Ujian Tengah Semester Media Penyiaran Dwi Kurniawan M 07/21899
1. Sebagai sebuah institusi media penyiaran dapat dilihat melalui tiga pendekatan, ketiga
pendekatan itu melalui pendekatan politik, ekonomi dan budaya. Jika kita mencoba untuk melihat institusi media dengan menggunakan pendekatan politik, akan lebih dekat dengan komunikasi politik. Dimana memang itu merupakan pokok yang dekat dengan institusi media. Dimana perubahan situasi politik bisa kita lihat merupakan suatu dampak dari media, karena media mampu mempengaruhi framing khalayak dalam mencitrakan sesuatu yang berkaitan dengan politik. Apalagi mendekati waktu pemilihan umum, ataupun pemilihan wakil daerah disuatu tempat. Disini sebuah institusi media memang memiliki peranan yang sangat penting, katakanlah saat pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini saya mengambil contoh lebih sempit agar menjadi mudah dimengerti. Dimana ada suatu instansi media yang melakukan polling gubernur favorit, dari situlah tampak media berpolitik secara tidak langsung walaupun akan tampak cover both side dari hasil polling yang ada. Tetapi sebenarnya tindakan ini mempengaruhi pemilih sebenarnya. Apalagi ketika ada pemberitaan-pemberitaan dari media tersebut yang semakin menggaung apa yang ditargetkan oleh media tersebut untuk mempengaruhi banyak khalayak kepada satu calon. Contoh sebenarnya lebih tepat ketika Pemilihan presiden atau lebih tepatnya Pemilu 2009 barusan. Dimana televisi nasional saling bersaing untuk membentuk imej dari setiap pasangan calon presiden. Hal ini semakin diperburuk oleh adanya monopoli kepemilikan media, dimana pemilik media itu juga merupakan pemegang saham disuatu instansi media. Hal ini juga mampu
mempengaruhi nilai-nilai jurnalisme yang dijunjung oleh media tersebut. Apalagi dari durasi siaran setiap calon, kemudian framming berita setiap calon dan disetiap televisi yang berbeda. Karena setiap calon memiliki institusi media yang berbeda, dan merupakan institusi media nasional yang sangat diperhitungkan pengaruhnya. Dimana instansi media memang mempunyai kekuatan propaganda. Kemudian ketika kita melihat instansi media melalui ekonomi. Dari sisi sinilah kita bisa melihat bagaimana instansi media mampu mempengaruhi keadaan ekonomi, mungkin keadaan pasar ekonomi. Melihat melalui pendekatan ini, kita bisa mengetahui seperti apa instansi media tersebut mampu mempengaruhi ekonomi disuatu Negara. Dimana melalui pemberitaan-pemberitaannya mampu membuat suatu situasi ekonomi dapat tampak baik atau tidak. Hal ini sebenarnya tampak suatu instansi media itu membuat pemberitaan tentang hal yang terkait ekonomi. Contohnya bagaimana media tersebut mampu membuat citra Indonesia tampak aman-aman dan memancing para investor untuk menanamkan modalnya, dengan alasan untuk memacu perekonomian Negara. Kita bisa melihat bagaimana media tersebut mampu membuat pencitraan Negara ini dengan maksud ekonomi yang baik. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan perekonomian Negara. Kita melihat bagaimana ketika Negara Indonesia mendapat isu travel warning dari Negara yang merupakan asal wisatawan, dan kemudian berusaha untuk meyakinkan para wisatawan yang merupakan sumber pendapatan untuk kembali berkunjung ke Indonesia. Dari situlah institusi media harus mampu mempengaruhi keadaan ekonomi menjadi lebih baik, ataupun terkadang malah menjadi buruk. Karena mungkin ada beberapa hal yang mungkin memang tidak bisa dipengaruhi melalui media secara cepat. Dan mungkin butuh waktu. Melalui pendekatan budaya mungkin bisa kita ambil contoh ketika terjadi tarik menarik, ataupun saling mengakui lebih tepatnya mengklaim beberapa budaya nusantara yang dilakukan Malaysia. Dan isu ini cukup hangat sekali diangkat oleh media di Indonesia, hal ini bermaksud untuk kembali menimbulkan rasa kesatuan dan persatuan. Hal ini
menjadikan momen yang pas untuk kembali menyadarkan masyarakat tentang arti persatuan. Mungkin dengan adanya kejadian itu, kemudian media mem-blow up kejadian saat itu. Bisa menyadarkan bahwa Malaysia itu sudah kelewat batas, sampai mengklaim beberapa budaya. Walaupun sebenarnya ketika ada beberapa kali liputan kalau media di Malaysia sendiri hampir tidak ada pemberitaan yang dilakukan di Indonesia seperti yang terjadi disini. Mungkin struktuf intansi media di Malaysia yang berbeda, sampai-sampai tidak ada pemberitaan tetang kesalahan negaranya sendiri. Tetapi dari situ ada pelajaran tetang kebudayaan yang harus tetap dilestarikan 2.
