Tugas Liburan Lebaran.docx

  • Uploaded by: Ilman Darmawan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Liburan Lebaran.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,858
  • Pages: 9
Tugas Liburan Ramadhan dan Syawal Kandungan Surat Al- ‘Araf: 204 dan Ar Ra’d: 28

Disusun oleh: Atika Rachmadianti IX Hafshoh binti Umar/ 05

SMPIT Bina Amal 2015

A. Kandungan Surah Al- ‘Araf: 204 Allah Berfirman: َ‫ست َ ِمعُوا لَهُ َوأ َ ْن ِصت ُوا لَعَلَّ ُك ْم ت ُْر َح ُمون‬ ْ ‫ئ ا ْلقُ ْرآنُ َفا‬ َ ‫َو ِإذا قُ ِر‬ “Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. AlA`râf [7]: 204). Sekilas,

ayat

ini memerintahkan

untuk mendengarkan

dan

memerhatikan bacaan Alquran. Hal ini berdasarkan pada kata ‫ ا ْست َِمعُوا‬dan ‫صتُوا‬ ِ ‫ أ َ ْن‬dengan menggunakan fi`l amr (kata perintah). Namun, ulama berbeda pendapat tentang ketegasan, kondisi dan objek perintah dalam ayat tersebut. Perbedaan itu dapat disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut: 1. Banyak ulama memahami ayat di atas secara khusus, yakni mengaitkannya dengan asbâb an-nuzûl. Dalam hal ini, ada dua kumpulan riwayat yang menjelaskan tentang sebab turunnya. Pertama, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat. Artinya, ketika imam membaca ayat Alquran, makmum harus diam dan mendengarkan. Imam as-Suyûthi (849-911 H) dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsûr fî atTafsîr bi al-Ma’tsûr, menyebukan banyak riwayat menjelaskan hal ini, diantaranya: ْ َ‫ نَزَ ل‬:َ‫ قَال‬،‫صتُوا‬ ‫ َو ُه ْم‬،‫ص َوات‬ ْ َ ‫ت فِي َر ْفعِ األ‬ ِ ‫ َو ِإذَا قُ ِرى َء القُ ْرآنُ فَا ْست َِمعُوا لَهُ َوأ َ ْن‬:‫يرة فِي قَو ِله‬ َ ‫َع ْن أ َ ِبي ه َُر‬ .‫صالَة‬ ُ ‫ف َر‬ َّ ‫سو ِل هللا صلى هللا عليه وسلم ِفي ال‬ َ ‫خ َْل‬ “Dari Abû Hurairah, beliau berkata mengenai ayat, “Apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf [7]: 204), ayat ini turun ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat. Hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarîr, Ibnu Abî Hâtim, alBaihaqî, dan Ibnu `Asâkir. Imam Ahmad menerangkan bahwa umat Islam sepakat tentang surat al-A`râf ayat 204 ini berkenaan dengan bacaan shalat. Bahkan Ibnu

