Ummu Hani' bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah Radhiallohu 'anha Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putraputra Abu Thalib. Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin menyianyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.” Semasa jahiliyah, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam pernah meminangnya. Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallohu ‘anhu ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr, yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil, serta Hani` dan Yusuf. Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Alloh Subhanahu wa Ta’ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wa sallam dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiAllohu ‘anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran. Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallohu ‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Alloh, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam. Saat itu Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallohu ‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!” Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya sementara ‘Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu adalah waktu dhuha. Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasululloh Shallallohu
‘alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.” Ummu Hani` radhiAllohu ‘anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiAllohu ‘anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala meridhainya…. Wallohu ta’ala a’lamu bish-shawab. (Sumber Rujukan: Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293); AlIshabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317); Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964); Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47); Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314); Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390))