitotomi a. Pelepasan kateter 24 jam setelah penderita siumn. b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi <20 cc/24 jam. c. Pelepasan benang jahitan selang-seling 4 hari pascabedah bila luka operasi kering dan pelepasan benang keseluruhan 7 hari pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014). B) Konsep Dasar Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) 1. Definisi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

Sejak ditemukannya prosedur perkutan menggunakan jarum untuk dekompresi hidronefrosis pada tahun 1955 oleh Willard Goodwin, endourologi berkembang sangat pesat terutama untuk menangani kelainan pada ginjal dan saluran kemih bagian atas. Pada awal dekade 1980-an prosedur PCNL sangat populer sebagai terapi batu ginjal, namun sejak ditemukannya Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) pada pertengahan dekade 1980-an penggunaannya menurun. Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan beberapa kelemahan tindakan ESWL, sehingga PCNL kembali populer digunakan sebagai penanganan batu ginjal dengan kemajuan pesat teknik dan peralatannya (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011) 2. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pengobatan Banyak faktor yang mempengaruhi seorang ahli urologi dalam mengambil keputusan terapi terhadap batu ginjal; dua hal yang paling diperhitungkan adalah angka bebas batu dan morbiditas dari tindakan yang akan dilakukan. Faktor lain yang ikut berperan antara lain ukuran, lokasi, komposisi batu, kondisi anatomi, preferensi pasien, dan ketersediaan alat (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 3. Kelebihan dan Kekurangan ESWL terhadap PCNL ESWL memiliki beberapa kelebihan, yaitu: prosedurnya yang aman dan nyaman karena tanpa luka operasi, morbiditas rendah, mudah digunakan, dan pasien dapat berobat jalan. Sedangkan kekurangan ESWL adalah angka bebas batunya yang lebih rendah dibandingkan dengan PCNL dan operasi terbuka terutama untuk batu ginjal dengan ukuran besar (<20 mm). Angka bebas batu ESWL juga dipengaruhi oleh ukuran batu, lokasi, komposisi batu, kondisi ginjal dan anatomis dari sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Kelebihan prosedur PCNL adalah angka bebas batu yang lebih besar daripada ESWL, dapat digunakan untuk terapi batu ginjal berukuran besar (>20 mm), dapat digunakan pada batu kaliks inferior yang sulit diterapi dengan ESWL, dan morbiditasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan operasi terbuka baik dalam respon sistemik tubuh maupun preservasi terhadap fungsi ginjal pasca-operasi. Kekurangan PCNL adalah dibutuhkan keahlian khusus dan pengalaman untuk melakukan prosedurnya. Saat ini operasi terbuka batu ginjal sudah banyak digantikan oleh prosedur PCNL dan ESWL baik dalam bentuk monoterapi maupun kombinasi, hal ini disebabkan morbiditas operasi terbuka lebih besar dibandingkan kedua modalitas lainnya (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 4. Indikasi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) PCNL dianjurkan untuk: (1) batu pielum simpel dengan ukuran >2 cm, dengan angka bebas batu sebesar 89%, lebih tinggi dari angka bebas batu bila dilakukan ESWL yaitu 43%. (2) Batu kaliks ginjal, terutama batu kaliks inferior dengan ukuran 2 cm, dengan angka bebas batu 90% dibandingkan dengan ESWL 28,8%. Batu kaliks superior biasanya dapat diambil dari akses kaliks inferior sedangkan untuk batu kaliks media seringkali sulit bila akses berasal dari kaliks inferior sehingga membutuhkan akses yang lebih tinggi. (3) Batu multipel, pernah dilaporkan kasus batu multipel pada ginjal tapal kuda dan berhasil diekstraksi batu sebanyak 36 buah dengan hanya menyisakan 1 fragmen kecil pada kalis media posterior. (4) Batu pada ureteropelvic junction dan ureter proksimal. Batu pada tempat ini seringkali impacted dan menimbulkan kesulitan saat pengambilannya. Untuk batu ureter proksimal yang letaknya sampai 6 cm proksimal masih dapat dijangkau dengan nefroskop, namun harus diperhatikan bahaya terjadinya perforasi dan kerusakan ureter, sehingga teknik ini direkomendasikan hanya untuk yang berpengalaman. (5) Batu ginjal besar. PCNL bada batu

