MAKALAH
DILEMA ETIKA DALAM PENDIDIKAN
DISUSUN OLEH : 1. SOVIA MUSTIKA MUSPAH
(000610102018)
2. NURHIDAYATI
(003110102018)
3. AHMAD HARIADI WIBRATA
(002510102018)
4. DINIATI
(002710102018)
PROGRAM PASCASARJANAMAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang epidemiologi dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dr. Hj. Een Kuraesih, SKM,M.Kes selaku Dosen mata ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN Program Pasca Sarjana UMI (Universitas Muslim Indonesia) yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan tentang ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN . Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Makassar, Maret , 2019
Penyusun
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.....................................................................................i KATA PENGANTAR ................................................................................vi DAFTAR ISI .............................................................................................. iii BAB IPENDAHULUAN .............................................................................1 A. LATAR BELAKANG ..........................................................................1 C. RUMUSAN MASALAH ........................................................................3 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................4 A. PENGERTIAN ETIKA...........................................................................4 B. ETIKA DALAM PENDIDIKAN............................................................9 C. STUDI KASUS .......................................................................................5 BAB II PENUTUP ....................................................................................23 A. PENUTUP ............................................................................................ 23 B. SARAN ................................................................................................ 24 DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan men- sialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis. Per- ubahan yang terjadi dengan begitu cepat tidak terlepas dari perkembangan tekno- logi dan ilmu pengetahuan, atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi. Perubahan yang terlihat mencolok pada era globalisasi dan terlihat sangat tajam adalah faktor percepatan. Ini dise- babkan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan ko- munikasi, maupun kemajuan yan pesat dalam bidang transportasi khususnya penerbangan antar benua. Integritas perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin cepat meng- haruskan dunia pendidikan untuk mem- persiapkan berbagai kebutuhan perang- kat keras, perangkat lunak serta perangkat intelektual. Globalisasi telah menciptakan dunia semakin terbuka dan saling ke- tergantungan antar bangsa dan antar negara. Bagi negara maju memang sangat menguntungkan karena mereka bertindak sebagai subjek tetapi bagi negara berkembang akan memberikan dampak yang yang merugikan sebab negara berkembang lebih cenderung sebagai sasaran atau objek globalisasi. Melihat kondisi yang seperti ini maka diperlukan antisipasi yang tepat dari negara berkembang khususnya negara Indonesia salah satunya melalui dunia pendidikan. Tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini me- liputi: heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat, keterpurukan perekonomian masyarakat, kekurangmerataan tingkat pendidikan pendidikan, serta mulai lunturnya nilai-nilai moral. Heterogen- itas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat diseluruh kepulauan Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di pedesaan, di samping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang sekolah dasar, ter- utama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah 4
yang tidak pernah meng- ikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah ke- miskinan dan ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang pen- didikan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan berbagai pelatihan kete- rampilan teknis bagi anak-anak (pe- muda) sangat terbatas, jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah, jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan mutu SDM generasi muda sangat buruk. Berbicara tentang pendidikan, da- pat bermakna sangat luas, “dalam pe- ngertian maha luas, pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup ya ng mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan ada- lah pengalaman belajar. Oleh karena itu, pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam pengertian yang maha luas, pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (lifelong) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Selain itu, dalam pengertian maha luas, tempat berlangsungnya pendidikan tidak terbatas dalam satu jenis ling- kungan hidup tertentu dalam bentuk se- kolah, tetapi berlangsung dalam segala bentuk lingkungan hidup manusia” (Redja Mudyahardjo: 2008:46). Dari makna pendidikan dalam konteks sangat luas itu, menujukkan bahwa pendidikan itu adalah kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidup yaag bermakna dan berkualitas, hal ini dapat kita pahami dari tujuan pedidikan yang tertera dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan “Pen- didikan nasional berfungsi mengem- bangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa. Berakhlak, sehat, berimu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk terwujudnya tujuan pen- didikan ini tentu banyak hal yang perlu diperhatihatikan baik pada diri si pendidik maupun siterdidik. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan ini adalah masalah etika. Kondisi hari ini yang terjadi dalam dunia pendidikan sungguh memprihatinkan kita semua. Banyak hal yang terjadi yang membuat resah diri kita, membuat kita bersedih, menangis, resah. Kita tau 5
