Tunangan

  • Uploaded by: faizah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tunangan as PDF for free.

More details

  • Words: 4,265
  • Pages: 11
Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Kerana itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakan alFatihah, dan kami mainkan musik. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkahwinan menurut syari'at yang bererti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu diketahui bahawa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara resmi dan terdaftar pada pejabat urusan nikah (KUA). Jawapan: Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkahwinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkahwinan dan pengantar ke sana. Seluruh kitab kamus membezakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kahwin); adat kebiasaan juga membezakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kahwin; dan syari'at membezakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Kerana itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kahwin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkahwinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu. Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, iaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahawa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kahwin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya.” (Al Baqarah: 235) Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis: "Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih) Kerana itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahawa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkahwinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumahtangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapanucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkahwinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', mahupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya. Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahawa lelaki yang telah mengawini seorang

wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga. Allah berfirman: “Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ...” (Al Baqarah: 237) Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang mahupun pendek, maka ia tidak mempunyai kewajipan apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah. Kerana itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram. Saya nasihatkan pula kepada para bapa dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama. “... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 229) “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An Nur: 52)

Melihat Tunangan Seorang muslim apabila berkehendak untuk kawin dan mengarahkan niatnya untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak diinginkan. Ini, adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa. Abu Hurairah mengatakan: "Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan:

Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu." (Riwayat Muslim) Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan, bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya: "Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua." Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan adDarimi). Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua tapak tangan, tetapi muka dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan, maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut: "Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah." (Riwayat Abu Daud) Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebagian ahli penyelidik memberikan batas, bahwa seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahram-mahramnya yang lain. Selanjutnya mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian menurut ukuran syara' ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: "... kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya."8 Dibolehkan juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan keluarganya; atau samasekali tidak sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang isterinya: "Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia." Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh menghalanghalangi anak gadisnya untuk dilihat oleh orang yang berminat hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama, bukan agama harus mengikuti tradisi manusia. Namun di balik itu, seorang ayah dan laki-laki yang hendak meminang maupun perempuan yang hendak dipinang, tidak diperkenankan memperluas mahramnya, seperti yang biasa dilakukan oleh penggemar-penggemar kebudayaan Barat dan tradisi-tradisi Barat. Ekstrimis kanan maupun kiri adalah suatu hal yang amat ditentang oleh jiwa Islam. (sebelum, sesudah)

Halal dan Haram dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/30110.html#3.2.2

Pinangan yang Diharamkan Seorang muslim tidak halal mengajukan pinangannya kepada seorang perempuan yang ditalak atau yang ditinggal mati oleh suaminya selama masih dalam iddah. Karena perempuan yang masih dalam iddah itu dianggap masih sebagai mahram bagi suaminya yang pertama, oleh karena itu tidak boleh dilanggar. Akan tetapi untuk isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, boleh diberikan suatu pengertian --selama dia masih dalam iddah-- dengan suatu sindiran, bukan dengan terang-terangan, bahwa si laki-laki tersebut ada keinginan untuk meminangnya. Firman Allah: "Tidak berdosa atas kamu tentang apa-apa yang kamu sindirkan untuk meminang perempuan." (al-Baqarah: 235) Dan diharamkan juga seorang muslim meminang pinangan saudaranya kalau ternyata sudah mencapai tingkat persetujuan dengan pihak yang lain. Sebab laki-laki yang meminang pertama itu telah memperoleh suatu hak dan hak ini harus dipelihara dan dilindungi, demi memelihara persahabatan dan pergaulan sesama manusia serta menjauhkan seorang muslim dari sikap-sikap yang dapat merusak identitas. Sebab meminang pinangan saudaranya itu serupa dengan perampasan dan permusuhan. Tetapi jika laki-laki yang meminang pertama itu sudah memalingkan pandangannya kepada si perempuan tersebut atau memberikan izin kepada laki-laki yang kedua, maka waktu itu laki-laki kedua tersebut tidak berdosa untuk meminangnya. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w. yang mengatakan sebagai berikut: "Seorang mu'min saudara bagi mu'min yang lain. Oleh karena itu tidak halal dia membeli pembelian kawannya dan tidak pula halal meminang pinangan kawannya." (Riwayat Muslim) Dan sabdanya pula: "Seorang laki-laki tidak boleh meminang pinangan laki-laki lain, sehingga peminang pertama itu meninggalkan (membatalkan) atau mengizinkannya." (Riwayat Bukhari) Membincangkan masalah wanita adalah suatu yang begitu penting kerana ia dibincangkan oleh semua peringkat. Dalam hal ini, terdapat di kalangan wanita yang merasakan mereka dizalimi dan tidak mendapat hak. Dari sudut yang lain, aliran-aliran golongan wanita begitu liar dengan syariat hanya berkiblatkan barat. Perkara ini perlu kepada perbincangan yang adil dan terbuka, perbincangan yang berdasar kepada sumber asli Islam. Berdasarkan kepada pandangan ulama muktabar. Usaha kita memilih Dr Yusof Qaradhawi sebagai salah satu rujukan kita apabila kita membincangkan isu wanita. Kita mengetahui bahawasanya Imam Qaradhawi adalah yang amat mengambil berat tentang wanita dengan beliau meletakkan syaratnya apabila beliau membela wanita iaitu dengan berpandukan syariat. Wallahu a’lam Pertama : Wanita yang diidamkan.

