08 Tuti.pdf

  • Uploaded by: Dicky Igus Suparno Tandjung
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 08 Tuti.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 2,769
  • Pages: 10
AÑJANI: DARI SASTRA KLASIK KE SASTRA MODERN Yosephin Apriastuti Rahayu1 ABSTRAK Kisah Añjani sebagai ibu Hanuman terdapat dalam berbagai karya sastra,

baik sastra klasik maupun sastra modern. Imaji atas tokoh ini sangatlah beragam sangatlah beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk apa kisah Añjani digubah. Tulisan ini bertujuan memaparkan kisah Añjani dalam beberapa karya sastra klasik seperti Kapiparwa, Serat Arjunasasrabau Sindusastran, dan Hikayat Seri Rama, serta karya sastra modern seperti Anak Bajang Menggiring Angin dan Di Pinggir Telaga Madirda. Dengan demikian akan didapatkan imaji yang lebih utuh tentang tokoh Añjani dalam berbagai versi.

KATA KUNCI sastra klasik, sastra modern, imaji

1.

Pengantar Perempuan buruk berwajah kera dengan kaki serta tangan berbulu panjang dan lebat serupa bulu kera. Barangkali itulah imaji yang terlintas dalam benak kita manakala kita mendengar nama Anjani. Atau barangkali akan muncul imaji seorang perempuan yang sangat sakti karena kedahsyatannya dalam bertapa. Bisa jadi muncul pula imaji akan seorang perempuan biadab yang tak bertanggung jawab karena begitu saja meninggalkan anaknya yang baru saja dilahirkannya. Bahkan, mungkin ada pula yang berpikir bahwa Anjani hanyalah seorang perempuan lemah yang menjadi korban karena nafsu birahi seorang dewa. Pendeknya, setiap orang pasti mempunyai imaji berbeda, tergantung pada kisah Anjani yang pernah dibaca, didengar, maupun ditontonnya. Berikut ini dipaparkan kisah Anjani yang terdapat dalam beberapa karya sastra klasik dan modern dengan harapan akan didapatkan imaji sosok Anjani yang lebih utuh dalam berbagai versi. 2.

Añjani dalam Kapiparwa Kapiparwa (KP) terdapat dalam teks Cantakaparwa (CP) yang dikompilasi antara paroh kedua abad ke-14 hingga 1839 M. KP merupakan bagian terakhir dari CP. Dalam teks CP tidak terdapat Yosephin Apriastuti Rahayu adalah staf ahli Pustaka Artati Universitas Sanata Dharma serta pengajar bahasa Indonesia dan Jawa di Wisma Bahasa. Alamat korespondensi: Jl. STM Pembangunan 6A, Mrican, Yogyakarta, 552281 E-mail: [email protected]