jika anak-anak kita di sekolah adalah aset bangsa, namun kenapa masih terjadi juga halhal yan tidak kita inginkan dalam duia pendidikan. “Berbagai realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, se- bagai contoh merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, manipulasi, perampokan, pem- bunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran hak-hak azasi manusia, pengniayaan, Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu mem- bentuk anak didik berkepribadian pari- purna. Pendidikan diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal mem- bentuk anak didik beretika baik dan mulia” (Istighfarotur Rahmaniyah: 2009: 3). Berbagai bentuk pelanggaran etika ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak pada jenjang pendidikan yang tinggi saja. Baru-baru ini banyak berita yang kita dengar dari media massa kalau pelanggaran etika ini dilakukan oleh anak-anak di tingkat dasar. Ada kakak kelas yang menganiaya adik kelas, ada yang hanya masalah sepele tidak sengaja menjatuhkan makanan teman, lalu me- mukul temannya. Realitas seperti ini betul-betul budaya kemanusiaannya su- dah hilang. Rasa sosial, rasa mengasihi, toleransi, tolongmenolong antar sesama sudah jauh pada diri anak-anak kita. Pada hal kejadian itu terjadi di ling- kungan sekolah. Di sana ada guru, teman, namun lingkungan itupun tidak banyak berbuat. Kondisi buruk yang juga sering kita saksikan terjadi dilingkungan para pelajar dan mahasiswa seringnya terjadi tawuran, yang sampai menelan korban. Justru yang aneh pihak yang menang merasa bangga melihat temannya sesama pelajar, sesama satu sekolah, sesama bangsa. Aneh sungguh sangat aneh. Memang tidak mudah untuk menemukan apa yang menyebabkan semua ini. Faktor apakah sebenarnya yang menyebabkan semua ini?. Tentu tidak dapat disalahkan satu pihak saja, yang pasti anak akan belajar dari lingkungannya. Oleh karena itu hendaknya semuga lingkungan hendaknya memperhatikan perlunya Etika untuk semua lingkungan pendidikan. B. RUMUSAN MASALAH Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, bahwa berbagai bentuk perilaku siswa yang dinilai bertentangan dengan etika sudah banyak terjadi, penyimpangan baik dari diri siswa maupun guru. Sepertinya persoalan ini bukan 6
makin lama makin berkurang, bahkan terkesan semakin meresahkan. Sejak beberapa tahun terakhir ini kita merasakan bahwa mulai banyak norma-norma tata krama yang dilanggar. Norma yang paling dasar saja yakni menyapa guru sudah mulai ditinggalkan. Dalam komunikasi verbal sudah tampil kata-kata jorok, yang sudah barang tentu tidak kita asosiasi dengan orang terpelajar. Sesa- ma teman suka tidak peduli, mudah emosi, dll. Semua dapat kita nilai se- bagai suatu gejala perubahan sosial budaya yang membawa perubahan tata nilai. Kita harus mencegah situasi tersebut sampai ke akarny
7
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIKA 1. Makna Etika Pengertian etika sering disamakan dengan pengertian akhlak dan moral dan ada pula ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika Islam. Di dalam buku kamus Istilah Pendidikan dan Umum dinyatakan bahwa etika adalah bagian filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik buruk). (Istighfarotur Rahmaniyah: 2009: 57) Istilah etika berasal dari kata latin Ethic (us), dalam bahasa Gerik: Ethikos = a body of moral principles or values Ethic = arti sebenarnya, ialah kebiasaan, habit, costum. Jadi dalam pengertia aslinya, apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian sekarang: Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat”. (Burhanudin Salam:3) Dalam dunia pendidikan, tentu saja semua orang yang berada dalam ling- kungan pendidikan tertentu harus ter- lebih dahulu memiliki etika. Jika pen- didikan yang dimaksudkan di institusi secara formal, maka Guru, siswa, dan semua personil lainnya harus memiliki etika yang baik dalam bertingkah laku sehari-hari. Contoh-contoh perilaku yang nyata sangat mempengaruhi suasana di lingkungan sekolah. Bagaimana seorang anak menyapa guru, Guru menegur siswa, bgaimana seorang anak yang satu berkomunikasi dengan anak lainnya, semua harus sesuai dengan norma yang berlaku. Jika semua tingkah laku yang terjadi sudah lari dari etika, maka ber- munculanlah berbagai macam persoalan. Seharusnya setiap orang mampu membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang pantas untuk di- lakukan, dan mana yang harus diting- galkan untuk tidak dilakukan. “Individu yang matang secara moral tidak akan membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak memenuhi standar moral”. (Aliah B. Purwakania Hasan: 2006: 261). Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponen afektif, kognitif dan perilaku. Komponen afektif atau emosio- nal terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan 8
bersalah atau malu), perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pe- mikiran dan tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperi- laku. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya ber- perilakau. Komponen perilaku men- cerminkan bagaimana seseorang sesung- guhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang atau melanggar aturan moral lainnya. (Aliah B. Purwakania Hasan: 2006: 261). Setiap individu hendaknya memiliki kecerdasan moral/etika, dalam setiap perilakunya. Berikutnya, etika dinyatakan se- bagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Sementara itu, etika dikelompokkan menjadi dua definisi: a. Etika merupakan karakter individu Dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang beretika. Etika merupakan hukum sosial. b. Etika merupakan hokum Etika yang mengatur, mengendali- kan serta membatasi perilaku manusia. Dalam hubungan ini Dr. H. Hamzah Ya’qub menyimpulkan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki manayang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. (Hamzah Ya’qub, 1991: 13) .Demikianlah, etika akhirnya merupakan ilmu pengetahuan rohaniah, normatif, teologis. Etika bukan lagi ilmu pengetahuan yang dapat diukur secara matematis. Karenanya tidak dapat di- ramalkan dengan pasti. Etika lebih me- rupakan pengetahuan tentang kepandaian atau seni hidup secara baik (the art of good living). Dari definisi etika tersebut di atas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: a. Dillihat dari segi objek pem- bahahasannya Etika berupaya membahas perbuatan dilakuakan oleh manusia. b. Dilihat dari segi sumbernya Etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan 9
sebagainya. c. Dilihat dari segi fungsinya Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap seuatu per- buatan yang dilakukan oleh manu- sia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan se- bagainya. Dengan demikian etika tersebut berperan sebagai kon- septor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. d. Dilihat dari segi sifatnya Etika bersifat relatif yakni dapat ber- ubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik dan buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan filosof barat mengenai perbuatan baik dan buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.Dengan demikian etika sifatnya humanisstis dan antroposentrid yakni pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
2. Obyek Etika Nilai etika dan begitu juga untuk setiap nilai, adalah hasil kegiatan rohani, yakni akal dan perasaan. Perasaan mem- berikan bahan-bahannya, akal mengolah bahan tersebut yang diterimanya. Rasa nilai ini bisa dikerdilkan, diperkembang- kan maupun dipunahkan. Semakin rumit putusan yang dihadapi perasaan, se- makin luas lapangan kerja akal, namun sebaliknya semakin kecil peranan yang dipegangnya. Dikatakan semakin luas lapangan kerjanya, oleh karena akal da- lam menghadapi keputusan yang muskil itu harus meneliti menganalisa, mem- banding-bandingkan dan mengatur halhal yang bersangkut paut dengan ma- salah pertama. (Mudlor Ahmad, t.th: 20).
