MANAJEMEN STRATEGIS BERBASIS-KOMPETENSI: Pendekatan Integratif Dalam Membangun Keunggulan Kompetitif Berkelanjutan Oleh: Wilfridus B. Elu*) Abstract Competence-based strategic management has been emerging as a potential perspective to integrating, even to synthesizing the diverse perspectives in strategic management rooted in two eminent and divergent paradigms, i.e. market-based view and efficiency-based or resource-based view. This paper describes the evolution and characteristics of competence-based persepective, and the development of organizational competences as source of organizational performance and sustainable competitive advantage. Competence-based perspective evolved as a branch of efficiency-based or resource-based paradigm in strategic management. As an extension of the resourcebased perspective and dynamic capabilities perspective, it holds the assumption of the resource-based paradigm of the determination of distinctive capabilities on organizational performance and sustainable competitive advantage. Performance and competitive advantage mostly depends on the organizational capabilities in building, leveraging, and protecting the firm-distinctive capabilities. Competence-based perspective, however, demonstrates a dynamic, systemic, and holistic nature in building and leveraging competences. As a result, competence-based strategic management portrays a dynamic-systemic-holistic nature. The previously fragmented aspects of strategic management such as strategy “content” vs “process”, focus on industry vs internal strength and weaknesses, competitive vs cooperative processes, theory vs application of strategy, are put integrated in competence-based strategic management. It is apt for organizations to succeed in facing situations of dynamic complexity and turbulent environment. The adoption of open system model of organization implies the development of various types of competences both internally through the coordinated activities across the units and levels of the organization, and externally by accessing the firm-addressable assets and capabilities. Static analysis of competences depicts three levels of competences: system view capability, distinctive capabilities, and routines. The dynamic analysis of competences exemplifies three levels of competences that should be built, leveraged, and protected as a learning process: definition of learning space, implementation of routines, and continuous improvement. Imitation, substitution, mobilization and value reduction are common threats to firm-specific capabilities in a dynamic environment. Organizations can preserve the distinctive capabilities through intelligence and defensive actions.
*)
Wilfridus B. Elu adalah dosen tetap STIE Perbanas Jakarta; dosen tidak tetap Mata Kuliah Manajemen Strategis (Sektor Bisnis) pada STIA LAN RI Jakarta dan FE Universitas Paramadina, Jakarta; mahasiswa S3 Ilmu Administrasi, FISIP, Universitas Indonesia.
1
Pendahuluan Manajemen strategis (strategic management) dapat dipahami sebagai proses pemilihan dan penerapan strategi-strategi. Sedangkan strategi adalah pola alokasi sumber daya yang memungkinkan organisasi-organisasi dapat mempertahankan kinerjanya. (Barney, 1997:27). Strategi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai penggunaan sumber daya-sumber daya untuk menciptakan suatu posisi menguntungkan. (Grant, 1995:10). Dengan kata lain, manajamen strategis terlibat dengan pengembangan dan implementasi strategi-strategi dalam kerangka pengembangan keunggulan bersaing. Pertanyaan fundamental yang ingin dijawab oleh manajemen strategis adalah “Apa itu keunggulan bersaing dan bagaimana keunggulan bersaing dapat dijelaskan?” Dengan rumusan lain, “Apa yang membedakan organisasi berkinerja unggul dari yang lainnya?” Lebih dari itu, manajemen strategis berkepentingan dengan penjelasan atas pengembangan keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA). Upaya-upaya menemukan penjelasan yang semakin memadai atas pertanyaanpertanyan ini dihadapi oleh kalangan teoretisi dan praktisi di bidang manajemen strategis, bukan saja di sektor bisnis, tetapi juga di sektor-sektor pemerintahan atau politik pada umumnya dan kebudayaan. Semuanya ini bermuara pada upaya memenuhi kebutuhan transformatif dari berbagai organisasi insansi, yaitu mewujudkan keberartian teleologis organisasi-organisasi secara unggul dan berkelanjutan dalam kerangka kemajuan masyarakat dan peradaban. Manajemen strategis sektor bisnis telah berkembang melalui dua paradigma utama berupa Market-based View (MBV) dan Efficiency-based View yang lebih sering dikenal sebagai Resource-based View (RBV). Dialektika dari dua paradigma ini telah berproses melalui fase tesis (MBV) dan anti tesis (RBV). Perkembangan ini telah melahirkan fragmentasi dalam pendekatan-pendekatan, namun terdapat juga potensipotensi dan kecenderungan ke arah integrasi atau sintesis. Manajemen strategis berbasis kompetensi (Competence-based perspective) merupakan salah satu pendekatan yang potensial bagi integrasi atau sintesis di antara paradigma-paradigma dan aneka pendekatan dalam manajemen strategis. (Volberda &
2
Elfring, 2001).1 CBP menawarkan penjelasan yang lebih memadai atas SCA dalam lingkungan masa kini yang penuh dengan perubahan atau turbulensi. Ketidak-pastian dan turbulensi lingkungan
organisasi dapat dikenali melalui
dimensi-dimensinya: kedinamisan, kompleksitas, serta kelangkaan sumber dayanya. Volatilitas perubahan lingkungan cenderung makin tinggi dan kontributornya tidak mudah diprediksi dengan tepat. Ketiga sektor kehidupan masyarakat dan institusiinstitusinya, yaitu lingkup kebudayaan (spiritual-cultural sphere), perekonomian (economic sphere), dan politik (political sphere) interdependen dan berinteraksi secara dinamis sebagai suatu kesatuan yang utuh, sistemik, dan holistik meskipun masingmasing sektor adalah otonom.2 Ketidak-pastian juga terjadi karena kelangkaan sumber daya-sumber daya utama bagi penciptaan nilai tambah dan kompetisi dalam masyarakat masa kini, yaitu pengetahuan (knowledge) atau kearifan (wisdom) dan perhatian. Dalam kondisi dimana terjadi dominasi, yaitu adanya subordinasi antar-domain atau antar-sektoral, antar-institusi dalam sektor yang sama, dan antar-level dalam berbagai institusi yang sama, maka kondisi lingkungan organisasi dapat menjadi lebih sederhana, mudah diprediksi, atau memiliki kepastian yang lebih tinggi. Pendekatan analitis-linear yang menekankan sebab-akibat dapat menjelaskan dengan sempurna situasi kompleksitas detail semacam ini. Ketidak-pastian lingkungan pun dengan mudah dikelola melalui mekanisme hirarki. Akan tetapi, demokratisasi, peningkatan kemakmuran, pengetahuan, dan kesadaran akan hak-hak azasi manusia (HAM) cenderung menghadirkan kondisi kesetaraan, otonomi dan interdependensi sehat antarsektor dan antar-institusi. Bahkan kondisi ini juga terjadi pada interaksi antar-level dalam hirarki-hirarki, seperti ditunjukkan oleh hubungan antara kantor-kantor cabang dengan kantor pusat perusahaan global, atau dalam hubungan antara pemerintah nasional dengan 1
Volberda & Elfring mengidentifikasi tiga aliran manajemen strategis yang dapat menjadi landasan bagi integrasi atau sintesis, atau sekurang-kurangnya dialog di antara persepktif-perspektif yang ada. Ketiga aliran itu adalah (1) the boundary school, (2) aliran ‘kapabilitas dinamis’ (the ‘dynamic capability’ school), dan (3) aliran konfigurasi (the configurational school). Sanchez (2001) memperluas aliran kapabilitas dinamis menjadi perspektif berbasis kompetensi. 2 Secara tradisional setiap domain atau sektor memiliki peran utama tertentu dalam masyarakat. Dunia bisnis berperan menyediakan barang dan jasa bagi kemajuan standar kehidupan masyarakat secara kompetitif. Insitusi-institusi pemerintahan yang demokratis bertugas memelihara keadilan dan hak milik melalui regulasi (penegakan hukum) dan pelayanan publik. Sementara itu, insitusi-institusi kebudayaan dan spiritual bertugas memberikan inspirasi dan legitimasi atas nilai-nilai. Dewasa ini interdependensi dan saling-pengaruh (interplays) di antara ketiga domain dan institusi-institusinya semakin dinamis, kompleks, dan timbal-balik.
3
pemerintah daerah di Indonesia saat ini. Semuanya itu semakin mencitrakan semangat otonomi dan perimbangan kekuasaan antara pusat dan cabang atau daerah. Interdependensi dinamis yang sistemik terjadi karena pada dasarnya masyarakat adalah satu dan utuh, sedangkan dimensi-dimensi atau sektor-sektor yang ada pada dasarnya terintegrasi menyangga keseluruhan masyarakat yang utuh dan tunggal dalam seluruh proses perubahannya.3 Secara keseluruhan, organisasi-organisasi dewasa ini menghadapi kompleksitas dinamis, bukan lagi kompleksitas detail. Dibutuhkan manajemen strategis yang bersifat dinamis-integratif-sistemik-holistik. Menurut Senge (1990), pengungkit (leverage) yang nyata bagi para manajer dalam pengembangan strategi masa kini terletak pada pemahaman atas kompleksitas dinamis. Pendekatan-pendekatan konvensional tidak lagi memadai. … Sophisticated tools of forecasting and business analysis, as well as strategic plans, usually fail to produce dramatic breakthroughs in managing a business. They are all designed to handle the sort of complexity in which there are many variables: detail complexity. But there are two types of complexity. The second type is dynamic complexity, situations where cause and effect are subtle, and where the effects over time of interventions are not obvious. Conventional forecasting, planning, and analysis methods are not equipped to deal with dynamic complexity. …. (Senge, 1990:71). Perspektif berbasis-kompetensi dalam manajemen strategis yang berakar pada RBV menunjukkan peningintegrasian dari pendekatan-pendakatan yang ada, sehingga mampu memberikan penjelasan yang lebih sistemik dan holistik atas SCA. Selain itu, ia menerapkan pendekatan yang dinamis, terutama karena perspektif ini merupakan perluasan dari perspektif kapabilitas dinamis. Perluasan ini dapat ditemukan dalam karyakarya Sanchez (2001), Sanchez & Heene (1997), Sanchez & Mahoney (1997, 2001),
3
Di bidang bisnis, terdapat kesadaran yang meningkat terhadap keyakinan dan kenyataan bahwa kehidupan masyarakat adalah satu dan utuh dengan dimensi-dimensi yang beragam dan otonom tetapi saling terkait. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya diskusi-diskusi tentang pengembangan strategi bisnis yang memperhitungkan interaksi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat. Hal ini sebenarnya bukan hal baru sama sekali karena pemikiran ini telah lama dikemukakan, di antaranya oleh Adam Smith. Mungkin lebih tepat dikatakan sedang terjadi peningkatan upaya untuk mengejawantahkannya secara memadai dalam konteks masyarakat yang senantiasa berubah. (Lihat, misalnya, Steiner & Steiner, 2000; Perry, Jr., 1995; Post et al., 2002). Dari kalangan masyarakat atau kebudayaan, konsepsi semacam itu dapat ditemukan dalam karya-karya seperti The Threefold Social Order (Rudolf Steiner, 1966), The Post-Corporate World dari David C. Korten (1999) atau tulisan-tulisan tentang sustainable development pada umumnya.
