Tugas Tcn Assessment Bu Yussi.docx

  • Uploaded by: ery suryatin
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Tcn Assessment Bu Yussi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,223
  • Pages: 5
TUGAS

TRANSCULTURAL NURSING ASSESSMENT MODEL MEDELEINE LEININGER TERHADAP BUDAYA KHITAN SUNNA’ SAMA SUKU BAJO SULAWESI TENGGARA

Di Susun Oleh : Nama NPM

: :

Ery Suryatin 220120180004

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2018

JAWABAN SOAL 1 : TRADISI KHITAN SUNNA’ SAMA UNTUK ANAK LAKI-LAKI SUKU BAJO

Kebudayaan dan tradisi Suku Bajo di desa Bangko, Kecamatan Manginti Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang mengkhitan anak laki-laki mereka tanpa bantuan tenaga kesehatan, tradisi khitannya disebut Sunna’ Sama, dan alat yang digunakan untuk mengkhitan adalah alat pahat, dua hansaplast pengganti plester, palu yang terbuat dari kayu, dan balok yang digunakan sebagai alas saat proses khitan. Saat prosesi berlangsung anak laki-laki yang akan di khitan di hadapkan pada pemuka adat untuk dibacakan doa, selain itu selama ritual khitan berlangsung harus dibunyikan pukulan gendang yang tidak boleh berhenti sampai acara khitan selesai, hal ini dipercaya untuk mengurangi rasa sakit saat anak-anak dikhitan, kemudian sebelum dan setelah selesai di khitan anak-anak itupun tidak diberi obat, tapi luka khitan itu cepat sekali sembuh, dan tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun.

Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada Sunrise Model, yaitu : 1.

Faktor Teknologi Suku Bajo sudah mengerti pentingnya khitan bagi kesehatan, dan mereka melakukan khitan atas anak laki-laki mereka, tetapi mereka tetap memegang teguh kebudayaan dengan tetap melakukan tradisi khitan Sunna’ Sama, tidak memakai jasa tenaga medis, dan alat-alat medis.

2.

Faktor Agama dan Falsafah Hidup Awalnya suku Bajo menganut anismisme dan agama Hindu, namun saat ini banyak suku Bajo yang beragama Islam, dan dalam Islam laki-laki harus di khitan, maka merekapun melakukan khitan hanya saja menggunakan tradisi mereka khitan tanpa alat-alat medis.

3.

Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga Suku Bajo memeliliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong, dan sangat menghindari konflik, contohnya saja dalam adat Sunna’ Sama ini kepala adat dengan keikhlasan memberiakan doa kepada anak-anak yang akan di khitan, dan masyarkat yang lain bersama-sama memainkan gendang yang dipercaya dapat mengurangi nyeri saat di khitan.

4.

Nilai-Nilai Budaya Dan Gaya Hidup Suku Bajo masih mempertahankan budaya Khitan Sunna’ Sama ini sampai sekarang, tanpa menggunakan alat-alat medis, karena mereka percaya bahwa tradisi khitan tradisional ini aman bagi mereka.

5.

Faktor Kebijakan Dan Peraturan Yang Berlaku Suku Bajo memberlakukan peraturan tidak boleh mengkhitan anak laki-laki sebelum mereka akil baligh.

6.

Faktor Ekonomi Pendapatan masyarakat suku Bajo masih sangat rendah, dikarenakan rendahnya tengkulat dan penada hasil laut, dan hal ini juga yang mempengaruhi mereka memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan cara tradisional.

7.

Faktor Pendidikan Banyak nelayan yang masih buta hurup, dan banyak diantara mereka hanya mengabdikan diri pada laut, sehingga sedikit sekali yang mengenyam pendidikan. Hal ini juga yang mendasari mereka tetap mempertahankan tradisi khitan sunna’ sama karena minimnya informasi yang mereka dapatkan.

Diagnosa Keperawatan Lintas Budayanya adalah : 1.

Kecemasan menghadapi khitan berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional

2.

Resika tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang tidak memenuhi standar kesehatan

3.

Kurangnya penegetahuan berhubungan dengan keterbatasan pendidikan

4.

Nyeri akut berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional tanpa adanya obat penghilang rasa sakit

5.

Resiko terjadinya trauma psikologis berhubungan dengan ketakutan anak dalam menjalani proses khitan

6.

Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses khitanan yang menggunakan alat tradisional berupa pahat, palu dan balok sebgai alas khitan.

Teknik Transkultural Nursing yang tepat adalah : Cultural Care Accomodation/Negotiation /Negosiasi Budaya, yaitu dengan berdiskusi dengan para tetua atau para pemuka adat dari suku Bajo dan masyarakat suku Bajo, dengan memberikan masukan solusi budaya yang sesuai standar kesehatan, baik dari segi proses, teknik, dan alat-alat yang digunakan dalam proses khitan tanpa menghilangkan tradisi atau budaya mereka yang sudah dipercaya secara turun temurun, jadi diharapkan tidak terjadi hal-hal yang membahayakan kesehatan misalnya infeksi, dan trauma psikologis, tetapi tetap menghormati nilai-nilai dari budaya suku Bajo.