3. Tujuan Etika Tujuan adalah sesuatu yang di kehendaki, baik individu maupun ke- lompok. “Tujuan etika yang dimaksud merupakan merupakan tujuan akhir dari setiap aktivitas manusia dalam hidup dan kehidupannya yaitu untuk mewujudkan kebahagiaan. Tujuan 10
utama etika yaitu menemukan, menentukan, membatasi, dan membenarkan kewajiban, hak, cita- cita moral dari individu dan masya- rakatnya, baik masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat profesi”. (Istighfarotur Rahmaniyah, 2009: 62)
4. Fungsi Etika Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap seuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika tersebut berperan sebagai kon- septor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai- nilai yang ada. “I Gede A.B. Wiranata dalam bukunya menuliskan beberapa pendapat para ahli tentang fungsi etika, di antaranya adalah Rohaniawan Franz Magnis-Suseno, ia menyatakan bahwa etika berfungsi untuk membantu manu- sia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang mem- bingungkan” (Istighfarotur Rahmaniyah, 2009:64
5. Macam-macam Etika a. Etika Deskriptif Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara me- ngenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait de- ngan situasi dan realitas yang mem- budaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis. b. Etika Normatif Etika yang menetapkan berbagai si- kap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng- hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. 11
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:- Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari peri- laku manusia.- Jenis kedua, etika di- pandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tem- pat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. - Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup infor- masi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif. (Keraf: 1991: 23), 6. Pendidikan Modal awal dalam sebuah pemahaman yang benar tentang pendidikan, harus didasarkan pada suatu pengertian yang benar tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan sebuah proses yang dapat terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan seseorang melalui pengajaran sehingga kemampuan, bakat, kecakapan dan minatnya dapat dikembangkan. Di bawah ini, beberapa pengertian tentang pendidikan yaitu: 1. “EducAtion is the process by which the humAn mind is disciplined
And
developed.” (Pendidikan adalah suatu proses dengan mana pemikiran, rasio, mental manusia didisiplin dan dikembangkan). Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa manusia itu adalah “Homosapiens” artinya jenis makhluk yang dapat berpikir dengan menggunakan logika. 2. “EducAtion is the process by which the individuAl is thought loyAlty
And
conformity to the group And to sociAl institutions.” (Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa syarat dan penyesuaian membuat pada kelompok atau lembaga sosial). 3. “EducAtion is
A
process of growth in which the individuAl is helped to developed
his powers, his tAlent, his Abilities, And his interest.” (Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dalam mana individu dibantu mengembangkan daya-daya kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya). Tiga pengertian pendidikan di atas mengacu kepada pendekatan antropologis, sosiologis dan psikologis. Dalam konteksnya, pendekatan sosiologis meninjau 12
proses pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan dan lembaga sosial di luar individu, sedangkan pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut proses internal dalam diri manusia, sehingga lebih mengarah kepada peninjauan tentang konsep hakikat psikologis bukan filosofis. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyesuaian diri ke arah pendewasaan untuk mencapai suatu kesuksesan dalam hidup. Sebuah pengertian penting tentang pendidikan perlu dipahami adalah “Education is the process by which a person adjusted to those elements of this environment which are of concern in modern living so as to prepare him for successful adult living.”14 Hal ini merupakan suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern kompleks
dan
rumit
kaitannya,
yang
yang
lebih individualistis sehingga
menuntut kemampuan individual masing- masing pribadi dalam mengadakan penyesuaian kehidupan secara psikologis. “Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta segi serba keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal) dan tangan Tuhannya (vertical). Dalam batasan pengertian tentang pendidikan memiliki kandungan berbeda satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Pendidikan proses transformasi
sebagai
budaya,
proses
pendidikan
transformasi diartikan
budaya: sebagai
sebagai kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. Pendidikan pembentukan sistematis
sebagai
pribadi,
dan
proses
pendidikan
sistemik
terarah
pembentukan diartikan kepada
pribadi:
sebagai
suatu
sebagai
proses
kegiatan yang
terbentuknya kepribadian peserta
didik. Proses pembentukan pribadi melalui dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga 13
negara: pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan
yang terencana untuk membekali peserta didik menjadi warga negara
yang baik. Pendidikan
sebagai
penyiapan
tenaga
kerja:
pendidikan
sebagai
penyimpan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta sehingga
memiliki
bekal
dasar
utuk
didik
bekerja. Pembekalan dasar berupa
pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan pokok
karena
bekerja
menjadi
kebutuhan
dalam kehidupan manusia.
B. ETIKA DALAM PENDIDIKAN Pada dasarnya etika pendidikan masing-masing memiliki pokok pemahaman yang berbeda, yaitu etika menyangkut kebiasaan atau sikap
baik
buruk
seseorang
yang
secara
sedangkan
terus-menerus tujuan
pendidikan
berlangsung
pendidikan
menyangkut sebuah
proses
dalam kehidupan seseorang, yang mengacu pada
itu sendiri, ingin menanamkan nilai-nilai yang baik, luhur,
pantas, benar dan indah untuk kehidupan manusia itu sendiri. H. A. R. Tilaar mengatakan, “Suatu tindakan pendidikan
pendidikan atau lebih tepat lagi suatu pertemuan
(pedagogical encounter)
merupakan suatu tindakan rasional etis.