143

144 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007

___________________________________________________________________________________

informasi apa pun mengenai siapa kompilatornya. Yang jelas, CP merupakan kumpulan berbagai kisah yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuna, di antaranya kisah tentang Karna, Sutasoma, Suprasena, dan KP. KP mengisahkan perkawinan para bhagawan dengan para widadari yang menurunkan sejumlah kera. Kisah tentang Anjani dan kedua adiknya, Subali dan Sugriwa, juga terdapat dalam bagian ini (Ensink, 1967:8-14). Dikisahkan, Bhagawan Jamadagni dianugerahi oleh Bhagawan Pulaha, seorang gadis bernama sang Dewanī. Mereka mempunyai seorang anak perempuan bernama Añjani. Sang Dewanī selalu melakukan puja-samadi. Batara Suryalah keinginan jiwanya. Pada akhirnya keduanya bertemu dan berolah asmara. Tak lama kemudian, Dewanī melahirkan Sang Bāli. Sang Dewanī tidak pernah lupa akan pujasamadinya. Kemudian Batara Indra datang menginginkannya. Añjani menyaksikan semua itu, lalu menangislah dia. Sang batara berusaha menenangkannya dengan memberinya manik asthagina. Añjani pun diam. Batara Indra kemudian berolah asmara dengan sang Dewanī. Maka, lahirlah Sugriwa yang berwajah mirip dengan Bāli, seperti saudara kembar. Pada suatu hari Añjani bermainmain dengan manik asthagina itu. Bāli dan Sugriwa melihatnya. Mereka pun menginginkan manik asthagina itu. Añjani tidak mau memberikannya meskipun dipaksa oleh kedua adiknya itu. Kedua adiknya mengira bahwa manik asthagina itu adalah milik ayah dan ibunya. Ternyata itu pemberian dewa. Mengertilah sang bhagawan. Disuruhnya ketiga anaknya mandi dengan air amerta. Jika bukan miliknya, manik asthagina itu hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya. Dan ketiga anaknya itu, jika benar-benar anaknya, akan tetap menjadi manusia. Akan tetapi, jika bukan anaknya, mereka akan berubah menjadi kera. Ternyata, setelah mandi dengan air amerta, semua berubah menjadi kera. Menangislah mereka di hadapan sang bhagawan. Mereka kemudian disuruh bertapa. Sang Bāli harus bertapa di Gunung Malaya dengan cara tidak makan, membisu, dan tidak tidur. Sugriwa bertapa di Angganala dengan cara menengadah setahun, menunduk setahun. Sementara itu, Añjani harus bertapa dengan cara yang sangat sulit. Daun yang jatuh di depannya saja yang boleh dimakannya. Konon, Sang Parameśwara sedang berkasihkasihan dengan sang Ghorī. Setetes maninya jatuh di atas daun kendal. Daun itu terbawa angin dan sampailah di hadapan Añjani. Dimakannya daun itu, lalu Añjani pun hamil dan melahirkan seekor kera putih yang dinamainya Hanuman (CP 236b-238a).

Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 145

___________________________________________________________________________________

3.

Añjani dalam Serat Arjunasasrabau Sindusastran Serat Arjunasasrabau (SAS) karya Sindusastra adalah salah satu dari sekian banyak karya sastra Jawa Baru yang mengisahkan Arjuna Sasrabau dalam bentuk tembang macapat. SAS digubah atas perintah Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya yang tak lain adalah Kangjeng Sinuhun Paku Buwana VII. Pada waktu itu Sindusastra bekerja sebagai abdi dalem carik di Kapurbayan. Kangjeng Gusti Pangran Adipati, Purubaya nagri Surakarta, mangun wasita karsane, aluraning luluhur, … winangun ing sarkara …kang kinen mangapus, Hangabehi Sindusastra … (Sindusastra, 1930: 3)

Terjemahan ‘Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya di Negara Surakarta, keinginannya menggubah cerita, silsilah para leluhur, … digubah dalam tembang dhandhanggula … yang disuruh menggubah, Hangabehi Sindusastra …’

SAS digubah di Surakarta pada hari Rabu Pon, tanggal 28, bulan Jumadilawal, tahun Jimawal (Rebo Epon panitraning manis, Jumadilawal Jimawal warsa, enjang ping wolu likure), 1245 Hijriyah (Ijrah nabi sewu, rong atus wandasa gangsal) dengan sengkalan wiku misik swara tunggil, yakni tahun 1757 Jawa atau 1829 Masehi.2 Sindusastra menggunakan Serat Kanda sebagai sumber cerita. Adapun Serat Kanda itu digubah pada zaman Kartasura. Bisa dikatakan bahwa Sindusastra hanyalah menyadur, tidak menciptakan cerita baru (Poerbatjaraka, 1954:155-156). Konon ada seorang resi yang sangat tekun bertapa, bernama Resi Gotama. Sang resi jatuh cinta kepada seorang apsari dari surga, bernama Windradi. Mereka pun akhirnya menikah. Sebenarnya, sebelum menikah dengan sang resi, Windradi telah memadu kasih dengan Dewa Surya. Hubungan itu ternyata tetap berlangsung, hingga Windradi mempunyai tiga orang anak, Añjani, Subali, dan Sugriwa. Sang resi tidak pernah sedikit pun curiga kepadanya. Añjani memiliki cupu manik Asthagina pemberian ibunya. Konon cupu manik itu berasal dari Dewa Surya. Dengan memiliki cupu manik itu, Añjani bisa mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Segala isi dunia, samudra, maupun surga dapat dilihat di dalam cupu manik itu. Añjani harus merahasiakannya dari siapa pun. 2

Kira-kira tujuh bulan sebelum Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya naik takhta.