4
Mosakowski & McKlevy (1997), Christensen & Foss, (1997), Durand (1997), dan Wilson (1999). Perspektif kompetensi memperoleh perhatian luas bukan saja dari sektor swasta, tetapi juga dari sektor publik. Naschold & Daley (1999), misalnya, mengemukakan bahwa adopsi manajemen strategis oleh pemerintah, khususnya adopsi atas perspektif berbasis-kompetensi adalah relevan dengan new public management, desentralisasi, meningkatnya persaingan serta ketidak-pastian lingkungan. Dalam konteks modernisasi pemerintahan daerah melalui manajemen strategis terpadu, mereka mengungkapkan tantangan dari perspektif itu sebagai berikut. The development of capability requires managers to create linkage between overall goals and organizational details: structure, human resources, financial and material resources, information resources, and techniques/technologies. Private sektor management has recently begun to acknowledge that these developmental decisions, in a constrainedresource environment, must be guided by a vision of the core competencies that give a firm its competitive advantage. This kind of strategically guided development is a new challenge for local government. (Naschold & Daley (1999:56). Lebih lanjut, Naschold & Daley (1999) mengemukakan bahwa sektor publik dapat belajar dari pengalaman sektor swasta. The private sektor is years ahead of the public sektor in experience with strategic management. Although the state of development varies among firms, and the strategic management practices used differ considerably, it is possible to gain lessons from private sektor experiences, particularly in well-run multiproduct firms and concerns. (Naschold & Daley, 1999:56). Tulisan ini mendiskusikan suatu penelusuran awal atas konsepsi tentang manajemen strategis berbasis-kompetensi yang berkembang dalam sektor bisnis swasta. Tinjauan dilakukan dengan memusatkan perhatian pada dua hal. Pertama, penjelasan atas SCA menurut perspektif berbasis-kompetensi dalam manajemen strategis sebagai suatu pengembangan dari perspektif sumber daya dan kapabilitas dinamis dari RBV. Di sini dikemukakan tentang fragmentasi dalam manajemen strategis dan kecenderungan menuju integrasi atau sintesis melalui perspektif berbasis-kompetensi. Kedua, pengembangan kompetensi secara dinamis, sistemik, dan holistic sebagai strategi untuk membangun dan
5
mempertahankan kinerja serta SCA organisasi. Dalam hal ini dikemukakan tentang model sistem terbuka yang menjelaskan integrasi antara organisasi dengan lingkungan eksternal menurut CBSM, pengembangan kompetensi-kompetensi pada berbagai level menurut pendekatan statis dan dinamis, dan ancaman-ancaman terhadap kompetensi organisasi serta strategi melindungi atau mempertahankan kompetensi.
Paradigma Resource-Based (RBV): Dari Fragmentasi Menuju Integrasi Manajemen strategis dan perspektif berbasis-kompetensi merupakan hasil evolusi pemikiran dan praktek selama sekitar tujuh puluh tahun terakhir. (Naschold & Daley, 1999:56) mengemukakan, manajemen strategis pada industri-sektor swasta berkembang melalui lima tahap, yaitu (1) tahap penganggaran, yang dimulai pada 1930-an; (2) tahap perencanaan jangka-panjang, dimulai pada 1950-an; (3) tahap pengelompokan dalam unit bisnis strategis, dimulai 1970-an; (4) tahap perencanaan strategis korporasi, dimulai pada 1980; dan (5) tahap manajemen strategis sejak 1985. Evolusi manajemen strategis yang secara eksplisit menunjukkan dasar-dasar bagi paradigma MBV dan RBV dikemukakan oleh Robert M. Grant (1995). (Lihat, Tabel 1).
Tema Dominan 1950-an
Tabel 1: Evolusi Manajemen Strategis Fokus Utama Konsep & teknik kunci
Perencanaan dan pengendalian berdasarkan penganggaran Perencanaan korporasi
Pengendalian finansial melalui anggaran operasi
Penganggaran finansial; Perencanaan investasi; Penilaian proyek
Perencanaan pertumbuhan
Proyeksi pasar; Diversifikasi & analisis sinergi
1970-an
Strategi korporasi
Perencanaan portofolio
Akhir 1970-an & awal 1980an Akhir 1980-an &
Analisis industri dan persaingan
Pilihan atas industri, pasar, segmen, dan positioning Sumber-sumber keunggulan
Unit Bisnis Strategis (UBS) sebagai unit analisis; Matriks perencanaan portofolio; Analisis atas kurva pengalaman dan laba terhadap pangsa pasar Analisis struktur industri. Analisis pesaing. Analisis dampak pangsa pasar terhadap laba. Analisis sumber daya; Analisis kompetensi dan
1960-an
Penelusuran atas keunggulan
Implikasi Terhadap Organisasi Manajemen keuangan menjadi fungsi kunci dari perusahaan Pengembangan departemendepartemen perencanaan korporasi; Berkembangnya konglomerasi; Meluasnya organisasi bentuk-M. Integrasi pengendalian keuangan dan pengendalian strategis; Perencanaan strategis sebagai dialog antara kantor pusat dan divisi-divisi. Divestasi atas UBS tak menarik. Manajemen aktiva yang aktif. Restrukturisasi korporasi dan rekayasa-ulang proses
6
awal 1990an
kompetitif
kompetitif dalam kapabilitas organisasi; bisnis; Mengembangkan perusahaan; Analisis dinamis: analisis kapabilitas melalui SIM, Aspek-aspek atas keunggulan dari MSDM, aliansi strategis, dinamis dari kecepatan, responsiveness, dan bentuk-bentuk strategi. dan first-mover. organisasi baru. Sumber: Robert M. Grant (1995). Contemporary Strategy Analysis: Concepts, Techniques, Applications. Second Edition. (Oxford: Basil Blackwell Inc.), hlm. 17.
Manajemen strategis dewasa ini memusatkan perhatian bagaimana perusahaanperusahaan menghasilkan kinerja yang tinggi dan mempertahankan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA). Kinerja dan SCA itu, antara lain ditunjukkan oleh keunggulan dalam kualitas, produktivitas, dan kemampu-labaan (profitablitas) dalam waktu yang lama. Dalam era yang penuh dengan perubahan, kinerja dan SCA itu berkaitan dengan kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi perubahan (higher ability to cope with change), atau terciptanya apa yang disebut oleh Arie de Geus (1997) sebagai the long-lived, living company. Paradigma MBV dan efisiensi atau RBV pada titik tertentu merupakan tesis dan antitesis yang sangat ketat dan menciptakan fragmentasi. Meskipun begitu, terdapat juga dasar-dasar bagi integrasi, bahkan sintesis dari kedua paradigma tersebut, sebagaimana dapat ditemukan pada perspektif kapabilitas dinamis dan perspektif kompetensi. Beberapa ciri pokok yang secara mendasar membedakan RBV dari MBV berkaitan dengan asumsi-asumsi tentang sumber keuntungan atau keberhasilan, kapasitas jangka pendek untuk reorientasi-strategis, dan peran industri serta konsekuensinya pada pusat perhatian dan unit analisis fundamental. Kedua paradigma juga memiliki akar-akar intelektual dan tokoh-tokoh yang berbeda. (Lihat, Tabel 2). Tabel 2: Ciri-ciri Pokok dari Perspektif-perspektif Dalam Paradigma Market-based View dan Resource-based View MARKET-BASED VIEW
Akar intelektual
(1) Attenuating Competitive Forces Masson,Bain
Tokoh-tokoh
Porter (1980)
Nature of rents Asumsi tentang rationalitas manajer Unit analisis
Chamberlincan Rational
Camberlincan Hyper-rational
EFFICIENCY-BASED VIEW OR RESOURCE-BASED VIEW (3) Resource- (4) Dynamic Capabilities based Perspective Perspective Penrose, Selznick, Schumpeter, Nelson, Winter, Christensen, Teece Andrews Rumelt (1984), Dosi, Teece & Winter (1989), Chandler (1966), Prahalad & Hamel (1990), Wernerfelt (1984), Hayes & Wheelright (1984), Teece (1980, Dierickx & Cool (1989), Porter 1982). (1990) Richardian Schumpeterian Rational Rational
Industri,
Perusahaan, produk
Resources
Ciri-ciri pokok
perusahaan,
(2) Strategic Conflict Approach Machiavelli, Schelling, Cournot, Nash, Harsanyi, Shapiro Ghewawat (1986), Shapiro (1989), Branderburger & Nalebuff (1995)
Proses, Posisi, jalur (paths)
7
fundamental Kapax jpersa) Peran industri Pusat perhatian
produk Tinggi Eksogen Kondisi struktural dan positioning dari pesaing
Sering infinit Endogen Interaksi strategis
Rendah Endogen Asset fungibility
Rendah Endogen Akumulasi asset, replicability and immitability
Sumber: David Teece et al., (1997), “Dynamic Capabilities and Strategic Management” dalam Strategic Management Journal, 18 (7), 1997: hlm. 257. a) Kapax jpers: Kapasitas jangka-pendek untuk reorientasi strategis.
