Uu Fix.docx

  • Uploaded by: isan
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uu Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,623
  • Pages: 8
STUDI KASUS UNDANG UNDANG DAN ETIKA KEFARMASIAN

Disusun oleh

Muhammad Ihsan

1611015210013

Arianita Rahima Utami

1611015320006

Nhaya Riskita

1611015320022

Nahda Amalia Sholeha

1711015120012

Raudatul Fitria Havina Putri

1711015320022

PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2019

CASE 1 Taslim adalah seorang apoteker PNS Hulu Sungai Tengah dan saat ini Taslim juga tercatat sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Sehat Bahagia yang berlokasi di Banjarbaru. Alasannya diungkapkan oleh Taslim, karena ingin membantu PSA yang masih belum sanggup membayar 2 Apoteker stand by karena omzet apotek masih rendah. Analisa Masalah Jika dilihat dari kasus diatas maka saudara Taslim telah melanggar UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 1.

UU No. 36 Tahun 2014 Bab 1 Pasal 1 telah

dijelaskan bahwa tenaga

kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pada Bab VI tentang Registrasi dan Perizinan Tenaga Kesehatan pasal 46 dijelaskan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin (SIP) yang berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat saja. Taslim merupakan seorang tenaga kesehatan (PNS) yang mengabdi pada Pemerintah Daerah Hulu Sungai Tengah, artinya SIP sebagaimana yang dimaksud dalam pasal diatas diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat tenaga kesehatan menjalankan praktiknya. Maka SIP yang digunakan Taslim adalah sebagai apoteker PNS Hulu Sungai Tengah, dan tidak berlaku pada tempat yang lainnya, apabila Taslim tercatat juga sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek Sehat Bahagia yang berlokasi di Banjarbaru, maka Taslim telah melakukan pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi disiplin sebagaimana yang tertera Pasal 49, yaitu berupa: a. Pemberian peringatan tertulis b. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP

c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan 2.

UU No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Farmasi. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian termasuk Apotek, Apoteker harus menerapkan standar pelayan kefarmasian, dimana penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker. Dalam hal ini apabila Taslim yang berdomisili di Kab. HST dan notabene adalah seorang PNS, maka Taslim tidak mungkin bisa menjalankan kewajibannya sebagai APA pada Apotek Sehat Bahagia di Banjarbaru yang jarak tempuhnya dengan Kab. HST kurang lebih 8 jam perjalanan pulang dan pergi.

Kesimpulan: Taslim sebagai seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker, dan seorang PNS yang telah disumpah oleh negara, tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan benar. Tindakan taslim tersebut juga dapat merendahkan Profesi Apoteker karena telah menunjukan sikap tidak profesional dengan melanggar ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

CASE 2 Ibu Tien datang ke Apotek “Sehat Sukses” dengan keluhan mata perih terkena sabun. Ibu itu membeli obat tetes mata “Insto”. Dikarenakan pasien merasa obat tetes mata tersebut tidak memberikan efek, pasien datang kembali ke apotek untuk membeli obat mata. Obat yang diinginkan termasuk obat keras dan harus dengan resep dokter. Pihak apotek memberikan obat tetes mata yang diminta. Beberapa

hari kemudian akhirnya pasien pergi ke puskesmas dan hasil pemeriksaan dinyatakan kornea mata pasien mengalami kerusakan akibat penggunaan obat tetes mata yang digunakan.

Jika dilihat dari kasus diatas maka ibu Tien telah melanggar UU Nomor 36 tahun 2014 Tentang Kesehatan dan PP Nomor 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. 1. UU Nomor 36 tahun 2014 Bab X Pasal 68 ayat 5 telah menjelaskan bahwa setiap tindakan tenaga kesehatan yang mengadung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Dalam kasus ini pihak apotek dan ibu Tien tidak dinyatakan memiliki persetujuan satu sama lain terkait permintaan dan pemberian golongan obat keras tanpa resep yang memiliki risiko tinggi dalam penggunaannya. Pada pasal yang sama ayat 1-4 juga disebutkan bahwa setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan harus mendapatkan persetujuan baik secara tertulis maupun lisan setelah mendapat penjelasan yang sekurang-kurangnya mencakup tata cara tindakan pelayanan, tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan, alternatif tindakan lain, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Apoteker dapat membuat kesepakatan dengan pasien setelah memberikan penjelasan-penjelasan tersebut, sehingga obat tetes mata yang termasuk golongan obat keras bisa diberikan kepada pasien dengan syarat obat tersebut adalah obat wajib apotek dan telah ada kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak.

2.

