WAHDATUL WUJUD PENDAHULUAN Wahdatul wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadis Nabi saw. disebut sebagai ihsan. Makalah ini mencoba untuk menganalisis makna wahdatul wujud secara bahasa, kemudian memaparkan beberapa pandangan tradisi-tradisi diluar Islam yang dapat dikategorikan sebagai wahdatul wujud, dalam pengertian yang luas. Selanjutnya akan dipaparkan penjelasan ulama tentang konsep wahdatul wujud dalam Islam. TINJAUAN BAHASA Ada beberapa kata yang berkaitan dengan istilah wahdatul wujud. Diantaranya, wujud, ‘adam, wahdah, ittihad, dan hulul.i Dalam makalah ini hanya akan dijelaskan istilah yang terkait langsung dengan wahdatul wujud yaitu wahdah, wujud, dan ‘adam (sebagai lawan kata dari wujud). Kata wujud adalah masdar dari kata kerja wajada-yajidu, yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan menemukan. Sekalipun dalam al-Quran tidak ditemukan kata wujud dalam bentuk masdar, tapi tiga puluh derivasi dari kata ini dapat ditemukan dalam al-Quran. ii Dalam bahasa Arab pada mulanya (haqiqah lughawiyah) kata wajada dan derivasinya digunakan untuk sesuatu yang fisikal- inderawi. Kata ini juga digunakan untuk makna lain secara metaforis (majazi).iii Lawan kata wujud adalah ‘adam yang merupakan bentuk masdar dari ‘adama-ya’damu. Kata ini berikut derivasinya tidak terdapat dalam al-Quran. Sebagaimana kata wujud, kata ini dalam asal bahasa memiliki arti fisikal-inderawi, namun juga dapat memiliki makna lain secara metaforis.iv Dalam bahasa Arab, tidak ditemukan padanan kata yang secara tepat dapat menerjemahkan kata ’ada’ bahasa Indonesia dan being bahasa Inggris. Kata wujud yang biasanya digunakan sebagai terjemahan untuk being pada dasarnya berarti menemukan (finding) atau (yang) ditemukan (to be found). Karena kandungan semantik dalam kata wujud lebih dinamis daripada kandungan kata being atau ada, wahdatul wujud tidak bermakna ’kesatuan ada’, dalam pengertian panteistik, panenteistik, atau monistik. Alih alih, wahdatul wujud berarti kesatuan eksistensialisasi dan persepsi terhadapnya dan tidak berarti kebersambungan substansial (substantial continuity) antara Tuhan dan 1
ciptaan.v KONSEP ’KETUNGGALAN ADA’ DILUAR ISLAM Untuk menghindari kesalahpahaman; untuk mengeneralkan kandungan makna wahdatul wujud; dan sekaligus untuk membedakannya dari konsep wahdatul wujud dalam Islam, dalam pembahasan ini akan digunakan terma ’ketunggalan ada’ sebagai pengganti dari wahdatul wujud. Ide tentang ‘ketunggalan (yang) ada’ dapat dilacak dalam pemikiran tokoh yang, dalam berbagai buku, dianggap sebagai filosof pertama Yunani, Thales. Dia dikenal dengan pendapat bahwa asal semesta adalah air, dengan bukti bahwa segala yang ada mengandung unsur air yang telah menguap atau memadat. Penjelasan naturalistik yang dikemukakan Thales tidak berarti dia sama sekali tidak berbicara tentang tuhan. Alih-alih, menurut Aetius, Thales mengatakan bahwa pikiran (mind) alam semesta adalah tuhan dan bahwa tuhan bersatu dengan segala sesuatu. vi Pandangan ini kemudian dikenal dengan panteism. Tokoh lain yang memiliki pandangan ketunggalan wujud adalah murid Thales, Anaximandres. Mengikuti pandangannya bahwa prinsip dari semesta adalah ’yang tak terbatas’, secara kuantitas dan kualitas, Anaximandres meyakini ketunggalan dan kekekalan alam semesta. Ide ini dalam tradisi keilmuan Islam dikenal sebagai al-dahriyyah, yang merupakan pandangan ateistik.vii Heraklitos adalah filosof lain yang berpandangan ketunggalan ada. Dalam pandangannya, api yang merupakan asal semesta adalah api ilahiah yang mendasari segala yang ada, kekal, abadi dan memenuhi alam.viii Filosof lain dari tradisi Yunani yang berpandangan ketunggalan ada adalah Parmenides. Dalam penjelasannya, Parmenides mengatakan bahwa salah satu karakteristik wujud adalah ketidakterbagian, karena tidak mungkin ada hal lain yang ’masuk’ dan kemudian mengubah tatanan—atau mengurangi—wujud, karena, bagi Parmenides, ’ada’ tidak dapat menjadi ’tidak ada’.ix Secara kategorikal, Parmenides membedaka antara wujud inderawi—yang khayali, berubah, berbilang—dan wujud hakiki—yang tidak berubah dan kekal. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh bahwa perubahan berarti pergesaran dalam sifat ada.x Pandangan tentang ketunggalan ada tidak hanya dimiliki oleh filosof Yunani kuno. Filosof rasionalis, Benedict Spinoza, juga memiliki pandangan tentang ketunggalan ada. Prinsip mendasar dari sistem pemikiran Spinoza adalah bahwa seluruh eksistensi ’terdiri’ dari tiga elemen; substansi, sifat (attribute), dan bentuk (mode). Dalam penjelasannya, Spinoza mengatakan bahwa substansi adalah ’ada’ itu sendiri dalam kesempurnaannya tanpa merujuk pada ’ada’ tertentu. Baginya substansi adalah alam atau tuhan. Sedangkan sifat, baginya adalah perluasan (extension) dan pikiran 2