Syeikh Qaradhawi di dalam risalah kecilnya Wanita Alternatif (Muslimatul Ghadan) menceritakan bahawa ada dua aliran yang masyhur pada zaman ini. Aliran pertama adalah aliran yang begitu syadid dan ketat terhadap wanita. Sehingga mereka tidak membenarkan wanita dilihat ketika mana dipinang. Bagi penulis, bukan sahaja aliran yang menyekat, memang terdapat wanita yang begitu syadid terhadap kehidupan dan terhadap masyarakat, Ini menyebabkan berlaku beberapa masalah ketika berlaku pergaulan. Golongan atau aliran kedua adalah golongan yang memberi kelonggaran yang terlalu luas terhadap wanita. Sehingga terdapat wanita sebelum berkahwin sudah keluar bersama tunangannya tanpa ada seorang mahram menemaninya. Dan golongan wanita seperti ini juga mereka berkiblat kepada barat di dalam hidup mereka. Pertunangan merupakan satu cara untuk mengenali antara satu sama lain. Samada dari pihak lelaki mahupun perempuan. Kerana dengan jalan pertunangan, pihak lelaki atau perempuan boleh mempelajari, mengkaji atau mengetahui akhlak, tabiat dan kecenderungan masing-masing.Walaubagaimanapun ianya mestilah dilakukan dalam lingkungan batas-batas yang dibenarkan oleh syarak.

HUKUM MELIHAT Di bawah tajuk ini, saya tidak hanya menerangkan mengenai masalah hukum melihat sebelum peminangan dijalankan, tetapi mencakupi seluruh hukum yang berkaitan dengannya. Termasuk juga perbincangan di bawah tajuk ini ialah mengenai hukum berjabat tangan dan hukum memberi salam. Inilah tradisi ulamak-ulamak fikah mazhab Syafi'i ketika menulis tajuk ini. Walaupun ianya dilihat sebagai tidak ada kena mengena dengan masalah perkahwinan mahupun pertunangan tetapi saya penuh yakin dan percaya bahawa banyak rahsia di sebalik penyusunan begini.

HUKUM MELIHAT (1) MELIHAT BAKAL TUNANG Seorang lelaki yang mempunyai azam untuk mendirikan rumahtangga disunatkan untuk melihat perempuan yang mahu dipinangnya supaya tidak timbul penyesalan dikemudian hari. WAKTU MELIHAT Waktu yang disunatkan melihat perempuan ialah: 1) Sebelum meminang 2) Setelah mempunyai azam untuk mengahwininya Mengapa sebelum meminang? Kerana melihat perempuan setelah meminang akan menyebabkan beberapa kemungkinan yang akan menyakiti hati dan perasaan perempuan tersebut. Seperti lelaki yang meminangnya itu membatalkan hasratnya untuk memperisterikan perempuan tersebut setelah melihatnya. Mengapa setelah mempunyai azam untuk mengahwininya? Kerana melihat perempuan sebelum mempunyai azam untuk mengahwininya merupakan suatu perkara yang tidak membawa faedah. Bahkan haram hukumnya.