Abbâs pernah ditanya mengenai ayat tersebut, apakah ayat ini dipahami secara umum, beliau menjawab bahwa ayat ini khusus dalam shalat wajib. Kedua, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan shalat dan bacaan khatib dalam khutbah jumat dan atau khutbah `idul fitri dan adha. Riwayat yang menjelaskan hal ini adalah: ْ َ‫ نَزَ ل‬:َ‫ قَال‬،‫صتُوا‬ ‫ف‬ ْ َ ‫ت ِفي َر ْفعِ األ‬ ِ ‫ َو ِإذَا قُ ِرى َء القُ ْرآنُ فَا ْست َِمعُوا لَه َوأ َ ْن‬:‫َع ْن اب ِْن َعبَّاس فِي قَو ِله‬ َ ‫ص َوات خ َْل‬ ْ ‫ َوفِي ال ُخ‬،‫صالَة‬ ‫ َم ْن ت َ َكلّّّ َّ َم يَ ْو َم اْل ُج ُمعَ ِة‬:َ‫ َوقَال‬،ٌ‫صالَة‬ ُ ‫َر‬ َّ ‫سو ِل هللا صلى هللا عليه وسلم فِي ال‬ َ ‫طبَ ِة ِألَنَّ َها‬ ُ ‫َواْ ِإل َما ُم يَ ْخ‬ .ُ‫صالَة َ لَه‬ َ َ‫طبُ فَال‬ “Dari Ibnu Abbâs, beliau berkomentar tentang ayat, “Apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf [7]: 204), ayat ini turun ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat dan khutbah, karena khutbah adalah shalat. Nabi bersabda, “Siapa yang berbicara pada hari Jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka tidak ada shalat baginya.” Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi. Pendapat ini diusung oleh Mujahid, namun menurut Imam Ibn al`Arabi, pendapat ini lemah, karena membaca Alquran dalam khutbah sangat sedikit, sedangkan perintah untuk diam dan mendengarkan dari mulai awal khutbah sampai akhirnya. Imam as-Samarqandî menjelaskan bahwa Mujahid berpendapat, ayat tersebut bukan hanya berkenaan dengan khutbah saja, tapi juga berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat. Bahkan jelas bahwa Mujahid berpendapat boleh berbicara ketika orang membaca Alquran di luar shalat. 2. Kumpulan ulama al-Azhar yang tergabung dalam penulisan Tafsîr al-Wasîth menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi orang yang ada dalam suatu halaqah Alquran untuk diam dan mendengarkan bacaan Alquran. Oleh pengarang tafsir, ayat ini dimaknai secara khusus walau tanpa ada penjelasan apa yang mengkhususkannya. Namun demikian, makna ini cukup bagus untuk diikut, karena tidak wajar jika Alquran

dibacakan, orang yang ada dalam halaqah tersebut sibuk dengan urusan yang lain. Muhammad Amin al-Urami al-Harari menjelaskan bahwa sangat dibenci (makrûh syadîdah) orang yang tidak mendengarkan bacaan Alquran pada halaqah yang mana Alquran dibacakan. Lebih tegas beliau menambahkan bahwa tidak boleh membaca Alquran pada kumpulan orang yang tidak mau mendengarkannya. 3. Sementara ulama memahami ayat di atas secara umum. Artinya, dalam kondisi apa pun, kaum muslimin dianjurkan untuk mendengarkan dan diam ketika Alquran dibacakan. Hal ini dipahami dari kata ‫( إذَا‬apabila) dan ‫ئ‬ َ ‫( قُ ِر‬dibacakan), yakni fi`il mâdhî majhûl. Maknanya, dalam kondisi apa pun dan siapa pun yang membaca Alquran, dianjurkan untuk mendengarkannya dan diam merenunginya. Sebuah kaidah tafsir mengatakan: .‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬ “Yang menjadi `ibrah adalah keumuman lafalnya, bukan kekhususan sebab turunnya.” Dalam footnote terjemahan Alquran Departemen Agama RI dijelaskan, “Jika dibacakan Alquran, kita diwajibkan mendengarkan dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.” Imam Fakhruddîn ar-Râzi menjelaskan bahwa pendapat ini dianut oleh al-Hasan dan Ahli Zhahir. Dari pendapat ini, wajib bagi siapa pun yang mendengar bacaan Alquran untuk mendengarnya dan diam, termasuk orang yang berada dalam perjalanan atau dalam proses pendidikan. Hal yang sama juga dipertegas oleh al-Qâsimi dalam tafsirnya Mahâsin at-Ta’wîl. Beliau menambahkan pendapat ini juga dianut oleh Abû Muslim al-Ashfahâni. Namun, tidak sedikit ulama yang berpendapar demikian, ayat tersebut berlaku umum, tapi mereka menjelaskan bahwa perintah pada kata ‫ ا ْست َِمعُوا‬dan ‫صتُوا‬ ِ ‫ أ َ ْن‬tidak tegas, sehingga hukumnya tidak sampai wajib,

