Tugas Kewarganegaraan Ham.docx

  • Uploaded by: Anjarini Harfina Cahyaningsih
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Kewarganegaraan Ham.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,703
  • Pages: 12
Nama NIM Kelas Prodi Mata Kuliah

: Anjarini Harfina Cahyaningsih : 1813453054 : Tingkat 1. Reguler 2 : DIII Analis Kesehatan : Kewarganegaraan

a. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia 1. Krisis Timor Timur tahun 1999 Dimulai dengan serangan militan anti-kemerdekaan terhadap penduduk, dan meluas menjadi kerusuhan di seluruh Timor Timur, berpusat di ibukota Dili. Kerusuhan meletus setelah mayoritas pemilih referendum Timor Timur memilih kemerdekaan dari Indonesia. Sekitar 1.400 penduduk tewas. Penyelesaian : Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur dilaksanakan berdasarkan mandat Keppres No. 96 Tahun 2001, yakni terhadap peristiwa-peristiwa yang yang terjadi pra dan pasca jajak pendapat; dengan tempos delictie antara bulan April sampai dengan September 1999 dan locus delictie nya meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima. jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan hanya 18 terdakwa dari kalangan militer, polisi maupun sipil. Pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan secara serentak dengan diadilinya semua terdakwa, tetapi secara bertahap. Tahap pertama pengadilan memeriksa 3 (tiga) berkas perkara, dan selanjutnya 9 berkas lainnya secara bersamaan. Hasil pengadilan menujukkan adanya tingkat penurunan keputusan yang cukup drastis dari hasil keputusan di tingkat pertama, banding dan kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama 6 (enam) terdakwa dinyatakan bersalah, tingkat banding 2 (terdakwa) yang dinyatakan bersalah dan tingkat kasasi 2 (dua) terdakwa bersalah. Pada tingkat banding dan kasasi, hanya terdakwa dari kalangan sipil, yakni Abilio Soares (Mantan Gubernur Timor-Timur) dan Eurico Guterres (Mantan Wakil Panglima PPI), yang dinyatakan bersalah, sementara terdakwa dari militer dan kepolisian dibebaskan. Abilio dan Eurico kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK), dan kemudian dalam PK tersebut keduanya dibebaskan. Putusan pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan mengenai kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya korban dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi kepada korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan

kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum maupun korban. 2. Peristiwa Tanjung Priok Peristiwa tanjung priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia. Yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan beberapa dilaporkan disiksa. Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian diberi hukuman panjang. Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di antara mereka yang terbunuh. Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas. Catatan resmi saat ini memberikan total 24 korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus orang tewas.]Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban. Penyelesaian : Kejaksaan Agung dalam proses penyelidikan dan penuntutan akhirnya menetapkan 14 orang terdakwa yang dibagi dalam 4 berkas perkara. Terjadi penurunan jumlah pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dari hasil penyelidikan Komnas HAM dengan jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan. Keseluruhan berkas perkara tersebut kemudian dilakukan persidangan yang dengan sidang pertama dilakukan pada bulan September 2003. Berbeda dengan Persidangan Timor-Timur, persidangan dalam kasus Tanjung Priok dimulai dalam waktu yang relatif berdekatan. Putusan pertama terhadap terdakwa RA Butar-Butar, pengadilan menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat dengan 23 anggota massa tewas dan 53 orang lainnya luka-luka akibat tembakan. RA Butar-Butar juga terbukti telah membiarkan penganiayaan yang dilakukan terhadap anggota massa yang ditahan, dan akhirnya dijatuhi hukuman 10 tahun. berbeda dengan putusan terdakwa Sriyanto, yang atas peristiwa yang sama, pengadilan menyatakan peristiwa yang terjadi bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat.15 Putusan terhadap terdakwa Sutrisno Mascung dkk, yang juga terhadap peristiwa yang sama, pengadilan kembali menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa tersebut, meskipun putusan diambil dengan adanya dissenting opinion. Sementara terdakwa Pranowo, pengadilan menyatakan bahwa terdakwa ini tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari hukuman.