ANGGOTA YANG HARUS DILIHAT Ketika melihat perempuan yang mahu dipinang, Islam telah menyatakan garis sempadan yang harus dipelihara. Di bawah ini saya menukilkan dari kitab-kitab muktabar ulamakulamak Syafi'i tentang aggota yang harus dilihat pada perempuan yang ingin dipinang, iaitu: PEREMPUAN MERDEKA Jika perempuan yang ingin dipinang itu merupakan perempuan yang merdeka, maka lelaki yang ingin meminang diharuskan melihat dua anggota sahaja iaitu: 1) Muka Kerana dengan melihat muka lelaki tersbut dapat mengetahui cantik atau hodohnya perempuan yang mahu dipinang itu. 2) Dua tapak tangan Dengan melihat tapak tangan pula, lelaki tersebut dapat mengetahui kehalusan kulit tubuh badannya. Dengannya juga dapat diketahui cacat cela yang terdapat pada tubuh badannya. PEREMPUAN HAMBA Seorang lelaki yang ingin meminang seorang perempuan hamba diharuskan melihat selain dari anggota yang berada di antara pusat dan lutut. PERLUKAH IZIN DARI WALI UNTUK MELIHAT? Seorang lelaki yang mempunyai keazaman untuk memperisterikan seseorang perempuan diharuskan melihat perempuan tersebut sekalipun tanpa keizinan dari walinya. Memadailah dengan keizinan yang telah diberikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada umatnya melalui sabdaannya yang berbunyi: Ertinya: Dari Mughirah bin Syukbah r.a., dia telah berkata: Aku telah meminang seorang perempuan jariah dari kalangan kaum Ansar. Perkara tersebut aku nyatakan kepada Nabi s.a.w. dan baginda telah bersabda: "Lihatlah dia. Adalah lebih patut kalau ada kesesuaian antara kamu berdua." (RiwayatBukhari dan Muslim) Baginda bersabda pada hadis yang lain: Ertinya: Di mata kaum Ansar terdapat sesuatu, jika ada di antara kamu yang ingin berkahwin dengan wanitanya, lihatlah dia. (Riwayat Muslim) MELIHAT BERULANG-ULANG KALI Islam membenarkan lelaki tersebut melihat perempuan yang ingin dipinang berulangkali sehingga dia berpuas hati dan tidak akan timbul penyesalan di kemudian hari. Menurut kebiasaannya, seseorang itu tidak dapat memastikan tentang kecantikan atau kecacatan seseorang perempuan itu dengan hanya sekali pandang. Walaubagaimanapun perkara ini hanya dibenarkan dengan syarat yang lalu, iaitu mempunyai hajat. MENIMBULKAN FITNAH DAN MENAIKKAN SYAHWAT Apakah hukumnya jika seorang lelaki itu melihat perempuan yang ingin dipinangnya dengan syahwat? Atau dengan melihatnya akan menimbulkan fitnah terhadap lelaki tersebut? Jawapannya, tidak mengapa melihat perempuan tersebut sekalipun dikhuatiri akan menimbulkan fitnah atau dengan syahwat. Maksud menimbulkan fitnah ialah, sesuatu yang dapat menarik ke arah zina samada kerana kecantikan, kemerduan suara atau sebagainya. SYARAT-SYARAT PENGHARUSAN MELIHAT Seorang lelaki yang telah mempunyai azam untuk azam untuk mengahwini seseorang perempuan dibenarkan melihatnya dengan tiga syarat, iaitu: 1) Perempuan tersebut tidak bersuami. 2) Perempuan tidak dalam iddah. 3) Mempunyai harapan untuk diterima pinangannya.

