Tugas Pkn Amin

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Pkn Amin as PDF for free.

More details

  • Words: 1,862
  • Pages: 5
KEDAULATAN HUKUM Analisis terhadap pertanyaan mengapa orang mentaati hukum, menggunakan kerangka pikir dari Krabbe dengan teori kedaulatan hukumnya dimana dikatakan bahwa kaidah hukum memperoleh daya mengikatnya karena nilai batinnya atau nilai keadilannya sendiri. Teori kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Sehingga oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Teori kedaulatan hukum pada dasarnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Hal yang paling penting bukanlah negara atau pemerintah, melainkan hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintahlah yang memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya? Hukum bertitik tolak pada perasaan hukum dan mendapatkan otoritasnya dari kesesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus tetap berfungsi untuk mengendalikan kehendak individu itu sendiri yang berdasarkan pada keyakinan hukum bersama. Dalam tataran empiris, terjadinya kesamaan keyakinan hukum merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup dalam masyarakat menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat, sehingga kesamaan hukum merupakan suatu conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarakat. Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma :”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia tidak mengakui kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut, sehingga menurutnya undang-undang seperti ini, seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan oleh karenanya harus dicabut oleh pemerintah. Oleh karenanya menurut Krabbe, keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah hukum, karena kaidah hukum merupakan perumusan kesadaran hukum dari

rakyat, sehingga berdasarkan hal tersebut masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Krabbe telah melakukan suatu kesalahan (ad absurdum). Dalam keadaan seperti itu, bagaimana nasib kepastian hukum serta perlindungan masyarakat terhadap kesewenangwenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasib kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) dalam melakukan tugasnya jika menurut pertimbangan mereka, undang-undang (termasuk undang-undang dasar) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak. Kelemahan teori Krabbe tersebut terjadi oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum. Sehingga jika teori Krabbe dilaksanakan secara konsekuen dalam implementasinya, dipastikan suatu ketika akan terjadi suatu keadaan dimana seluruh hukum akan terhapus dengan alasan sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang. Jika suatu tatanan masyarakat berkeinginan untuk menjadi lebih daripada hanya sekedar tatanan kekuasaan belaka, maka konsekuensinya ia harus memenuhi hal-hal yaitu merupakan suatu tatanan hukum serta harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil. Didalam kedua hal tersebut, disitulah letaknya otoritas hukum yang menyebabkan masyarakat mentaati hukum. Pada hakekatnya, hukum kebiasaan, yaitu yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat adalah hukum yang dapat memenuhi hal tersebut di atas. Hal ini sesuai pula dengan ucapan Paulus, seorang ahli hukum Romawi, yang mengatakan bahwa penjelmaan hukum terbaik adalah kebiasaan (optima iuris interpres consuetudo). Sejak awal, hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang menjadi rambu-rambu antara perbuatan yang benar dan yang salah secara sempurna. Hukum yang bekerja terlalu kuat misalnya justru malah menimbulkan ketidakadilan (summum ius summa iniuria). Kenyataan seperti itu memperlihatkan adanya pertentangan antara rambu-rambu yang dibuat oleh hukum di satu pihak dan fleksibilitas yang dituntut oleh hubungan sosial di pihak lain. Gambaran mengenai kehidupan hukum yang seperti itu, akan menjadi jelas jika dalam mengamatinya kita menggunakan kacamata hukum dan masyarakat, yaitu yang melihat kehidupan hukum tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari peraturan, tetapi juga dari kebijakan (policy) pelaksanaannya serta tingkah laku masyarakat.

PEMISAHAN /PEMBAGIAN KEKUASAAN Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang

(eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power). Montesquieu adalah hakim Perancis yang melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahan kekuasaan saat ia melihat praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa materi muatan hampir setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris, walaupun Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis. Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu: 1). Kekuasaan perundang-undangan 2). Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan 3). Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok. John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undangundang. Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undangundang. Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara. Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang menyatakan dalam suatu negara ada 4 (empat) macam kekuasaan yaitu: 1). Pemerintahan (Bestuur), 2).Perundang-undangan, 3).Kepolisian dan, 4).Pengadilan Van Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu: 1).Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika diperlukan dengan tindakan memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan 2).Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa. Apabila dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan menuntut perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan kepolisian dan