Hal ini membedakan manusia dengan binatang yang berdasarkan disadarkan
insting pada
dan
bukan berdasarkan
tindakan-tindakannya
pertimbangan
rasional
serta
etika. Manusia hidup untuk kebaikan dan oleh sebab itu
pertimbangan- pertimbangan
etis
ditunjukkan
pada
perbaikan
manusia
sebagai makhluk yang baik. Ini yang disebut manusia sebagai makhluk rasional etis.” Etika pendidikan berdasarkan pada sebuah kajian nyata bahwa manusia harus melakukan sesuatu dalam tindakan yang beretika, termasuk di dalamnya proses belajar mengajar dalam dunia
pendidikan. Proses pendidikan harus dijalankan
dengan etika yang baik dan benar, karena pendidikan bukan saja berbicara dari sisi penanaman nilai yang baik melalui pembelajaran tetapi juga berbicara dari sisi penerapan etika baik kepada pendidik maupun peserta didik. Salah satu pengertian pendidikan adalah proses transformasi budaya. Dalam budaya konteks di Indonesia memiliki kandungan yang sangat kental tentang etika dan moral yang sopan dan 14
santun. Tilaar mengatakan, “Tindakan manusia tidak terjadi dalam ruang yang hampa atau tanpa nilai. Tindakan manusia selalu dalam satu wacana kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang sedang menjadi merupakan hasil karya dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.” Kemudian dalam kaitan etika pendidikan dan pembelajaran sebagai proses dari pendidikan itu sendiri, tugas dosen adalah sebagai perencana, pelaksana dan sebagai penilai keberhasilan belajar mahasiswa. Tugas tersebut untuk membantu mahasiswa mendapatkan pengetahuan, kemahiran dan keterampilan serta nilai dan sikap tertentu. Agar mahasiswa mempunyai nilai dan sikap yang diharapkan, sesuai standar yang berlaku di masyarakat, dosen atau pendidik harus melaksanakan tugasnya berdasarkan standar moral dan etika yang baik dan benar. Dalam melaksanakan pendidikan, beretika yang baik harus dipraktikkan oleh seorang pendidik, karena jika dikaitkan dengan pemahaman Etika Pendidikan Kristen, maka seorang pengajar bukan saja mampu mengajar dan berkualitas secara intelektual tetapi juga harus memiliki kualitas rohani dan moral yang baik (1 Timotius 4:12). Proses intemalisasi etika dalarn diri siswa tidak dapat dilakukan secara instant, namun melalui proses sejalan dengan perkembangan jasarnani dan rohani siswa. Proses intemalisasi dimulai dengan pengenalan nilai-nilai di dalam keluarga oleh orangtua maupun sanak famili yang serumah.Jika anak sudah bergaul dengan lingkungan sosial- masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai disekitarnya. Dan jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai akan sernakin banyak dan beragam yang dibawa oleh ternan-ternan sekolah , guru dan juga orang lain yanghadir di sekolah. Jika ia sudah mulai tertarik nonton televisi, rnaka ia juga akan berkenalan dengan nilai yang ditawarkan dan disampaikan oleh para artis-selebritis melalui adegan-adegan yang dibawakan- nya, selain lewat promosi atau iklan yangditayangkan. Nilai-nilai yang dite- rima siswa ada yang berbeda bahkan bertolak belakang atau berlawanan de- ngan nilai-nilai yang dikenalkan di rumah dandisekolah, ada nilai baru yang tidak belum dikenal di rurnah dan atau di sekolah.Terhadap rnasuknya nilai ter- sebut mungkin diterima melalui saringan atau filter orangtua dan atau lewat guru, tetapi juga ada nilai yang diterirna tanpa ilter. Pertentangan nilai dalarn diri siswa dapat terjadi, yang dapat menyebabkan siswa memiliki standar ganda. Misal jika di rumah dan di sekoklah siswa kelihatan 15
alim, sopan, baik dan takwa. Tetapi di luar, jika sudah bergabung dengan kelornpok gengnya mereka akan ber- perilaku yang sangat berbeda. Misal minum minuman beralkohol tinggi sampai mabuk, pesta gandalnarkoba bahkan pesta seks. Oalam surat kabar sering diberitakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap rumah kos di mana pesta mabuk-mabukan, narkoba dan seks terjadi, dan ternyatapelakunya mahasiswa dan atau siswa. Bagaimana perkembangan moral teIjadi? Salah satu teori yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg mengurutkan perkembangan menjadi tiga tahap, dan setiap tahap ada dua pe- ringkat. Susunan peringkat itu, sebagai berikut: Tahap pertama: Prekonven- sional. Oalam tahap ini ada dua peringkat yang dilalui, yaitu orientasi ke- taatan dan sanksi. Orangtua mengajarkan mana perbuatan baik dantidak baik Jika anaka berbuat baik, orangtua mem- berikan ganjaran, penghargaan atau hadiah, tetapi jika anak melakukan perbuatan tidak baik, orangtua mem- berikansanksi hukuman. Anak akan belajar untuk melakukan perbuatan yang baik dan tidak lagi melakukan perbuatan yang tidak baik. Peringkat kedua,berorientasi pada azas dan alat atau instrumentasi. Si anak belajar bahwa jika ia melakukan per- buatan baik,berarti ia melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak mendapatkan hukuman.Pada peringkat ini anak belajar memahami azas nilai baik dan azas itu merupakan instrumen untuk melakukan perbuatan yang dpat diterima oleh linngkungannya. Contoh cara meminta sesuatu secara sopan kepada orangtua dan orang lain.Misal kata: "bolehkan saya minta tolong...", "Anak tidak diajari untuk berkata: "He, kamu bantu saya", jika meminta bantuan dari orang lain karena kata itu tidak sopan. Tahap kedua: Peringkat Konven- sional. Nilai-nilai yang menjadi alasan untuk berbuat baik diterima sebagai nilianya untuk memenuhi kehendak orangtua sertalingkungannya. Dengan cara itu ia dapat diterima di dalam kehidupan bermasyarakat. Anak menyadari bahwa ia berada dalam suatu lingkungan sosial buadaya masyarakat yang me- miliki tata nilai, aturan serta adat yang mengatur perilaku warga atau pen- dukungnya. Contoh para calon anggota DPR, Kepala Daerah atau Bupati