Fragmentasi dalam manajemen strategis berkaitan dengan empat dimensi pokok, yaitu (1) domain penyelidikan; (2) kontribusi dari disiplin-disiplin yang menjadi dasar atau landasan berpikir; (3) pendekatan metodologis; dan (4) tujuan penyelidikan. (Elfring & Volberda, 2001a). MBV dominan selama era 1980-an, berakar pada structure-conduct-performance (S-C-P) paradigm yang lasim dalam industrial organization (IO). Dua muaranya adalah (1) pendekatan faktor-faktor persaingan dari Porter4 dan (2) pendekatan konflik strategis (strategic conflict approach) atau contestable approach. (Teece et al., 1997). Berakar pada ilmu ekonomi, model-model IO menganut empat asumsi tentang kinerja dan SCA. Pertama, lingkungan eksternal memberikan tekanan-tekanan dan kendala-kendala yang menentukan strategi, dan pada gilirannya menciptakan SCA. Kedua, kebanyakan perusahaan dalam industri atau segmen industri tertentu mengendalikan sumber daya strategis yang sama dan menempuh strategi yang sama sesuai dengan sumber-sumber daya itu. Ketiga, sumber daya-sumber daya untuk implementasi strategi memiliki mobilitas yang sangat tinggi di antara perusahaanperusahaan sehingga perbedaan (sumber daya) antar-perusahaan hanya akan berumur pendek. Dengan kata lain, ada homogenitas di antara perusahaan-perusahaan dalam industri atau segmen yang sama. Keempat, pembuat keputusan organisasi diasumsikan rational dan berkomitmen untuk bertindak demi kepentingan terbaik bagi perusahaan, seperti ditunjukkan oleh perilaku maksimisasi-laba. (Hitt et al., 2001:21) Pendekatan faktor-faktor persaingan menekankan tindakan-tindakan perusahaan untuk menciptakan posisi yang dapat dipertahankan berhadapan dengan tekanan-tekanan
4
Michael Porter mengemukakan bahwa keunggulan suatu perusahaan ditentukan oleh posisinya di dalam lima faktor persaingan dari industri, yaitu tekanan-tekanan dari persaingan dalam industri (rivalry in the existing industry), pendatang baru yang potensial (potential new entrants), substitusi, pemasok, dan pelanggan. Market-based approach memfokuskan perhatian pada industri sebagai penentu keberhasilan perusahaan.
8
persaingan. Perspektif ini memahami keuntungan atau keberhasilan sebagai hasil dari keunggulan posisi (produk) di pasar. Pendekatan konflik strategis berkaitan erat dengan pendekatan konflik strategis dalam memusatkan perhatian pada ketidak-sempurnaan posisi di pasar, pencegahan dan antisipasi pendatang baru (entry deterrence), serta interaksi strategis. Perspektif ini juga memahami keuntungan atau keberhasilan sebagai hasil dari keunggulan posisi (produk) di pasar. SCA ditempatkan sebagai hasil dari upaya-upaya mengimbangi pesaing-pesaing melalui investasi strategis, strategi harga, signaling, dan pengendalian atas informasi. Perspektif ini mengandalkan kapabilitas manajer dalam menerapkan game theory, khususnya gerakan-gerakan strategis dan taktik-taktik Machiavellian. ”Plays and counterplays” yang canggih menentukan keberhasilan. Sedangkan penciptaan dan perlindungan intrapreneural perusahaan terabaikan. (Teece et al., 1997:511-513). Kedua aliran MBV mengasumsikan bahwa kinerja organisasi terutama ditentukan oleh ciri-ciri industri, termasuk skala ekonomis, hambatan masuk, diversifikasi, diferensiasi produk, dan derajad konsentrasi industri. (Hitt et al., 2001:21). Industri merupakan faktor eksogen: di luar dan melampaui pengendalian perusahaan, suatu realitas empiris-obyektif, dan dihadapi secara rasional oleh para manajer. Jadi, kinerja organisasi adalah fungsi dari industri atau kelompok-kelompok dalam industri. Kinerja dan SCA dianalisis pada tingkat industri, bukan pada tingkat perusahaan. RBV merupakan antitesis MBV dan popular sejak akhir 1980-an. Perspektif efisiensi memiliki akar tradisi pada diskusi-diskusi mengenai kekuatan dan kelemahan perusahaan. Efficiency-based strategic management menekankan pembentukan SCA melalui pengembangan entrepreneurial rents yang bersumber pada keunggulan efisiensi fundamental dalam perusahaan, serta proses-proses teknologis, organisasional, dan manajerial dalam perusahaan. SCA pertama-tama adalah hasil internal wealth creation, bukan oleh strategizing.5 (Lihat, Teece et al., 1997:509). Keberhasilan ditentukan oleh aset-aset dan kapabilitas-kapabilitas idiosinkratik perusahaan. (Ginsberg, 1994). 5
Strategizing dipahami sebagai upaya-upaya dalam praktek-praktek bisnis yang ditujukan untuk menggangu (membingungkan) para pesaing, meningkatkan biaya-biaya pesaing, dan menghalangi masuknya pesaing-pesaing baru. RBV mengakui bahwa strategizing dan efisiensi atau keekonomisan menjelaskan SCA, tetapi yang utama adalah efisiensi, bukannya strategizing. Bahkan, strategizing yang berlebihan hanya akan menghambat perusahaan dalam mengembangkan kapabilitas-kapabilitas internalnya yang justru berguna untuk mendukung keberhasilan posisi di pasar.
9
Dua asumsi pokok yang secara mendasar membedakan RBV dari MBV, adalah (1) heterogenitas sumber daya di antara perusahaan-perusahaan sebagai kumpulankumpulan sumber daya produktif dengan proses berbeda-beda; dan (2) resource immobility, karena mahalnya perolehan atau inelastisitas pemasokan banyak sumber daya. Sumber daya-sumber daya yang menjadi basis SCA mencakup semua aset, kapabilitas, kompetensi, proses-proses organisasi, atribut-atribut perusahaan, informasi, pengetahuan, dsb yang dikuasai perusahaan dan dapat digunakan untuk melaksanakan strategi secara efisien dan efektif. Pada umumnya sumber daya-sumber daya terbagi dalam empat kelompok: aset finansial, fisik, SDM, dan organisasional. Sedangkan kapabilitas
mencakup
atribut-atribut
internal
yang
memungkinkan
perusahaan
mengkoordinasikan dan mendaya-gunakan sumber daya-sumber daya lainnya. (Barney, 1997:142-144). Sumber daya-sumber daya harus memenuhi kriteria VRIO agar menjadi basis SCA: kemampuan sumber daya dalam merespons lingkungan (value); seberapa jauh perusahaan-perusahaan lain memilikinya (rareness); kemudahan bagi perusahaan lain untuk mendapatkannya secara mudah atau murah (imitability); dapat dieksploitasi karena terdapat pengorganisasian yang memadai (organization). (Barney, 1997). Hasil kajian Barney (1997:36-142) menemukan tiga penelitian tradisional yang menjadi dasar paling penting bagi RBV. Pertama, penelitian tradisional tentang kompetensi-kompetensi distingtif dari Selznick, 1957. Phillip Selznick menempatkan general managers atau para pemimpin senior kelembagaan sebagai faktor kompetensi distingtif organisasi. Selain pengambilan keputusan dan administrasi, mereka berperan dalam menentukan visi dan struktur organisasi yang dapat memelihara nilai-nilai dan identitas distingtif perusahaan. Kedua, analisis ekonomi Ricardin dari Ricardo, 1817 dan Hirschleifer, 1980. David Ricardo menekankan konsekuensi-konsekuensi ekonomis dari “original, unaugmentable, and indestructible gifts of nature.” Faktor produksi berupa tanah, dan selanjutnya SDM (manajer-manajer) adalah kekuatan dan kelemahan perusahaan. Ketiga, teori pertumbuhan perusahaan dari Penrose, 1959. Edith Penrose mengajukan pengertian perusahaan sebagai (1) suatu himpunan sumber daya produktif, dan (2) kerangka kerja administratif yang menghubungkan dan mengkoordinasikan
10
kegiatan-kegiatan individu dan kelompok.6 Kontribusinya terhadap kekuatan dan kelemahan perusahaan mencakup (1) heterogenitas sumber daya yang signifikan antara perusahaan-perusahaan dalam satu industri;7 (2) adopsi definisi sumber daya produktif yang lebih luas, termasuk tim manajerial, manajemen puncak, dan kewirausahaan; dan (3) heterogenitas sumber daya dalam cakupan lebih luas. Penrose menunjukkan bahwa perusahaan akan senantiasa bertumbuh atau tidak berdiam diri ketika mencapai “posisi ekuilibrium.” Upaya-upaya baru diperlukan karena persoalan-persoalan berikut: Those arising from the familiar difficulties posed the indivisibility of resources; those arising from the fact that the same resources can be used differently under different circumstances, and in particular, in a “specialized” manner; and those arising because in the ordinary process of operation and expansion new productive services are continually being created. (Christensen & Foss, 1997:292).
Menurut resource-based perspective, determinan-determinan kinerja perusahaan adalah kapabilitas-kapabilitas dan aset-aset yang spesifik-perusahaan, serta mekanismemekanisme perlindungan posisi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah intangible assets, seperti ketrampilan di bidang teknologi maupun manajerial (Teece et al., 1997). Perspektif kapabilitas dinamis mengidentifikasi dimensi-dimensi dari kapabilitas khas-perusahaan (firm-specific capabilities) yang dapat menjadi sumber keunggulan, dan berupaya menjelaskan bagaimana kompetensi-kompetensi dan sumber daya-sumber daya dapat dikembangkan, didayagunakan, dan dilindungi. Pemenang persaingan adalah perusahaan-perusahaan yang menunjukkan ketanggapan tepat waktu, melakukan inovasi secara cepat dan fleksibel, serta didukung oleh kapabilitas manajemen yang mengkoordinasikan dan mendayagunakan kompetensi-kompetensi internal dan eksternal secara efektif. (Teece et al., 1997:515).
6
Defenisi ini sangat relevan dengan konsep kapital intelektual dewasa ini. Dengan memandang organisasi atau perusahaan terutama sebagai kumpulan sumber daya produksi, khususnya sumber daya insani, maka atributnya sebagai administrative framework harus dikembangkan—bahkan perlu didekonstruksi secara kreatif--secara memadai agar memfasilitasi pengembangan dan penerapan pengetahuan dan kearifan sebagai sumber daya utama penciptaan nilai, khususnya dari knowledgeable human resources. 7 Heterogenitas aset dan kapabilitas di antara perusahaan-perusahaan disebabkan oleh pilihan-pilihan pengembangan dari setiap perusahaan dalam menghadapi situasi dalam industri, serta melekatnya kapabilitas dalam proses-proses dan kebiasaan-kebiasaan yang sulit dipahami, dikodifikasi, dan ditiru. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan tidak begitu saja dapat membeli aset-aset dan kapabilitas dari luar, melainkan harus mengembangkannya sendiri, kadang dalam waktu yang lama.