besar terutama staghorn membutuhkan waktu operasi yang lebih lama, mungkin juga membutuhkan beberapa sesi operasi, dan harus diantisipasi kemungkinan adanya batu sisa. Keberhasilan sangat berkaitan dengan pengalaman operator. (6) Batu pada solitary kidney. Batu pada solitary kidney lebih aman diterapi dengan PCNL dibandingkan dengan bedah terbuka (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 5. Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Hanya ada satu kontraindikasi absolut PCNL yaitu pada pasien yang memiliki kelainan perdarahan atau pembekuan darah (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 6. Persiapan dan Teknik Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Secara umum teknik PCNL mencakup empat tahap prosedur, yaitu: akses ginjal perkutan, dilatasi, fragmentasi dan ekstraksi batu, serta drainase (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 7. Persiapan Pasien Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Persiapan meliputi anamnesis lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kontraindikasi absolut terhadap tindakan PCNL perlu diidentifikasi sebelum tindakan, yaitu: koagulopati dan infeksi saluran kemih yang aktif serta belum diterapi. Penggunaan obat-obatan antikoagulan harus dihentikan minimal 7 hari sebelum tindakan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah tepi, fungsi ginjal, elektrolit, dan kultur urin (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 8. Alat dan Perlengkapan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Kelengkapan yang dibutuhkan dalam tindakan PCNL adalah: Ultrasound, flouroskopi, jarum pungsi 18G translumbar angiography, guide wire, Metallic dilator cannula 9 F dengan metal sheath 11 F (Karl Storz Endoscopes,® Germany), Metal telescope dilators dengan hollow guide rod (9-24 F, Karl Storz), rigid nephroscopes 18 F and 26 F (6°telescope, Karl Storz®), lithotriptor, stone forceps, folley catheter 16F, bila diperlukan selang nefrostomi, ureter kateter no 5Fr, dan DJ stent. Sedangkan bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah: cairan irigasi NaCl 0,9%, kontras, metillen blue, dan benang jahit (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 9. Posisi Pasien Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter ureter dalam posisi litotomi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi tengkurap. PCNL dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap dengan sisi ginjal yang akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi 30 derajat. Posisi tersebut menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks posterior berada pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat melakukan pungsi (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 10. Jenis Anastesi pada Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) PCNL dapat dilakukan dalam anestesi lokal, regional maupun umum. Penggunaan anestesi lokal dilaporkan oleh Trivedi et al. yang menggunakan blok interpleura pada interkosta VIII dengan hasil yang memuaskan terutama pada kasus-kasus risiko tinggi pembiusan, dan waktu bius bebas nyeri rata-rata 10 jam dengan kontrol hemodinamik yang stabil. Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan ini antara lain pneumotoraks, hematotoraks, empiema, toksisitas, sindrom Horner. Anestesi regional dapat digunakan pada operasi PCNL namun terdapat beberapa masalah dalam teknik ini yaitu: membutuhkan blok anestesi letak tinggi, dan distensi renal pelvis saat PCNL dapat menyebabkan refleks vasovagal yang sulit dicegah dengan anestesi regional. Teknik ini dapat dipertimbangkan

pada kasus batu ginjal dengan tindakan PCNL tidak lebih dari 3 jam (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Terdapat 2 teknik anestesi regional yang dapat digunakan yaitu spinal dan epidural. Anestesi spinal memiliki keunggulan onset yang cepat, pelaksanaannya mudah namun memiliki kerugian yaitu dapat mengganggu hemodinamik intraoperatif. Anestesi epidural memiliki kelebihan menjaga hemodinamik lebih stabil selama operasi, dan dosis obat dapat diberikan ulang melalui kateter yang sekaligus dapat digunakan sebagai tatalaksana nyeri pasca-operasi. Kerugiannya adalah teknik yang lebih sulit serta waktu pemasangan dan onset lebih lama dengan risiko blok parsial. Untuk mengurangi kerugian ini dapat dilakukan kombinasi antara spinal dan epidural sehingga memiliki onset yang cepat namun tetap menjaga hemodinamik stabil selama operasi. Komplikasi dari tindakan anestesi regional antara lain infeksi (meningitis, abses vertebrae), hematom spinal, bradikardia, hipotensi, intoksikasi, nyeri pinggang, cedera medulla spinalis, post dura puncture headache (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila terdapat kontraindikasi anestesi regional, yaitu: pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung berat. Adapun kontraindikasi relatif tindakan anestesi regional yaitu pasien tidak kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang, pasca operasi tulang belakang, dan defisit neurologis ekstremitas bawah. Bila operasi berlangsung lama dan membutuhkan patensi jalan nafas yang terjamin baik. maka kombinasi epidural dan anestesia umum dapat dipertimbangkan. Pada kasus ketika puncture dilakukan pada pole atas ginjal maka kombinasi dengan anestesi umum juga menjadi pilihan mengingat anestesi umum dapat mengontrol penuh pernapasan yang penting untuk meminimalisasi risiko komplikasi paru. Komplikasi dari tindakan anestesi umum meliputi bradikardi, hipoksia, hiperkarbia, hipotensi, henti jantung, mual muntah. Menurut penelitian yang dilakukan Kuzgunbay et al. tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawat PCNL meng-gunakan anestesi regional dan umum, namun keamanan anestesi epidural ebih tinggi dibandingkan anestesi umum dengan tingkat efektivitas yang sama (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 11. Pungsi Pungsi perkutan untuk mendapatkan akses ke ginjal dapat dilakukan dengan bantuan kontrol ultrasonografi, fluoroskopi, atau CT-scan. Setelah pasien diposisikan tengkurap, kontras dimasukkan melalui ureter kateter sampai mengisi sistem pelviokalises. Fluoroskopi diposisikan dalam sudut 25-30o dari vertikal pada posisi aksial. Dilakukan insisi kecil pada tempat pungsi. Pungsi dapat dilakukan melalui kaliks superior, media, maupun inferior menggunakan jarum 18G yang diposisikan sehingga target pungsi, ujung jarum dan pangkal jarum berada dalam posisi segaris. Kedalaman pungsi dikontrol menggunakan fluoroskopi dalam posisi AP (anteroposterior), ketika jarum mencapai kaliks target dan obturator dilepas maka urin akan keluar dari jarum. Bila urin tidak keluar maka dapat dimasukkan kontras untuk menilai posisi pungsi apakah tepat masuk ke dalam sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Lokasi batu dan stone burden menjadi pertimbangan dalam menentukan letak pungsi ginjal. Adapun beberapa pertimbangan anatomis secara umum menjadi pedoman dalam melakukan pungsi ginjal, yaitu: kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada pada Brödel’s line, pungsi harus searah dengan infundibulum untuk mencegah perlukaan terhadap pembuluh darah serta memudahkan akses dan maneuver nefroskop saat memecahkan batu. Pungsi sebaiknya dilakukan dengan pendekatan di bawah iga 12 untuk

