KUSTA: JANGAN DIJAUHI TETAPI DIOBATI dr. Ni Made Atika Nurina Yanti S. SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin RS Indera
Kusta atau yang sering dikenal dengan Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi (borok), mutilasi, dan deformitas (kelainan bentuk tulang/ kecacatan). Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Apa itu Penyakit Kusta? Jangan pernah sepelekan adanya kelainan kulit yang mati rasa pada bagian tubuh, karena tanda tersebut dapat merupakan gejala dari penyakit kusta. Kusta merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini melibatkan kulit dan system saraf perifer , namun mempunyai manifestasi klinis yang beragam serta merupakan penyebab utama kecacatan. Bakteri M. leprae selain menyerang kulit dan sistem saraf tepi juka dapat menyerang mukosa mulut, saluran nafas atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Hanya sistem saraf pusat yang tidak dapat diinfeksi bakteri tersebut. Bagaimana Cara Penularan Kusta? Cara penularan dari penyakit kusta ini masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan penyakit kusta ditularkan melalui saluran pernapasan dan kontak dengan kulit penderita kusta multibasiler, yaitu penderita yang mempunyai kandungan bakteri tinggi di dalam tubuhnya. Masa pembelahan diri bakteri M. leprae memerlukan waktu yang sangat lama, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu, masa tunas atau masa inkubasinya sangat lama
dengan rentang 40 hari sampai 40 tahun (rerata 2-5 tahun). Jadi, penyakit kusta bisa ditularkan apabila terjadi kontak yang erat dan lama dengan penderita kusta. Artinya kontak sesaat, seperti berjabat tangan atau bersentuhan, tidak dapat menularkan kusta. Dan terjadinya penyakit kusta sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh seseorang. Epidemiologi Prevalensi kusta secara global telah menurun dari > 5 juta kasus pada pertengahan tahun 1980 menjadi < 200.000 pada tahun 2015. Namun Kusta masih menjadi masalah karena masih tetap ada kasus baru yang terdeteksi dan beban penyakit terutama akibat kecacatan tingkat 2. Saat ini Indonesia masih menduduki peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak di dunia setelah India dan Brazil. Di Bali sendiri selama bulan Desember 2014 – November 2015 didapatkan 73 kasus kusta baru dari total 519 kunjungan ke Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah. Diharapkan pada tahun 2019 Indonesia mencapai eliminasi kusta tingkat provinsi dan tahun 2029 eliminasi tingkat kabupaten/kota. Bagaimana Mendiagnosis Penyakit Kusta? Penegakan diagnosis penyakit kusta secara kasat mata susah dilakukan karena kusta dapat menyerupai penyakit kulit lainnya seperti dermatofitosis atau tinea versikolor (penyakit jamur) atau penyakit kulit lainnya, oleh karena itu kusta mendapat julukan the greates imitator. Namun ada tidaknya anastesia (mati rasa) sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Untuk mempermudah penegakan diagnosis kusta memiliki 3 tanda kardinal yaitu kelainan kulit dengan hipoanastesia/ anastesia, penebalan saraf tepi dan gangguan fungsi, dan pemeriksaan bakteriologik ( BTA +). Tanda-tanda lain dari penyakit kusta : madarosis (kerontokan/alopesia pada alis mata dan bulu mata), facies leonina (seperti muka singa), dan saddle nose (hidung seperti pelana kuda). Apakah Penyakit Kusta Dapat Disembuhkan? Kusta dapat diobati, dengan pengobatan sedini mungkin memberikan hasil yang lebih baik. Program pengobatan kusta disebut dengan program MDT (Multi Drug Treatment) yang dimulai sejak tahun 1981. Menurut WHO, kusta dibagi menjadi Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB). Pembagian tersebut dibedakan berdasarkan jumlah dan letak kelainan kulit serta kerusakan saraf yang terkena. Untuk pengobatannya pun berbeda, pada pasien Pausibasiler (PB) pasien mendapatkan obat MDT yang terdiri atas kombinasi obat Rifampicin dan DDS sebanyak 6 blister dan harus dihabiskan selama 6-9 bulan, sedangkan
pada pasien Multibasiler pasien mendapatkan 12 blister obat MDT yang terdiri atas kombinasi obat Rifampicin, DDS, dan Klofazimin yang harus dihabiskan selama 12-18 bulan. Obat dapat diambil setiap bulan dilayanan kesehatan (RS Umum Daerah atau Puskesmas yang menyediakan obat tersebut) secara gratis setiap bulan, dan diperlukan kepatuhan pasien untuk meminum obat agar tidak terjadi resistensi/kekebalan terhadap obat. Penyakit kusta dapat menimbulkan reaksi imun yang merugikan (patologik), reaksi ini bisa terjadi baik sebelum, sedang ataupun setelah pengobatan selesai. Reaksi kusta adalah suatu reaksi hipersensitivitas seluler (reaksi tipe 1 atau reversal) atau humoral pada reaksi tipe 2 / reaksi ENL (Eritema Nodusum Leprosum) yang mana pada kulit pasien akan timbul bentol-bentol merah yang nyeri yang biasanya terdapat pada lengan dan tungkai dan dapat pula pada wajah, serta Fenomena Lucio yang mana jika berat akan berupa nekrosis dan ulserasi (borok) yang nyeri pada tangan dan kaki. Dan bila hal ini terjadi pasien harus segera mendapatkan pengobatan karena dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf yang selanjutnya berakibat kecacatan. Apa Yang Terjadi Jika Penyakit Kusta Tidak Diobati? Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot, penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan tersebut. Keluhan dapat berupa nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kerusakan berjalan. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata hingga menyebabkan kecacatan. Gangguan pada saraf motorik menyebabkan kelemahan otot-otot, terutama otot mata, kaki, dan tangan sehingga menyebabkan : claw hand dan clow toes, yaitu jari tangan dan kaki kiting ; wrist drop dan foot drop, yaitu kaki dan tangan semper ; lagoftalmus, yaitu kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, dan lain-lain.
Penanggulangan Penyakit Kusta Penanggulangan penyakit kusta dilakukan dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif, dan percaya diri.rehabilitasi pada pasien kusta terbagi menjadi rehabilitasi medik dan nonmedik. Bentuk rehabilitasi medik antara lain : perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, proteksi tangan dan kaki, latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur, pembuatan sepatu khusus sesuai dengan deformitas yang terjadi, bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan, bedah septik untuk mencegah perluasan infeksi, dan program terapi okupasi. Sedangkan bentuk rehabilitasi nonmedik antara lain : rehabilitasi mental baik pada penderita, keluarga, dan masyarakat untuk memberikan dorongan dan semangat kepada pasien; rehabilitasi karya dilakukan agar penderita cacat dan melalukan kembali pekerjaannya atau pekerjaan melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat; rehabilitasi sosial yang bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita. Upaya Pemberantasan Kusta Di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pemberantasan Kusta melalui : penemuan penderita secara dini, pengobatan penderita, penyuluhan kesehatan di bidang kusta, peningkatan keterampilan petugas kesehatan di bidang kusta, kepatuhan pasien di dalam pengobatan, dan rehabilitasi penderita kusta. Penyakit Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud adalah bukan hanya dari segi medis seperti cacat fisik, tetapi juga meluas sampai masalah sosial ekonomi dan budaya. Maka dari itu untuk menurunkan keterlambatan diagnosis dan kecacatan pada kusta, penularan kusta, serta untuk mendukung Eliminasi Kusta di Bali tahun 2019 diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, serta penderita kusta itu sendiri.