PP Nomor 51 tahun 2009 Bab II Pasal 24 huruf (c) telah menjelaskan bahwa dalam

melakukan

pekerjaan

kefarmasian

pada

fasilitas

pelayanan

kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kasus ini ibu Tien ingin mengganti obat tetes mata yang digunakan sebelumnya menjadi obat tetes mata yang termasuk ke dalam golongan obat keras, akan tetapi permintaan

tersebut tidak disertai dengan resep dokter. Melihat hal tersebut, harusnya seorang apoteker tidak bisa langsung memberikan obat yang diminta karena dapat menyalahi etika keprofesian dan peraturan perundang-undangan. Apoteker yang profesional akan menelaah terlebih dahulu jika dihadapkan dengan kasus ini, mulai dari menggali informasi dari pasien dan memberikan konseling sehingga didapat jalan keluar yang lebih baik untuk masalah pasien. Apoteker yang profesional harusnya juga memberikan saran obat yang sesuai dengan kondisi pasien, tentunya dengan pertimbangan terlebih dahulu dan persetujuan baik secara tertulis maupun lisan.

CASE 3 Apotek K-15 beroperasi di Jalan Karang Aman sejak Desember 2017 dan tidak lama berselang, beroperasi 1 apotek K-15 di jalan yang sama dengan jarak antar apotek ± 600 meter. Kedua apotek itu dimiliki oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang berbeda.

Analisa masalah : 1. Kasus di atas membahas mengenai jarak antar apotek. Menurut Permenkes No. 9 tahun 2017 tentang Apotek pada bab 3 tentang perizinan pasal 12 yaitu (1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri; (2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA; (4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Dari permenkes tersebut tidak ada memuat mengenai jarak lokasi antar apotek sehingga kasus tersebut tidak salah karena tidak bertentangan dengan Permenkes yang ada.

Kode Etik Apoteker Indonesia BAB I pasal 5: “Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”. BAB III Tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat Pasal 10: “Seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagai mana dia sendiri ingin diperlakukan”. Pasal 11: “Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik”.

Pasal 12: “Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerja sama yang baik sesama apoteker didalam memelihara keluhuran martabat, jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai didalam menunaikan tugasnya”. Permenkes No.184 thn 1995 pasal 18: “Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kode etik apoteker”. Kode Etik Apoteker pasal 2: “Setiap Apoteker atau Farmasis harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Farmasis Indonesia”. Kepmenkes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 9 “Terhadap permohonan izin apotik yang ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasai 5 dan atau pasal 6 , atau lokasi Apotik tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas)hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan mempergunakan contoh Formuiir Model APT- 7”.

2. Sebenarnya jarak antar apotek satu dengan yang lain tidak terlalu diatur secara terperinci dalam undang-undang ataupun peratutran pemerintah, jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan. Selain itu diharuskannya antar apotek terpisah sebenarnya menguntungkan apotek itu sendiri karena pelayanan akan efektif. Standarnya jarak minimal antar apotek satu dengan yang lain seharusnya 300 meter (namun standar tiap daerah bias berbeda), agar mendapatkan rekomendasi ISFI untuk berdirinya apotek baru. Dengan mendapatkan rekomendasi ISFI maka ini akan memudahkan pemberian izin permohonan apotek baru. Dalam PP No. 51 2009 pasal 35 ayat 2 disebutkan “Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan” yang nantinya akan menghasilkan “good distribution practice” dan pada sarana pelayanan yang baik “good pharmacy practice”

3. Pada pasal 5 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian. Salah satu contoh daerah yang menerapkan peraturan pendirian apotek adalah Kabupaten Bantul. Menurut Peraturan Bupati Bantul Nomor 25 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pendirian dan penyelenggaraan apotek baru berjarak paling sedikit 500 (lima ratus) meter dari apotek yang sudah ada tanpa memandang wilayah desa (PerBup Bantul, 2012). Aturan pendirian apotek dengan jarak minimal 500 meter ini juga terdapat dalam Kepmenkes RI No.278/Menkes/SK/V/1981, namun sekarang peraturan tersebut sudah dihapuskan.

Kesimpulan Dari pembahasan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa sebagai berikut: 1. Walaupun jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan. 2. Selama tetap berpegang pada koridor kode etik apoteker sebenarnya jarak yang berdekatan antar apotek sebenarnya tidak menjadi masalah. 3. Standar persyaratan minimal jarak antar apotek seharusnya minimal 300 meter bila di perlukan. 4. Dalam melaksanakan kewenangan harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan yang nantinya akan menghasilkan “good distribution practice” dan pada sarana pelayanan yang baik “good pharmacy practice”

Related Documents

Uu
June 2020 26
Uu
May 2020 31
Tugas Pkn Individu Fixdocx
October 2019 113
Uu Perkawinan.docx
May 2020 14
Uu Peternakan
December 2019 28
Uu Sampah
December 2019 41

More Documents from "Andre Suito"