Perkembangan media penyiaran memang searah dengan perkembangan teknologi yang menjadi pendukung utama dari media penyiaran tersebut. Dimana perkembangan teknologi memang sangat mendukung media penyiaran. Kita menyadari bahwa perkembangan itu memasuki kehidupan kita, dan kemudian berkolaborasi untuk memberikan informasi dan feedback dengan audiens. Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology / ICT) selama dekade terakhir membawa tren baru di dunia industri komunikasi yakni hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Pada dataran praktis maupun teoritis, fenomena yang sering disebut sebagai konvergensi media ini memunculkan beberapa konsekuensi penting. Di ranah praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan selera mereka. Tidak kalah serius, konvergensi media memberikan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan sebagainya (Preston: 2001). Dengan penjelasan Preston di atas sebagai dasar untuk menjawab hal mengenai konvergensi yang terjadi di media. Tidak hanya televisi tetapi radio yang juga menerima dampak dari konvergensi. Sebelum lanjut kepada kasus perkembangan teknologi yang
mempengaruhi televisi dan radio, setidaknya kita harus mengerti konvergensi sendiri. Dalam arti paling umum, konvergensi berarti runtuhnya penghalang lama yang sebelumya memisahkan ICTS menurut sejumlah dimensi : antara industri dan industri, antara aplikasi dan aplikasi, antara produser dan konsumen, antara Negara dan Negara. Masing-masing mempengaruhi minoritas, penggunaan dan akses teknologi informasi (IT) dengan berbagai cara Setelah mengetahui beberapa hal diatas, mungkin kita baru bisa mengambil contoh pengaruhnya terhadap radio dan televisi di Indonesia, seperti sekarang ini. Masih ingatkah kita ketika sekitar lima sampai delapan tahun lalu, dimana kita sebagai pendengar radio ketika ingin tisam(titip salam) yang kemudian dibacakan oleh penyiar. Dulu masih cukup konvensional, ada yang menggunakan kertas request yang bisa dibeli ataupun diambil di radio bersangkutan, atau menggunakan fasilitas telepon. Perkembangan teknologi pada radio sendiri memaksa untuk radio segera memperbarui teknologi yang dimiliki. Agar tidak semakin tertinggal jauh dengan teknologi yang semakin berkembang. Sekarang radio tidak hanya dinikmati oleh pendengar dengan jarak jangkau pemancar radio itu, tetapi apabila radio saat ini sudah ada yang memberikan live streaming siaran melalui internet. Itulah yang sekarang paling menonjol dirasakan, sedangkan hal kecil lain adalah bentuk titip salam yang dulu menggunakan fasilitaas telepon saja, sekarang fasilitas internet seperti chatting, ataupun pesan singkat seluler. Kita bisa mendengarkan penyiar favorit kita dari luar jangkauan radio tersebut, apabila radio tersebut memiliki fasilitas live streaming. Hal ini juga memudahkan orang untuk menikmati seperti apa siaran radio setiap daerah apabila sudah menerapkan teknologi ini. Contohnya di Yogyakarta beberapa radio sudah tergabung Jogjastreamers.com yang memberikan link ke beberapa radio Jogja. Dan ini tentunya berkat kerjasama antara radio-radio tersebut dengan penyedia layanan internet seperti citranet. Sama juga halnya RRI darah seperti Pro 2 Samarinda kini sudah menerapkan teknologi serupa, agar dapat didengarkan oleh orang diluar darah. Sedangkan televisi sendiri yang paling tampak adalah bentuk perantara audio visual itu sendiri, saat ini sudah banyak jalur atau medium yang dilalui untuk sebuah siaran. Seperti