hanya sekedar anjuran. Karena, jika diwajibkan pastilah perintah tersebut sulit untuk dijalankan dan membawa pada masyaqqah dalam hukum Islam, padahal Islam adalah agama yang mudah. Berkenaan dengan penjelasan ini, Imam Muhammad ath-Thâhir Ibn `Âsyûr menjelaskan bahwa tidak ada satu orang pun yang mewajibkan bagi seseorang yang sibuk

dengan

pekerjaannya

untuk

mendengarkan

Alquran

yang

dibacakan. Ini juga dipertegas oleh Quraish Shihab, beliau menjelaskan bahwa ulama sepakat memahami perintah tersebut bukan dalam arti mengharuskan setiap yang mendengar ayat Alquran harus benar-benar tekun

mendengarnya.

Betapapun

penghormatan

kepada

Alquran

mengharuskan kita mendengarnya kapan dan di mana saja ia dibacakan, sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dihadapi dan dalam keadaan yang tidak menyulitkan atau memberatkan. 4. Selain itu, ada juga ulama yang menganggap ayat tersebut khusus buat orang kafir. Pemahaman seperti ini dapat terjelasakan dari ilmu

manâsabât

(korelasi)

antarayat.

Imam

Fakhruddîn

ar-Râzî

menjelaskan bahwa besar kemungkinan ayat tersebut ditujukan kepada orang kafir. Hal ini dapat dibuktikan dari ayat sebelumnya, yakni ayat 203, yang berbicara tentang orang kafir yang meminta kepada Nabi Muhammad untuk mendatangkan mukjizat. Lalu Nabi menjelaskan bahwa dia hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya berupa Alquran, maka ketika Alquran dibacakan, diam dan dengarkanlah baik-baik, supaya kamu tahu bahwa Alquran itu sendiri adalah mukjizat dari Allah SWT. Pada ayat 203 Allah berfirman: ‫ُدى‬ َّ َ‫َوإِذا لَ ْم تَأْتِ ِه ْم ِبآيَ ٍة قالُوا لَ ْو ال اجْ تَبَ ْيتَها قُ ْل إِنَّما أَتَّبِ ُع ما يُوحى إِل‬ ً ‫ي ِم ْن َربِي هذا بَصائِ ُر ِم ْن َربِ ُك ْم َوه‬ َ‫َو َرحْ َمةٌ ِلقَ ْو ٍم يُ ْؤ ِمنُون‬ “Dan apabila kamu tidak membawa suatu mukjizat kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri mukjizat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Alquran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari

Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. AlA`râf [7]: 203). Kata ‫ آية‬di sini diterjemahkan oleh Imam Fakhruddîn ar-Râzî sebagai mukjizat, yang tidak menutup kemungkinan bermakna ayat Alquran, yang konon adalah mukjizat itu sendiri. Imam Fakhruddîn ar-Râzî ingin menegaskan bahwa antara ayat 203 dan ayat 204 memiliki hubungan yang sangat erat. Jika dipahami ayat 204 ini dengan tiga pemahanan di atas, menurut beliau, susunan ayat Alquran akan menjadi kacau, dan hal ini tidak layak buat firman Allah Yang Mahasuci. Jika dilihat dari munâsabât (korelasi) ayat, penafsiran seperti ini sangat dapat diterima. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Imam Muhammad ath-Thâhir Ibn `Âsyûr bahwa ayat tersebut sangat erat kaitannya dengan ayat sebelumnya, jadi ayat tersebut ditujukan kepada orang kafir. Namun, beliau tidak menutup kemungkinan bahwa ayat ini juga ditujukan kepada orang Islam. Keempat pendapat di atas tidaklah saling bertentangan, tapi saling melengkapi dan menguatkan adab kita kepada Alquran. Oleh karena tidak saling bertentangan, maka yang mana saja sah untuk dijadikan panutan, namun yang lebih baik adalah menggabung semua pendapat di atas.