(thought) yang merupakan manifestasi dari substansi. Sementara bentuk merujuk pada afeksi substansi yang ada pada sesuatu yang lain.xi KONSEP WAHDATUL WUJUD DALAM ISLAM Diskusi tentang wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.xii Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.xiii Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman,xiv seperti yang disinggung al-Ghazali ketika menjelaskan tauhid melalui penyaksian yang diperoleh melalui kasyf. Memahami hal-hal yang tidak hanya berdasarkan atas nalar dan pengalaman normal mengharuskan kita menyadari bahwa seseorang yang belum mencapai tingkat pengalaman seperti yang dicapai para Sufi tidak selayaknya mengingkari penjelasan dari orang yang sudah mengalaminya. Tentang hal ini secara gamblang Abdul Karim al-Jili mengingatkan kita bahwa ”...Setiap ilmu yang tidak dikuatkan oleh al-Kitab dan al-Sunnah adalah kesesatan, bukan karena kamu tidak menemukan apa yang menguatkannya (tapi hakikat penguatan itu sendiri yang harus ada). Karena boleh jadi sebuah ilmu dalam dirinya sendiri dikukuhkan oleh al-Kitab dan alSunnah, tapi ketidaksiapanmu menghalangimu memahaminya dan kamu tidak mampu meraihnya, sehingga kamu menduga bahwa ilmu itu tidak dikuatkan oleh al-Kitab dan al-Sunnah. Dalam keadaan demikian, yang harus kamu lakukan adalah pasrah (taslim) dan tidak mengamalkannya tanpa mengingkarinya....”xv Diskusi pada bagian ini didasarkan pada elaborasi al-Attas tentang intuisi wujud.xvi Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi—yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi.xvii Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia 3
melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (alfarq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani)—yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi—dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya.xviii Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the world of multiplicity in separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.xix Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"xx Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui olehNya.”xxi Dalam ayat ini Allah swt. mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat KetuhananNya (rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan manusia, mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan pembedaan antara mereka—sebagai hamba—dan Tuhan.xxii Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam 4
melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawirasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembang—dalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis—menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi—yakni kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya—dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.xxiii Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal (extra-mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan pembatasan-pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-embracing and pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing reality of Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda (Its multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan penyusutan (qabdl) berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas,xxiv bukanlah sesuatu dalam yang ber-ada, karena ia adalah sesuatu yang (selalu) musnah.xxv Apa yang sebenarnya ’ada’ adalah aktualisasi dari salah satu mode dari Realitas. Jadi, Eksistensilah yang merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang selama ini dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden untuk eksistensi.xxvi Islam sebagai agama monoteistik membangun sistem ontologi, kosmologi dan psikologi dalam kerangka wahdatul wujud. Sistem-sistem ini tidak boleh disamakan dengan, misalnya, konsep yang tampak sama dalam Neo-Platonisme atau konsep Hindu yang merujuk pada Weda. Konsep wahdatul wujud dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang berpengaruh terhadap terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.xxvii 5
PENUTUP Sebagai penutup, perlu dipahami bahwa wahdatul wujud, dalam konteks Islam, tidak boleh ditafsirkan secara panteistik (bahwa tuhan dalam segala sesuatu) atau panenteistik (bahwa tuhan bertempat dalam dalam segala sesuatu), atau menganggapnya sebagai mistisisme naturalis, apalagi dijelaskan secara ateistik. Jauh dari itu semua yang menafikan transendensi Tuhan, Ibn Arabi— untuk menyebut salah satu ulama yang sering disalahpahami—selalu menekankan transendensi Tuhan diatas semua kategori.xxviii Penjelasan yang mengesankan hal demikian mestilah dipahami dalam konteks sufistik dan ditafsirkan secara tepat dengan mengkomparasikan satu keterangan dengan lainnya. Lebih jauh lagi, dalam konteks kesamaan (nama) konsep dalam berbagai tradisi tidak mesti ditafsiri dalam konteks keterpengaruhan. Untuk menyebut kasus, formulasi metafisik dalam tradisi agama semitik dan Hindu, misalnya, dalam batas tertentu memiliki kemiripan. Namun hal ini kemudian dipahami secara berbeda oleh masing-masing penganut tradisi.xxix Dalam konteks yang lebih luas, kemiripan-kemiripan yang ada antara tasawuf, secara umum, dan konsep wahdatul wujud, khususnya, tidaklah mesti dipahami sebagai keterpengaruhan. Karena, kesamaan—atau lebih tepatnya, apa yang dianggap sebagai kesamaan—antara konsep para Sufi dan konsep yang dikenal dalam tradisi lain tidaklah meniscayakan bahwa kaum Sufi telah mengadopsi konsep tradisi lain secara apa adanya. Dan jika dianggap bahwa peminjaman istilah dan konsep dari tradisi lain benar-benar terjadi, maka hal itu tidak menafikan proses Islamisasi konsep itu. WaLlahu a’lam bi haqiqah al-hal wa Huwa al-Ghafur al-Rahim.