pengadilan di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan kejaksaan terpisah dari kekuasaan kepolisian dan pengadilan. Kedaulatan Rakyat atau demokrasi adalah sebuah kata magis yang mampu membius berjuta manusia di belahan dunia manapun dengan tanpa mempedulikan sekat sekat konvensional. Sepertinya kata itu menjadi sejenius obat mujarab bagi rakyat, apalagi tertindas. Semua perjuangan demi perbaikan nasib rakyat selalu mengatasnamakannya dan pada dasarnya adalah sebuah upaya mengejawantahkan kata itu kedalam keseharian. Tetapi disisi lain ada usaha yang menghalangi, terutama dari pihak yang berkuasa, dan tak jarang ditebus dengan harga yang amat mahal. Sebab seiring dengan menguatnya posisi kata itu maka semakin melemah pula posisi kekuasaan dalam masyarakat. Sangat tampak sekali dalam usaha menjabarkan makna kata itu penuh dengan konflik kepentingan antara pihak yang berkuasa dengan rakyat. Sesungguhnya memperbincangkan konsep kedaulatan rakyat itu adalah berbicara tentang keberadaan jaminan akan hak hak rakyat, baik yang tertuang dalam konstitusi maupun dalam penegakan hukumnya (law enforcement). Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan rakyat tentunya akan melahirkan sistem kekuasaan yang akan menguntungkan mayoritas. Rakyat-lah yang menjadi sumber dan soko guru utama kekuasaan. Negara sebagai lembaga baru ada setelah rakyat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu membuat satu perikatan atau kontrak sosial. Dalam hal kepengurusan negara, rakyat kemudian mendelegasikan kepada institusi pemerintah. Pemerintahan satu negara baru ada kemudian setelah rakyat membentuknya lewat mekanisme ketatanegaran. Dari proses perkembangan negara dikemudian hari ternyata banyak ditemukan fakta adanya pemutar balikan makna hubungan antara negara dengan rakyat/masyarakat sipil. Seringkali pemerintah dengan mengatasnamakan negara membuat satu kebijakan yang justru merugikan rakyat. Hak rakyat diabaikan bahkan tidak jarang tidak diakui keberadaannya dalam sistem konstitusi.. Sampai sejauh mana ancaman terhadap hak hak rakyat tergantung atas sejauh mana konstitusi menjamin hak tersebut dan membatasi kekuasaan dalam bertindak. Sebab perbuatan penyalahgunaan kekuasaan adalah kecenderungan umum yang berlaku bagi semua tipe kekuasaan. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti-lah disalahgunakan. Kesadaran akan bahayanya jika kekuasaan tidak terbatas/absolutisme itulah motiv awal yang memunculkan konsep kedaulatan rakyat. Jika kekuasaan tidak dibatasi pastilah terjadi pelanggaran hak, penyalahgunaan kekuasaan dan kehancuran negara. Contoh kasus absolutisme yang berakhir dengan kehancuran terjadi pada tahun 1793 di Perancis. Era pemerintahan Raja Louis XVI adalah suatu jaman dimana kemiskinan, kelaparan, dan pajak yang tinggi bisa berdampingan dengan kenyataan tentang Raja korup yang hidup dalam istana mewah. Ratu Maria Antoinette yang gemar mengadakan pesta yang dibiayai kas negara. Pada situsi seperti itu, yang namanya rakyat hanyalah sekedar pelengkap penderita. Kebijakan publik diputuskan sepihak tanpa mengindahkan kebutuhan rakyat. Parlemen diadakan hanyalah untuk melegitimasikan segala keinginan penguasa, yang seringkali kelewat batas dan irrasional. Aku adalah negara dan negara adalah aku, ujar raja.

Lama kelamaan situasi yang mencekik seperti itu pastilah tak tertahankan oleh siapapun. Segelintir bangsawan dan mayoritas rakyat ingin perubahan. Titik kulminasinya saat rakyat bergerak ingin membatasi kekuasaan dengan menarik garis lurus tepat lewat leher raja, ratu beserta para bangsawannya. Kesemuanya mati dengan leher terpenggal di tiang guillotine. Saat kepala raja jatuh masuk kedalam keranjang algojo, dengan gemetar rakyat menyaksikan bahwa yang namanya 'Putera Matahari' itu juga manusia biasa, terdiri darah dan daging yang sama dengan orang kebanyakan. Kekuasaannya bukanlah sakral berasal dari sorga, melainkan tergantung pada kemauan rakyat. Kemauan atau kehendak rakyat ini kemudian oleh para pemikir diformulasikan kedalam tataran filosofis teoritik dengan diberi nama teori kedaulatan rakyat. Gema dari lonceng jaman baru inilah yang kemudian dijadikan azas kehidupan bernegara modern dan diteriakkan dengan lantang di mimbar parlemen,' Kami berkumpul disini atas nama rakyat dan bubar atas perintah rakyat'. Kini, konsep kedaulatan rakyat sebagai ide tentang pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat, sudah diterima dan menjadi kecenderungan umum. Cita pembatasan kekuasaan negara melalui penerapan secara nyata gagasan demokrasi dalam praktek ketatanegaraan diikuti dengan konsekuensi adanya dua prinsip dasar yakni kesamaan dan kebebasan politik yang dijamin secara tegas oleh hukum positif, khususnya peraturan perundangan tentang jaminan hak-hak rakyat. Dalam bukunya An Introductions to democratic theory, Henry Mayo menjelaskan bahwa yang namanya sistem demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan pemilihan yang berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana kebebasan politik. Secara kelembagaan kemudian diterjemahkan dalam bentuk lembaga pemilihan umum, partai politik, dan parlemen. Secara berkala diadakan pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat pemilih, aspirasi dan sikap politik rakyat dinyatakan secara tegas lewat partai politik guna memilih para wakil yang akan mengawasi jalannya pemerintahan melalui lembaga parlemen. Prinsip prinsip pokok yang ada dalam sistem demokrasi ini kemudian mewabah , terutama era pasca perang dunia II, ke negara negara baru di wilayah Asia dan Afrika dan Indonesia termasuk didalamnya.

Related Documents

Tugas Pkn Amin
May 2020 30
Tugas Pkn
October 2019 62
Pkn-tugas
May 2020 52
Tugas Pkn
May 2020 41
Tugas Pkn
June 2020 38
Tugas Pkn Dihajar.docx
December 2019 43