LELAKI YANG MEMPUNYAI KESULITAN UNTUK MELIHAT Seorang lelaki yang mempunyai kesulitan untuk melihat perempuan yang ingin dikahwininya atau kerana tidak mahu melihatnya sendiri disunatkan supaya mengutuskan seorang perempuan atau mahramnya (perempuan tersebut) untuk melihatnya. Ini dilakukan dengan harapan agar utusannya itu dapat menceritakan kepadanya tentang rupa dan sifat perempuan tersebut. Dalil dari perkara ini ada disebutkan oleh Syed al-Bakri bin Syed Muhamad Syatha alDimyati di dalam kitab I'anah al-Talibin syarah kepada kitab Fathul Mu'in karya al-Allamah syeikh Zainuddin al-Malbari: Ertinya: Yang demikian itu telah diriwayatkan oleh imam Ahmad di dalam kitabnya alMusnad, bahawa Nabi Muhamad s.a.w. telah mengutus seorang wanita untuk meminang seorang wanita untuknya. Utusan tersebut dibenarkan untuk menceritakan atau menggambarkan lebih dari anggota yang dibenarkan melihatnya iaitu muka dan dua tapak tangan. Bahkan dengan cara ini, lelaki tersebut dapat mengetahui rupa bentuk atau sifat yang tidak dibenarkan oleh syarak melihatnya. LELAKI YANG TIDAK BERKENAN TERHADAP PEREMPUAN YANG DILIHAT Apabila lelaki tersebut tidak berkenan dengan perempuan yang dilihatnya, hendaklah dia diam. Dan jangan berkata: "Aku tidak sukakan kamu" atau sebagainya kerana kata-kata seperti ini hanya akan menyakiti hati perempuan tersebut. HUKUM PEREMPUAN MEMANDANG LELAKI YANG MAHU MEMINANGNYA Sebagaimana lelaki, perempuan juga disunatkan untuk melihat lelaki yang mahu meminangnya. Kerana perempuan juga mempunyai perasaan sebagaimana lelaki, di mana ada perkara yang disukai dan dibencinya. HUKUM MENYENTUH Di dalam masalah yang lalu, Islam hanya membenarkan melihat sahaja terhadap perempuan yang ingin dipinang dengan syarat-syarat tertentu. Dengan ini, menyentuh perempuan tersebut adalah haram hukumnya kerana untuk mengetahui cantik atau hodohnya dan cacat celanya tidak perlu dengan sentuhan, memadai dengan melihat. RAHSIA DI SEBALIK PERTUNANGAN Pertunangan merupakan satu cara untuk mengenali antara satu sama lain. Samada dari pihak lelaki mahupun perempuan. Kerana dengan jalan pertunangan, pihak lelaki atau perempuan boleh mempelajari, mengkaji atau mengetahui akhlak, tabiat dan kecenderungan masing-masing. Walaubagaimanapun ianya mestilah dilakukan dalam lingkungan batas-batas yang dibenarkan oleh syarak.

http://members.tripod.com/ahkam_2/08/keluarga8.htm

| Pertunangan Pertunangan berasal dari bahasa Melayu yang memiliki sama erti dengan Khitbah dalam Bahasa Arab atau dikenali dengan istilah meminang. Pertunangan, khitbah atau pinangan ,iaitu satu ikatan perjanjian yang berlaku di antara pihak lelaki dan pihak perempuan untuk mendirikan rumah tangga.

Khitbah dimaksudkan untuk menutup kesempatan bagi pria lain meminang perempuan yang telah dipinang. Rasulullah S.A.W bersabda: " Tidak halal bagi kamu penjualan di atas penjualan orang lain, dan tidak halal bagimu pertunangan di atas pertunangan orang lain"

| Tujuan Pertunangan Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antara pasangan untuk saling mengenal sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Dari Mughirah bin Syu’bah baerkata “Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Nabi SAW bersabda, ‘Lihatlah ia, kerana yang demikian itu akan menimbulkan kasih saying antara kalian berdua’.” (HR Nasa’I, Ibn Majah dan Tirmidzi). Dalam hal ini jumhur ulama’ membatasi anggota tubuh yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua tangan.

