Opset(kesengajaan) dan culpa ( kealpaan)
STH IBLAM Sitharesmi Dien Mangoen Diharjo
*Jakarta 2009*
Arti kesalahan ( Sudarto, dalam bukunya ; Hukum Pidana I): 1. kesalahan dalam arti seluas – luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya ( verwijtbaarheid ) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya 2. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm ) yang berupa : a. kesengajaan ( dolus, opzet, vorsatz, atau intention ) b. kealpaan ( culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence ) ini pengertian kesalahan yuridis
3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan ( culpa ) seperti yang disebutkan di atas. Sudarto menganjurkan menggunakan istilah kealpaan saja untuk kesalahan dalam arti sempit. Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti luas ) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normarif ( normativer schuldbegriff ). · Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis ( batin ) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan[11] dan pada kealpaan[12]. Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan · Pengertian kesalahan yang normatif, pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta – fakta yang ada. Menurut Moeljatno seyogyanya kita ( Indonesia ) menggunakan pengertian kesalahan yang normatif, sebab dalam KUH-Pidana kita ( antara lain pasal 44 [13]). Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUH-Pidana kita sistemnya ialah bahwa delik – delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada
ancaman bagi yang culpa. Contohnya pasal 338[14] mengenai pembunuhan( dolus) diancam 15 tahun, pasal 359[15] menyebabkan mati karena kealpaan diancam 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun, pasal 354[16] penganiyayaan berat diancam 8 tahun dan jika sampai mengakibatkan mati diancam penjara 10 tahun. Pasal 480[17] KUH-Pidana adalah pasal yang sesungguhnya ganjil, karena dalam pasal ini delik dolus dan culpa ancamannya sama. Moeljatno tidak begitu setuju jika dikatakan bahwa kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang besar dan kealpaan dipandang sebagai bentuk kesalahan yang kecil. Jika dipandang dari perspektif orang yang melakukan perbuatan, mungkin memang demikian. Karena orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu dilarang menunjukkan sikap bathin yang lebih jahat daripada sikap bathin orang yang karena alpa atau lalai tentang kewajiban – kewajiban, menimbulkan perbuatan ( tindak ) pidana. Dengan kata lain terdakwa bukanlah penjahat melainkan hanya lalai, kurang berhati – hati. Jika dilihat dari segi masyarakat yang dirugikan karena perbuatan tadi, menurutnya keduanya adalah sama beratnya, tidak ada yang besar dan tidak ada yang kecil, yang ada hanya dalam corak atau jenis berlainan. Dari pengertian – pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur ( menurut Sudarto), yakni : 1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat ( schuldfahigkeit atau zurechnungsfaghigkeit ) artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ) yang disebut bentuk – bentuk kesalahan 3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf Ad. 1) dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ” yang mampu Ad. 2) dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya Ad.3) meskipun yang disebut dalam a dan b, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa ( pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana[18] ). Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus : 7 Melakukan perbuatan pidana ( sifat melawan hukum ) 7 Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab 7 Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan 7 Tidak adanya alasan pemaaf
Selain itu kesalahan juga ada hubungannya dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada dan tidak adanya kesalahan ada tiga pendapat dari : · Kaum indeterminis ( penganut indeterminsme), pada dasarnya berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan, apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan. · Kaum determinis ( penganut determinisme ) mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak ( dalam arti nafsu – nafsu manusiad dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif – motif, ialah perangsang – perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan,sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas. Namun tidak berarti orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak ada kehendak bebas maka ada pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Namun reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti “ penderitaan sebagai hasil dari kesalahan oleh si pembuat “ · Golongan ketiga mengatakan ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal ( irrelevant ). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas.
Opset(kesengajaan) dan culpa ( kealpaan)
Kesengajaan ( opset/ dolus ) Kesengajaan adalah merupakan bagian dari kesalahan ( schuld ). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan ( terlarang/ keharusan ) dibanding dengan culpa. Karnanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan( pasal 372 KUHP ). Merusak barang-barang ( pasal 406 KUHP ) dan lain sebagainya.
Banyaknya para sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian dari kesengajaan ( opset), dalam rangka memperincinya. Dalam beberapa hal tidak terdapat keseragaman tafsiran antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsiaran
tersebut antara lain terdapat dalam bidang peristilahan yang digunakan dalam perumusan perundang-undangan, dlam bidang gradasi kesengajaan dan terutama dalam bidang “penentuan” erat/ renggangnya atau jauh/dekatnya kejiwaaan seorang pelaku kepada tindakan yang dilakukan, termasuk penyebab dan akibatnya.
Ulasan-ulasan mengenai kesengajaan (opset) dapat dilakukan dari berbaagai sudut atau pandangan. Dengan demikian dalam uraian-uraian pada nomor-nomor berikutnya akan diutarakan dari berbagai sudut, yaitu dari sudut memori penjelasan dan dari sudut terbentuknya. Kesengajaan (opset) menurut memori penjelasan Menurut memori penjelasan (memorie van Toelichting), yang dimaksudkan dengen kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya, (willens en wetens veroorzaken vaneen gevolg). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Dari seseorang yang melakukan suatu tindakan karena ia dipaksa (ditodong), tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena kehendakanya sendiri. Demikian pula seseorang yang gila yang lari dengan telanjang di muka umum, atau seseorang anak yang mempertunjukan gambar-gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia menghandaki dan menginsyafi perbuatan merusak kesulitan di muka umum.