diminta menandatangai suatu kontrak sosial oleh
pendukungnya atau warga masyarakat yang tidak atau kurang percaya pada janji. Mahasiswa meminta calon Rektor Universitas untuk menendatangani kontrak sosial yang diajukan mahasiswa. Terhadap hal ini ada yang mau tetapi ada pula 16
yang menolak karena dinilai tidak sejalan dengan nilainya. Sedangkan peringkat keenam berpegang pada prin- sip nilai etika yang berlaku universal. Misal prinsip keadilan, hak azasi manusia, demokrasi, persamaan jender dllnya prinsip-prinsip tersebut diterima dan dilaksanakan di dalam berkehidupan bersama. Atas dasar teori perkembangan etika Kohlberg tersebut, maka pen didikan etika harus dimulai sejak dini dan berkesinambungan. Apa yang telah ditanamkan di dalam keluarga tidak dihancurkan di sekolah, tetapi justru di sekolah anak diajari untuk memahami secara rasional alasannya (membangun moral reason- ing). Hukuman secara fisik maupun kata-kata verbal yang menyakitkan hati dan perasaan yang diistilahkan "bullying" harns sudah ditinggalkan oleh guru dan siswa di dalam lingkungan sekolah.Kebiasaan memper olok-olok, mengejek, mempermalukan, menyoraki jika ada siswa yang dianggap aneh, dan juga kebiasaan mengeluarkan kata-kata yang bersifat negatif atau meremehkan (verbal discouragement) harus ditinggal- kan. Sebagai contoh ada guru yang mempunyai kebiasaan mengatakan siswanya sebagai wedus-wedus,berfikir lambat seperti keong bekicot, otak kebo, otak udang, goblok dan lain sebagainya. Secara psikologis kata-kata yang sifat- nya menegatif dan meremehkan tersebut akan melukai , menggores hati siswa dan akan erdampak dalam perkembangan anak khususnya pada anak yang perasa dan sensitif terhadap kata-kata kasar (sarkasme). Sekolah sebenamya mempunyai kewajiban untuk memperluas, memeperdalam pemahaman nilai-nilai yang di- perlukan di dalam kehidupan bermsaya-rakat seperti; pengenalan etika profesi, etika bisnis, etika berlalu lintas, etika pergaulan, etika berbicara lewat telepon, etika moral dan lain sebagainya. Konflik nilai yang dialami dalam diri siswa antara nilai yang ditanamkan di dalam keluarga, sekolah dan adanya pengaruh dari lingkungan dapat menimbulkan kebingunan bahkan dapat membentuk kepribadian rangkap. Perilaku di rumah dan di sekolah baik, alim, patuh dan sopan, tetapi jika di luar lingkungan rumah dan sekolah berbalik 180 derajad. Orangtua dan guru kaget ketika si anak ditangkap polisi karena pesta narkoba dan seks bersama temantemanya di tempat penginapan. Jika tidak ada kesinambungan dalam pendidikan etika di sekolah anak akan mencari nilainya sendiri tanpa merasa perlu memehami alasannya dan meng- anggap nilai yang diambil dari ling- kungan pergaulan serta media masa adalah baik, modern dan gauI. 17
Oleh karena itu sekolah wajib mengembalikan nuansa pendidikan etika di dalam proses pendidikan yang di- selenggarakan oleh sekolah. Guru perlu mendidik dengan hati yang dilandasi kasih sayang kepada anak yang sedang tumbuhkembang baik secara fisik maupun psikologik. Hubungan yang sifatnya hierarkibirokrasi, di mana guru merasa berkuasa atas murid yang selalu siap menghukum karena siswa dianggap salah, tidak mematuhi kata perintah guru harus diganti dengan hubungan pen- dampingan dalam perjalanan siswa menghayati proses pendidikan di sekolah. Sekolah hendaknya bukan lagi sebagai penjara yang menakutkan sekolah bagi siswa yang akan belajar, tetapi memerdekakan. Sekolah sebagai tempat untuk menumbuhkembangkan kreativitas, daya imaginasi dan inovasi, menyenangkan menentramkan hati dan temoat dimana siswa memperoleh pelayanan dalam perkembangan etika dan moral, watak kepribadian dan intelek- tualnnya.Guru bukan lagi sebagai sosok yang serba tahu, wajah angker tanpa senyum dan menakutkan karena kuasa atas siswa, tetapi sebagai pendamping yang selalu
siap dan ramah
mendapingi Dalam bukunya M. Alaika Salamullah berpendapat setidaknya ada dua langkah yang perlu ditempuh murid untuk menemukan guru ideal: 1. Henaknya ia meminta pendapat kepada kalangan yang dipercaya tentang orang yang layak dijadikan guru.kalau perlu, ia bisa bertanya kepada orang-orang yang lebih berpengalaman dalam berguru. 2. Mengamati secara langsung keadaan calon guru. Langkah yang kedua ini memang lebih berat, tapi akan membuat dirirnya lebih puas, karena ia tahu betul keadaan orang yang akan diangkatnya sebagai guru baik dari segi keilmuan maupun ketakwaannya. (Salamullah, 2008: 128). Ketika berbicara soal pendidikan dan krisis moral, Tilaar salah seorang pakar pendidikan menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia dilingkupi oleh beberapa persoalan, yaitu:19 Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan Memang selama ini telah banyak yang kita capai di dalam pelaksanaan pemerataan pendidikan. Badan PBB UNESCO dan UNDP mengakui keberhasilan Indonesia serta usaha-usaha lainnya untuk pemerataan pendidikan yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Namun demikian perlu kita akui bahwa di dalam hal kualitas pendidikan kita masih jauh terbelakang dibandingkan dengan negara-negara ASEAN hal ini perlu ditanggulangi karena kualitas sumber daya manusia yang diinginkan adalah manusia berkualitas dan berkompetitif baik di 18