146 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007

___________________________________________________________________________________

Namun, akhirnya Subali dan Sugriwa tahu rahasia itu dari embannya, Jembawan. Mereka pun sangat ingin memiliki cupu manik itu. Sang resi pun kaget mendengar permintaan kedua putranya karena merasa tak pernah memberikan apa pun kepada Añjani. Maka dipanggilnya Añjani untuk ditanyai dari mana asal cupu manik itu. Pada awalnya, Añjani tidak mau mengakui bahwa cupu manik itu ada padanya. Dia sangat takut kepada ibunya. Akan tetapi, setelah sang resi mengatakan bahwa siapa pun yang berbohong akan hancur, musnah tak berbekas, Añjani mengatakan yang sebenarnya. Cupu manik itu lantas diserahkan kepada sang resi. Dari tutup cupu itu sang resi pun tahu siapa pemiliknya. Dipanggilnya Windradi dan disuruhnya mengaku dari mana asal cupu manik itu. Windradi sangat malu dan tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun di hadapan sang resi. Setelah mengulang pertanyaannya sampai tiga kali, sang resi tak bisa bersabar lagi. Windradi yang diam saja itu dikatakannya seperti tugu. Seketika itu juga Windradi berubah menjadi tugu batu. Añjani dan kedua adiknya menangisi ibunya yang tak bergerak lagi. Añjani memohon kepada sang resi untuk mengampuni dosa ibunya dan meruwatnya agar menjadi manusia kembali. Akan tetapi, sang resi malahan membuang tugu batu itu hingga jatuh di hutan Alengka. Sang resi berkata bahwa ibunya yang telah menjadi tugu itu akan menjadi senjata sakti para kera kelak pada saat perang besar melawan para raksasa. Pada saat itulah ibunya akan terbebas. Sementara itu, sangatlah sulit menentukan siapa yang berhak atas cupu manik Asthagina. Karenanya, sang resi melemparkan cupu manik itu ke udara. Siapa yang berhasil menangkapnya, dialah yang berhak mendapatkannya. Añjani dan kedua adiknya segera mengejar cupu manik itu. Tentu saja Añjani tertinggal jauh dari kedua adiknya. Cupu manik itu akhirnya jatuh ke hutan, menjadi telaga Sumala. Tutupnya terlontar ke dalam puri di Ayodya, menjadi telaga Nirmala. Subali dan Sugriwa segera menceburkan diri ke telaga Sumala dengan maksud mendapatkan cupu manik itu. Bukannya cupu manik yang mereka dapatkan, melainkan seluruh badan yang berubah menjadi kera. Añjani pun tak luput dari mala petaka itu. Wajahnya yang telah dibasahi dengan air telaga Sumala itu pun berubah menjadi wajah kera. Pun pula tangan dan kakinya ditumbuhi bulu panjang dan lebat serupa bulu kera. Mereka bertiga segera menghadap sang resi memohon pembebasan. Sang resi meminta mereka bertapa. Subali harus bertapa seperti keluang (ngalong), Sugriwa seperti kijang (ngidang), dan

Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 147

___________________________________________________________________________________

Añjani seperti katak (nyanthuka). Menurut sang resi, mereka memang harus menjalani kehidupan seperti itu karena ada tugas besar yang harus mereka emban (Sindusastra, 1931:3-9). Bertahun-tahun lamanya Añjani bertapa di pinggir telaga Madirda. Tiada berkain, hanya berselimutkan rambutnya yang panjang. Daun kering yang jatuh di hadapannya dan embun yang menetes di bibirnya, itulah yang menjadi santapannya. Batara Guru pun mendatanginya untuk mengabulkan permintaannya. Malang bagi Añjani, Batara Guru tak bisa menahan birahinya. Dikibaskannya kama yang keluar itu dengan tangannya. Kama itu jatuh di atas daun asam yang kemudian terbawa angin dan jatuh di hadapan Añjani. Dimakannya daun asam yang telah tercampur kama Batara Guru itu. Tak lama kemudian, Añjani pun hamil. Tahu bahwa dirinya hamil tanpa suami, Añjani sangatlah berduka. Betapa malu Añjani dengan keadaannya sekarang. Serasa ingin mati saja. Semua yang telah dia lakukan seperti tak ada artinya. Bukannya kebebasan yang diperoleh, melainkan rasa malu akibat kehamilannya. Konon, tibalah saatnya Añjani melahirkan seekor kera putih, Anoman namanya. Para apsari segera menyambut kelahirannya. Dan pada saat itu juga, terbebaslah Añjani dari mala petaka yang telah menimpanya. Ia telah kembali seperti wujudnya semula. Para apsari pun membawanya ke surga dan dimuliakanlah dia sebagai seorang bidadari (Sindusastra, 1932:9-15). 4.

Añjani dalam Hikayat Seri Rama Hikayat Seri Rama (HSR) adalah salah satu karya sastra berbahasa Melayu yang mengisahkan riwayat Rama dan Sita. Tidak ada informasi yang jelas mengenai waktu penggubahan HSR. Akan tetapi, dari catatan kaki salah satu naskah yang dipakai sebagai dasar suntingan Ikram, yaitu naskah Laud Or. 291, diketahui bahwa HSR digubah sebelum tahun 1633 M. Konon, naskah ini tergolong naskah Melayu tertua (Ikram, 1980:72). Alkisah, ada seorang begawan bernama Gutama, menikah dengan Dewi Indera. Anjani adalah anak pertama mereka. Begawan Gutama sangat tekun bertapa. Hari-harinya dihabiskannya dengan bertapa. Setelah beberapa saat sang begawan bertapa, istrinya pergi ke Keinderaan untuk menemui dewa dan bermukah dengannya. Sekembalinya dari Keinderaan, sang istri hamil, lalu melahirkan seorang anak laki-laki rupawan. Anak itu diberi nama Balia. Sejak

148 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007

___________________________________________________________________________________

semula, Anjani mengetahui perselingkuhan yang dilakukan ibunya. Anjani pun tahu bahwa ibunya mendapatkan hadiah cumbul manik Astagina dari raja para dewa. Anjani meminta hadiah itu. Ibunya bersedia memberikan hadiah itu dengan syarat Anjani tidak boleh mengatakan segala perbuatan ibunya itu kepada ayahnya. Anjani pun tidak boleh memberikan hadiah itu kepada Balia. Anjani menyetujuinya. Suatu hari sang begawan pergi ke gunung. Pada waktu itu Dewi Indera pun bermukah dengan seorang anak raja, lalu hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki tampan bernama Sugriwa. (HSR, 1938:118-119). Pada suatu waktu, Anjani bermain-main dengan manik Astagina. Balia melihatnya, lantas berpikir bahwa ibunya pilih kasih. Balia pun mendatangi Anjani untuk meminjam manik Astagina itu. Meskipun telah diminta berkali-kali, manik Astagina itu tak hendak diberikan. Balia merampasnya dari tangan Anjani. Namun, Anjani berhasil merebutnya kembali lalu menelannya. Setelah itu, Anjani mengatakan sebuah rahasia tentang Balia dan Sugriwa bahwa mereka bukanlah anak Begawan Gutama. Mendengar pernyataan Anjani, Begawan Gutama menyuruh Anjani mengatakan yang sebenarnya, siapa bapak kedua adiknya itu. Dengan jujur, Anjani mengatakan bahwa ibunya telah berselingkuh. Begawan Gutama sangat marah. Dipanggilnya Dewi Indera dan disuruhnya mengakui perbuatannya. Dewi Indera tak mau mengakuinya. Untuk membuktikan apakah kedua anak itu benar-benar anaknya atau bukan, Begawan Gutama menyuruh mereka mandi di sebuah kolam. Jika memang mereka benar-benar anaknya, mereka akan berwajah seperti dewa. Namun, jika mereka bukan anaknya, mereka akan berubah menjadi kera. Seketika itu juga kedua anak laki-laki itu berubah wujud menjadi kera. Begawan Gutama pun menceraikan Dewi Indera. Karena rasa dendamnya, Dewi Indera mengutuk Anjani bahwa mulutnya akan ternganga selama seratus tahun. Saat itu juga, mulut Anjani pun ternganga. Karena rasa malu yang amat sangat, Anjani pergi ke tengah laut dan bertapa di atas jarum. Ia berdiri di atas jarum itu seratus tahun lamanya. Pada akhir masa tapanya, Bayu Bata menerbangkan sebuah manikam3 yang berasal