Kesengajaan (opset) dari sudut terbentuknya Manusia yang sehat mempunyai bermacam keinginan. Adakalanya keinginan itu menjurus kepada tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh perundang-undang. Misalnya untuk memiliki sebuah benda berharga yang dibutuhkan, tetapi ia tidak sanggup untuk membelinya. Bilamana ia sangat bernafsu memiliki benda tersebut, pada suatu ketika dapat terjadi bahwa ia akan melakukan tindakan apapun, demi untuk memiliki benda tersebut, kendati dilarang oleh perundang-undangan. Nafsu untuk benda tersebut adalah merupakan perangsang atau motif dari kelakuanya selajutnya. Jika ia selajutnya merencanakan cara-cara yang akan dilakukannya untuk memiliki benda tersebut, maka padanya telah ada kehendak. Untuk terjadinnya suatu tindak pidana, maka kemudian ia melaksanakan tindakan yang dikehendakinya itu. Singkatnya, dalam rangka mewujudkan kehendak itu, ada tiga tingkatan / stadia yang dilaluinya yaitu: a. Adanya perangsang b. Adanya kehendak
c. Adanya tindakan Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa kesengajaan (opset) adalah suatu kehendak (keinginan) untuk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain kesengajaan itu ditunjukan terhadap suatu tindakan.
Jelas bahwa proses kejiwaan yang mendahului pengembailan ketetapan untuk melakukan tindakn yang terlarang, memainkan peranan yang penting. Penyebab dari proses itu adalah motif dari pelaku, walaupun untuk tindakan pidana, motif itu tidak mempunyai kepentingan. Hanya dlam hal pemidanaanya persoalan motif mempunyai kepentingan. Sehubungan dengan motif ini, dibentuklah alam pemikiran atau gagasan untuk memenuhi nafsu tersebut. Setelah mengambil ketetapan maka proses kejiwaan itu telah selesai. Kemudian diikuti oleh tingkah laku untuk mewujudkan kehendak tersebut, dari tingkah laku mana dengan sengaja atau tidak. Karenanya dalam banyak hal, kesengajaan itu dapat disimpulkan dari sikap pelaku, sebelum, selama, dan/atau setelah tingkah laku/ tindakan yang terlarang itu. Sehubungan dengan pembukitan kesengajaan (opset), memang kita terbentur pada kesulitan-kesulitan, terutama bilamana pelakunya memungkirinya, bahakan sering tidak dapat dibuktikan. Seiring dalam usaha yang telah terjadi. Dengan perkataan lain pembuktian mengenai adanya kesengajaan, seiring dinilai dari perbuatn-perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku beserta akibat-akibatnya.
Teori-teori Kesengajaan. Dalam hukum pidana dapat disebut 2 teori, yaitu: Teori Kehendak (wilstheorie), dan Teori pengetahuan atau membayangkan (Voorstellings-theorie). Corak kesengajaan Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau noodzakelijkheidbewustzijn) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet).
Untuk memudahkan pemahaman kita pada Kesengajaan (opset/dolus) saya memiliki contoh tindakannya, seperti: •
A menghendaki matinya B dengan kekuatan tanganya sendiri. A mencekik leher B dan B mati.
•
D mengarahkan bedilnya kepada kelompok manusia, yang dia anggap sebagai lawan-lawannya. Tanpa mengunakan alat bidik, ditembakannya dan menghendaki matinya salah seseorang dari mereka itu. Jadi sembarang saja, siapa saja pokoknya ada yang mati.
•
X melempar bom ke dalam gedung bioskop (theatre) yang penuh sesak dengan penonton. Matinya beberapa orang yang ditimbulkan pecahanpecahan bom itulah yang di kehendaki X.
Kealpaan (culpa) Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui pengertiannya: •
Segaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karna mengunakan ingatan/ otaknya secara slah, seharusnya ia mengunakan ingatanya (sebaikbaiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan ( aktif atau pasif) dengan kurang kewarasan yang diperlukan.
•
Pelaku dapat memprakirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tindk melakukna tindkakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindkana itu tidak dirugikan, atas tindkakan mana ia kemudian dicela, karna bersifat melawan hokum.
M.v.T menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat: a. kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan b. kekurangan pengetahuan ( ilmu) yang diperlukan c. kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan. Kealpaan, sepertinya juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adlah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki,
walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran ntuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (kesadaranmungkin, dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata). Dalam memahami tentang kealpaan atau culpa lebih mudah saya akan menguraikan contoh, yaitu: tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran, tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang kerjatuh karnannya. Dalam hal seperti contoh tindakan diatas kita temukan kealpaan yang dapat dituntut menurut hukum pidana.
Kesimpulan:
Tindak Pidana Kesengajaan (opzet/dolus) dan Kealpaan (culpa) Suatu tindak pidana diliputi dengan kesengajaan, hal ini dapat dilihat dari adanya perbuatan dilakukan dengan antara lain adanya “rencana”, “niat”, “maksud”, “dikehendaki”, “diketahui”. Dalam kepustakaan, sering dikemukakan adanya 2 teori kesengejaan yaitu (1) teori pengetahuan (wilstheorie) dan (2) teori kehendak (voorstelling-theorie). Menurut saya, teori kehendak (voorstelling-theorie) lebih memuaskan, sebab seseorang yang berkehendak, pastilah sudah mengetahui apa yang
dikehendakinya termasuk akibat yang akan terjadi. Sebaliknya, seseorang yang mengetahui, belum tentu berkehendak, justru malahan tidak berkehendak. Misalnya, semua orang mengetahui bahwa membunuh itu dilarang UU, dan tidak semua orang berkehendak melakukan perbuatan tersebut. Contoh tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan adalah melakukan pembunuhan (melanggar Pasal 338 KUHP). Suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati. Kealpaan yang demikian ini dikenal dengan istilah bewuste culpa (culpa yang disadari). Ada lagi istilah onbewuste culpa (culpa yang tidak disadari), misalnya belajar mengendarai mobil kemudian menabrak dan mengakibatkan orang mati. Kedua perbuatan tersebut melanggar Pasal 359 KUHP.