11
Dengan istilah “dinamis”, Teece et al. (1997:515) memaksudkan kapasitas memperbaharui kompetensi-kompetensi agar selalu kongruen dengan perubahan lingkungan, teknologi, ketidak-pastian pasar, serta persaingan. Sedangkan “kapabilitas dinamis” digunakan untuk menekankan peranan manajemen strategis dalam melakukan adaptasi, integrasi, dan rekonfigurasi atas ketrampilan-ketrampilan organisasi dari luar perusahaan dan sumber daya-sumber daya baik dari dalam maupun dari luar, serta kompetensi-kompetensi fungsional untuk menanggapi lingkungan yang selalu berubah. Collis (1994) mengemukakan tiga tingkatan kapabilitas, yakni kapabilitas statis, kapabilitas dinamis, dan kapabilitas metafisik. Kapabilitas tipe pertama mencerminkan kemampuan perusahaan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan fungsional utama, seperti tata letak pabrik, logistik, dan periklanan yang lebih efisien dari para pesaing. Sedangkan kapabilitas dinamis berkaitan dengan pembaharuan dinamis atas aktivitas-aktivitas perusahaan, atau kemampuan perusahaan untuk belajar, beradaptasi, berubah dan melakukan pembaharuan terus-menerus. Sementara itu, kapabilitas metafisik berkaitan dengan wawasan-wawasan strategis yang memungkinkan perusahaan memahami nilainilai intrinsik dari sumber-sumber daya lain atau untuk mengembangkan strategi-stragei bersaing yang baru. Pengakuan akan peranan kapabilitas dalam membangun SCA membuka “kotak hitam” dalam menjelaskan efisiensi dari proses transformasi masukan menjadi keluaran. Analisis efisiensi dalam pendekatan ekonomi lebih tertarik dengan input-output, tanpa terlibat intensif dengan proses yang terjadi di dalam perusahaan. Industri adalah faktor endogen bagi perusahaan: merupakan masukan dalam pengembangan dan implementasi strategi. Bahkan, industri bisa dibentuk oleh perusahaan yang memiliki kapabilitas istimewa. Contoh klasiknya adalah rontoknya batas-batas industri komputer, elektronika, dan telekomunikasi karena pengaruh Microsoft melalui keunggulan sistem-sistem komputer. Kinerja perusahaan ditentukan oleh keunggulan kapabilitas sosio-kognitif perusahaan, khususnya dalam berbagai tim pengembangan dan implementasi strategi. (Ginsberg, 1994). Dua dimensi pokok dari kapabilitas sosio-kognitif adalah SDM (kemampuan kognitif dan kompetensi-kompetensi sosial) dan sumber daya organisasi (teknik pemetaan dan pemodelan, serta desain struktur organisasi dan insentif). Kapabilitas sosio-kognitif organisasi menentukan pengembangan strategi. Keberhasilan
12
perusaahaan ditentukan oleh inteligensi tim mulai dari tahap penilaian atas situasi, pemikiran strategis, pengambilan keputusan hingga implementasi strategi. Mengikuti Collis, SCA menuntut pengembangan kapabilitas hingga kapabilitas metafisik. Deskripsinya tentang metakapabilitas adalah sebagai berikut: … we advance into the realm of what might be called meta-capabilities. The capability that wins tomorrow is the capability to develop the capability that innovates faster (or better), and so on. This capabilities might include flexibility to shift between capabilities more efficiently or faster than competitors …or the capability to respond to or initiate radical change … so that under changing industry conditions a firm always focuses on the capability which is most relevant at a point in time … Or perhaps it is the capability to resolve the trade-offs among the organizational archetypes better than competitors, …Or it is the capability to develop the capability to identify valuable resources or market positions before competitors … Or perhaps it is just the capability to innovate the innovation that innovates the innovation that innovates … and so on ad infinitum. (Collis, 1994:148). Tuntutan akan pengembangan terus-menerus atas (konsepsi) kapabilitas tingkat tinggi itu bisa menjelaskan kehadiran dan relevansi perspektif-perspektif baru dari RBV, seperti perspektif berbasis-kompetensi dan perspektif berbasis-pengetahuan. Perspektif berbasis-kompetensi yang dikembangkan sebagai perluasan dari perspektif-perspektif berbasis-sumber daya dan kapabilitas dinamis mengusung konsepkonsep baru seperti kompetensi inti, sumber daya pengetahuan, sumber daya yang dapat diakses di luar perusahaan (firm-addressable assets), pengembangan dan pendaya-gunaan kompetensi (competence building and leveraging), dan persaingan berbasis-kompetensi. Tabel 3 menunjukkan konsep-konsep kunci, isu-isu pokok, dan proposisi-proposisi perspektif berbasis-kompetensi dan dua perspektif lebih awal dalam RBV. Tabel 3: Konsep-konsep Kunci dan Proposisi-proposisi Dalam Persepektif-perspektif the Resources, Kapabilitas Dinamis, dan Kompetensi Resources Perspective Concepts Reference Focal issue(s) Basic Proposition(s) • • •
Resources Service of resources Productive opportunities
Penrose, 1959
Why and how firms grow
• Firm growth is motivated by availability of firm resources • Firm growth is limited by management’s 1. Recognition of productive opportunities suited to the firm’s available resources 2. ability to combine existing and new resources 3. willingness to accept the risk of using new resource combinations to meet new market demands
13
• Resource position barriers • Attractive resources • Imperfect markets for resources
Wernerfelt, 1984
•
• Heterogeneous and imperfectly mobile resources • Firm resource endowments
Barney, 1986a, 1991
Sources sustained competitive advantage
• Asset stocks and flows • Asset mass efficiencies • Asset stock interconnectedness • Time-compression diseconomies
Dierickx and Cool, 1989
Sources of rentearning potential of resources
Resources that lead to profits • Motive for diversification
of
• Resource position barriers can be created when experience in using re-sources lowers costs for incumbents and imposes higher costs on imitators • Diversification is an attempt to extend a firm’s resource position barrier into new markets by combining a firm’s current resources with new resources • Mergers and acquisitions are attempts to acquire groups of resources that include attractive resources • Firms cannot create a sustained competitive advantage in markets with homogenous and perfectly mobile resources • Creating a sustained competitive advantage depends on control of a firm resource endowment that includes resources that are heterogeneous, imperfectly mobile, valuable, rare, imperfectly imitable and non substitutable • The rent-earning potential of resources results from properties of resources that create asset mass efficiencies, asset mass interconnectedness and time compression diseconomies in firm’s efforts to accumulate assets stocks and to create assets
Dynamic Capabilities Perspective Focal Issue(s)
Concepts
Reference
• Organizational routines • Natural trajectories of skill development
Nelson and Winter, 1982
Sources of economic change
• Dynamic capabilities • Path dependencies
Teece 1997
• Strategic assets • Strategic industry faktors
Amit Schoemaker (1993)
Impacts of path dependencies on the formation of capabilities and of capabilities on wealth creation and capture How firm processes and market uncertainties affect the ability of firms to acquire and use assets to generate organizational rents
at
al.,
&
Basic Proposition(s)
•
Change in economic activities results from the learning and embedding of new skills in new organizational routines • Skill development in organizations follows natural trajectories determined by the organization’s existing skill base and routines • Competitive advantage arises from a firm’s current distinctive ways of coordinating and combining its difficult to trade and complementary assets and, from the evolutionary path, a firm follows in advancing its resulting capabilities • At any point in time, certain assets will be important determinants of a firm’s ability to earn rents in a given market, i.e. they will be strategic industry faktors, but these assets will be imperfectly predictable and subject to market failure • The cognitive and social processses of managers will determine the assets a firm acquires and thus its potential for generating organizational rents
Competence Perspective Concepts • Core competences • Knowledge resources • Strategic architecture
Reference
Focal Issue(s)
Hamel, 1991, • Exploitation of 1994; competences Prahalad & • Collective Hamel, 1990, learning 1993; • Knowledge Rumelt, 1994. sharing
Basic Proposition(s) • Firms have certain ‘core’ competence that span across products, and arise from collective learning; firms compete and using their core competences • Knowledge resources are key sources of competitive advantage; a firm’s strategic architecture influences its use of resources
14
• Firmaddressable assets • Competence • Competence building • Competence leveraging • Organizational knowledge • Strategic goals • Strategic logic • Competence groups • Competencebased competition
Sanchez et • Nature of al., 1996; competence Heene & • Processes of Sanchez, competence 1997; building and Heene & leveraging Sanchez, • Organizational 1997a, 1997b. sense making • Managerial cognition
•
Knowledge, applying knowledge in action and learning are the foundations of skills, capabilities and firm competences • Firms function as open systems of resource flows motivated by mangers’ perceptions of strategic gaps a firm must close to achieve an acceptable level of goal attainment; firms have distinctive strategic goals that lead to unique patterns of resource flows and competence building and leveraging activities • Competence leveraging drives short-term competitive dynamics, whole competence building drives long-term competitive dynamics • The complexity and uncertainty inherent in managing resource flows in a dynamic environment makes the ‘contest between managerial cognitions’ in devising strategic logics a primary feature of Competence-based competition • Firms rely on the use of both firm-specific and firmaddressable resources, and competition occurs in markets for key resources as well as in markets for products • Competence-based competition includes forms of cooperation (as well as competition) with providers of key resources • Firms’s differing abilities in coordinating resources and resource flows and in managing their systemic interdependencies greatly influence competitive outcomes in dynamic environments • Creating a systemic organizational capacity for strategic flexibility may be the dominant logic for Competence-based strategic management in dynamic environments Sumber: Ron Sanchez (2001), “Building Blocks for Strategy Theory: Resources, Dynamic Capabilities and Competences”, dalam Henk W. Volberda & Tom Elfring, (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Pub., hlm. 146-147.
Fragmentasi di antara paradigma RBV dan MBV serta perspektif-perspektifnya berpengaruh terhadap—atau tepatnya, tercermin pada-- proses manajemen strategis yang diajukan oleh masing-masing paradigma. (Lihat, Tabel 4). Sebagai ilustrasi, titik berangkat dari keduanya berlawanan atau bertolak belakang. MBV berangkat dari industri dan berakhir pada perolehan aset yang dibutuhkan bagi SCA. Sebaliknya, RBV justru bertolak dari perusahaan.
Analisis Teece et al.
Analisis Hitt et al.