layanan berlangganan televisi, dan saat ini sudah makin booming televisi kabel atau televisi dengan format digital. Hal tersebut hanya sebatas media perantara siaran televisi, tetapi dalam hal ini saya ingin melihat dari sisi lain. Bentuk konvergensi media ditelevisi sendiri dapat tampak dari bagaimana feedback pada setiap program televisi. Dalam hal ini saya ingin mengambil contoh penggunaan fasilitas seperti facebook, twitter, skype, dimana fasilitas tersebut ditujukan untuk memberikan feedback pada suatu topik program berita yang menjadi bahasan. Semua feedback sudah semakin cepat untuk tampil, dan kemudian dari stasiun televisi tersebut yang memilih manakah yang layak untuk ditampilkan. Karena feedback yang diterima tidak cukup jika ditampilkan secara langsung ditelevisi. Tetapi darisitulah televisi mendapatkan tanggapan lebih cepat dari penonton, komentar-komentar, atau apapun yang terkait dengan suatu program televisi. Dari sedikit contoh diatas antara televisi dan radio memang akan tampak seperti apa media konvergen itu. Media konvergen sendiri memadukan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam satu media sekaligus. Karenanya, terjadi apa yang disebut sebagai demasivikasi (demassification), yakni kondisi dimana ciri utama media massa yang menyebarkan informasi secara masiif menjadi lenyap. Dalam catatan McMillan (2004), teknologi komunikasi baru memungkinkan sebuah media memfasilitasi komunikasi interpersonal yang termediasi. Dahulu ketika internet muncul di penghujung abad ke-21, pengguna internet dan masyarakat luas masih mengidentikkannya sebagai “alat” semata. Berbeda halnya sekarang, internet menjadi “media” tersendiri yang bahkan mempunyai kemampuan interaktif. Sifat interactivity dari penggunaan media kovergen telah melewati kemampuan potensi feedback, karena seorang pengguna media konvergen secara langsung memberikan umpan balik atas pesan-pesan yang disampaikan. Karakteristik komunikasi massa tradisional dimana feedback tertunda menjadi lenyap karena kemampuan interaktif media konvergen.
Kemudian media konvergensi memberikan banyak kesempatan baru kepada public untuk memperluas akses media sesuai keinginan mereka. Dari sisi ekonomi media, konvergensi berarti peluang-peluang profesi baru di dunia industry komunikasi. Dari sinilah mungkin menjadi hal dimana media konvergensi menjadi topik yang dianggap paling penting. Karena adanya pergeseran antara media konvensional kemudian menjadi media konvergensi yang lebih interaktif seperti dikatakan sebelumnya 3. Implementasi dari regulasi media penyiaran di Indonesia sendiri sebenarnya sampai saat
ini belum bisa maksimal diterapkan. Karena mungkin banyak penguasa yang memiliki kepentingan dimedia tersebut. Menurut saya antara pemilik media yang juga mempunyai jabatan penting di pemerintahan kebanyakan memanfaatkan medianya tersebut untuk melakukan komunikasi politiknya. Permasalahan mengenai regulasi media penyiaran juga dari implementasinya di daerahdaerah yang mengalami banyak kendala. Terutama mengenai soal tumpang tindih kewenangan KPI dan Pemerintah dalam mengatur penyiaran. Soal penyiaran memang beririsan dengan banyak urusan. Diantaranya soal frekuensi, content, teknologi, pengaturan bisnis dan lain-lain. Hingga sekarang pengaturan penyiaran sendiri masih dilandaskan pada Undang-Undang no. 32 tentang Penyiaran. Namun memang dalam implementasinya Undang-Undang ini masih belum dapat secara menyeluruh mengatur industri ini. Sebenarnya ada banyak permasalahan mengenai penerapan regulasi penyiaran sendiri yang
terkesan
berjalan
setengah-setengah.