Dalam salah satu pertimbangan pengadilan, pembebasan terdakwa Pranowo tidak lepas dari adanya pertimbangan hakim terkait dengan adanya kesaksian korbankorban yang telah islah dan mencabut kesaksian di pengadilan. Faktor penting dalam putusan tingkat pertama kasus ini adalah adanya putusan yang memberikan kompensasi kepada korban, meski dengan kondisi yang berbeda, mendasarkan putusan adanya kompensasi ini berdasarkan adanya kesalahan terdakwa. Pada pemeriksaan perkara tingkat banding, putusan yang dihasilkan sangat berbeda ditingkat pertama di mana semua terdakwa yang dihukun dinyatakan tidak bersalah dan tidak ada pertimbangan mengenai kompensasi kepada korban. Demikian pula dengan putusan-putusan dalam tingkat kasasi yang menyatakan tidak menerima permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum, meskipun dalam putusan ini ada pendapat yang berbeda dari anggota majelis hakim misalnya dalam perkara dengan terdakwa Pranowo. Selain membebaskan terdakwa, putusan tentang kompensasi kepada para korban juga tidak jelas. 3. Kasus peristiwa Irian/Papua 2000 (Abepura 2000) Abepura 7 Desember 2000, sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh pihak aparat kepolisian ketika itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyimpulkan bahwa tindakan pelanggaran HAM berat ini dilihat karena tindakan aparat kepolisian ketika itu melakukan secara sistematik serta meluas berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang yang ditujukan kepada kelompok sipil. Hal tersebut secara jelas di atur pada pasal 9 UU. No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Peristiwa pelanggaran HAM berat di Abepura Papua berawal dari sebuah peristiwa penyerangan Mapolsek Abepura, pembakaran Ruko di Lingkaran Abepura dan pembunuhan Satpam di Kantor dinas Otonom Kotaraja oleh sekolompok orang. Peristiwa ini kemudian di respon oleh pihak aparat kepolisian dalam hal ini Polisi Resort Jayapura yaitu Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengeluarkan perintah untuk pengejaran dan penyekatan, yang kemudian melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap beberapa orang. Beberapa tempat yang dilakukan pengejaran, penyekatan, penangkapan dan penyiksaan oleh aparat kepolisian yaitu Asrama Ninmin, pemukiman warga asal Kobakma Mamberamo, Asrama Mahasiswa Yapen Waropen, kediaman Masyarakat Suku Lani asal Mamberamo, Pemukiman Masyarakat asal Suku Yali, Anggruk di daerah Skyline Jayapura Selatan, dan Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga. Dari tindakan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan, penahananan yang sewenang-wenang dan penyiksaan terdapat 105 orang korban yang terdiri dari 9 orang perempuan dan 96 orang laki-laki. Akibat yang terburuk dalam penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dua orang meninggal yaitu Orry Doronggi dan

Johni Karunggu. Selain itu Elkius Suhuniap meninggal ditempat karena ditembak oleh aparat kepolisian. Penyelesaian : Kasus Abepura dimulai tanggal 7 Mei 2004 dan dilaksanakan di Makassar. Berdasarkan laporan Komnas HAM, pihak-pihak yang dapat diduga terlibat dalam kasus tersebut dibagi dalam 3 kelompok yaitu pelaku langsung, pengendali operasi dan penanggungjawab kebijakan keamanan dan ketertiban saat itu. Setelah melalui proses penyidikan dan penuntutan, penuntut umum mengajukan surat dakwaan atas dua terdakwa yaitu Brigjend Pol. Johny Wainal Usman, S.H., dan Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing yang didakwa bertanggungjawab secara pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh anak buahnya (pertanggungjawaban komando). Tidak ada satupuan pelaku lapangan yang diajukan ke pengadilan. kelompok korban juga mengajukan gugatan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian yang diajukan melalui mekanisme class action oleh Korban21 pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Abepura. Namun, langkah yang dilakukan korban dan Tim Penasihat Hukumnya untuk mengajukan gugatan penggabungan perkara ganti kerugian korban tidak dikabulkan. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat dan menuntut para terdakwa 10 tahun. Selain itu, meskipun hanya dicantumkan dalam lampiran, penuntut umum juga menyertakan tuntutan ganti kerugian untuk 89 saksi korban senilai 3.421.268.500 rupiah tanpa terkecuali immaterial yaitu stigmatisasi sparatis, trauma berkepanjangan, kehilangan kesempatan pendidikan, ritual keagaaman, mata pencaharian dan pergaulan sosial. Putusan Majelis Hakim Pengadilan HAM Abepura akhirnya memvonis bebas kedua terdakwa. Namun putusan majelis hakim tersebut tidak “mufakat bulat” karena ada salah seorang majelis hakim yang menyatakan dissenting opinion (pendapat hukum yang berbeda) terhadap putusan itu. Terhadap putusan bebas kedua terdakwa ini penuntut umum mengajukan kasasi, yang hingga kini tidak jelas prosesnya. 4. Tragedi Trisakti Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang

penulis sastra dan jurnalis, Anggie Dwi Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta. Penyelesaian : 6 Juni 1998 Tiga minggu setelah tragedi terjadi, pengadilan militer untuk kasus tragedi Trisakti dimulai di Mahkamah Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi Agustri Heryanto dan Letda Polisi Pariyo. 31 Maret 1999 Enam terdakwa kasus Trisakti dihukum 2-10 bulan. 18 Juni 2001 Kasus penembakan terhadap empat mahasisiwa Universitas Trisakti kembali disidangkan di Mahkamah Militer II-08 Jakarta. Persidangan kali ini mengajukan sebelas orang anggota Brimob Polri. 9 Juli 2001 Rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan : 1. F-PDI P, F PDKB, F PKB (3 fraksi ) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F- Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS. 30 Juli 2001 Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II dibentuk oleh Komnas HAM. Januari 2002 Sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti di Pengadilan Militer dihukum 3-6 tahun penjara. 21 Maret 2002 KPP HAM Trisakti menyimpulkan 50 perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. 11 Maret 2003 Kejaksaan Agung menolak melakukan penyidikan untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II karena tidak mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip ne bis in idem). 30 Juni 2005

Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti Semanggi I dan II dibuka kembali. Putusan terhadap hal ini akan dinyatakan dalam rapat paripurna DPR RI, 5 Juli 2005. Dukungan juga datang dari Fraksi-fraksi di DPR, yaitu F PKS, F PDIP dan F PDS. 6 Juli 2005 Rapat Pimpinan DPR gagal mengagendakan pencabutan rekomendasi Pansus DPR 2001 yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Padahal beberapa hari sebelumnya tingkat Komisi III DPR telah bersepakat untuk membatalkan rekomendasi tersebut. 5 Maret 2007 Rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung RI. Dalam rapat ini Kejaksaan Agung tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang. 13 Maret 2007 Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya. April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998. Komisi itu terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen Negara; serta Komnas HAM. 30 Januari 2017 Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus TSS) melalui jalur nonyudisial atau rekonsiliasi. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini.

b.

Kasus pelanggaran HAM Internasional

1. Pelanggaran Israel dan Palestina Israel merupakan wilayah yang terbentuk dari perkumpulan orang-orang Yahudi yang mengungsi ke wilayah Palestina. Orang-orang yahudi diterima baik oleh banga Palestina, namun kemudian membentuk sebuah negara bernama Israel. Israel sedikit demi sekidt mulai memperluas wilayahnya dengan mengusir penduduk asli. Dengan bantuan Amerika Serikat, Israel kini dapat menguasai sebagian besar dari wilayah Palestina, sedangkan palestina kini hanya wilayah kecil yang terletak ditengah negara Israel. Israel selalu melakukan penyerangan langsung terhadap Palestina. Terdapat ribuan warga Palestina menjadi korban. Bahkan relawan yang membantu ikut menjadi korban. Palestina kini berjuang untuk mendapatkan pengakuan PBB sebagai suatu negara, namun diakuinya palestina tidak menghentingkan peperangan tersebut, sampai-sampai banyak hukum internasional yang dilanggaran oleh Israel. namun tidak ada ketegasan PBB. Solusi : PBB menindak tegas Israel terlepas dari AS sebagai penyokong utama. Bila dilihat kembali sejarah pembentukan PBB, Amerika Serikat adalah salah satu pionir dalam pembentukan badan pengayom dunia ini. Namun dalam perjalanannya, legalitas yang diberikan PBB kepada Amerika Serikat untuk menginvasi berbagai daerah di belahan dunia dengan embel-embel ”bantuan” telah melampaui batas. Seharusnya, sebagai badan yang mengayomi negara-negara di dunia, PBB bersikap independen dan tidak memihak. Dengan cara ini, hukum internasional bisa ditegakkan dengan sebenarbenarnya dan tidak menimbulkan kekacauan yang lebih banyak di wilayah Palestina. 2. Kekejaman Rezim Adolf Hitler Adolf Hitler merupakan pimpinan partai NAZI yang memenangkan pemile Jerman. Hitler dianggap orang paling kejam di eranya. Terdapat banyak kasus pelanggaran HAM, sikap otoriternya membawa pada penangkapan dan pengasingan terhadap sejumlah musuh politik yang menentang kebijakannya, melakukan pembunuhan massal dan pengusiran bangsa Yahudi dari Jerman, pembantaian di Cekoslovakia dan Austria untuk menduduki negara tersebut. Adolf Hitler merupakan satu tokoh pemicu perang dunia ke II. Hitler ditemukan meninggal dunia dalam bungker bersama Istrinya karena bunuh diri. Ketika perang di Eropa berakhir pada bulan Mei 1945, Sekutu menghadapi tugas yang menakutkan, yaitu mereformasi masyarakat Jerman dan mendidik kembali penduduknya setelah dua belas tahun pemerintahan Nazi dan diet propaganda kebencian yang terus menerus diberikan. Sekutu memaksa rakyat Jerman menghadapi masa lalunya dengan membongkar kejahatan rezim Nazi melalui tuntutan hukum terhadap para pemimpin negara dan