dalam masyarakat maupun dalam hubungan ASEAN dan dunia. Usaha pemerataan kualitas pendidikan haruslah secara tuntas sehingga perbedaan antara kualitas pendidikan kota-desa, Indonesia kawasan barat-timur supaya semakin lama semakin mengecil pada masa-masa mendatang. Menurunnya akhlak dan moral peserta didik Disebabkan perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatan- ikatan moral kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda. Pembinaan etnik dan moral generasi muda haruslah dimulai dari keluarga, di dalam sekolah/di dalam masyarakat. Penerapan disiplin nasional secara tuntas dan konsekuen haruslah dilaksanakan di dalam setiap lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan Sukses yang dicapai secara kuantitatif memang menghambat peningkatan kualitas kualitatif. Hal ini memang suatu konsekuensi di dalam pembangunan nasional yang masih memberi prioritas pada pemerataan. Namun demikian peningkatan kualitas merupakan suatu syarat mutlak di dalam suatu masyarakat dunia yang kompetitif. Oleh sebab itu, usaha-usaha intensif untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya mata pelajaran yang menjadi tuntutan utama dalam dunia industri seperti ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul haruslah dijadikan target utama. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan Pendidikan haruslah dikelola secara bussiness like sehingga dinamis dan efisien. Banyaknya siswa yang mengulang serta drop out masih tinggi menunjukkan belum efisiennya sistem pendidikan dan pelatihan kita. Kelembagaan pendidikan dan pelatihan Dewasa ini kita lihat kelembagaan pendidikan dan pelatihan sangat kaku dan simpang siur. Tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat (dunia usaha, dunia kerja) belum dirumuskan dengan baik. Demikian pula tugas dan tanggung jawab yang jelas antar departemen/antar pusat dan dirumuskan secepat- cepatnya. Manajemen pendidikan dan pelatihan nasional yang belum sejalan dengan manajemen pembangunan nasional Berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan mengenai kelembagaan pendidikan dan pelatihan nasional, maka manajemen pendidikan dan pelatihan nasional masih belum terarah. Berbagai departemen, berbagai lembaga menangani masalah tersebut sehingga mengganggu dinamisme pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. 19
Sumber daya manusia (SDM) yang belum professional Perkembangan dunia industri dan dunia kerja yang sangat pesat dengan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berubah begitu cepat menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan selalu ketinggalan. Hal ini hanya dapat dijembatani apabila dunia usaha dan dunia kerja berpartisipasi secara penuh dengan berbagai insentif ikut serta di dalam menyiapkan pengembangan SDM. Dunia usaha dan dunia kerja bukanlah hanya sekedar pemain yang baik, tetapi juga mengadakan investasi yang baik dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Krisis moral akan berdampak pada pendidikan, sama seperti persoalan yang dituliskan oleh Tilaar sehingga menyebabkan banyak pelanggaran terhadap pendidikan, termasuk di dalamnya masalah etika pendidikan. Dalam dunia pendidikan sangat ditekankan pola hidup yang beretika dan penanaman nilai-nilai budaya yang baik, tetapi di lingkungan masyarakat sebagai tempat atau lapangan pendidikan itu dipraktikkan tidak memberikan sebuah teladan yang baik, sehingga memberikan pengaruh yang dalam bagi kehidupan peserta didik. Dengan demikian, terjadilah krisis moral yang merusak kehidupan dan pola hidup peserta didik. Krisis moral yang dialami baik oleh pendidik maupun yang dididik akan menyebabkan persoalan yang sama seperti diungkapkan di atas yaitu: 1) Kualitas mengajar seorang pendidik akan mengalami penurunan karena adanya beberapa hal yaitu; SDM yang tidak professional, rendahnya efesiensi internal sistem pendidikan, tuntutan yang semakin tinggi dalam berbagai bidang termasuk cara mengajar dan tuntutan ekonomi, dan lain-lain; 2) Krisis moral yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat menyebabkan seorang peserta didik tidak lagi dapat memahami dengan baik arti sebuah pendidikan yang baik bagi dirinya, karena adanya perkembangan dan kemerosotan moral dalam masyarakat. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan moral peserta didik itu sendiri, akibatnya; banyak yang putus sekolah, tidak mau sekolah dan lebih memilih untuk bekerja mencari uang tanpa peduli kepada pendidikan dan masa depannya, yang penting bisa hidup dan mendapat uang.