mengurangi risiko komplikasi terhadap pleura, bila pungsi supra kosta diperlukan maka hendaknya dilakukan pungsi saat paru ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan akses adalah dapat mengangkat batu terbesar dengan nefroskop yang rigid. Untuk batu kaliks biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks yang bersangkutan kecuali pada anterior kaliks, mengingat sudut yang tajam antara kaliks anterior terhadap pelvis sehingga batu kaliks anterior biasanya diraih melalui kaliks posterior dengan fleksibel nefroskop (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Pungsi suprakostal biasanya diperlukan pada beberapa kasus tertentu, seperti bila terdapat batu lebih banyak di kaliks superior, striktur ureteropelvic junction yang membutuhkan endopielotomi, batu multipel di kaliks dan infundibulum pole bawah/ureter, batu staghorn yang mayoritas pada kutub pole atas, dan batu pada ginjal tapal kuda. Segura et al, sedang melakukan PCNL yang dikerjakan lewat akses pole bawah didapatkan hasil secara keseluruhan angka bebas batu mencapai 81%, lama rawat 7-11 hari dengan angka tranfusi kurang dari 30%. Sedangkan menurut Wong et al. penggunaan akses tunggal pole atas ginjal dengan bantuan fleksibel nefroskop dan laser lithotripsi menghasilkan angka bebas batu 95%, angka tranfusi 2,2%, dan lama rawat 1-10 hari (rata-rata 2 hari); namun didapatkan angka komplikasi hidrotoraks sebesar 5% yang diatasi dengan thorakostomi (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Sedangkan akses multipel dipertimbangkan pada kasus yang pada tiap kaliks terdapat batu ukuran >2 cm yang tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskop rigid, atau batu dengan ukuran <2 cm namun tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskop fleksibel. Akses multipel memiliki potensi lebih besar terjadinya perdarahan, nyeri pasca operasi, lama rawat, biaya dan morbiditas yang lebih besar dibandingkan dengan akses tunggal. Pada penelitian yang dilakukan Williams et al. didapatkan angka tranfusi pada akses multipel mencapai 23% sedangkan pada akses tunggal hanya 14%. Didapatkan pula perbedaan lama rawat yang signifikan yaitu 3,25 hari untuk akses tunggal dan 4,25 hari untuk akses multipel (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 12. Dilatasi Setelah jarum pungsi telah dipastikan berada di dalam dilator metal, dilator fasial (Teflon®), dilator malleable (Amplatz®) atau dilator balon. Dilatasi dilakukan dengan pergerakan berputar (twist) 80%, mendorong 20% sampai ukuran 30F, dan meninggalkan sheath 34F. Dilator metal terbuat dari bahan stainless steel dan berbentuk seperti antena radio. Dilator jenis rigid bagus digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat operasi ginjal karena biasanya terdapat jaringan fibrotik perirenal. Kerugiannya adalah sulit untuk mengontrol tekanan saat melakukan dilatasi yang dapat menyebabkan perforasi renal pelvis renalis. Dilator fasial terbuat dari bahan Teflon.® Selain dapat digunakan pada jaringan yang mengalami fibrosis, keuntungan dari dilator ini adalah lebih stabil dan aman. Kerugian dari sistem ini adalah ketergantungan integritasnya dengan guide wire dan ujung tip dilator, sehingga berisiko menyebabkan perforasi pelvis renalis. Dilator malleable (Amplatz) ditemukan oleh Kurt Amplatz pada tahun 1982. Dilator ini memperbaiki kelemahan dilator fasial. Keuntungan dari dilator ini adalah tingkat stabilitas yang tinggi saat melakukan dilatasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada dilator malleable antara lain perforasi sistem pelviokalises, perdarahan, ekstravasasi urin, dan trauma kapsul renalis. Penggunaan dilator balon mengurangi risiko komplikasi yang disebabkan oleh dilator-dilator lainnya. Dilatasi dengan balon kateter dapat dicapai dengan satu langkah dilatasi tanpa menimbulkan trauma yang bermakna sehingga mengurangi terjadinya risiko perforasi pelvis renalis, ekstravasasi urin, dan perdarahan. Kerugiannya adalah, dilatasi balon tidak dapat mendilatasi jaringan