membasmi sisa-sisa pemujaan Führer dan propaganda Joseph Goebbels. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pengadilan kejahatan perang menyidangkan penyebar propaganda—orang-orang yang menyumbangkan perkataan, gambar, dan tulisannya untuk agresi, penindasan dan pembunuhan massal Nazi. Dua puluh empat orang, mewakili semua sektor politik di bawah pemerintahan Nazi, dituntut atas empat dakwaan: Rencana bersama atau Konspirasi untuk melakukan kejahatan terhadap kedamaian; Kejahatan terhadap kedamaian; Kejahatan perang; Kejahatan kemanusiaan. Di antara para terdakwa terdapat dua orang yang memiliki kaitan dengan pembuatan atau penyebaran propaganda Nazi. Kasus melawan editor Der Stürmer, Julius Streicher, dan pejabat Departemen Penerangan Publik dan Propaganda, Hans Fritzsche, didasarkan sepenuhnya pada tindakan mereka sebagai penyebar propaganda. Tuduhan tersebut meliputi pernyataan bahwa propaganda merupakan “salah satu senjata terkuat konspirator [yang] dari awal…memahami pentingnya menanamkan prinsip dan ideologi Nasionalis Sosialis kepada rakyat Jerman,” dan yang menggunakan propaganda “untuk menyiapkan dasar psikologis untuk tindakan politik dan agresi militer.” Tantangan utama yang dihadapi penuntut dalam kasus melawan Streicher dan Fritzsche adalah membuktikan adanya hubungan sebab-akibat langsung antara aktivitas penyebar propaganda Nazi dan pelaksanaan kebijakan agresi atau pembantaian massal. Sekali lagi, benarkah ada kaitan langsung antara kata dan perbuatan? Dalam dua kasus ini, kasus Streicher terbukti lebih kuat: Der Stürmer yang terbit selama dua puluh dua tahun memberi cukup bukti tentang kebencian Streicher yang fanatik terhadap Yahudi dan dorongan untuk melakukan tindakan terhadap mereka. Pengadilan memutuskan Streicher bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan menyimpulkan bahwa dua puluh tiga artikel yang diterbitkan dalam Der Stürmer antara tahun 1938 dan 1941 menyerukan pemusnahan etnis Yahudi. Bukti utama yang digunakan untuk membangun wawasan Streicher tentang “Solusi Pamungkas” adalah bahwa dia berlangganan koran Yahudi Swiss, Israelitische Wochenblat (Israelite Weekly), yang menerbitkan laporan pembantaian yang dilakukan Nazi. Pengadilan memutuskan bahwa “Hasutan Streicher untuk pembantaian dan pembinasaan saat kaum Yahudi di Timur dibantai dalam kondisi paling mengerikan jelas merupakan penindasan atas dasar politik dan ras yang berkaitan dengan Kejahatan Perang, seperti dijelaskan dalam Piagam, dan merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.” Pengadilan memvonis Streicher dengan hukuman mati di tiang gantungan. Pada tanggal 16 Oktober 1946 pukul 2:12 pagi, dia digiring ke tiang gantungan. Persidangan pasca perang menegaskan peran penting propaganda dalam mempertahankan dukungan publik terhadap rezim Nazi dan dalam membenarkan penindasan terhadap kaum Yahudi dan korban lainnya selama era Holocaust. Penuntutan terhadap penyebar propaganda atas “kejahatan terhadap kemanusiaan” menjadi preseden penting yang diajukan oleh badan-badan dan pengadilan internasional hingga saat ini.