6
REFERENSI Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. 1993. Kuala Lumpur: ISTAC. ----, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. 2001. Kuala Lumpur: ISTAC. Buchanan, James. Modern Atheism under its forms of Pantheism, Materialism, Secularism, Development, and Natural Laws. 1857. Boston: Gould and Lincoln. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulum al-Din. tt. Semarang: Karya Toha Putra. ----, Misykat al-Anwar wa Mishfat al-Asrar. ed. Abd al-Aziz ‘Izz al-Din al Sayrawan. 1986. Beirut: ‘Alam al-Kutub. Cet. I. Al-Jili, Abd al-Karim. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. 1997. Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah. Cet. I. Al-Junaid, Abu al-Qasim. Rasail al-Junaid. 1988. Kairo: Bir’a Wijda. Karam, Yusuf. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah. 1936. Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr. Nasr, Seyyed Hossein. Tsalatsah Hukama’ Muslimin. Terj. Shalah al-Shawi, dari Three Muslim Sages. 1986. Beirut: Dar al-Nahar li al-Nasyr. Cet. 2. ----. Intellect, Reason, and Unity of Being. Di download dari http://www.livingislam.org/k/ird_e.html. ----. Mulla Sadra and the Doctrine of the Unity of Being. dalam Philosophical Forum, vol. IV, no 1, 1972. Department of Philosophy of Boston University. Qarib Allah, Hasan al-Fatih. Falsafah Wahdatul Wujud. 1997. Kairo: al-Dar al-Misriyah alLubnaniyah. Cet I. Qarni, Izzat. Al-Falsafah al-Yunaniyah hatta Aflathun. 1993. Kuwait: Jami’ah al-Kuwait. Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. tt. New Delhi: Yoda Press. Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2002. New York: Enchanted Lion Books.
7
Endnotes:
8
iTinjauan dari berbagai segi tentang kata-kata ini lihat Hasan al-Fatih Qaribullah, Falsafah Wahdah al-Wujud, h. 38-70. iiFu’ad Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim, bab wajada. iiiHasan al-Fatih Qaribullah, op. cit., h. 38-39. ivIbid, h. 49-50. vAnnemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, h. 267. viPhilip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 9. viiYusuf Karam, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, h. 16-7. viiiIbid, h. 20-1. ixIzzat Qarni, al-Falsafah al-Yunaniyah hatta Aflathun, h. 57. Bandingkan dengan Philip Stoke, op. cit., h. 16-7. xHasan al-Fatih Qaribullah, op. cit., h. 29. xiJames Buchanan, Modern Atheism under its forms of Pantheism, Materialism, Secularism, Development, and Natural Laws, h. 142-60, dan Philip Stoke, op. cit., h. 79. xiiAbu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, v. 4, h. 240-1. xiiiS. H. Nasr (a), Intellect, Reason and Unity of Being. xiv S. H. Nasr (b), Mulla Sadra and the Doctrine of the Unity of Being, dalam the philosophical forum, h. 153-4. xvAbd al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, h. 11-2. xviPada bagian kelima dalam S. M. N. al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 177-217. xviiTentang intuisi dalam pengertian filsafat Barat baca Philip Stoke, op. cit., h. 213. xviiiS. H. Nasr (b), op. cit., h 154. xixS. M. N. al-Attas (a), op. cit., h. 177-8. xx Surah Al-A’raf: 172. xxiAbu al-Qasim al-Junaid, Kitab al-Fana’, dalam Rasail al-Junaid, h. 33. xxiiS. M. N. al-Attas (a), op. cit., h. 179-80. xxiiiIbid, h. 180-1. xxivBandingkan dengan al-Ghazali, Misykat al-Anwar, h. 138. xxvBaca Surah al-Qashash: 88 dan al-Rahman: 26-7. xxviS. M. N. al-Attas (a), op. cit., h. 181-2. xxviiS. M. N. al-Attas (b), Islam and Secularism, h. 175. xxviiiS. H. Nasr (c), Tsalatsah Hukama’ Muslimin, h. 138. xxixS. M. N. al-Attas (b), op. cit., h. 174.