Tabel 4: Proses Manajemen Strategis Menurut MBV dan RBV MBV RBV 1. Pilih industri berdasarkan daya 1. Identifikasi sumber daya-sumber daya unik dari tarik industri. perusahaan sendiri. 2. Pilih “entry strategy” 2. Tetapkan pasar-pasar dimana sumber daya-sumber berdasarkan asumsi tentang strategi daya dapat menghasilkan laba tertinggi. rasional dari pesaing. 3. Tetapkan apakah laba dari aset-aset itu paling efektif 3. Jika belum dimiliki, dapatkan digunakan melalui (a) integrasi dengan pasar yang relevan, atau himpun aset-aset yang (b) penjualan keluaran antara ke perusahaan terkait, atau (c) dibutuhkan untuk bersaing di pasar. penjualan aset-aset itu ke perusahaan dalam bisnis terkait. 1. Pelajari lingkungan eksternal, 1. Identifikasi sumber daya-sumber daya perusahaan. teristimewa lingkungan industri. Pelajari kekuatan dan kelemahan dibandingkan dengan 2. Pilihlah sebuah industri dengan pesaing. potensi tinggi bagi SCA. 2. Tentukan kapabilitas-kapabilitas perusahaan (yang 3. Identifikasi strategi yang unggul). dibutuhkan oleh industri yang 3. Pastikan tentang potensi dari sumber daya dan menarik agar memperoleh SCA. kapabilitas-kapabilitas perusahaan dalam artian keunggulan
15
4. Kembangkan atau dapatkan aset kompetitif. dan ketrampilan untuk implementasi 4. Pilihlah sebuah industri yang menarik. strategi. 5. Pilihlah strategi yang paling memungkikan perusahaan 5. Gunakan kekuatan perusahaan memanfaatkan sumber daya dan kapabilitas-kapabilitasnya untuk menerapkan strategi. sehubungan dengan peluang-peluang lingkungan eksternal. Sumber: David J. Teece et al. (1997), “Dynamic Capabilities and Strategic Management” dalam Strategic Management Journal, Vol. 18 (7), hlm. 514; Michael Hitt et al. (2001), Strategic Management: Competitiveness and Globalization (Concepts). (Ohio: South-Western College Publishing), hlm. 23 dan 25.
Integrasi atau sintesis dari paradigma-paradigma, aliran-aliran dan pendekatanpenedakatan dalam manajemen strategis merupakan suatu kebutuhan nyata di masa kini dan masa depan. Penjelasan dan pengembangan strategi yang mampu menghasilkan kinerja unggul berkelanjutan (SCA) harus memiliki ciri-ciri dinamis, sistemik, terpadu, dan holistik sesuai dengan karakteristik kompleksitas dinamis yang dihadapi oleh organisasi-organisasi masa kini. Dibutuhkan suatu manajemen strategis yang memiliki kerangka teoretis yang makin kokoh, integratif dan multi-perspektif, serta memiliki metodologi yang lebih solid. Seperti diungkapkan oleh Hrebiniak & Joyce, integrasi pandangan-pandangan diperlukan agar perilaku organisasi dipahami dengan lebih memadai. What is needed is a greater emphasis on integration rather than differentiation of views. Research needs to be more concerned with reducing conceptual or theoretical barriers between disciplines and literatures and the consequent emphasis on eclectic approaches to explain organizational behavior. (Elfring & Volberda, 2001b:2). Kajian-kajian yang menekankan integrasi atau sintesis menemukan bahwa perspektif kapabilitas dinamis, yang menjadi dasar bagi perspektif kompetensi, merupakan salah satu perspektif yang bisa menjadi dasar bagi integrasi atau sintesis. Perspektif kapabilitas dinamis secara eksplisit terdapat dalam dua dari tiga aliran potensial untuk integrasi. Pertama, aliran kapabilitas dinamis dan perluasannya menjadi perspektif kompetensi yang dikembangkan oleh Sanchez (2001). Kedua, pendekatan kapabilitas dalam boundary school. (Foss, 2001). Nuansa pendekatan kapabilitas dapat juga disimpulkan terdapat dalam beberapa pendekatan dalam aliran kofigurasi yang mendasarkan diri pada 9 aliran pemikiran manajemen strategis dari Mintzberg, seperti pada pendekatan kognitif, pembelajaran, dan kultural (Elfring & Volberda, 2001c).
16
Hasil kajian Sanchez & Heene (Sanchez, 2001) menemukan bahwa perspektif kapabilitas dinamis dan perspektif kompetensi memberikan beberapa kontribusi dalam rangka pengembangan manajemen strategis yang terpadu atau sintesis. Sumbangannya dalam mengatasi fragmentasi dan membangun integrasi adalah sebagai berikut (Sanchez, 2001:154-155): 1.
Integrasi dari pendekatan ‘proses’ (implementasi strategi) dan pendekatan ‘isi’ (perumusan strategi).
2.
Integrasi pendekatan ‘struktur industri’ dan pendekatan ‘dinamika kompetitif”.
3.
Integrasi dari pendekatan persaingan dan pendekatan ko-operasi dalam memahami perusahaan.
4.
Integrasi proses kognisi dan proses koordinasi.
5.
Menyajikan
suatu
pendekatan
integratif
mengenai
interdependensi-
interdependensi sistemik di antara kompetensi-kompetensi perusahaan. 6.
Mengintegrasikan pendekatan ‘internal’ dan pendekatan ‘eksternal’ dalam (metodologi) memahami dinamika-dinamika persaingan. Sejalan dengan itu, Mahoney & Sanchez (1997) mengemukakan potensi teori
kompetensi untuk mengintegrasikan pendekatan-pendekatan dalam manajemen strategis. (Lihat, Tabel 5). Tabel 5: Integrasi Pemikiran Dalam Teori Kompetensi Dikotomi-dikotomi Dalam Strategi Integrasi Dalam Teori Kompetensi Ekonomika positivistik vs kognisi manusia Sasaran-sasaran ekonomis dan proses-proses kognisi Rasionalitas substantif vs rasionalitas prosedural
Bounded rationality (rasionalitas substantif dibatasi oleh rasionalitas prosedural) Isi strategi vs proses strategi Isi strategi ditentukan oleh proses strategi (yakni oleh kapabilitas-kapabilitas dalam pelaksanaan) Formulasi strategi vs implementasi strategi Formulasi dipadukan dengan implementasi Sumber: Joseph T. Mahoney & Ron Sanchez (1997). “Competence Theory Building: Reconecting Management Research and Management Practice.” Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (eds.), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm.50.
17
Pengembangan Kompetensi Sebagai Basis Keunggulan Bersaing Prinsip fundamental dari manajemen strategis berbasis-kompetensi (Competencebased strategic management, CBSM) adalah bahwa perbedaan-perbedaan kompetensi di antara organisasi harus diperhatikan dalam menjelaskan perbedaan kinerja organisasi. (Lihat, misalnya, Mosakowski & McKelvy, 1997:69-70). Beberapa konsep-konsep pokok CBSM adalah ‘kompetensi inti’ dari Hamel, Prahalad & Hamel, Henderson & Cockburn; kapabilitas dinamis dari Teece, Pisano & Shuen; kapabilitas inti dari Leonard-Barton; knowledge resources dari Prahalad & Hamel; strategic arhitecture dari Rumelt; kompetensi, competence building and leveraging dari Sanchez. Konsepsi CBSM sebagai pendekatan integratif antara lain ditunjukkan oleh model perusahaan sebagai sistem terbuka yang dikembangkan oleh Sanchez (Sanchez & Heene, 1997), seperti dinyatakan dalam Bagan 1.
18
Environmental scanning, benchmarking, influences of consultants and new managers Boundary of firm as open system STRATEGY LOGIC Operative rationale for achieving deployments of resources
Increasing causal ambiguity And increasing time required to change system elements
Data and revenues
Decisions, policies, Procedures, budgets
F I R M
MANAGEMENT PROCESSES Coordination mechanism for acquiring And deploying resources
A D D R E S S A B L E
Data on intangible Assets INTANGIBLE ASSETS Knowledge, intellectual property, Reputation, relationships Data on tangible Assets TANGIBLE ASSETS Physical assets
R E S O U R C E S
Data on operations OPERATIONS
PRODUCT OFFERINGS
Market data, Revenues PRODUCT MARKETS
COMPETING FIRMS
Bagan 1: Model Perusahaan Sebagai Sistem Terbuka dari Sanchez & Heene. Sumber: Ron Sanchez & Aime Heene (1997), “Competence-based Strategic Management: Concepts and Issues for Theory, Research, and Practice.” Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competencebased Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 17.
Model organisasi sebagai sistem terbuka dari Sanhez dan Heene menggambarkan integrasi antara organisasi dengan lingkungan eksternal melalui kapabilitas sosiokognitif. Analisis eksternal merupakan komplemen terhadap penilaian internal. 19
Persediaan dan aliran aset, baik di antara unit-unit dalam organisasi maupun dalam lingkungan organisasi saling berinteraksi dan mempengaruhi secara dinamis. Integrasi ini memberikan dasar bagi pengembangan kognisi manajerial (managerial cognition), yaitu suatu visi jangka-panjang dan lengkap mengenai masalah-masalah penting di masa depan (kebutuhan akan sumber daya dan kompetensi) dan cara-cara mengatasinya (bagaimana sumber daya dan kometensi diperoleh dari dalam dan dari luar organisasi). Kognisi manajerial menentukan strategic logic yang membimbing perilaku organisasi pada berbagai level. (Chiesa & Manzini, 1997:199). Chiesa & Manzini, 1997 menegaskan bagaimana integrasi itu harus dilakukan. Internal and external analysis need to be integrated in a non-traditional way: the objective is not just to identify the present external threats and opportunities of the industry in which the firm competes and relate these to current internal strengths and weaknesses. On the contrary, the external analysis should allow the firm to recognize critical issues in future competition and the kind of resources and competences likely to become necessary, and provide the firm with information on the resources which can be found and acquired from other firms and actors. The internal analysis, then, should assess the gap between what the firm already possesses and what it should have. (Chiesa & Manzini, 1997:199). Chiesa & Manzini (1997) membagi kompetensi dalam tiga level. Pendekatan analisis statis yang menggambarkan kompetensi-kompetensi organisasi pada titik waktu tertentu, mengidentifikasi kompetensi-kompetensi dalam (1) system view capability); (2) kapabilitas distingtif; dan (3) routines. Hubungan antara ketiga tingkatan kompetensi dan hasil-hasilnya berupa output inti dan produk akhir ditunjukkan dalam Bagan 2.
20
System view capability
Objectives Guidelines for procedures Organizational structure Culture and values Distinctive capabilities
Routines Capability to embody Distinctive capabilities Core outputs End products/services Bagan 2: Tiga Tingkatan Kompetensi Menurut Pendekatan Statis Sumber: V. Chiesa. & R. Manzini (1997). “Competence Levels within Firms: A Static and Dynamic Analysis”. Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 204.