3

Manikam ini adalah hasil persetubuhan Rama dan Sita ketika mereka menjadi kera. Karena tidak mau melahirkan anak kera, Rama menyuruh inang pengasuhnya mengurut Sita. Kerongkongan Sita disogok dan diurut naik. Sita muntah-muntah dan dari mulutnya keluarlah sebuah manikam. Manikam itu dibungkus oleh Rama dengan daun budi.

Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 149

___________________________________________________________________________________

dari Rama dan Sita, lalu memasukkannya ke mulut Anjani. Seketika itu juga hamillah Anjani. Tak lama sesudah itu, genapkah masa bertapanya. Anjani kembali ke rumahnya, namun bapak dan ibunya sudah tak di sana lagi. Pada suatu hari baik, tepatnya Hari Jumat saat tengah hari, Anjani melahirkan bayi kera berwarna putih, Hanuman namanya. 5.

Anjani dalam Anak Bajang Menggiring Angin Anak Bajang Menggiring Angin (ABMA) adalah sebuah novel karya Sindhunata yang sangat terkenal. Novel tersebut memaparkan kisah Ramayana dengan bahasa yang sangat indah dan penuh kiasan. ABMA terdiri atas delapan bagian. Kisah tentang Anjani terdapat pada bagian kedua. Kisah yang ditampilkan Sindhunata kurang lebih sama dengan kisah Anjani dalam SAS dan dalam wayang. Adapun perbedaannya antara lain sebagai berikut. Anjani bukanlah anak sulung, melainkan anak bungsu resi Gotama. Nama kedua kakaknya adalah Guwarsa dan Guwarsi. Batara Guru jatuh cinta kepada Anjani ketika melihat Anjani bertapa. Dalam suara gaib Batara Guru menyuruh Anjani makan ron jati malela4 yang akan membuatnya hamil dan melahirkan seorang anak yang sangat diharapkan dunia. Ketika Anjani makan daun itu, dia merasa menyenyam rasa cinta yang tertinggi. Kebahagiaan yang tak terkira pun dirasakannya. Pada waktu melahirkan, Anjani tidak melahirkan seorang bayi, tetapi seberkas sinar ilahi (teja). Sinar ilahi inilah yang kemudian menjadi bayi dalam rupa seekor kera berbulu putih seputih kapas. Itulah Anoman. 6.

Anjani dalam Di Pinggir Telaga Madirda Di Pinggir Telaga Madirda (DPTM) adalah bagian kedua dari sebuah prosa lirik bertemakan Anjani, karya Linus Suryadi AG. Bagian ini mengisahkan pergulatan hidup Anjani dalam bertapa di pinggir Telaga Madirda. DPTM dimuat dalam jurnal kebudayaan Kalam edisi ke-12 tahun 1998 dan dipentaskan di LIP pada tanggal 10 dan 11 Februari 1999.