fibrotik dan harganya yang mahal (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 13. Lithotripsi Untuk batu ginjal yang berukuran kurang dari 1 cm dapat dikeluarkan langsung dengan menggunakan forcep Randall melewati sheath 30F. Untuk batu berukuran lebih dari 1 cm membutuhkan fragmentasi dengan menggunakan litotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic maupun EHL (Electro Hydrolic Lithotripsy). 1. Ultrasound Ultrasound adalah energi suara berfrekuensi tinggi 23 000-25 000Hz. Getaran dari probe yang berongga ditransmisikan ke batu menghasilkan fragmentasi. Kekurangan dari ultrasound adalah membutuhkan scope yang semirigid dan probe-nya berukuran cukup besar. Litotriptor ultrasound memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 69-100%. 2. Ballistic Lithotriptor ballistic memiliki energi yang berasal dari pergerakan metal proyektil. Energi tersebut diteruskan probe yang menempel pada batu sehingga menimbulkan efek seperti martil. Alat ini memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 73100% dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan EHL, di mana insiden terjadinya perforasi mencapai 17,6% pada EHL dibandingkan dengan ballistic yang hanya 2.6%. 3. Electrohydraulic lithotripsy (EHL) EHL menggunakan tenaga listrik yang menyebabkan timbulnya percikan api dan menyebabkan kavitasi gelembung udara yang menghasilkan gelombang kejut sekunder atau mikrojet berkecepatan tinggi sehingga dapat menfragmentasi batu. Keuntungan penggunaan EHL antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan dengan laser. Probe EHL adalah komponen sekali pakai yang bergantung pada kekerasan batu sehingga mungkin diperlukan lebih dari satu probe untuk memecahkan batu. Probe EHL lebih fleksibel daripada fiber laser. Kerugian dari penggunaan EHL antara lain beberapa jenis batu sulit dipecahkan, tekanan tinggi dari ujung probe dengan jarak yang cukup jauh membuat batas keamanan alat ini sempit, dan dapat menyebabkan perforasi saluran kemih (17,6%). Namun demikian angka keberhasilan fragmentasi batu EHL lebih tinggi dibandingkan dengan ballistic lithotripsy yaitu mencapai 90%. 4. Laser Holmium YAG Laser saat ini dijadikan baku emas pada lithotripsi intrakorporeal. Medium aktif dari alat ini yaitu holmium dikombinasi dengan Kristal YAG. Pertama kali digunakan di bidang urologi pada tahun 1993 oleh Webb. Panjang gelombang 2100 nm ditransmisikan lewat fiber silica yang fleksibel dan dapat digunakan pada endoskopi rigid maupun fleksibel.6 Energi dari Holmium YAG laser menghasilkan efek fotothermal yang kemudian menyebabkan vaporisasi dari batu. Energi laser holmium YAG diabsorbsi kuat oleh air dan jangkauannya tidak lebih dari 0,5-1 mm pada medium cair, oleh karenanya alat ini memiliki batas keamanan yang cukup baik dalam mencegah kerusakan saluran kemih dan memiliki angka bebas batu yang cukup tinggi mencapai 90% (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 14. Nefrotomi Setelah selesai dilakukan PCNL maka penggunaan drainase nefrostomi biasanya dianjurkan. Pemasangan selang nefrostomi pasca PCNL memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai tamponade perdarahan yang timbul dari jalur luka nefrostomi, memberikan kesempatan bekas pungsi ginjal sembuh, drainase urin, serta memberikan akses ke sistem

pelviokalises bila dibutuhkan tindakan lanjutan PCNL (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Terdapat beberapa selang nefrostomi yang sering digunakan dan dibagi dalam beberapa kategori antara lain tipe kateter karet, tipe pigtail, tipe kateter balon, loop kateter, dan kombinasi nefrostomi-stent. Pemilihan tergantung dari seberapa besar manipulasi batu selama PCNL, trauma terhadap uretelial selama tindakan, banyaknya perdarahan selama dan setelah tindakan, habitus pasien, dan preferensi dokter urologi (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Sebelum tahun 1997 ketika Bellman melaporkan tubeless PCNL, setelah tindakan PCNL rutin dilakukan pemasangan selang nefrostomi. Konsep tubeless PCNL sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Wickham pada tahun 1984. Adapun tujuan dipasang selang nefrostomi pasca tindakan PCNL antara lain mencegah ekstravasasi urin, mendapatkan efek tamponade untuk hemostasis, dan sebagai akses terhadap batu sisa (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Ada 2 macam penggunaan selang nefrostomi yaitu penggunaan selang nefrostomi ukuran besar 18-24 Fr dan penggunaan selang nefrostomi ukuran kecil 8-10 Fr. Selang nefrostomi ukuran besar diindikasikan pemasangannya pada pasien dengan batu besar kompleks dengan kemungkinan masih terdapat batu sisa dan dibutuhkan akses renal untuk tindakan PCNL berikutnya, waktu operasi yang lama, akses multipel, perdarahan, perforasi atau infeksi saluran kemih pre operasi. Sedangkan selang nefrostomi ukuran kecil diindikasikan pada pasien dengan prosedur PCNL tanpa komplikasi dengan batu sisa yang membutuh renal akses untuk tindakan selanjutnya, atau pada pasien yang tidak nyaman dengan pemasangan DJ stent (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). Tubeless PCNL diindikasikan pada kasus dengan stone burden rendah dan pada prosedur yang sederhana, cepat serta tanpa komplikasi. Tindakan yang terakhir ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan DJ stent atau ureter kateter untuk membuat drainase urin adekuat dan mempercepat penyembuhan perlukaan sistem pelviokalises. Pada penelitian yang dilakukan oleh Desai et al. yang membandingkan antara nefrostomi besar, kecil dan tubeless hasil nyeri pasca operasi yang minimal pada kelompok tubeless dengan penggunaan analgetik pethidine 87,5 mg (tubeless), 140 mg (nefrostomi kecil), dan 217 mg (nefrostomi besar). Didapatkan lama rawat yang lebih singkat pada kelompok tubeless yaitu 3,4 hari dibandingkan kelompok nefrostomi kecil 4,3 hari dan kelompok nefrostomi besar 4,4 hari. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al, tubeless PCNL memiliki beberapa keunggulan pada beberapa kasus yang terseleksi, antara lain nyeri pasca operasi yang lebih rendah sehingga penggunaan analgetik lebih sedikit pada kelompok tubeless (78,4mg pethidine vs 230,2 mg pethidine), lama rawat yang lebih singkat (1,8 hari vs 2,9 hari). Penelitian ini didukung juga oleh Woodside (1985) dan Salem (2006) dengan hasil yang sama dalam hal nyeri pasca operasi yang minimal dan lama rawat yang lebih singkat pada kelompok tubeless PCNL (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 15. Pasca Operasi Setelah nefrostomi terpasang, biasanya dilakukan anterograde pielography 24-48 jam pasca operasi. Jika semua fragmen batu telah habis dan pasase kontras lancar mengisi sampai ke buli tanpa ekstravasasi, maka nefrostomi dapat dilepas (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

16. Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) 1. Perdarahan Perdarahan sering terjadi pada tindakan PCNL. Peningkatan risiko perdarahan terutama dihubungkan dengan pungsi kaliks media, pungsi multipel, pungsi pada ginjal yang memiliki struktur anatomi abnormal, dan pada pasien dalam medikasi antikoagulan atau antiplatelet. Pada kebanyakan kasus perdarahan, transfusi tidak diperlukan dan cukup dengan tatalaksana konservatif. Perdarahan akut pada tindakan PCNL disebabkan trauma pada pembuluh darah parenkim ginjal atau pada cabang-cabang dari arteri dan vena di sistem pelviokaliks. Perdarahan akut biasanya dapat dihentikan oleh sheath PCNL yang menimbulkan efek tamponade. Setelah tindakan PCNL selesai, selang nefrostomi ukuran besar dapat menghentikan perdarahan. Bila perdarahan masih berlangsung, perlu dilakukan pemasangan selang nefrostomi balon kateter ukuran besar yang dapat dikembangkan, atau bila gagal dengan teknik embolisasi. Adapun tindakan yang dapat mengurangi perdarahan antara lain penggunaan dilator balon dan miniperc. 2. Trauma pada Pelvis Renalis Perforasi pada pelvis renalis biasanya terdiagnosis intraoperatif. Penyebab perforasi yang paling sering adalah dilatasi yang terlalu agresif serta tindakan percutaneus lithotripsy. Lithotripsy dengan menggunakan alat mekanik seperti ultrasound rigid atau probe pneumatic dapat juga menimbulkan perforasi pelvis. Adanya infeksi dan inflamasi dapat membuat pelvis renalis menjadi lebih rapuh dan mudah mengalami perforasi, adanya kinking dan angulasi pada pole bawah ginjal juga meningkatkan risiko perforasi. Bila terjadi perforasi maka irigasi diperlambat, cairan irigasi diubah menjadi normal saline, serta dilakukan evaluasi apakah prosedur dapat diteruskan atau tidak. Bila prosedur dihentikan perlu dipasang stent ureter dan selang nefrostomi. Antegrade nefrostogram hendaknya dikerjakan sebelum PCNL sekunder dilakukan atau sebelum pencabutan nefrostomi atau stent ureter. 3. Absorpsi Cairan Pasien dengan trauma vaskuler atau perforasi sistem pelviokalises harus dimonitor untuk mencegah terjadinya overload cairan. Irigasi tekanan tinggi yang terjadi pada dua keadaan di atas dapat menyebabkan absorpsi intravaskuler cairan irigasi. Cairan irigasi sebaiknya selalu menggunakan normal saline untuk mengurangi risiko terjadinya hiponatremia delusional. 4. Trauma Rongga Pleura Risiko terjadinya trauma paru atau rongga pleura meningkat dengan dilakukannya pungsi superior. Pungsi yang dilakukan saat akhir inspirasi meningkatkan risiko komplikasi intratoraks. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: pneumotoraks (0-4%) dan efusi pleura (0-8%). Postoperatif sebaiknya dilakukan rontgen toraks di ruang pemulihan untuk menyingkirkan hidrotoraks atau pneumotoraks pada pasien-pasien yang menjalani pungsi interkostal. Bila terjadi komplikasi pleura maka dapat diatasi dengan pemasangn chest tube. 5. Perforasi usus Perforasi kolon adalah komplikasi PCNL yang jarang terjadi. Retrorenal kolon sering terdapat pada pasien wanita yang kurus. Pasien dengan kelainan anatomi ginjal dan pasien yang pernah menjalani operasi usus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya perforasi kolon jika dilakukan PCNL. Penggunaan CT guided nefrostomi atau pemeriksaan CT preoperatif dapat digunakan sebagai guide pada kasus-kasus di atas. Diagnosis perforasi kolon dipertimbangkan apabila terdapat hematoschezia intraoperatif, peritonitis, sepsis, atau drainase berupa gas atau feses dari selang nefrostomi. Perforasi

kolon seringkali asimtomatik dan baru bergejala pascaoperasi yang dapat ditegakkan dengan nefrostografi pascaoperasi. Perforasi esktraperitoneal dapat ditatalaksana secara konservatif dengan pemasangan DJ stent dan pencabutan nefrostomi, pemberian antibiotik spektrum luas, serta kolonografi 7-10 hari kemudian. Eksplorasi bedah dilakukan pada kasus perforasi intraperitoneal atau jika terdapat tanda-tanda peritonitis dan sepsis. Perforasi duodenum dapat juga terjadi pada tindakan PCNL kanan dan biasanya diterapi secara konservatif dengan pemasangan selang nefrostomi dan NGT. 6. Trauma Hepar dan Limpa Trauma hepar dan limpa biasanya terjadi pada kasus splenomegali atau hepatomegali. Penggunaan CT-guided dapat mengurangi risiko trauma pada kasus di atas. Pada kasus trauma limpa seringkali membutuhkan tatalaksana eksplorasi, sedangkan pada kasus trauma hepar tatalaksana adalah secara konservatif dan jarang diperlukan eksplorasi bedah. 7. Sepsis Disarankan semua pasien sebelum menjalani prosedur PCNL memiliki hasil kultur urine dan diberikan antibiotik sesuai kultur agar urine steril (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011). 2) Kelebihan dan Kekurangan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) 1. Keuntungan : Angka bebas batu yang besar (90%), dapat digunakan untuk terapi batu ginjal berukuran besar, dapat digunakan pada batu kaliks inferior, dan morbiditasnya yang lebih rendah. 2. Kelemahan : Dibutuhkan keahlian khusus serta pengalaman untuk melakukan prosedurnya (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