Selain itu, dari ayat 204 surat al-A`râf ini juga menerangkan bahwa orang yang diam dan mendengarkan bacaan Alquran akan mendapat Rahmat dari Allah SWT. Di penghujung ayat, Allah berfirman, “agar kamu mendapat rahmat.” Banyak hadis Nabi saw yang menjelaskan fadhilah mendengarkan bacaan Alquran. Diantaranya, Nabi bersabda: ٌ‫سنَة‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ أ َ َّن َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّللا تَعَالَى ُك ِت‬ ِ ‫سلَّ َم قَا َل َمن ا ْست َ َم َع إِلَى آيَ ٍة ِم ْن ِكت َا‬ َ ‫ب لَهُ َح‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ ْ ‫ضا َعفَةٌ َو َم ْن ت ََالهَا كَان‬ .‫ورا يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬ ً ُ‫َت لَهُ ن‬ َ ‫ُم‬ “Dari Abû Hurairah, Rasul saw bersabda, “Siapa yang mendengar bacaan ayat Alquran, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang

berlipat ganda. Dan siapa yang membaca ayat Alquran, baginya cahaya di hari Kiamat.” (HR. Ahmad).

B. Kandungan Surat Ar- Ra’d: 28

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Pada ayat ke-28 ini, Allah Swt berfirman bahwa para pencari kebenaran yang akan memperoleh hidayah adalah mereka yang setelah keimanan memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa. Sebab mengingat Allah membuat hati tenteram. Ketenangan mengingat Allah adalah ketenangan hakiki yang tidak ada tandingannya.

Mengingat Allah yang dimaksudkan dalam ayat tadi selain menyebutnya lewat lisan dalam shalat dan doa, juga mengingat-Nya dalam

semua

menghadapi

kondisi

masalah

dan atau

keadaan,

khususnya

berhadapan

dengan

kala

seseorang

perbuatan

dosa.

Mengingat kenikmatan dan anugerah Allah akan membuat orang bersyukur.

Sedangkan

mengingat

kekuatan,

kemurahan,

dan

pengampunan Allah akan membuat kita optimis dan memberikan kekuatan dalam menghadapi setiap masalah.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa mereka yang memperoleh ketentraman dengan mengingat Allah adalah orang-orang yang kala mendengar nama Allah merasakan getaran ketundukan di hatinya. Getaran itu muncul karena ia menyadari dengan benar keagungan dan

kebesaran Allah yang tak terbatas. Dalam suratal-Anfal Allah Swt berfirman,"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah yang jika disebut nama Allah bergetar hati mereka." Orang-orang dengan sifat seperti itu ibarat anak-anak yang saleh dan merasa tentram saat berharap kepada kedua orang tuanya. Mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi masalah kehidupan. Meski demikian, mereka tetap menaruh penghormatan besar kepada kedua orang tua dan tidak akan mendurhakai mereka. Imam Ali Zainal Abidin as dalam salah satu doa bulan Ramadhan menyebut zikir sebagai penenang jiwa. Beliau berkata, "Ya Allah, setiap kali aku mengingat kemurahan dan kemuliaan-Mu, aku merasa optimis dan tenang." Di dunia saat ini, manusia menghadapi masalah depresi dan kegundahan jiwa. Kondisi ini muncul karena jauh dari Allah dan zikir. Masalah kejiwaan seperti ini jarang ditemukan di masyarakat yang menjunjung tinggi keimanan dan spiritualitas. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: 1. Mengingat Allah tidak hanya dilakukan lewat lisan. Ketenangan hati diperlukan untuk memperoleh keimanan yang kuat. 2. Manusia saat ini lebih mengagungkan kekayaan dan kekuatan. Akibatnya, ia kehilangan ketenangan dan ketentraman jiwa. Hanya zikrullah yang dapat memberikan ketenteraman jiwa kepada manusia.

Related Documents

Tugas Liburan Topo.xlsx
November 2019 2
Liburan Seru.docx
June 2020 18
Booklet Liburan
August 2019 29

More Documents from "Ayu Gantari"