Kapabilitas system view berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi dan memahami konteks persaingan dan kerangka acuan dari tindakantindakannya. Dua kapabilitas pada level ini adalah (1) kapabilitas memahami lingkungan secara visioner (industry forsight) melalui integrasi analisis eksternal dan internal yang memberikan dasar bagi kognisi manajerial dan strategic logic; (2) kapabilitas memahami sumber daya-sumber daya organisasi secara sistemik, yaitu sebagai himpunan sumber daya dan kapabilitas yang terkoordinasi dan terpadu. Empat keluaran dari pandangan sistemik ini adalah (1) ditetapkannya sasaran-sasaran organisasi dari organisasi sebagai satu sistem; (2) penetapan kebijakan-kebijakan strategis; (3) desain struktur organisasi yang cocok dengan strategi; dan (4) perumusan budaya dan nilai-nilai yang mendukung strategi dan tindakan. Kompetensi pada level kedua, kapabilitas distingtif, menyangkut pola-pola tindakan berulang dalam pengunaan aset-aset yang memungkinkan pendayagunaan terkoordinasi suatu himpunan pengetahuan yang spesifik. Tiga aspek penting dalam hal
21
ini. Pertama, konsep ini didasarkan pada himpunan pengetahuan dari persahaan, himpunan ketrampilan teknologis dan organisasional, serta aset-aset komplementer; (2) tuntutan koordinasi pendayagunaan melalui implementasi prosedur-prosedur yang berulang: komunikasi, interaksi, dan pertukaran informasi sehingga menghasilkan sinergi; dan (3) kemampuan menciptakan nilai bagi pelanggan berupa penyediaan produk8 yang dapat memuaskan konsumen dan tidak dapat ditiru oleh pesaing. Kompetensi pada level ketiga atau level paling rendah adalah kapasitas untuk mendemonstrasikan atau mewujudkan kapabilitas distingtif dalam hasil-hasil yang kasat mata maupun tidak. Penekanannya adalah sistem-sistem operasi dan karakteristikkarakteristik “produk inti” yang unik dan tak dapat ditiru oleh pesaing sebagai landasan bagi kinerja dan SCA. “Keluaran inti” mencakup komponen-komponen, produk, proses produksi, dan jasa-jasa. “Keluaran-keluaran inti” yang unik, tak dapat diimitasi, dan dapat membedakan organisasi dari para pesaing merupakan potensi untuk menciptakan keuntungan, dan dapat digunakan pada berbagai produk akhir. Keluaran-keluaran ini mreupakan unsur-unsur nyata bagi keunggulan kompetitif karena memberikan jamin ats nilai unggul bagi pelanggan. (Chiesa & Manzini, 1997). Identifikasi atas karakteristik produk inti sebagai unsur keunggulan bersaing menemukan tiga karakteristik berupa treshold traits, central traits, plus-only traits. Treshold traits harus dimiliki oleh semua produk agar bertahan hidup dalam persaingan. Kapabilitas distingtif organisasi direpresentasikan oleh karakteristik-karakteristik sentral dan tambahan. Chiesa dan Manzini mendeskripsikannya sebagai berikut. Various studies in the literature have focused on the characteristics of core products, identifying the categories of product traits (Huang, 1993; Bogner & Thomas, 1996) as follows: threshold traits which all products must posses to survive in competition, central traits that allows the firm to have a better response from the market if the performance of these traits is enhanced, and plus-only traits, that are not necessary to compete, but may give the firm a better market response. All traits need basic skills and knowledge, but only central traits and plus-only traits embody distinctive 8
Produk dalam pengertian ini mencakup segala sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk dapat diwujudkan melalui berbagai wahana (vehicles) berupa barang, jasa, gagasan (seperti dalam dunia pendidikan dan media massa), tempat (seperti dalam industri pariwisata), organisasi (yang penting dalam pemasaran partai politik, mislanya), orang (seperti dalam dunia olah raga), atau peristiwa-peristiwa atau penyelenggaraan acara-acara.
22
capabilities that may be firm-specific, unique, and inimitable. Indeed it is these traits that make products/services superior with respect to competitors and provide higher benefits. Typical examples of core products or services are Honda’s automobile engines, Canon’s printer engines, and Wal-Mart’s “cross-docking” logistic system. … (Chiesa & Manzini, 1997:203). Pendekatan kompetensi berpangkal pada pemikiran Prahalad dan Hamel pada tahun 1990 tentang keunggulan bisnis yang bertumbuh pada kompetensi perusahaan. Berbagai bisnis yang menciptakan nilai tambah yang unggul dalam persaingan pada dasarnya bertumbuh dan berkembang dari kompetensi inti perusahaan. (Lihat, ilustrasi pada Bagan 3). Suatu kompetensi inti dapat menjadi basis SCA jika (1) memungkinkan akses ke berbagai pasar dan bidang aplikasi; (2) memberikan kontribusi yang signfikan terhadap manfaat produk bagi konsumen; dan (3) sulit ditiru, terutama karena rumitnya kombinasi ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan. (Elfring & Volberda, 2001b).
23
End Product 1
2
Business 1
3
4
5
Business 2
6
7
8
9
Business 3
10
11
12
Business 4
Core product 2
Core product 1
Competence 1
Competence 2
Competence 3
Competence 4
Bagan 3: Kompetensi sebagai Sumber Keunggulan Bersaing Sumber: Tom Elfring & Henk W. Volberda (2001b). “Multiple Futures of Strategy Synthesis: Shifting Boundaries, Dynamic Capabilities and Strategy Configurations.” Dalam Henk W Volberda . & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 260
Analisis dinamis atas tingkatan kompetensi dari Chiesa dan Manzini (1997) berkaitan dengan bagaimana suatu himpunan kompetensi saling berkaitan, dan bagaimana himpunan aset pada ketiga level saling mempengaruhi, serta bagaimana masing-masing tingkatan kompetensi menyumbang pada SCA. Dengan pemahaman ini, organisasi dapat memperbaiki upaya-upaya pengembangan dan pendayagunaan kompetensi-kompetensi yang unggul. Semuanya ini berkaitan dengan pembelajaran dalam organisasi. (Lihat, Bagan 4).
24
First level of Competence
Definition of the learning space Guidelines for competence Building and leveraging
Second level of competence
Learning through the implementation of routines for competence building and leveraging
Reshaping of Operating systems
The third level of competence
Suggestions for enlargement of the learning space
New knowledge for competence leveraging
Continuous improvement
Bagan 4: Interaksi Dinamis antara Berbagai Tingkatan Kompetensi Sumber: V. Chiesa & R. Manzini (1997). “Competence Levels within Firms: A Static and Dynamic Analysis”. Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 208.
Pada tingkatan kompetensi yang paling tinggi, Sytem View menetapkan bidang pembelajaran (“learning space”), yaitu batas-batas “world view” yang digunakan oleh organisasi untuk memahami dirinya sendiri. Berdasarkan wawasan tentang industri dan pendekatan terpadu atas sumber daya-sumber daya internal, manajemen puncak menetapkan wilayah yang menjadi konteks interaksi bagi organisasi dan pertandapertanda tentang aktivitas-aktivitas yang relevan di masa depan. Bidang pembelajaran ditentukan oleh system view dari organisasi, khususnya oleh persepsi tentang kesenjangan antara kognisi mengenai posisi organisasi di masa kini atau domain pengetahuan yang telah dimiliki dan pengetahuan yang menjadi ciri dari konteks eksternal. Dengan kata lain, system view menentukan domain pembelajaran dan memberikan pedoman-pedoman dasar tentang proses pengembangan kompetensi, melalui tiga hal, yaitu (1) penentuan sasaran-sasaran dan dampaknya terhadap kewbutuhan akan pengembangan kompetensi; (2) bidang pembelajaran yang mengarahkan perhatian pada sumber-sumber dan jalur inletelektual tertentu serta memberikan kendala-kendala; dan (3) penetapan criteria dasar 25
bagi pengembangan organisasi dan prosedur-prosedurnya bagi integrasi sumberdaya dan kapabilitas organisasi. (Chiesa & Manzini, 1997:205). Realisasi proses-proses pembelajaran organisasi secara efektif terjadi pada tingkatan kapabilitas distingtif. Melalui pelembagaan atau penetapan norma-norma (routines), organisasi mengatur kegiatan-kegiatan, pendayagunaan kapabilitas-kapabilitas yang telah ada serta pengembangan kompetensi-kompetensi baru secara terpadu. Perbedaan di antara organisasi-organisasi terletak pada
sumber utama dan proses
penciptaan kapabilitas distingtif. Dengan kata lain, routines dari organisasi merupakan hasil dan sumber kapabilitas distingtif pada level ini. (Chiesa & Manzini, 1997:206). Pada tingkatan ketiga, kapabilitas-kapabilitas distingtif yang telah dipelajari diwujudkan menjadi keluaran-keluaran inti melalui dukungan sistem-sistem operasi. Dalam konteks pembelajaran, sitem-sistem operasi organisasi harus dikembangkan agar pembaharuan tanpa henti (continuous improvement) dimana kegiatan bekerja dan pembelajaran berjalan secara terpadu, simultan, dan paralel.9 Model dinamis menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi secara sistemik, dinamis, dan holistik merupakan suatu proses pembelajaran tanpa henti. Dengan begitu, manajemen strategis berbasis-kompetensi juga merupakan suatu siklus pembelajaran, terdiri dari tiga tahapan penting berupa formulasi strategi, implementasi, dan pengendalian. Perbedaan kinerja dan SCA, dengan demikian, ditentukan oleh dinamika pembelajaran organisasi. Dekomposisi atas kompetensi dari Durand (1997, 1998) menunjukkan
lima
komponen atau elemen yaitu: 1. Stand-alone assets: mencakup semua artefak, yaitu obyek-obyek fisik milik organisasi (gedung, mesin, produk dsb), tangible maupun tidak begitu 9
Diskusi tentang kegiatan bekerja yang parallel dengan kegiatan belajar ( reflection in action) memiliki relevansi dengan kebutuhan praktis akan pemusatan seluruh diri—yakni fisik, intelektual, emosional, dan spiritual--pekerja dalam mewujudkan produk yang semakin sempurna di mata pelanggan secara kompetitif. Akan tetapi, dimensi lain juga menarik untuk disinggung. Konsepsi ini berkaitan dengan perwujudan konsep tentang masyarakat pengetahuan dimana pengetahuan dan kearifan adalah penting bagi transformasi nilai. Lebih dari itu, perlu disadari tentang pentingnya desain sistem-sistem operasi diarahkan pada fasilitasi orang-orang untuk mengalami proses petumbuhan individu sebagai manusia yang utuh melaui pekerjaan-pekerjaan yang ditangani; yang membedakan sifat dan kapabilitas manusia dibandingkan ciptaan-ciptaan lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa manusia adalah mahkluk pekerja (homo faber) dan karenanya bekerja adalah alat bagi pemenuhan diri. Atas dasar ini dapat diharapkan suatu upaya pengejaran kesempurnaan tiada henti yang terutama berakar pada motivasi intrinsic untuk menemukan diri dan menyempurnakannya, yang diejawantahkan dalam berbagai proses dan produk berkualitas tinggi.