| Hanya Sebatas Perjanjian Petunangan hanya sebatas perjanjian untuk mengadakan pernikahan atau tidak mewujudkan pernikahan tersebut. Ertinya, pihak masing-masing berhak untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alas an yang tepat, maka kedua belah pihak dilarang membatalkan. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (5:1). Dalam hal ini, pihak yang diputuskan dapat minta ganti rugi pada pihak yang memutuskan. Sebelum seseorang lelaki ingin menghantar pinangan, utuskanlah wakil untuk meninjau latar belakang peribadi wanita pilihannya itu. Begitu juga sebaliknya bagi pihak keluarga wanita dalam membuat keputusan untuk menerima bakal menantunya. Hendaklah diselidiki dahulu diri lelaki yang hendak meminang itu tentang agamanya, fahamannya dan soal-soal hubungan dengan ALLAH sebagai pokok utama. Pertama: adakah fardu ain si lelaki ‘benar-benar beres’ kerana suamilah tunjang yang bakal untuk mengajar anak-anak dan isteri apabila telah mendirikan rumahtangga kelak. Memerhatikan pelaksanaan ibadah lelaki yang meminang itu seperti sembahyang secara individu dan secara berjamaah, juga mengenal pasti pekerjaan lelaki berkenaan. Orang sekarang tidak lagi memandang soal-soal hubungan dengan ALLAH sebagai pokok utama sejahteranya sesebuah rumahtangga. Setiap kali berlangsungnya majlis merisik, perkara utama yang akan ditanya ialah hal-hal kemewahan keduniaan saja sebgai syarat yang akan mensejahterakan dan mengukuhkan rumahtangga. Tidak hairanlah apabila selepas berkahwin, kehidupan anakanak dan isteri terbiar tanpa bimbingan dan tunjuk ajar yang sewajarnya. Akhirnya, anak-anak tidak taat kepada ibu bapa dan isteri menjadi ‘Queen Control’ kepada suami. Akhirnya, suami hilang hemahnya di dalam mentadbir rumah tangga menurut hokum Islam. Ibu bapa tidak boleh menolak pinangan seseorang lelaki itu semata-mata kerana darjat yang rendah. Sebaliknya, mestilah menolak pinangan seseorang lelaki itu apabila diketahui bahawa lelaki

berkenaan berakhlak buruk seperti tidak solah, atau tidak menjaga solahnya atau berfoya-foya, berjudi sekalipun dia berpangkat dan mempunyai harta. Rasulullah SAW pernah bersabda yang maksudnya: “Sesiapa yang mengawinkan akan perempuannya dengan lelaki yang fasik maka sebenarnya dia telah memutuskan silaturrahim dengan anaknya.” Rasulullah SAW bersabda lagi yang bermaksud: “Jika dating kepada kamu pinangan daripada seseorang lelaki yang kamu redha terhadapnya, agama dan akhlaknya, hendaklah kamu terima. Kalau kamu menolaknya padahnya adalah fitnah dan kerosakan di muka bumi.” Untuk mendapat keberkatan ALLAH, dari awal majlis peminangan lagi kita mesti jaga adab. Keberkatan ALLAH ini tidak dapat hendak kita gambarkan kerana hatilah yang akan terasa ketenangan itu. Kesannya bukan seminggu dua, namun sampai ke hari tua. Contohnya, orang pada zaman ‘salafussoleh’, rumah tangga mereka berkat kerana dari awal peminangan lagi majlisnya sudah dijaga. Namun, kalau dalam majlis peminangan itu, awal-awal lagi kita tidak dapat menjaga syariat dan adab menurut Islam, sampai akhir hayat pun mungkin rumah tangga itu Nampak ‘tidak cantik’, tidak bahagia. Ada saja kusut masainya. Hati pun kadang-kadang tidak tenang untuk tinggal di rumah dan inilah yang banyak berlaku pada hari ini. Seterusnya, janganlah dibebani rombongan peminangan dengan berbagai-bagai hantaran yang mahal-mahal. Contohnya, pakaian makanan, buah-buahan, alat solek, beg tangan, kasut, cincin bertunagn, cincin nikah dan cincin hadiah. Memadai dengan sbentuk cincin sahaja. Malah Islam tidak pernah menyusahkan penganutnya dengan berbagai cara demikian. APabila hantaran terlalu tinggi, hilang keberkatan rumah tangga. Harus diingat, yang paling layak dalam menentukan mas kahwin, juga wang hantaran ini ialah diri wanita sendiri, kerana mas kahwin itu memang haknya. Walau bagaimanapun, sekarang semua negeri sudah menetapkan berapa ma kahwin untuk wanita tersebut apabila berkahwin, boleh kita terima, tetapi sekiranya wanita tersebut hendak menetapkan berapa mas kahwinnya kita perlu hormati. Begitulah kehendak syariat. Sebab itulah dalam soal ini, Rasulullah SAW memaklumkan kepada umat Islam bahawa mas kahwin yang paling baik ialah yang terendah. Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: “Bermula yang terbaik perempuan itu ialah yang terlebih murah mas kahwinnya. Sabda Rasulullah SAW lagi yang bermaksud: “Sebesar-besar berkat pernikahan ialah yang paling sedikit mas kahwinnya.” Baginda bersabda lagi yang bermaksud: “Setengah daripada berkat perempuan itu iaitu segera dipersuamikan dan segera rahimnya itu beranak dan murah mas kahwinnya.” Kita patut mengetahui setengah daripada isteri Rasulullah SAW itu hanya sepuluh dirham sahaja; sama nilainya dengan harga batu pengisar tepung atau sebiji tempayan atau sebiji bantal di rumah baginda. Sesetengah daripada para sahabat berkahwin dengan mas kahwin hanya seberat sebiji buah kurma (lebih kurang lima dirham). Manakala Said Ibnu Musayyab menahwinkan anak perempuannya dengan Abu Hurairah berbekalkan mas kahwin sebanyak dua dirham sahaja. Saidina Umar sangat melarang jika ada wali-wali perempuan yang menaikkan mas kahwin anak gadis mereka.

