Tugas Keperawatan Paliatif.docx

  • Uploaded by: eka pande
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Keperawatan Paliatif.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,201
  • Pages: 11
Tugas Keperawatan Paliatif

Oleh Kelompok : Dewa Ayu Putu Santriani Dewi

(17.321.2660)

I Gede Angga Putrawan

(17.321.2666)

I Gede Krisnata Subagio

(17.321.2668)

Ni Kadek Candra Ayu Setyawati

(17.321.2682)

Ni Putu Ayu Wismaya Dewi

(17.321.2698)

Ni Putu Merry Tasia Suryawan

(17.321.2702)

Pande Eka Sukma Karisma

(17.321.2706)

Putu Indah Sasmitha

(17.321.2708)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali Program Studi Ilmu Keperawatan Tahun 2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakukan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kualitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Tujuan perawatan paliatif adalah meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai prose normal, tidak mempercepat atau menunda keamatian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual, mengusahakan agar penderita tetap aktif sapai akhir hayatnya dan dan mengusahakanmembantu mengatasi duka cita pada keluarga. Namun masih jarang terdapat perawatan paliatif dirumah sakit berfokus kepada kuratif,. Sedangkan perubahan pada fisik social dan spiritual tidak bisa intervensi . Reaksi emosional tersebut ada lima yaitu denail, anger, bergaining, depression dan acceptance (Kubler-Ross,2003). Undang-undang Kesehatan No. 36/2009 menyapaikan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial dan ekonomis. Sakit adalah gangguan keseimbangan status kesehatan baik secara fisik, mental, intelektual, sosial dan spiritual (Kozier, 2010). Prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia seperti tumor merupakan penyakit urutan keempat (4,3 per mil), sedangkan tumor ganas yang merupakan penyebab kematian semua tumor. Sebagian dari penderita penyakit tumor ganas akan masuk pada stadium lanjut diamana pasien tidak lagi merespon terhadap tindakan kuratif (Riset Kesehatan Dasar, 2009) 1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana pengkajian fisik dan psikologis keperawatan paliatif ? b. Bagaimana tinjauan agama tentang perawatan paliatif ? c. Bagaimana social dan budaya tentang keperawatan paliatif ? 1.3 Tujuan a. Untuk mengetahui pengkajian fisik dan psikologis keperawatan paliatif b. Untuk mengetahui tinjauan agama tentang keperawatan paliatif c. Untuk mengetahui social dan budaya tentang keperawatan paliatif 1.4 Manfaat a. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pengkajian fisik dan psikologis pada keperawatan paliatif

b. Agar mahasiswa mengetahui seberapa jauh tinjauan agama tentang keperawatan paliatif c. Agar mahasiswa mengetahui social dan budaya tentang keperawatan paliatif

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengkajian Fisik dan Psikologis 1. Pengkajian fisik Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan apa bila data subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria (NANDA, 2015).

2.

Psikologis Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.Menurut Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang memberitanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut mengatasinya.

2.2 Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif A. Pengertian Kebutuhan Spiritual Spiritual berasal dari kata latin yaitu “spiritus” yang memiliki arti napas atau angin dan dapat di notasikan bahwa spiritual memberikan kehidupan atau esensi dalam manusia (Kozier dkk, 2008). Spiritual merupakan sesuatu yang di percayai oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan) yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan dan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat (Aziz, 2014 dalam Sasmika, 2016). Definisi lain menyebutkan bahwa spiritual adalah multidimensi yang terdiri dari dimensi vertikal dan dimensi horizontal yang berarti dimensi vertikal menunjukkan hubungan individu dengan Tuhan yang dapat menuntun dan mempengaruhi individu dalam menjalani kehidupan sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya (Rois, 2014 dalam Sasmika, 2016). Spiritual adalah suatu hubungan yang dimiliki individu yang tidak hanya kepada Tuhan saja melainkan kepada individu lain dan lingkungan juga. Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap orang atau manusia dalam mencari arti dan tujuan hidup (Aziz, 2014 dalam Sasmika, 2016). Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, serta menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Ummah, 2016). Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti tujuan, makna, dan kualitas hidup, kebutuhan untuk mencintai, dan dicintai serta untuk memberikan maaf (Potter dan Perry, 2007). B. Karakteristik Spiritual Siregar (2015) menyatakan bahwa pemenuhan spiritual harus berdasarkan 4 karakteristik spiritual itu sendiri. Ada beberapa karakteristik yang dimiliki spiritual, adapaun karakteristik spiritual itu antara lain : a) Hubungan dengan diri sendiri Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri (Young dan Koopsen, 2007). Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya,

diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikiran yang logis.Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung terkena penyakit. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup, yang kadang diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004). b) Hubungan dengan orang lain atau sesama Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian pokok dalam pengalaman manusiawi (Young dan Koopsen, 2007). Young dan Koopsen ( 2007) menyatakan adanyahubungan antara manusia satu dengan lainnya yang pada taraf kesadaran spiritual kita tahu bahwa kita terhubung dengan setiapmanusia. Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputipembagian waktu, ramah dan bersosialisasi, mengasuh anak,mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta meyakinikehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonismencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yangmenimbulkan ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan. c) Hubungan dengan alam Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu dengan lingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian danlingkungan atau

suasana yang tenang. Kedamaian merupakan keadilan, empati, dan kesatuan. Kedamaian membuat individu menjadi tenang dan dapatmeningkatkan status kesehatan (Kozier, et al, 1995). Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier dkk 1995). Kedamaian (peace) merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Puchalski, 2004). d) Hubungan dengan Tuhan Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan.Akan tetapi, dewasa ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas.Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat tuhan mungkin mngambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain (Young dan Koopsen, 2009). Secara umum melibatkan keyakinan dalam hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa, memiliki kekuatan mencipta, dan bersifat ketuhanan, atau memiliki energy yang tidak terbatas. C. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual Menurut Taylor dan Craven dan Hirnle dalam Ummah (2016) menyebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang diantaranya : a) Tahap perkembangan. Spiritual berubungan dengan kekuasaan non material, seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan. b) Sistem hubungan. Sistem pendukung individu seperti keluarga dan pihak yang mempunyai peran penting di dalam hidup (Archiliandi, 2016). Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu. Selain keluarga perawat juga mempunyai peranan penting apabila individu tersebut dirawat di rumah sakit khususnya dalam pemenuhan kebutuhan spiritual yang meliputi thaharah dan shalat. c) Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.

d) Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup yang positif ataupun negatif dapat mempengaruhi spiritual seseorang, peristiwa dalam kehidupan seseorang biasanya dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji keimanannya. e) Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan seseorang. Krisis sering dialami pada saat orang sedang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisik dan emosional. f) Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dari sistem dukungan sosial. Akibatnya, kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, diantaranya tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat bila diinginkan. 2.3 Tinjauan Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu – individu masyarakat. Green dalam Notoatmojo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu factor oerilaku (behaviour cause) dan factor diluar perilaku (non-behavior cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor, yaitu : 1. Factor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai – nilai dan sebagainya 2. Factor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas – fasilitas atau sarana – sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat – obatan, air bersih dan sebagainya 3. Factor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib.

Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya manusia. 1. Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif Salah satu factor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknyanya perilaku ini diperngaruhi oleh beberapa factor. Salah satunya adalah social budaya, bila factor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian social budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi – tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan. 2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif Kanker payudara merupakan penyakit dan mematikan. Jumlah penderinya punya tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke dukun alias pengobatan alternative. Unujung – ujungnya, malah bertambah parah. Banyak oenderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker payudara stadium tinggi. Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia beberapa tahun lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara dicelupkan ke air. Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin menginkat. Tindakan masyarakat yang dating ke Dukun Ponari itu tidak terlepas dari peran budaya yang ada di massyarakat kita terhadap hal – hal yang bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai bagian dari kearifan local. Pemahaman masyarakat terhadap hal – hal yang dipercayai secara turun – menurun merupakan bagian dari kearifan local yang sulit untuk dilepaskan. Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan budaya dan kepercayaan yang ada di masyarakat itu diperkuat oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan Perawatan paliatif care adalah penedekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, mealaui pencegahan dan membantu meringankan penderitaan, identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual.

3.2 Saran Diharapkan mahasiswa mampu memahami dan memperhatikan perawatan pada pasien paliatif dan menjelang ajal. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada pasien paliatif dan menjelang ajal.

DAFTAR PUSTAKA

Matoka, 2017. Perawatan Paliatif. Bandung Diakses

:

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16227/BAB%20II.pdf Pemeriksaan Fisik dan Psikologis Diakses :http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16227/BAB%20II.pdf Annisa, Rizki. 2018. Tinjauan Sosial Budaya Dalam Perawatan Paliatif.Jakarta : Stikes Widya Nusantara Palu

Related Documents


More Documents from "Theresia ayu juwita"