Rabu, 05 Des 2018 13:45 WIB
Impor Tumbuh Lebih Tinggi dari Ekspor, Darmin: Industrinya Tak Kuat Trio Hamdani – detikFinance
Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyebut pertumbuhan ekspor Indonesia belum bisa mengimbangi pertumbuhan impor yang lebih tinggi. Saat ini rata-rata impor tumbuh 22%, ekspor cuma tumbuh 7-8%. "Ekspor kita sekarang pertumbuhannya paling 7-8%, impornya 22%. Tewas ya kan. Maksud saya ini nggak seimbang, kenapa? karena industrinya tidak kuat," kata Darmin di Seminar 'Indonesia Economic Outlook 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Darmin menyadari bahwa basis industri dalam negeri masih lemah sehingga pertumbuhan ekspor lambat, serta pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih bergantung impor. Dia menjelaskan, biang kerok yang membuat jomplangnya impor dengan ekspor adalah impor bahan baku barang setengah jadi. Baru kemudian disusul barang modal dan barang konsumsi. "Kita lihat struktur impor kita kira kira 70-75% bahan baku barang setengah jadi, 15% barang modal, 10% barang konsumsi," jelasnya. Jika dirincikan lagi ada 3 komoditas terbesar yang impornya paling tinggi. Pertama adalah besi dan baja, mulai dari hulu sampai hilir. Kedua adalah kelompok petrokimia, mulai dari PVC, plastik, poliester, hingga obat-obatan. Ketiga adalah basic chemical. Untuk bisa menyeimbangkan antara ekspor dan impor, menurut Darmin industri bahan baku di dalam negeri harus digenjot. "Kalau mau survive, bahan baku yang harus didorong," tambahnya.
Ekspor Sawit Agustus 3,3 Juta Ton, Tertinggi Sepanjang 2018 Penulis: Michael Reily Editor: Pingit Aria Senin 1/10/2018, 19.03 WIB
Harga rata-rata minyak sawit pada Agustus 2018 menyentuh US$ 557.50 per metrik ton, terendah sejak Januari 2016.
ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat volume ekspor minyak sawit dan turunannya pada Agustus 2018 mencapai 3,3 juta ton, angka tertinggi sepanjang tahun ini. Sebelumnya, pada Juli 2018, ekspor sawit tercatat sebanyak 3,22 juta ton. Hanya, Gapki mencatat kinerja ekspor sawit dan produk turunannya secara tahunan pada Januari – Agustus 2018 turun 2% dibanding tahun lalu. Total kumulatif, ekspor minyak sawit sebesar 20,43 juta di Januari – Agustus 2017 turun menjadi 19,96 juta ton pada periode yang sama tahun 2018. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyatakan, harga yang rendah dimanfaatkan oleh para importir untuk membeli minyak sawit dalam jumlah besar. “Permintaan pasar global yang tinggi akan minyak sawit masih belum mampu mengerek harga,” kata Mukti dalam keterangan resmi, Senin (1/10). Pada Agustus, ekspor tertinggi ke India sebesar 823 ribu ton, naik 26% dibandingkan dengan bulan Juli. Mukti menyebut volume tersebut merupakan volume tertinggi sepanjang sejarah perdagangan minyak sawit bulanan Indonesia dengan India. Ia menyebut, perselisihan dagang antara India dan Amerika Serikat (AS) memberikan peluang sawit untuk memasok minyak nabati pengganti dari minyak kedelai. India telah meningkatkan
tarif bea masuk impor crude and refined products kedelai, bunga matahari, kacang tanah dan rapeseed masing-masing 35% untuk refined products dan 45% untuk crude grades. (Baca : Seluruh Pelaku Usaha Sawit Ditargetkan Bersertifikat ISPO di 2020) Selain itu, peningkatan ekspor sawit dan produk turunannya ke Tiongkok juga naik 26%, AS naik 64%, Afrika meningkat 19%, dan Pakistan hanya terdorong tipis 7%. Sebaliknya, penurunan ekspor terjadi ke Uni Eropa sebesar 10%. “Penurunan permintaan oleh Negara Uni Eropa. Begitu juga ekspor ke Bangladesh merosot 62% karena masih tingginya stok minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. “Bangladesh turun drastis karena stok menumpuk masih menumpuk,” ujar Mukti. Mukti menyampaikan produksi sepanjang bulan Agustus 2018 mencapai 4,06 juta ton, turun sekitar 5% dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 4,28 juta ton. Alasannya, faktor iklim dan pola produksi bulanan juga kemungkinan disebabkan petani tidak memanen dengan maksimal karena harga yang rendah. Secara tahunan, kinerja produksi Januari – Agustus 2018 mencapai 30,67 juta ton, melonjak sebesar 19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 25,85 juta ton. Stok nasional juga masih cukup tinggi sehingga di beberapa tempat mempengaruhi perdagangan minyak sawit atau tandan buah segar. (Baca juga: Sisi Positif Perang Dagang, Ekspor Minyak Sawit Juli Melejit) Dampaknya, sepanjang Agustus 2018 harga bergerak di kisaran US$ 542.50 hingga US$ 577.50 per metrik ton, dengan harga rata-rata US$ 557.50 per metrik ton. “Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016 lalu,” kata Mukti. Harga sawit global terus tertekan karena harga minyak nabati lain khususnya kedelai dan stok minyak sawit cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia. Gapki mengungkapkan, tingginya ekspor produk minyak sawit dan implementasi kewajiban B20 belum mampu mengurangi penurunan stok minyak sawit secara signifikan di dalam negeri. “Pemerintah diharapkan dapat mengakselerasi implementasi perluasan B20 terhadap non-PSO yang diyakini dapat menyerap sawit di dalam negeri dalam jumlah signifikan jika implementasi berjalan sesuai dengan rencana,” ujar Mukti. Reporter: Michael Reily