LAPORAN PENDAHULUAN BATU GINJAL A. Definisi Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk di dalam traktus ketika konsentrsi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fospat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urine dan status cairan klien (batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth 2002). Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis dan kalik ginjal.(Marilynn E,Doenges 2002). B. Penyebab Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada beberapa macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal, antara lain : renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney. Secara epidemiologi terdapat dua factor yang mempermudah/ mempengaruhi terjadinya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor intrinsik, yang merupakan keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang berasal dan lingkungan disekitarnya. 1) Faktor intrinsik itu antara lain adalah : a. Umur Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia 30 - 50 tahun. b. Hereditair (keturunan). Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. Dilaporkan bahwa pada orang yang secara genetika berbakat terkena penyakit batu saluran kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam vitamin C tersebut banyak mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan memudahkan terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan konsumsi vitamin D dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan absorbs kalsium dalam usus meningkat. c. Jenis kelamin Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak disbanding dengan pasien perempuan. 2) Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah: a. Asupan air Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. b. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan terbentuknya batu saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih. c. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah beriklim panas dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat. d. Pekerjaan Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya banyak duduk atau kurang aktifitas ( sedentary life ) e. Istirahat ( bedrest ) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih. f. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah ston belt (sabuk batu).

C. Jenis-Jenis Batu pada Saluran Kemih Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari 80 %) adalah yang terbentuk dari kristal kalsium oksalat. Pendapat konvensional mengatakan bahwa konsumsi kalsium dalam jumlah besar dapat memicu terjadinya batu ginjal. Namun, bukti-bukti terbaru malah menyatakan bahwa konsunsi kalsium dalam jumlah sedikitlah yang memicu terjadinya batu ginjal ini. Hal ini disebabkan karena dengan sedikitnya kalsium yang dikonsumsi, maka oksalat yang diserap tubuh semakin banyak. Oksalat ini kemudian melalui ginjal dan dibuang ke urin. Dalam urin, oksalat merupakan zat yang mudah membentuk endapan kalsium oksalat. Jenis batu yang lain adalah yang terbentuk dari struvit (magnesium, ammonium, dan fosfat), asam urat, kalsium fosfat, dan sistin. 1) Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri pemecah urea seperti Proteus mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri ini memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya menurunkan keasaman urin. 2) Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout, leukemia, dan gangguan metabolism asambasa. Semua penyakit ini menyebabkan peningkatan asam urat dalam tubuh. 3) Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan hiperparatiroidisme dan renal tubular acidosis. 4) Batu sistin berhubungan dengan orang yang menderita sistinuria. D. Patofisiologi Uroliasis merupakan kristalisasi dari mineral dari matrik seputar, seperti: pus, darah, jaringan yang tidak viral, tumor atau urat. Peningkatan konsentrasi di larutan urine akibat intake cairan rendah dan juga peningkatan bahan-bahan organik akibat ISK atau utine statis, mensajikan sarang untuk pembentukan batu. 1) Proses perjalanan panyakit: Proses terbentuknya batu terdiri dari beberapa teori (Prof.dr.Arjatmo Tjokronegoro, phd.dkk,1999) antara lain: a. Teori Intimatriks Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu. b. Teori Supersaturasi Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu. c. Teori Presipitasi-Kristalisasi Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat. d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing. E. Manifestasi Klinis Manifestai klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan system piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan. Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus menerus diarea kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar

secara anterior dan pada wanita mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan ke seluruh area kostovertebral, dan muncul mual dan muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal. Diare dan ketidak nyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral. Umumnya pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan. Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retnsi urin.Jika infeksi berhubungan dengan adanya batu, maka kondisi ini jauh lebih serius, disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien ( Brunner&Suddarth 2005). F. Penatalaksanaan a. Medikamentosa Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar tanpa intervensi medis. Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan diet makanan tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu ( misalnya kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien BSK harus minum paling sedikit 8 gelas air sehari. b. Pengobatan Medik Selektif dengan Pemberian Obat-obatan Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat yaitu petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotik apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, BSK dapat dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. c. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) Merupakan tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan ini digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk memecah batu. Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dapat mengurangi keharusan melakukan prosedur invasif dan terbukti dapat menurunkan lama rawat inap di rumah sakit. d. Endourologi

Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung kedalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Beberapa tindakan endourologi tersebut adalah : - PCNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) adalah usaha mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi ke sistem kalies melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil. - Litotripsi adalah memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. - Ureteroskopi atau uretero-renoskopi adalah dengan memasukan alat ureteroskopi per-uretram. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini. - Ekstrasi Dormia adalah mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang Dormia. e. Tindakan Operasi Penanganan BSK, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk mengeluarkan batu secara spontan tanpa pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Ada beberapa jenis tindakan pembedahan, nama dari tindakan pembedahan tersebut tergantung dari lokasi dimana batu berada, yaitu : - Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di dalam ginjal - Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di ureter - Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang berada di vesica urinearia - Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di uretra. G. Komplikasi Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yana dapat meimbulkan infeksi saluran kemih, pylonefritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah. H. Pencegahan 1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin dapat menjadi 2-2,5 liter per hari 2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam 3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal dari suplemen 4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan 5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat, magnesium sitrat, dan allopurinol tergantung dari jenis batunya.