JAWABAN SOAL 2 : 1.

Budaya

kesehatan

di

daerah

yang

bisa

dipertahankan

(Cultural

care

preservation/maintenance/ Mempertahankan budaya) Budaya kesehatan dari suku Sunda, yaitu di daerah pangandaran Ciamis, Jawa Barat ada kebiasaan masyarakatnya yang mengobati batuk yang lama, dan penyakit kronis lainnya dengan minum air tuak bambu. Tuak bambu adalah air yang berasal dari tetesan air di pohon bambu (batang bambu). Budaya ini bisa dipertahankan dengan alasan : air yang dihasilkan dari bambu tersebut memiliki 5,9% mineral dan 18,34% kandungan oksigen di dalamnya. Secara medis kandungan air seperti dalam air bambu tersebut mampu melancarkan proses metabolismedan dengan mudah menggantikan sel tubuh yang hilang, selain itu dapat meregenerasi sel-sel dengan cepat tanpa campuran bahan kimia saat sedang tidur (istirahat). Jadi budaya ini bisa dipertahankan tetapi dengan memenuhi beberapa kriteria yang harus dipenuhi sesuai dengan standar kesehatan, misalnya saat proses pengambilan air tuak bambunya menggunakan cara atau teknik yang steril, dan hygienis. 2. Budaya

kesehatan

di

daerah

yang

di

Negosiasi

(Cultural

Care

Accomodation/Negotiation /Negosiasi Budaya) Kebudayaan dan tradisi Suku Bajo di desa Bangko, Kecamatan Manginti Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang mengkhitan anak laki-laki mereka tanpa bantuan tenaga kesehatan, tradisi khitannya disebut Sunna’ Sama, dan alat yang digunakan untuk mengkhitan adalah alat pahat, dua hansaplast pengganti plester, palu yang terbuat dari kayu, dan balok yang digunakan sebagai alas saat proses khitan. Saat prosesi berlangsung anak laki-laki yang akan di khitan di hadapkan pada pemuka adat untuk dibacakan doa, selain itu selama ritual khitan berlangsung harus dibunyikan pukulan gendang yang tidak boleh berhenti sampai acara khitan selesai, hal ini dipercaya untuk mengurangi rasa sakit saat anak-anak dikhitan, kemudian sebelum dan setelah selesai di khitan anak-anak itupun tidak diberi obat, tapi luka khitan itu cepat sekali sembuh, dan tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun. Budaya ini bisa dinegosiasi dengan alasan : Sebenarnya budaya ini sudah mulai sejalan teknologi, karena dari segi kesehatan mereka sudah sadar tentang pentingnya khitan bagi laki-laki, dan dari segi agama merekapun mematuhi ajaran agama dengan mengkhitan anak laki-laki yang sudah akil baligh, hanya saja cara khitan tradisional mereka tekniknya membahayakan kesehatan, untuk itu budayanya tidak perlu dihilangkan tetapi dinegosiasi dengan budaya kesehatan yaitu dengan cara berdiskusi dengan para tetua atau para pemuka adat dari suku Bajo dan

masyarakat suku Bajo, dengan memberikan masukan solusi budaya yang sesuai standar kesehatan, baik dari segi proses, teknik, dan alat-alat yang digunakan dalam proses khitan tanpa menghilangkan tradisi atau budaya mereka yang sudah dipercaya secara turun temurun, jadi diharapkan tidak terjadi hal-hal yang membahayakan kesehatan misalnya infeksi, dan trauma psikologis, tetapi tetap menghormati nilai-nilai dari budaya suku Bajo. 3.

Budaya kesehatan di daerah yang diganti (Cultural care repartening/reconstruction /Restrukturisasi budaya) Kebudayaan dan tradisi Suku Atoni Meto Nusa Tenggara Timur yang mengkhitan warga laki-laki mereka yang

beranjak dewasa sekitar usia 18 tahun baik sudah menikah

ataupun belum menikah, tanpa bantuan tenaga kesehatan, tradisi khitannya disebut Sifon. Yaitu tradisi khitan tradisional yang alat khitannya dengan menggunakan bambu tajam, kemudian luka khitan di bungkus daun-daunan, yaitu daun Kom yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat di Sumba, yang dipercaya bisa menghentikan perdarahan, Setelah itu dilanjutkan harus melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan pasangannya, atau calon pasangannya, melainkan dengan perempulan lain yang tidak punya pasangan (janda), ataupun perempuan PSK, dengan alasan mempercepat proses penyembuhan, dan dipercaya dapat membuat organ vital laki-laki yang di khitan itu dapat berfungsi dengan baik. Budaya ini harus di retruksi dengan alasan : Banyak sekali melanggar nilai dan norma-norma,serta kesehatan antara lain : 1. Agama : perzinahan yang diharamkan 2. Sosial : hubungan seksual diluar pernikahan memicu perselisihan, selain itu merugikan masa depan bagi perempuan pelaku sifon karena akan diasingkan. 3. Kesehatan : infeksi, penyakit menular seksual (PSM), dan lain-lain.

Related Documents


More Documents from ""