Katanya: “Tiada berkahwin Rasulullah dan tiada mengahwinkan ia anaknya yang perempuan dengan isi kahwin yang lebih daripada empat ratus dirham.” Mas kahwin bukanlah semestinya hanya dengan wang atau emas permata, ayat-ayat al-Quran juga boleh dijadikan mas kahwin. Contohnya, ayat dalam surah Al-Fatihah atau Al-Ikhlas, tidak kiralah seberapa banyak yang dikehendaki. Bagaimanapun, apa yang dinamakan sebagai hantaran tidak wujud dalam Islam. Hantaran itu merupakan adat yang sepatutnya sudah lama ditinggalkan. Ini adalah kerana hantaran itu sebenarnya akan digunakan oleh pihak wanita untuk persiapan majlis perkahwinan. Jika begitu halnya, hantaran tidak patutlah diminta kepada bakal menantunya. Kecuali bakal menantunyahendak member hantaran, boleh kita terima, inilah cantiknya ajaran Islam dan ada hikmahnya. Pada hari pertunangan, hendaklah digalakkan kedua-dua pihak yang bertunang agar memperkuatkan agamanya dan bersikap zuhud (bukan buang dunia, tetapi hati tidak terpaut kepada dunia). Hendaklah bersama-sama berazam di atas satu dasar hidup iaitu qanaah, memadai dengan apa yang telah ada tanpa rasa tamak.

Adab Pertunangan dalam Islam Setiap pasangan yang bertunang w ajib menjaga adab dan akhlak pertunangan dari awal lagi kerana ji ka tidak dipeliharap erkahwinant idak diberkatiA llah SWT. Adapuna dab-adabs emasab ertunanganb olehlah dibahagikan kepada 2 bahagian: 1.

Adab dalam bergaul Maksud bergaul disini ialah pertemuan, perbincangan atau hubungan secara langsung antara si lelaki atau perempuan dengan tunang masing-masing a)

Elakkan pertemuan yang sia-sia semasa dalam pertunangan. Islam tidak memberikan kebebasan bergaul selepas meminang kerana menjaga maruah wanita dan lelaki itu sendiri. Pertunangan yang diikat bukanlah sebagai tiket yang membolehkan seseorang lelaki itu untuk bergaul atau berdua-duaan dengan bakal isterinya. Kerana itu mereka tidak boleh berdua-duaa dan ke mana saja mereka hendak pergi perlu ada peneman, termasuklah tidak boleh naik motor ataupun kereta bersama-sama. Ingatlah hadis Rasulullah SAW: “Tidaklah seorang lelaki itu bersendirian dengan wanita yang bukan mahramnya, melainkan ada orang yang ketiga iaitu syaitan.”