1. Pohon masalah Faktor etiologi: 2. Teori nukleasi

Teori matriks

Penghambatan kristalisasi

Batu Ginjal (Urolitiasis)

Pembedahan

obstruksi

Post operasi

Invasi kuman

Hydronefrosis

Ansietas

Kurang informasi

Kesalahan interpretasi

Resiko infeksi Defisit pengetahuan

Reflek renointestinal

Mual muntah

Tirah baring

Resiko kurang volume cairan

Fungsi muskuloskeletal belum pulih Pembatasan gerak

Hambatan mobilitas fisik

Terputusnya kontinuitas jaringan

Nyeri akut

Defisit perawatan diri

I. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji 1) Pengkajian Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara sistematis pada pengkajian klien dengan tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doengus 2002), yaitu : a. Akivitas/ istirahat Gejala: Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas/ mobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis) b. Sirkulasi Tanda: peningkatan TD/ nadi (nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan kemerahan. c. Eliminasi Gejala: riwayat adanya/ ISK kronis: obstruksi sebelumnya (kalkulus), penurunaan haluan urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare. Tanda: Oliguria, hemeturia, piuria, perubahan pola berkemih. d. Makanan/ cairan Gejala: Mual/ muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purine, kalsium oksalat, dan / fosfat, ketidak cukupan pemasukan cairan: tidak minum air yang cukup. Tanda: Diestensi abdominal: penurunan/ tak ada bising usus, muntah. e. Nyeri/ kenyamanan Gejala:  Episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebrel: dapat menyebar kapanggul, abdomen, dan turun ke lipatan paha/ genetalia.  Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada dipelvis atau kalkulus ginjal.  Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat dengan posisi atau tindakan lain.  Tanda: Melindungi: perilaku distraksi, nyeri tekan pada daerah ginjal pada palpasi. f. Keamanan Gejala: Penggunaan alkohol: demam menggigil. g. Penyuluhan/ pembelajaran Gejala: Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme. Penggunaan antibiotik anti hipertensi, natrium bikarbonat aluporinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium/ vitamin. h. Pemeriksaan Penunjang a) Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP, Kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat ammonium, atau batu kalium fosfat). b) Urine (24 jam): kreatinin, asa urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat. c) Kultutur urine; mungkin menunjukkan ISK (stapilococus aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas) d) Survei biokimia: Peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein, elektrolik. e) BUN/kreatinin serum dan urine: Abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis. f) Kadar klorida dan biokarbonat serum: Peningkatan kadar klorida dan penurunan bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. g) Hitung darah lengkap: SDP meningkat menunjukkan infeksi/septicemia.

h) SDM: Biasanya normal. i) Hb/Ht: Abnormal bila pasien dehidrasi nerat atau polisitemia terjadi (mendorong presitipasi pemadatan atau anemia, perdarahan disfungsi/gagal ginjal). j) Hormon paratiroid: Mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine) k) Foto ronsen KUB: Menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. l) IVP: Memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. m) Sistoureterokopi: Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan/atau afek obstruksi. n) Scan CT: Mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. o) Ultrasound ginjal: Untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu. 2) a) b) c) d) e)

Masalah keperawatan Perubahan eliminasi urine Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan Resiko tinggi terhadap infeksi Gangguan rasa nyaman, nyeri Kurang pengetahuan tentang kondisi , prognosis dan kebutuhan pengobatan

3) Diagnosis keperawatan Diagnosa keperawatan adalah data data yang didapatkan pada pengkajian keperawatan kemudian disusunlah diagnosa yang umum timbul pada batu saluran kemihMenurut Marliynn E, Doengoes diagnose keperawatan pada klien dengan Post Operasi Ureter Resection Sitoscopy adalah: a) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi bedah, tekanan dan mitasi kateter/ badan b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pra- operasi c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap: presedur bedah, presedur alat invasive, alat selama pembedahan kateter, irigasi kandung kemih. d) Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, reflek spasme otot: presedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih. e) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan f) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan pengetahuan atau informasi.

4) Rencana tindakan keperawatan No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil keperawatan 1. Perubahan eliminasi NOC : urinary elimination urine berhubungan Urinary continence 1. dengan obstruksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan bedah, tekanan dan selama 3X24 jam perubahan eliminasi 2. mitasi kateter/ badan urin dapat teratasi Kriteria Hasil : - kandung kemih kosong secara penuh - tidak ada residu urin > 100-200cc 3. - bebas dari ISK - tidak ada spasme bladder 4. - balance cairan seimbang 5.

2.