26
intangible (tapi non-sosial) seperti software serta intangible seperti brand name. Aset-aset ini bersifat non-sosial karena perolehan atau penjualannya tidak memerlukan pengalihan SDM atau masukan kognitif yang penting. 2. Kapabilitas kognitif meliputi pengetahuan dan know-how pada level individu dan kolektif, ketrampilan individual, teknologi dan paten, dsb. Sebagian di antaranya bersifat eksplisit, sebagian lainnya tacit. 3. Proses-proses dan routines: Mekanisme-mekanisme koordinasi yang membuat organisasi berfungsi dan menggabungkan kegiatan-kegiatan individu dalam kegiatan kolektif. Hal ini berkaitan dengan pendayagunaan kompetensi secara terkoordinasi. 4. Struktur organisasi, mencakup desain struktur organisasi dan keterkaitannya dengan lingkungan (pemasok, pelanggan dsb). 5. Perilaku dan budaya atau identitas organisasi: nilai-nilai dan keyakinan bersama,
ritus
dan
larangan-larangan
sebagai
elemen-elemen
yang
menunjukkan organisasi sebagai suatu konstruksi manusia. Perbandingan
antara
kategorisasi
kompetensi
menurut
Durand
dengan
kategorisasi dari Sanchez, Heene & Thomas ditunjukkan pada Bagan 5.
27
Management processes
Competence
Coordinated Deployment
Strategic logic
Organization & Efficient processes processes for coordinated deployment of assets
Intangible
Resources
`
Intention Goal attainment
Knowledge Explicit/tacit Individual/collective
Strategy Culture Organizational The process organiStructure zational
Cognitive capabilities
Capabilities Skills … … Brand names Software
Assets
Stand-alone assets Tangible
Products Equipment Buildings …
Operations Kategorisasi Kompetensi Menurut Sanchez, Heene & Thomas
Kategorisasi Menurut Durand
Bagan 5: Komponen-Komponen Kompetensi Sumber: T. Durand (1997).“Strategizing for Innovation: Competence Analysis in Assessing Strategic Change.” Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm.135.
Pengembangan kompetensi-kompetensi organisasi membutuhkan waktu yang berbeda-beda dan melibatkan tingkat kesulitan yang berbeda di antara tipe-tipe kompetensi. Hirarki kompetensi-kompetensi berdasarkan tingkat kesulitan dan lamanya pengembangan, maka urutan dari yang paling sulit/paling lama ke paling mudah/paling
28
singkat adalah: (1) budaya atau identitas; (2) routines dan proses-proses; (3) strategi; (4) struktur; (5) kapabilitas kognitif; dan (6) stand-alone assets. (Durand, 1997:143). Prioritas dan pendekatan pengembangan dan pendayagunaan kompetensikompetensi dapat dilaksanakan sesuai dengan pemetaan terhadap kesenjangan kapabilitas pada organisasi. Dengan memadankan ketersediaan dengan pendayagunaan, Durand (1997)
mengemukakan
empat
pendekatan
pengembangan
dan
pendayagunaan
kompetensi-kompetensi, yaitu (1) reinforcement dalam pendayagunaan; (2) “synergetic fit”; (3) akses melalui pemanfaatan jaringan (“networking access”); dan
(4)
adaptabilitas. (Lihat, Tabel 6). Tabel 6: Kontinuum dalam Pengembangan dan Pendayagunaan Kompetensi Addressing competence Holding Accessing Same competence Competence held Inter-organizational Learning capability required elsewhere competence “Reinforcement” “Adaptability” “Synergetic Fit” “Networking access” Leveraging ++++ +++ ++ + Full leveraging Internal leveraging External leveraging Leveraging the learning capability Building And adaptation Absorption and rebuilding And competence building + ++ +++ Sumber: “Strategizing for Innovation: Competence Analysis in Assessing Strategic Change.” Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm.139.
Reinforcement diterapkan ketika organisasi telah memiliki dan terbiasa menerapkan kompetensi yang dibutuhkan. Dengan kata lain, organisasi menghadapi tantangan untuk menerapkan kompetensi yang dimiliki secara penuh. Sementara itu, Synergetic Fit diterapkan ketika kompetensi tersedia pada berbagai unit dalam organisasi dan membutuhkan sinergi di antara unit-unit untuk memenuhi tuntutan-tuntutan akan portofolio kompetensi baru. Meskipun begitu, hal ini tidak selalu mudah karena kompetensi dapat diisolasi dalam unit-unit tertentu. Kedua pendekatan ini cenderung merupakan pendekatan statis dalam arti organisasi tidak harus membangun atau mengakses kompetensi baru. (Durand, 1997:138, 140). Akses melalui jaringan dan adaptabilitas merupakan pendekatan-pendekatan dinamis. Akses melalui jaringan (networking access) berarti bahwa organisasi mampu mengakses sumber-sumber kompetensi eksternal tepat waktu dan dengan biaya murah.
29
Jaringan dapat mencakup para pemasok, perantara dalam pemasaran, pelanggan, bahkan pesaing. Konsep ini berkaitan juga dengan tema-tema kontemporer, seperti organisasi virtual, kompetensi antar-organisasi, firm-addressable resources, dan kemitraan dalam pengembangan kompetensi. Sedangkan adaptabilitas merupakan suatu kemampuan pembelajaran yang permanen. Pendekatan ini mencakup bukan kemampuan dan kemauan organisasi untuk melakukan pembelajaran dan adaptasi terus-menerus, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan dan kemauan organisasi untuk meninggalkan (unlearning) pendekatanpendekatan lama yang tidak relevan bagi keberhasilan di masa depan. Deskripsi dan penegasan Durand tentang hal ini adalah sebagai berkut: … The firm may have developed a specific learning capability and a strong adaptabability, making it possible to quickly imitate, learn, adapt, recreate, and master the newly needed competence. Some firms have built this ability to stay on the move, ready to unlearn and relearn, ready to destroy in order to reconstruct. This learning capability may in some instances developed enough to enable the organization to adapt to significant competence gaps. Yet this situation is less commonly encountered as organizational inertia seems to be more widely seen in real-life situations of firms facing change. Rumelt (1995) deals with the same theme. This clearly refers to the unlearning issue. Indeed, we strongly believe that a significant part of the adaptability of firm comes from its ability to unlearn while relearning. (Durand, 1997:140-141). Kajian Rotem & Amit (1997) menunjukkan bahwa ancaman-ancaman terhadap sumber daya dan kompetensi sebagai sumber SCA meliputi (1) peniruan (imitation); (2) substitusi; (3) mobilisasi sumber daya; dan (4) penghancuran sumber daya (resource paralysis). Organisasi dapat menghadapi kesulitan untuk melindungi sumber daya yang unik dan langka dalam lingkungan yang dinamis, seperti teknologi, manajemen merek, kapabilitas desain, promosi yang inovatif, hubungan dengan pelanggan dan sebagainya. Hal ini membuat organisasi-organisasi hanya dapat memetik keuntungan dari kompetensi yang unggul dalam jangka pendek karena dirusak oleh imitasi dalam jangka panjang. Hal ini lasim dikenal sebagai gejala keuntungan Schunpeterian. Namun demikian, Rumelt menegaskan bahwa situasi “peniruan yang tidak sempurna” (“imperfect imitability”)
30
dapat terjadi dalam pengembangan kompetensi. Dengan demikian, sumber daya dan kapabilitas yang unik dan langka tetap memungkinkan perolehan kinerja dan SCA yang lebih tahan lama. (Rotem & Amit, 1997:172). Sumber daya yang mudah digantikan dengan sumber daya lain memungkinkan pesaing untuk mengeksploitasi strategi yang sama dengan pemilik sumber daya terdahulu atau yang orisinal. Substitusi dapat berbentuk substitusi teknologi, atau pengembangan sumber daya yang dapat menggantikan beberapa aspek dari teknologi yang semula unggul. Pengembangan teknologi perangkat lunak yang mendasari Windows 95, misalnya, dapat dipandang sebagai substitusi atas keunggulan teknologi sistem operasi dari Apple. Mobilisasi sumber daya dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pengunduran diri karyawan yang penting bagi organisasi dapat menghasilkan kerugian internal. Pembajakan karyawan penting, pengalihan pesaing atas pemasok atau pelanggan yang penting bagi organisasi merupakan contoh untuk sebab-sebab mobilisasi eksternal. Para pesaing dapat menerapkan strategi yang langsung dalam menghancurkan nilai dari sumber daya-sumber daya organisasi. Beberapa contohnya adalah iklan pesaing yang secara frontal menyerang reputasi organisasi; pengaduan yang tidak berdasar; rumor yang merugikan organisasi; lobi atas pemerintah untuk membatasi pendayagunaan sumber daya organisasi; dukungan terselubung atas serikat pekerja perusahaan pesaing, dan sebagainya. Rotem & Amit (1997:173) mengatakan bahwa taktik-taktik ini bisa saja tidak etis dan melanggar hukum, tetapi dapat terjadi dalam kenyataan. Ancaman-ancaman atas sumber daya dan kapabilitas organisasi yang menjadi basis SCA dapat dihadapi dengan pengembangan strategi-strategi bertahan. Rotem & Amit (1997) mencatat tiga kelompok strategi untuk melindungi kompetensi-kompetensi organisasi, yaitu pengembangan kegiatan-kegiatan intelijen organisasi, strategi bertahan atau konservasi, dan strategi adaptasi atau modifikasi. (lihat, Tabel 7).
31
Tabel 7: Strategi-strategi Dalam Menghadapi Ancaman-ancaman Atas Kompetensi Organisasi Strateggy
Imitation
Threats Substitution Mobilization
Intelligence
1. Causal ambiguity + + + 2. Counter-intelligence + + + 3. Competitor’s intentionintelligence + + + Defensive Preser- 4. Reducing mobility + action vation 5. Property rights + + 6. External resource acquisition + 7. Deterence + + + 8. Asset specifity + + + 9. Partial give-up + + + 10. Presure on the government + 11. Preventing deployment + + + Alterati 12. Alternative resources + + + on 13. Flexible resources + + Sumber: “Strategic Defense and Competence-based Competition”. Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (eds., 1997), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, p. 178.