b)

Lelaki hanya diberi peluang melihat dan meneliti wanita itu dalam ruangan ‘aman’ dari fitnah social dan kerosakkan maruah. Walau bagaimanapun, pertemuan dengan tunang diharuskan sekiranya mengikut syariat. Lelaki hanya dibolehkan melihat pada muka dan kedua-dua pergelangan tangannya sahaja dan tidak melihat bahagian aurat tunangnya.

c)

Perbualan hanya sekadar menanya khabar, member maklumat, memerima maklumat dan member nasihat. Perbualan atau perbincangan itu mestilah sunyi daripada unsure

nafsu syahwat. Hendaklah dijauhi pertemuan yang tidak berfaedah untuk memadu kasih, benjanji mesra, bercinta asmara dan sebagainya sangat dilarang atau haram hukumnya. Bagi pihak perempuan, janganlah bercakap terlalu manja dan menggoda. Sementara bagi lelaki janganlah merasakan bahawa telah mendapat milik mutlak dan boleh melakukan apa saja. Pergaulan yang melibatkan tunang sama ada waktu melihat atau berbual hendaklah bersama muhrimnya. Dilarang yang melihat tunang secara sendiri. Rasulullah SAW telah meningatkan kita menerusi sabda bagainda yang bermaksud: “Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan Hari Kemudian, maka janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab nanti yang jadi orang ketiganya syaitan.” Rasulullah SAW bersabda lagi yang bermaksud: “Tidak boleh sekalli-kali seorang lelaki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, kerana orang ketiganya nanti adalah syaitan, kecuali kalau ada mahramnya.”

2. Tempoh pertunangan Pada hakikatnya Islam menggalakkan agar tempoh pertunangan itu disingkatkan, ianya nagi mengelakkam daripada berlakunya sebarang fitnah atau berlaku perkara-perkara yang tidak didugai dan ulama’ sendiri tidak menetapkan tempoh tertentu perkahwinanpertunangan, cume rata-rata mereka lebih cenderung untuk memendekkan tempoh. Disini saya sendiri cenderung kepada mempercepatkan perkahwinan kerana: Dalam tempoh pertunangan yang lama, dibimbangi tersingkapnya keaiban pasangan, atau peluang menghitung-hitung kekurangan pasangan, yang boleh membawa putusnya hubungan pertunangan. Kemungkinan juga ada orang yang menaruh perasaan dengki kepada pasangan dan menabur fitnah yang tidak ada benarnya yang boleh membawa pada pasangan itu sendiri. Tempoh yang lama mungkin member peluang kepada orang lain yang mungkin ada menaruh hati kepada salah satup pasangan dan berusaha untuk memisahkan antara keduanya. Dibimbangi kedua pasangan banyak melakukan dosa disepanjang tempoh petunangan dengan kerapnya mengadakan pertemuan yang tak syarie. Susah untuk menjaga batas aurat dan syarat ditemani oleh Muhram.

Kata kafaah berarti musaawah dan mumaatsalah artinya sama dan seimbang. Kata “khiyaarah” berarti pilihan. Yang diutamakan dalam nikah ini ialah agar calon suami dan calon isteri sama-sama beragama islam. Pada waktu sekarang banyak terlihat dan laporan dari yang bersangkutan bahwa mula-mula dia bersuamikan non isalam yang baru masuk islam atau masih masa muallaf. Tapi setelah nikah dan asyik malahan, sedang anak-anak mereka berkasih sayang, lalu tiba-tiba suami murtad dan kembali ke agama asalnya.

Related Documents

Tunangan
June 2020 5

More Documents from "Cece Aswar"

Bab 1.docx
May 2020 12
Flow Chart.docx
May 2020 15
Asgmet Ommmmmmmmmmm
April 2020 9
Lolos Volunteer.docx
May 2020 15
Bab Iii He.docx
May 2020 7