3. Apartheid di Afrika Selatan Setelah Perang Boer selesai, penemuan emas terjadi di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di antara mereka, dan membentuk Persatuan Afrika Selatan. Melalui kebijaksanaan ini, penduduk Afrika Selatan digolongkan menjadi empat golongan besar, yaitu kulit putih atau keturunan Eropa, suku bangsa Bantu (salah satu suku bangsa di Afrika Selatan), orang Asia yang kebanyakan adalah orang Pakistan dan India, dan orang kulit berwarna atau berdarah campuran, diantaranya kelompok Melayu Cape. Pemisahan suku yang dilakukan di Afrika Selatan ini mendapat tanggapan dunia internasional. Bahkan Majelis Umum PBB mengutuk perbuatan itu. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut juga mendapat tanggapan yang serius dari rakyat Afrika Selatan. Di Afrika Selatan sering terjadi gerakangerakan pemberontakan untuk menghapus pemerintahan Apartheid. Gerakan yang terkenal dilakukan oleh kalangan rakyat kulit hitam Afrika Selatan dipelopori oleh African National Congress (ANC) yang berada di bawah pimpinan Nelson Mandela. Pada tahun 1961, ia memimpin aksi rakyat Afrika Selatan untuk tinggal di dalam rumah. Aksi tersebut ditanggapi oleh pemerintah Apartheid dengan menangkap dan kemudian menjebloskan Mandela ke penjara Pretoria tahun 1962. Nelson Mandela baru dibebaskan pada tanggal 11 Februari 1990 pada masa pemerintahan Frederik Willem de Klerk. Pembebasan Nelson Mandela membawa dampak positif terhadap perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam memperjuangkan penghapusan pemerintahan Apartheid. Pada tanggal 2 Mei 1990 untuk pertama kalinya pemerintahan Afrika Selatan mengadakan perundingan dengan ANC untuk membuat undang-undang nonrasial. Pada tanggal 7 Juni 1990 Frederik Willem de Klerk menghapuskan Undang-undang Darurat Negara yang berlaku hampir pada setiap bagian negara Afrika Selatan. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Nelson Mandela dalam menegakkan kekuasaan tanpa adanya rasialisme di Afrika Selatan dan menghapuskan kekuasaan Apartheid memakan waktu yang cukup lama. Nelson Mandela terus berjuang untuk mencapai kebebasan negerinya baik perjuangan yang dilakukan di dalam negerinya, agar mendapat dukungan dari seluruh rakyatnya, maupun perjuangan yang dilakukan di luar negeri, yaitu untuk mendapatkan pengakuan atas perjuanganya dalam menghapuskan kekuasaan Apartheid di Afrika Selatan. Upaya-upaya yang ditempuh oleh Nelson Mandela tersebut mulai menampakkan hasil yang menggembirakan, ketika pemerintah minoritas kulit putih di bawah pimpinan Frederik Willem de Klerk memberikan angin segar kebebasan bagi warga kulit hitam. Pada tanggal 21 Februari 1991, di hadapan sidang parlemen Afrika Selatan, presiden Frederik Willem de Klerk mengumumkan penghapusan semua ketentuan dan eksistensi system politik Apartheid. Pengumuman itu diikuti dengan penghapusan 3 undang-undang yang memperkuat kekuasaan Apartheid, yaitu :