Intervensi dan Rasional

NIC : urinary retention care monitor intake dan output Rasional: mengetahui keseimbangan cairan instruksikan pada keluarga pasien untuk memonitor output urin Rasional : sebagai acuan pemberian terapi cairan selanjutnya sediakan privacy untuk elimasi Rasional : memberikan privasi pada pasien kateterisasi jika perlu Rasional : memudahkan pasien untuk eliminasi stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada abdomen Rasional : merangsang pasien untuk berkemih NOC : Fluid balance NIC : Fluid management Resiko tinggi terhadap 1. Monitor tanda-tanda vital klien kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan keperawatan Rasional: TTV untuk mengetahui adanya cairan berhubungan selama 3x24 jam volume cairan klien keabnormalitasan pada tubuh klien dengan kesulitan akan seimbang dengan kebutuhan cairan 2. Pasang kateter urin sesuai indikasi mengontrol klien Rasional: Kateter urin untuk menghitung haluaran perdarahan, cairan dan melakukan analisa urin Kriteria Hasil : pembatasan pra3. Monitor status hidrasi klien operasi - Tekanan darah dalam rentang normal Rasional: Status hidrasi yang buruk mengindikasikan - Integritas kulit baik adanya kekurangan tubuh yang bermakna dan dapat - Membran mukosa lembab membahayakan klien 4. Beri terapi cairan sesuai indikasi Rasional: Terapi cairan yang sesuai akan membantu mengurangi keparahan dari kondisi klien 5. Monitor respon hemodinamik Rasional: Menganalisis status hemodinamik untuk

mendeteksi secara dini adanya kelainan pada tubuh klien 6. Kolaborasi pemberian terapi farmakologis untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh klien Rasional: Pemberian obat untuk menjaga agar kelebihan haluaran cairan dapat diminimalkan. 3.

3.

NIC : Monitor tanda dan gejala infeksi Rasional: Mengobservasi adanya infeksi Dorong masukan nutrisi yang cukup Rasional: Meningkatkan daya tahan tubuh pasien Pertahankan teknik aseptik Rasional: Mencegah transmisi silang mikroorganisme Kriteria Hasil : 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara menghindari infeksi Tanda-tanda vital dalam keadaan normal Rasional: Mencegah penularan infeksi Pasien bebas dari tanda dan gejala5. Kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu infeksi Rasional: Mencegah terjadinya infeksi Jumlah leukosit dalam batas normal NOC: pain level dan pain control NIC:Pain Managament Nyeri berhubungan dengan iritasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif mukosa kandung selama 3X24 jam nyeri berkurang (P=penyebab, Q=kualitas dan kuantitas, R=daerah dan kemih, reflek penyebarannya, S=seberapa kuat nyeri yang Kriteria Hasil: spasme otot: dirasakan, T=waktu terjadinya nyeri) presedur bedah atau - Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu Rasional : mengetahui skala nyeri yang dirasakan tekanan dari balon penyebab nyeri dan mampu pasien kandung kemih. menggunakan teknik nonfarmakologi 2. kontrol lingkungan pasien yang dapat mempengaruhi untuk mengurangi nyeri) nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan - Mampu mengenali nyeri (skala, kebisingan intensitas, frekuensi) Rasional : memberikan kenyamanan bagi pasien - Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 3. ajarkan tentang teknik non farmakologi seperti teknik berkurang relaksasi nafas dalam Rasional : mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan Resiko tinggi terhadap infeksi 1. berhubungan 2. dengan trauma jaringan sekunder terhadap: presedur bedah, presedur alat invasive, alat selama pembedahan kateter, irigasi kandung kemih.

NOC Immune status 1. Knowledge: infection control Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. 1x24 jam tidak terjadi infeksi dan meningkatkan status imun 3.

pasien 4. tingkatkan istirahat Rasional : manajemen energi pasien 5. evaluasi keefektifan control nyeri Rasional : mengevaluasi hasil tindakan dan menentukan intervensi lanjutan 6. Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan. Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli-buli 7. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodic Rasional : Menghilangkan spasme 4.

NOC: Anxiety self control, coping Ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. dengan perubahan selama 1X24 jam ansietas dapat status kesehatan teratasi 2. Kriteria Hasil: - Pasien mampu mengidentifikasi dan 3. mengungkapkan gejala cemas - Mengidentifikasi, mengungkapkan dan4. menunjukkan tekhnik untuk mengontrol cemas - Vital sign dalam batas normal 5. NOC : Defisiensi pengetahuan Knowledge : disease proses 1. berhubungan Knowledge : health behavior dengan kurangnya pajanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2. pengetahuan atau selama 1X24 jam klien mengetahui

NIC: anxiety reduction gunakan pendekatan yang menenangkan Rasional : memberikan rasa nyaman pada pasien jelaskan semua prosedur dan apa yang yang dirasakan selama prosedur Rasional : menurunkan rasa cemas pasien dengarkan dengan penuh perhatian Rasional : memberikan penghargaan pada pasien identifikasi tingkat kecemasan Rasional : mengetahui tingkat cemas yang dirasakan pasien instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi Rasional : mengurangi rasa cemas pasien NIC : teaching : disease proses berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik Rasional : mengetahui tingkat pengetahuan pasien gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit

informasi.

informasi tetntang penyakitnya.

Rasional : Pasien dan keluarga mengetahui tentang tanda dan gejala dari penyakit yang dialami Kriteria Hasil : 3. gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat - pasien dan keluarga menyatakan Rasional : pasien dan keluarga mengetahui tentang pemahaman tentang penyakit, kondisi, kondisinya prognosis, dan program pengobatan 4. sediakan informasi tentang kondisi - pasien dan keluarga mampu Rasional : mengetahui perkembangan kondisi pasien melaksanakan prosedur yang telah 5. diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin dijelaskan diperlukan Rasional : untuk mencegah komplikasi di masa mendatang

DAFTAR PUSTAKA Doenges, Marilyn E. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC. Djoerban. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Gale, Daniele. 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Price & Wilson. 2015. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat R, Jong W. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC. Wilkinson, Judith M. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Related Documents


More Documents from "Ramadani Ria"