Seperti
contohnya
seperti
dilansir
http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=114614. Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Yahya dalam jumpa pers di kantor KPI di Jakarta, Jum’at (9/5/2008), mengatakan 10 program acara televisi tersebut yaitu “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2" (TPI), "Extravaganza" (Trans TV), "Jelita" (RCTI), "Mask Rider Blade" (antv), "Mister Bego" (antv), "Namaku Mentari" (RCTI), "Rubiah" (TPI), "Si Entong" (TPI), dan "Super Seleb Show" (Indosiar). Sasa mengatakan dari hasil pantauan KPI selama periode 1 - 13 April, 10 acara televisi tersebut paling banyak melanggar Standar Program Siaran KPI, antara lain melanggar
norma kesopanan dan kesusilaan dengan banyak menampilkan kekerasan, menampilkan kata-kata kasar, merendahkan dan melecehkan orang lain. Pernyataan KPI di ataslah yang menjadi dasar dari belum maksimalnya regulasi yang dimiliki Indonesia, atau malah belum jelasnya isi dari regulasi tersebut. Sehingga membuat tidak maksimal. Entah dari KPI sendiri yang sepertinya belum memiliki ketegasan sendiri untuk menindak beberapa stasiun televisi yang disinyalir melanggar. Kemudian yang paling menarik adalah program “Empat Mata” yang kemudian diganti menjadi “Bukan Empat Mata” walaupun tidak banyak konten acara yang berubah. Dan program ini juga sempat menjadi sorotan media mengenai cara membawakan acara ini, yaitu tukul yang dianggap melaukan perbuatan tidak pantas untuk dikonsumsi, seperti gerakan “nakal”, kata-kata “nakal”. Dan sempat juga program ini dilarang tayang sekitar sebulan untuk diproses mengenai pelanggaran-pelanggaran. Tetapi sebenarnya program ini kalau saja tidak ditekan oleh pihak lain seperti MUI ataupun ormas yang memang menganggap tidak baik. Mungkin bisa saja program ini terus berjalan tanpa ada tindakan dari KPI kalau KPI tidak disentil melalui pemberitaan media yang saat itu benar-benar mem-blow up acara Empat Mata ini yang sudah dianggap melecehkan. 4. Televisi memang bukanlah segalagalanya untuk anak, dan tidak bisa dipungkiri bahwa
TV telah menjadi refrensi anak-anak dalam berinteraksi, bersikap, dan berperilaku dalam kelompok bermain; yang kadang bertentangan dengan hal-hal yang bersifat normative yang berasal dari orang tua, sekolah dan budaya. Dari masalah ini saya memandang kalau hampir kebanyakan isi pesan dari program di TV sangat tidak layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Saya melihat anak-anak sebagai sosok polos dan dasar, dimana kalau anak-anak sudah teracuni oleh tayangan televisi yang pesannya sangat tidak sesuai dengan keadaan psikologis yang masih anak-anak dan memang bertentangan dengan norma. Sehingga mungkin dibutuhkannya dampingan orang tua ketika anak-anak menonton televisi, yang notabene orang tua mereka lebih asik sendiri dengan pekerjaannya ketimbang mendampingi anak-anak mereka saat menonton televisi.