1. Land act, yaitu undang-undang yang melarang orang kulit hitam memiliki "homeland" di luar wilayah tempat tinggal yang telah ditentukan. 2. Group Areas Act, yaitu undang-undang yang mengatur pemisahan tempat tinggal orang-orang kulit putih dan kulit hitam. 3. Population Registration Act, yaitu undang-undang yang mewajibkan semua orang kulit hitam untuk mendaftarkan diri menurut kelompok suku masing-masing. Penghapusan undang-undang tersebut diikuti dengan janji pemerintahan Frederik Willem de Klerk untuk menyelenggarakan pemilu tanpa pembatasan rasial (pemilu multirasial).Garis politik yang ditempuh Presiden De Klerk tersebut menghentak banyak pihak dan membangkitkan semangat perjuangan orang-orang kulit hitam dalam rangka memperjuangkan Afrika Selatan tanpa adanya perbedaan rasialais. Dari banyak sekali "homeland" (bahasa Afrikaans: Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan yang "putih".Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara yang dikelompokkan menjadi TBVC (Transkei, Bophutatswana, Venda, dan Ciskei) dari suku bahasanya. Frederik Willem de Klerk adalah orang yang mengakhiri masa suram ini dengan pidato-pidatonya yang reformatif. Negara Republik Afrika Selatan setelahnya ini akan berdiri dengan pimpinan demokratis Nelson Mandela yang mempunyai nama alias "Rolitlatla" (Pengambil Ranting/pencari gara-gara) 4. Kasus pelanggaran ham berat terhadap etnis rohingya di myanmar Konflik etnis Rohingya ini merupakan konflik yang didasari atas perlakuan diskriminasi karena perbedaan etnis dan agama. Etnis rohingya tidak diakui keberadaannya oleh negara Myanmar dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Kewarganegaraan Myanmar (Burma Citizenship Law 1982), Myanmar menghapus Rohingya dari daftar delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan dan dari 135 kelompok etnis kecil lainnya. President Myanmar Thein Sein melakukan pengusiran pada etnis ini dengan mengatakan dalam forum internasional, bahwa “Rohingya are not our people and we have no duty to protect them”, Presiden Thien Sein menginginkan etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR (United Nations High Comissioner for Refugee) atau ditampung di negara ketiga. Selain itu, Presiden Thein Sein menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai “a threat to national security”. Pernyataan yang dilakukan oleh Presiden Thein Sein berdampak buruk bagi etnis 4 Art 5, Rome Statute of The International Criminal Court 1998 5 rohingya yang tidak hanya berasal dari pemerintah saja tapi juga dari masyarakat Myanmar. Perlakuan buruk yang terjadi terhadap etnis rohingya sebenarnya sudah dialami sejak tahun 1962 pada saat pemerintahan presiden U Nay Win. Presiden U Nay Win membentuk operasi-operasi hingga menyebabkan orang Rohingya terusir paksa dari negara Myanmar. Terusir paksa melalui beberapa tindakan sistematis yang berupa:

Extra Judicial Killing, penangkapan sewenang-wenang, penyitaan property, perkosaan, propaganda anti-rohingya dan anti-muslim, kerja paksa, pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, larangan berpraktek agama. Hingga saat ini perlakuan tersebut masih terjadi dan memuncak ketika pada bulan Juni 2012, dimana penduduk dari kelompok etnis Rakhine menyerang bis dan membunuh 10 orang muslim yang diduga oleh etnis Rakhine sebagai Rohingya yang berada di dalam bis. Tuduhan tersebut dikarenakan 3 orang muslim Rohingya telah memperkosa dan membunuh perempuan yang berasal dari kelompok etnis Rakhine. Permasalahan tersebut meluas hingga menyebabkan ratusan korban kelompok etnis Rohingya, puluhan ribu rumah dibakar, ratusan orang ditangkap dan ditahan secara paksa. Konflik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Myanmar untuk melegalisasi tindakan pemerintah Myanmar mengusir etnis Rohingya dari negara Myanmar. Masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Myanmar merupakan salah satu masalah yang sangat serius di dunia ini, karena bukan hanya berdampak negatif bagi masyarakat yang berada di wilayah Myanmar saja tetapi berdampak pula pada negara yang lain. Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui perundingan yang diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat individu, organisasi internasional dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian.20 Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

DAFTAR PUSTAKA

https://www.merdeka.com/peristiwa/penyelesaian-pelanggaran-ham-bisa-ikuti-model-afrikaselatan-0yjh6ou.html https://id.wikipedia.org/wiki/Apartheid https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok https://id.m.wikipedia.org/wiki/Krisis_Timor_Timur_1999 https://www.kompasiana.com/ishomnia2/5528fc7cf17e618f278b457f/refrendum-timor-timur1999-dan-pelanggaran-ham-vertikal https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/assessing-guilt file:///C:/Users/my%20computer/Downloads/20161220-jurnal-ham-$CXBG9J.pdf https://media.neliti.com/media/publications/132582-ID-menggali-keadilan-untuk-masa-lalubelaja.pdf https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/assessing-guilt http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi00f08c154cfull.pdf

Related Documents


More Documents from "Kevin Kusnadi"