C. STUDI KASUS Dengan melihat realita yang terjadi akibat dari krisis moral yang terjadi dalam lingkungan masyarakat dan keluarga serta diri sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan dua contoh kasus yang nyata dalam dunia pendidikan yaitu: 20
1. Menurunnya kualitas pendidik dan SDM yang tidak professional Adanya tantangan zaman dalam dunia pendidikan yang semakin membuat pendidik kesulitan sendiri dalam mengembangkan diri ke arah kualitas yang lebih baik. Cukup banyak pengamat sosial yang menyatakan bahwa di balik krisis moneter yang bukan hanya menyebabkan krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik dewasa ini sebenarnya juga telah menjadi krisis moral yang ikut menyebabkannya. Berbagai praktik korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme selama ini telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan ekonomi yang sehat. Dalam dunia politik, juga telah lama terjadi pelanggaran etika politik. Kepentingan politik kekuasaan yang tidak segan-segan mengorbankan rakyat jelata yang tidak berdosa melalui tindak kekerasan, entah dengan menyulut api emosi seputar masalah SARA atau dengan berondongan senjata, telah mendorong orang untuk menghalalkan segala cara. Kebenaran terus ditutuptutupi, kebebasan dipasung, suara- suara kritis dibungkam. Akibatnya, kebocoran-kebocoran terus terjadi tanpa kendali koreksi. Dalam masyarakat, beragam bentuk keserakahan, ketidak-pedulian akan sesama, telah menyebabkan rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial amat merosot. Masing-masing mencari untung selamat sendiri-sendiri. Hal ini pula yang terjadi bagi seorang pendidik yang sangat dipengaruhi oleh keadaan, sehingga makna pendidikan yang sebenarnya telah lama mengalami pergeseran. 2. Peserta didik yang tidak sekolah; putus sekolah Kasus putus sekolah atau tidak mau sekolah bagi seorang peserta didik, tentunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran yang benar tentang makna pendidikan dan penerapan pendidikan yang baik dalam diri peserta didik itu, yang berakar dari krisis moral yang dialami oleh peserta didik itu sendiri. Sehingga banyak peserta didik yang putus sekolah bahkan ada yang memilih untuk tidak mau sekolah. Tilaar mengatakan bahwa, “Menurunnya moral peserta didik disebabkan perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatan-ikatan moral kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda. Pembinaan etnik dan moral generasi muda haruslah di mulai dari keluarga, di dalam sekolah/di dalam masyarakat.” Banyaknya pengangguran atau peserta didik yang tidak mau sekolah disebabkan oleh sebuah krisis moral yang dialaminya, sehingga kejahatan 21
semakin banyak terjadi. Jika hal ini terus terjadi tanpa kepedulian pemerintah dalam hal ini, untuk memperbaiki keadaan pendidikan maka bangsa ini akan hancur, karena kekuatan sebuah bangsa ada pada tingkat pendidikan yang dimiliki oleh warganya.22 Penyelesaian Kasus Dua kasus dalam etika pendidikan yang terjadi menyangkut krisis moral baik pada pendidik maupun peserta didik sendiri, sehingga pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap penyelesaian kasus pendidik dan peserta didik tu sendiri penyelesaian krisi moral yang merupakan bagaian dari etika pendidikan adalah : Sertifikasi Guru (Penataan kembali) “Sesuai dengan Pasal 5 Permendiknas No. 39 Tahun 2009, maka paling lama sejak ditetapkan peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota diwajibkan telah melakukan penataan guru, baik antar-wilayah maupun antar-satuan pendidikan. Dengan demikian, selambat-lambatnya pada 30 Juli 2011, semua guru sudah diredistribusi sedemikian rupa sehingga bisa melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya dengan beban kerja minimal 24 JTM.” Suatu realita yang terjadi dalam dunia pendidikan menyangkut etika pendidikan untuk memperbaiki krisis moral yang terjadi yaitu seorang pengajar harus mengikuti sertifikasi guru. Setiap pendidik yang namanya terdaftar untuk mengikuti sertifikasi guru, wajib menyusun portofolio yang datanya diambil sejak pendidik itu mulai mengabdikan diri sebagai guru. Ada beberapa persyaratan untuk mengikuti sertifikasi tersebut, khususnya di kalangan Guru PAK yaitu; Seorang yang berijazah minimal D IV atau Sarjana (S1) dan telah mengabdi sebagai guru selama 10 tahun ke atas, atau jika tidak memiliki ijazah S1 maka akan dilihat masa kerja guru itu, paling kurang selama 20 tahun dan sudah golongan IV/A. Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. 22
Tujuan pemberian sertifikasi ini, untuk penataan kembali profesi seorang guru sehingga benar-benar memperhatikan kualitas dan profesionalisme dalam mengajar. Dengan adanya tunjangan yang memadai, maka seorang guru atau pendidik akan dapat meningkatkan pendidikannya, tetapi bukan tanpa syarat yang akan memperbaiki moral dan etika seorang pendidik. Jika hak sebagai guru yang telah menerima tunjangan profesinya diberikan oleh pemerintah, maka guru itu wajib melakukan tugas dengan baik dan memenuhi target JTM (Jam Tatap Muka) yang telah ditentukan selama 24 JTM. “Pemberian kepada
guru-guru
yang
tunjangan
profesi
lulus sertifikaksi: “Jika guru yang sudah lulus
sertifikasi tidak bisa menunjukkan bahwa dirinya mengajar di sekolah yang memiliki rasio guru dan murid minimal 1: 20 orang, maka tunjangan profesinya tidak bisa dibayarkan” (Pasal 17 PP 74 Tahun keharusan baik,
untuk
maka
2008).”24
Dengan
adanya
menerima tunjangan sertifikasi dan mengajar dengan
secara perlahan-lahan etika pendidikan akan berjalan dan krisis
moral dapat teratasi secara perlahan-lahan.