Value reduction + + +
Sejumlah alternatif tindakan dari ketiga strategi itu dapat berfungsi dengan baik dalam mengatasi semua jenis ancaman. Sebagian lainnya hanya dapat diterapkan secara efektif untuk beberapa jenis ancaman saja. Secara umum dapat dikatakan bahwa organisasi pertama-tama harus menerapkan strategi yang lebih proaktif melalui kegiatan intelijen organisasi, yang dikombinasi secara memadai dengan strategi bertahan dan modifikasi. Strategi perlindungan atas kompetensi-kompetensi juga pada akhirnya ditentukan
oleh
kapabilitas
sosio-kognitif
organisasi
dalam
memaknai
dan
menerjemahkan gejala co-opetition,10 yang merupakan realitas faktual dalam pendekatan sistem terbuka. Diskusi lebih jauh tentang hal ini antara lain dapat berkaitan dengan fleksibilitas strategis (lihat, misalnya, Hamel et al., 1998), dan pengembangan kepercayaan sebagai sumber keunggulan bersaing. (Lihat, misalnya, Barney & Hansen, 1994).
10
Co-opetition berarti bahwa interaksi antara organisasi-organisasi sekaligus melibatkan persaingan (competition) dan kerja sama (cooperation). Dua buah organisasi yang saling bersaing dapat bekerja sama dalam pengembangan dan pendayagunaan kompetensi-kompetensi tertentu, sembari tetap bersaing pada bidang-bidang lainnya.
32
+ + + + +
Penutup Perspektif berbasis-kompetensi (CBSM) menunjukkan kompatibilitas yang lebih tinggi dalam menjelaskan kinerja organisasi dan SCA organisasi dalam situasi kompleksitas dinamis dan lingkungan yang turbulen, karena karakteristiknya yang dinamis, sistemik, dan holistic. CBSM menunjukkan adanya dasar-dasar bagi integrasi, bahkan sintesis di antara paradigma-paradigma dan perspektif-perspektif dalam manajemen strategis. Dengan demikian, dapat tercipta suatu manajemen strategis yang memiliki kerangka konseptual yang kokoh dan metodologi yang solid. Akan tetapi, upaya ke arah itu menimbulkan juga perbedaan pandangan tentang kebutuhan atas sintesis. Apakah sintesis dari perspektif-perspektif yang telah ada merupakan suatu keharusan atau diperlukan? Bagaimana sintesis dapat dihasilkan, mengingat luas dan dalamnya fragmentasi serta pluralisme perspektif dewasa ini? Sintesis mungkin menghasilkan manajemen strategis dengan kualitas lebih tinggi. Sebaliknya, sinetsis dapat mengarah pada unifikasi yang membahayakan dialektika dalam manajemen strategis. Integratif tanpa sintesis, sebagaimana dikemukakan oleh aliran konfigurasi dapat menjadi alternatif. (Volberda & Elfring, 2001). Pengembangan CBSM nampaknya sejalan dengan kecenderungan adopsi konsepkonsep dan praktek-praktek pembelajaran organisasi dan organisasi pembelajaran. Hal ini berarti bahwa pengembangan manajemen strategis berbasis-kompetensi menuntut pengembangan strategi sebagai suatu proses pembelajaran organisasi. Ketika semua organisasi menerapkan hal ini, maka perbedaan kinerja dan SCA mungkin akan lebih banyak dijelaskan oleh penguasaan pembelajaran hingga tingkatan yang paling tinggi secara kompetitif. Dengan mempertimbangkan kualitas-kualitasnya yang dinamissistemik-holistik, maka CBSM sebenarnya membawa implikasi penting lainnya berupa pengembangan organisasi pembelajar, baik sebagai instrumen implementasi strategi maupun sebagai kerangka yang memberi ruang atau kendala bagi kemajuan pengembangan manajemen strategis.
33
DAFTAR PUSTAKA Baden-Fuller, C. & H.W.Volberda (1997). “Strategic Renewal in Large Complex Organizations: A Competence-based View.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez, (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 89-110. Barney, Jay B. (1997). Gaining and Sustaining Competitive Advantage. Massachusetts: Addison-Wesley Pub. Co. Barney, Jay B. & Mark Hansen (1994). “Trustworthiness as a Source of Competitive Advantage”, Strategic Management Journal, Vol. 15 (1994), Special Issue, hlm. 175-190. Chiesa, V. & R. Manzini (1997). “Competence Levels within Firms: A Static and Dynamic Analysis”. Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competencebased Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 195-214. Choo, Chun Wei & Nick Bontis (eds., 2002). The Strategic Management of Intellectual Capital and Organizational Knowledge. New York: Oxford University Press. Christensen, J.F. & N.J. Foss (1997). “Dynamic Corporate Coherence and Competencebased Competition: Theoretical Foundations and Strategic Implications.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 287-312. Collis, David J. (1994). “Research Note: How Valuable Are Organizational Capabilities?”, Strategic Management Journal, Vol. 15 (1994), Special Issue, hlm. 143-152. Conner, Kathleen R. & C.K. Prahalad (2002). “A Resource-based Theory of the Firm: Knowledge versus Opportunism.” Dalam Choo, Chun Wei & Nick Bontis (eds.), The Strategic Management of Intellectual Capital and Organizational Knowledge. New York: Oxford University Press, hlm. 103-131. De Geus, Arie (1997). The Living Company. Massachusetts: Harvard Business School Press. D’hanis, W. & L. Perneel (1997). “Reflection as a Building Block for Strategic Thinking and the Development of an Organizational Philosophy.” Dalam Aime, Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 313-329.
34
Durand, Thomas (1997). “Strategizing for Innovation: Competence Analysis in Assessing Strategic Change.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competencebased Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 127-150. Durand, Thomas (1998). “The Alchemy of Competence.” Dalam Hamel, Gary, C.K. Prahalad, Howard Thomas & Don O’Neal (editors),. Strategic Flexibility: Managing in a Turbulent Environment. New York: John Wiley & Sons, hlm. 303330. Elfring, Tom & Henk W. Volberda (2001a). “Multiple Futures of Strategy Synthesis: Shifting Boundaries, Dynamic Capabilities and Strategy Configurations.” Dalam Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 245-285. Elfring, Tom & Henk W. Volberda (2001b). “Schools of Thought in Strategic Management: Fragmentation, Integration or Synthesis”. Dalam Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 1-25. Ginsberg, Ari (1994). “Minding the Competition: From Mapping to Mastery,” dalam Strategic Management Journal, Vol. 15 (1994), Special Issue, hlm. 153-174. Grant, Robert M. (1995). Contemporary Strategy Analysis: Concepts, Techniques, Applications. Second Edition. Cambridge, Massachusetts: Blackwell Pub. Hamel, Gary, C.K. Prahalad, Howard Thomas & Don O’Neal (eds., 1998). Strategic Flexibility: Managing in a Turbulent Environment. New York: John Wiley & Sons. Heene, Aime & Ron Sanchez (editors., 1997). Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons. Hitt, Michael A., R. Duane Ireland, & Robert E. Hoskisson (2001). Strategic Management: Competitiveness and Globalization (Concepts). Fourth edition. Ohio: South-Western College Publishing. Korten (1999). The Post-Corporate World: Life After Capitalism. San Fransisco: BerrettKoehler Publishers, Inc. Mahoney, J.T. & Ron Sanchez (1997). “Competence Theory Building: Reconecting Management Research and Management Practice.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors., 1997). Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 43-64.
35
Mosakowski, E. & W. McKelvy (1997). “Predicting Rent Generation in Competencebased Competiton”. Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competencebased Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 65-85. Naschold, Frieder & Glenn Daley (1999). “The Strategic Management Challenge: Modernizing Local Government. Part Two.” Dalam International Public Management Journal, 2 (1): 52-67. Perry, Jr., Newman S. (1995). Business, Government, & Society, Managing Competitiveness, Ethics, and Social Issues. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Post, James E et al. (2002). Business and Society, Corporate Strategy, Public Policy, Ethics. Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Co. Rotem, Z and Amit (1997). “Strategic Defense and Competence-based Competition” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, Steiner, George A. & John F. Steiner (2000). Business, Government, and Society. Text and Cases. Ninth Edition. Singapore: McGraw Hill. Steiner, Rudolf (1966). The Threefold Social Order. New York: Anthroposophic Press. Sanchez, Ron (2001). “Building Blocks for Strategy Theory: Resources, Dynamic Capabilities and Competences, Overview.” Dalam Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 143-157. Sanchez, Ron & A. Heene (1997). “Competence-based Strategic Management: Concepts and Issues for Theory, Research, and Practice.” Dalam Aime Heene & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 3-42. Schoemaker, Paul J.H. (2001). “The Elusive Search for Integration.” Dalam Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 92-96. Senge, Peter M. (1990). The Fifth Discipline, The Art & Practice of the Learning Organization. New York: Doubleday. Stein, J. (1997). “On Building and Leveraging Competence Across Organizational Boarders: A Socio-cognitive Framework.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 267-284.
36
Teece, David J., Gary Pisano, & Amy Shuen (1997), “Dynamic Capabilities and Strategic Management” dalam Strategic Management Journal, Vol. 18 (7), hlm. 509-533. Thomas, Howard (2001). “The State of Art of the Dynamic Capabilities School, Commentary.” Dalam Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds.), Rethinking Strategy. London: SAGE Publications, hlm. 191-197. Van der Vrost, R. (1997). “The Blind Spots of Competence Identification: A Systemtheoretic Perspective.” Dalam Heene, Aime & Ron Sanchez (editors), Competence-based Strategic Management. New York: John Wiley & Sons, hlm. 245-266. Volberda, Henk W. & Tom Elfring (eds., 2001). Rethinking Strategy. London: SAGE Publications. Wilson, Jonathan (1999). “Different Industries and Different Customer Values Require Different Resources: Towards the Marriage of Strategic Positioning Theory and the Resource-Based View of the Firm”. Dalam Hitt, Michael A., Patricia Gorman Clifford, Robert D. Nixon & Kevin P. Coyne, (eds.), Dynamic Strategic Resources: Development, Diffusion and Integration. New York: John Wiley & Sons, Ltd., hlm. 129-164.
37