4

Manikam itu diberikannya kepada Bayu Bata untuk dimasukkan ke mulut Anjani yang sedang bertapa di tengah laut. Daun jati malela adalah kehidupan sejati yang warnanya putih, dan di dalamnya terkandung baja hitam yang melambangkan senjata sakti dan tekad bulat untuk meluhurkan dunia dan membasmi angkara murka (Sindhunata, 1995:44).

150 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007

___________________________________________________________________________________

Linus Suryadi AG memodifikasi kisah Anjani sedemikian rupa dengan menggunakan berbagai ekspresi yang sarat dengan kultur Jawa. Hal yang sangat menarik dan perlu dicermati dari DPTM ini adalah bahwa dalam tapanya Anjani benar-benar melakukan persetubuhan dengan Siwa. Satu hal yang tak mungkin dilakukan oleh siapa pun yang sedang bertapa. “Lihat”, ujar Bethara Siwa, “Saya tak memberi daun sinom seperti fantasi para dalang yang pintar nyanggit bahasa lambang untuk membungkus sebuah kejadian. Saya pun tak memberi ron jati malela seperti kata pendeta Sindhunata yang tangkas memainkan imajinasi untuk kejadian yang mustahil dia alami. Tapi memang, saya suka main cinta untuk berbagi rasa dalam ada membagi benih Tirta Amerta denganmu, putri Resi Gotama.” (Linus Suryadi AG, 1998:88)

Setelah itu, Anjani pun menari-nari, membayangkan dirinya sebagai bidadari. “Lihat”, ujar Anjani yang mesem sambil terus ngigal dan goyang gerak-geriknya kaya mentok berjalan badan condong dan pinggul ke belakang, ia pun nembang Asmaradana lagi: “Saya tak mendapat daun sinom lambang dan fantasi para dalang buah sanggitan pujangga Jawa yang jenaka tapi elok berkumandang. Juga tidak ron jati malela lambang dan fantasi Bethara Siwa buah riset dan angan Resi Sindhunata bagi harapan dan mimpi hidup sempurna. Tapi memang, saya digrumut Siwa untuk berbagi rasa dalam ada kebagian benih Tirta Amerta denganmu, penguasa Tri-buwana.” (Linus Suryadi AG, 1998:91)

Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 151

___________________________________________________________________________________

7.

Penutup Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa imaji tentang sosok Anjani sangatlah beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk apa kisah Anjani digubah. Ada yang menggambarkan Anjani sebagai orang yang jujur, tabah, dan tekun dalam bertapa. Ada pula yang menggambarkan Anjani sebagai orang yang mudah putus asa. Dalam hal hamil dan melahirkan Hanuman pun, Anjani digambarkan dengan berbagai cara. Ada yang menggambarkan Anjani sebagai “wadah” saja, ada yang menempatkan Anjani pada posisi yang cukup tinggi, ada pula yang melukiskan turut aktif menciptakan “kehidupan baru”.

152 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007

___________________________________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA Balai Pustaka. 1938. Hikajat Seri Rama. Batavia-C: Balai Poestaka. Ensink, J. 1967. “On The Old-Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma”. VKI 54. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1954. Kapustakan Djawi. Jakarta/ Amsterdam: Penerbit Djambatan. Cetakan kedua. Sindhunata. 1995. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keempat. Sindusastra, R. Ng. 1930-1932. Arjunasasrabau. Betawi Sentrem: Bale Pustaka. Suryadi AG, Linus. 1998. “Di Pinggir Telaga Madirda” dalam Kalam 12. Naskah: Cantakaparwa, koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor IVa. 389/7.

Related Documents

08
November 2019 8
08
October 2019 11
08
November 2019 12
08
June 2020 7
08
October 2019 37
08
October 2019 14

More Documents from ""