Sekolah Gratis (Bukan pendidikan gratis) Banyak muncul iklan tentang sekolah gratis di televisi. Sepercik harapan akan perbaikan kualitas manusia hadir di Indonesia. “Tak bisa dibantah bahwa sekolah gratis adalah prestasi membanggakan bangsa ini. Sudah waktunya pemerintah mulai memberi perhatian besar pada kualitas pendidikan generasi mendatang bangsa Indonesia. Perhatian tersebut kini tidak lagi sebatas retorika, melainkan sudah menjelma menjadi aksi nyata. Kini semakin banyak orang mendapatkan akses pendidikan yang berpotensi besar untuk mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik.” Seperti yang diungkapkan iklan di televisi, sekarang anak bisa menjadi pilot, walaupun orang tuanya supir mikrolet. Stratifikasi sosial dibuat menjadi terbuka. Latar belakang keluarga kini tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk bisa berkembang. Buta huruf bisa disingkirkan. Bangsa pun bisa menjadi semakin beradab. Namun masalah sesungguhnya terletak bukan hanya pada biaya pendidikan yang selama ini mahal, tetap juga pada paradigma pendidikan yang digunakan. Paradigma sendiri adalah cara pandang terhadap manusia, dunia sosial, dan dunia alamiah yang menentukan cara berpikir seseorang. Dalam 23
bidang pendidikan paradigma menentukan semua aktivitas ajar mengajar yang terjadi di kelas, maupun di luar kelas. “Walaupun rakyat mendapatkan pendidikan gratis, selama paradigma pendidikan yang digunakan masih paradigma pendidikan yang sudah tidak tepat, maka prestasi menciptakan sekolah gratis menjadi sia-sia. Ini seperti memberikan BBM gratis pada semua orang, namun BBM yang diberikan tidak sesuai dengan kriteria mesin, sehingga pada akhirnya justru merusak. Selama cara berpikir kita tentang status guru, murid, dan peran orang tua dalam pendidikan belum berubah, selama I tu pula dunia pendidikan kita terpuruk. Akibatnya generasi masa depan bangsa ini menjadi generasi yang tidak kompetitif, korup, dan alergi pada perubahan. Wajah pendidikan kita pun tidak berubah.”26 Hal ini semua disebabkan dari krisis moral yang dialami dalam dunia pendidikan sehingga memberikan pengaruh ke berbagai bidang. Sekolah gratis menjadi sia- sia, jika paradigma yang digunakan di dalam pendidikan masih menggunakan paradigma lama. Inilah yang harus menjadi perhatian bersama, sehingga dari paradigma baru akan melahirkan sebuah pemahaman yang mampu membentuk dan memperbaiki krisis moral yang terjadi di dalam lingkungan pendidikan. D. TUJUAN ETIKA MURID TER- HADAP GURU Ada empat tujuan dari etika murid terhadap guru. Dalam dunia pendidikan sudah dapat kita lihat. Bahwa etika mau menyediakan orientasi. Meskipun tidak setiap murid memerlukan orientasi itu apalagi tanpa etika ilmiah pun ke- banyakan murid dengan sendirinya sedikit beretika, namun seorang murid yang tidak begitu saja mempercayakan diri pada pandangan lingkungan moral. Dalam penjelasan kitab Ta’lim Muta’al limada sekurang-kurang empat alasan tujuan etika murid terhadap guru yaitu: a. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar menjadi murid yang lebih baik dan sopan terhadap guru. b. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar lebih meng- hormati dan menghargai guru. c. Guru membimbing jiwa murid agar menjadi manusia sejati, yang manusia mengerti bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT 24
d. Guru membimbing jiwa murid agar melawati jalan-jalan menuju ridho Allah SWT.
25
BAB II PENUTUP A. KESIMPULAN Berbicara tentang persoalan etika dalam dunia pendidikan di antaranya yang terkait hubungan guru dan murid, murid dengan murid atau murid dengan anggota masyarakat lainnya. Di sini guru sebagai elemen terpenting dalam pem- belajaran, oleh arena itu guru harus dihormati. Tidak hanya etika terhadap guru saja yang perlu di perhatikan peserta didik, tapi juga etika dengan siswa yang lainnya dalam bergaul. Kenyataan yang ada bahwa terjadi kesenjangan antara penanaman nilai-nilai yang baik dan benar di sekolah dalam proses pendidikan, namun di masyarakat sebagai lapangan pendidikan tempat mempraktikkan pendidikan tidak memberikan nilai-nilai etika yang benar dalam dunia pendidikan. Misalnya, di sekolah diajarkan tentang hal yang baik dan benar, tetapi di rumah atau lingkungan di mana peserta didik itu ada selalu memberikan teladan yang tidak baik, sehingga dilema ini memberikan krisis pada moral. Dari generasi ke generasi pengaruh ini akan terus berlangsung dan menghasilkan kerusakan moral bagi generasi selanjutnya, termasuk juga di dalamnya pendidik. Mengatasi krisis moral dalam dunia Etika sebenarnya memiliki cakup- an yang sangat luas di dalam segenap sikap dan tingkah laku dalam ber- interaksi dengan lingkungan. Siapapun yang menghendaki anaknya menjadi seorang yang berakhlak/beretika, maka hendaklah ia memelihara, menghormati, rendah hati, dalam setiap tindakan. Etika yang dimiliki seseorang akan dapat meningkatkan harga diri seseorang. Begitupun sebaliknya ketika seorang anak lari dari etika, secara sosial anak ini dalam lingkungannya akan bermasalah. Mungkin dia akan dikucilkan. Nah, beranjak dari kondisi ini semua maka etika menjadi sesuatu yang penting ada dalam sistem pendidikan kita. B. SARAN Dengan begitu besar manfaat dan peranan rendah hati, taat, hormat, patuh, beretika terhadap guru (orang yang berilmu), maka kami kami menyarankan sebagai berikut: 1. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, seharusnya kita selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al- Hadits, yang merupakan pedoman dalam kehidupan sehari-hari sehingga dengan harapan perilaku kita tidak 26
bertentangan dengan ajaran Islam. 2. Agar ilmu menjadi berkah, manfaat baik untuk diri pribadi, maupun dimasyarakat nantinya maka dalam menuntut ilmu hendaknya memulia- kan guru, taat, patuh, sopan dan santun terhadap guru (orang yang memberi ilmu). 3. Bahwa yang namanya guru, orang alim harus dihormati, ditaati, di- patuhi, dan jangan sampai membuat sakit hatinya. Sebagai seorang murid haruslah mempunyai etika yang sopan, dan dapat memuliakan guru guru, pada guru yang tidak zalim, dan jugaa siswa.
27
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin Salam. Etika Individual. Pola Dasar Filsafat Moral. Rineka Cipta Mujtahid. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI) Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya. Redja Mudyahardjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT Bandung Salamullah, Alaika M. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pelanggaran+etika+dalam+pen didikan+pdf (Dinamika Pendidikan No. 11Th.XIV / Mei 2007 :19-22) Tas’adi Rafsel, 2014.Pentingnya Etika Dalam Pendidikan. Jurnal Ta’dib, Volume 17, No. 2 (Desember 2014 Tanyid Maidiantius. 2014. Etika Pendidikan : Kajian Etis Tentang Krisi Moral Berdampak Pada Pendidikan.Jurnal Jafray, Vol.12,No.2, Oktober 2014
28