Yang menjadikan isi pesan di suatu televisi itu menjadi berkualitas ketika televisi itu mampu untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh penonton, tetapi dalam artian bukan untuk kebutuhan yang mengutamakan industri. Tetapi dalam artian televisi itu harus tetap menjalankan fungsinya sebagai pendidik, dimana apa yang ditayangkan ditelevisi tersebut tidak hanya asal tayang dan mendapatkan rating bagus. Tetapi juga harus mengedepankan kualitas dari tayangan tersebut harus jelas isi pesannya. Sebenarnya program-program yang bagus dan berkualitas kebanyakan bergenre news, feature, documenter, ataupun sebagian talkshow. Tetapi permasalahannya tidak semuanya bagus dan berkualitas seperti yang diharapkan, mungkin jejak petualang dan laptop si Unyil menjadi pilihan program terbaik versi saya. Dengan beberapa alasan dimana kalau Jejak Petualang memberikan wawasan mengenai nusantara yang belum tentu kita jelajahi semua. Memberikan kita rasa bangga terhadap nusantara yang luas, karena sangking luasnya pun orang Indonesia lebih memilih liburan ke Singapura yang tempatnya lebih kecil dan minim kebudayaan. Kemudian untuk bagian Laptop si Unyil sendiri saya merasakan program ini cukup untuk melepas rasa haus para penggemar Unyil yang tidak pernah SMP padahal penggemarnya sudah punya anak. Tetapi dari situlah kita kembali lebih dekat kepada anak-anak dimana mereka butuh pendekatan, dan mereka terkadang lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Sosok unyil disini memang diharapkan lebih dekat dengan anak-anak untuk memberikan informasi kepada penonton. 5. Ketika representasi adalah salah satu konsekuensi dari pesan media ketika menampilkan realitas, kemudian representasi dalam isi media penyiaran berarti salah satu konsekuensi ketika isi media penyiaran tersebut menampilkan realitas yang ada. Begitu kiranya sedikit pengertian mengenai representasi. Tetapi yang kita ketahui sejauh ini adalah realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender, apalagi dalam representasi perempuan dalam media, baik media cetak ataupun elektronik. Berbentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subkordinasi, streotipe atau label negatif, beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan gender terlihat.
Karena sebenarnya perempuang sendiri dianggap sebagai potensi pemasaran yang luar biasa. Menurut Rhenald Kasali. Sebagai target market, perempuan telah menciptakan begitu banyak produk baru dibandingkan laki-laki. Itu sebabnya jika dihitung, jumlah majalah atau tabloid dengan segmentasi perempuan lebih besar ketimbang laki-laki. Belum lagi consumer goods yang ditujukan hanya untuk wanita. Perempuan tak memiliki akses yang bagus untuk mendapatkan informasi yang penting untuk dirinya sendiri. Tayangan televisi pun seperti itu. Alih-alih dikemas untuk perempuan, ternyata acara yang disuguhkan tak lebih dari pengukuhan pandangan streotipe terhadap perempuan. Seperti acara yang mengupas gaya hidup, mengasuh anak, masak-memasak. Tetapi sebenarnya inilah yang terjadi di Indonesia, representasi perempuan di televisi masih belum sesuai seperti apa yang diinginkan. Dimana perempuan Indonesia memiliki adat “ketimuran” dimana kalem, penyabar, itu tampak pada beberap sinetron. Tetapi menjadi tidak sesuainya adalah ketika iklan-iklan ataupun sinetron atau tayangan di televisi yang menggunakan perempuan Indonesia itu malah membuat citra perempuan Indonesia yang kaku, kolot, atau hanya sebatas ‘dapur-ranjang’ saja. Saya menyadari akan hal tersebut dimana perempuan Indonesia ingin memiliki nilai lebih melalui media, tetapi kembali kepada industri yang sebenarnya menginginkan hal tersebut.
Daftar Pustaka Ratna Hidayati. Jurnalis Koran Mingguan Tokoh di Denpasar. Dari makalah yang berjudul Jurnalisme Berperspektif Gender Wiwik Sushartami. Pemerhati Masalah Perempuan dan Jender. Kompas, senin 21 Juli 2003. Baldwin, Thomas F.; Mc Voy, D. Stevens & Steinfield, Charles: Convergence. Mengintegrasikan Media, Informasi & Komunikasi. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage 1996; Mueller, Milton: "Digital Convergence and Its Consequences". McQuail, Denis (1987). Teori Komunikasi Massa. Agus Dharma (terj.). Jakarta : Erlangga Nimmo, Dan (1993). Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media. Bandung : Remaja Rosdakarya