SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Disusun Oleh:
NAMA
: ATRIYANI
NIM
: H1A1 16 344
KELAS
:H
ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEA KENDARI 2017
KATA PENGNTAR Rasa syukur yang dalam saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpaha Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga makalh ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, ataupun pedoman bagi pembaca dalam memahami sejarah dan perkembangan mengenai Hukum Islam yang ada di Indonesia. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dan kedepannya dapat lebih baik lagi. Makalah ini masih banyak kekuragan karena pengalaman yang saya miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu,saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kendari, 25 Februari 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………………
2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang …………………………………………………
4
1.2
Rumusan Masalah………………………………………………
5
1.3
Tujuan ………………………………………………………….
5
1.4
Manfaat Penulisan ……………………………………………..
5
BAB II PEMBAHASAN I 2.1
Sejarah Masuknya Islam di Indonesia …………………………
6
2.1.1 Teori Gujarat ……………………………………………
6
2.1.2 Teori Makkah …………………………………………..
7
2.1.3 Teori Persia …………………………………………….
7
BAB III PEMBAHASAN II 3.1
Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia …………………..
9
3.1.1 Masa Kerajaan Islam di Nusantara ……………………..
9
3.1.2 Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad XX ) …
11
3.1.3 Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru ) …………………………
15
3.1.4 Masa Reformasi (1998 - sekarang) ……………………
20
BAB IV PENUTUP 4.1
Kesimpulan ………………………………………………….
23
4.2
Saran …………………………………………………………
23
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam sebagai agama yang dipeluk
oleh mayoritas
penduduk
Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Dalam pandangan masyarakat Indonesia, hukum Islam merupakan bagian penting dari ajaran agama
Islam masuk Indonesia dikuti masukya kerajaan-karajaan Islam. Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Indonesia, maka dengan itu hukum Islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebaagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial. Inilah hukum Islam mulai mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam masyarakat. Penyebaran
Islam di
Indonesia
yang berlangsung secara bertahap
menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan.Selain itu Masyarakat pada umunya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri,sehingga ketika Islam datang terjadilah akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan hukum Islam dari masa kerajaan Islam hingga masa reformasi.
4
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia? 1.2.2 Bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia? 1.3 Tujuan 1.3.1 Mengetahui sejarah masuknyaIslam di Indonesia. 1.3.2 Mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia. 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Memberikan informasi mengenai sejarah masuknya Islam di Indonesia. 1.4.2 Menambah wawasan bagi pembaca untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia.
5
BAB II PEMBAHASAN I
2.1 Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 2.1.1 Teori Gujarat Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah: a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa. c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
6
2.1.2 Teori Makkah Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah: a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi. c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. 2.1.3 Teori Persia Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
7
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj. c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat. d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik. e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat. Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
8
BAB III PEMBAHASAN II
3.1 Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia 3.1.1 Masa Kerajaan Islam di Nusantara Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara. Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore. Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaankerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama
9
kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara. Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid. Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hokum Islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan
10
oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris. Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantarahukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal alsyakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum Islam menjadi hukum yang positif di nusantara. Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenis 3.1.2 Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad XX ) Bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum Islam.
11
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu dan periode receptie. Pereiode pertama terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan Belanda. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya. Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia. Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-udang.Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah
12
kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan hukum adat. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukun Islam di bawah Hukum adat. Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya lembaga ini menjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam. Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa setiap keputusan harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi yang diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antarapenjajah dengan masyarakat jajahan. Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis
13
kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan control politik Islam. Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Upaya mengontrol
operasionalisasi hukum Islam juga
dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam. Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu,
(2)
penghulu
berstatus
sebagai
abdi
pemerintah
dan
mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilakanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima perkara banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana perkara tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi
14
hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam. Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuanketentuan
agamanya
adalah
taktik
Belanda
untuk
meneguhkan
kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk menguatkan posisi hukum adar dan melemahkan hukum Islam di Indinesia. Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap peradilan hukum Islam dan hkum Isla. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang member nasehat dalam bidang kewarisan.
3.1.3 Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru ) Berakhirnya
kolonialisme
di
Indonesia
sekaligus
juga
mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam
15
di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara. Pada fase hukum islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-source dan authoritative-source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2). Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama. Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No.
16
11/MPRS/1960 tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional, menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum islam dalam hukum nasional. Formatisasi
hukum
islam
dilakukan
dengan
upaya
mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum islam yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama. Institusi peradilan islam juga menenpati posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan
17
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam. Keberadaan
Peradilan
Agama
semakin
jelas
dengan
ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah). Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hokum materil sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya.
Dalam
menangani
perkara,
hakim
peradilan
Agama
menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama. Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan pelaksanaan
18
pengembangan hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negaranegara yang penduduknya mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan dan buku tiga tentang hukum perwakafan. Pemberlakuan hukum islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja. Hukum islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991
19
tentang
Kompilasi
Hukum
Islam,
UU
No.17/1999
tentang
Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. 3.1.4 Masa Reformasi (1998 - sekarang) Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Akibatnya bagi perkembangan hukum islam adalah banyak daerah menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan
20
Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI). Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah: a.
Penerapan syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
b.
Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.
c.
Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
d.
Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Tindak
lanjut
dari
Undang-undang
di
atas
adalah
ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam. Fenomena pelaksanaan hukum islam juga merambah daerahdaerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerahdaerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
21
Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
22
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 4.1.1 Sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia ada 3 teori yaitu Teori Gujarat, Teori Mekkah, dan Teori Persia. Persamaan dari ketiga teori tersebut adalah penyebaran agama Islam melalui jalur perdagangan. 4.1.2 Perkembangan
hukum
Islam
di
Indonesia
dipengaruhi
oleh
bermacam-macam faktor, seperti penguasa dan masyarakat pada era itu sendiri. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam diterapkan dalam berbagai hal tata negara dan hubungan bermasyarakat. Pada masa penjajahan hukum Islam berlaku lebih dikhususkan untuk orang Islam saja, dan seiring perkembangan Belanda bahkan berusaha menghapus sedikit demi sedikit hukum Islam. Pada masa setelah kemerdekaan (orde lama, orde baru dan reformasi) Hukum Islam mulai diterapkan kembali, meskipun secara tidak langsung. 4.2 Saran Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan Hukum Islam selanjutnya di Indonesia dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang-undangan mengenai apa yang belum ada sebelumnya.
23
DAFTAR PUSTAKA http://books.google.co.id https://farahfitriani.wordpress.com/2011/04/30/hukum-islam-di-indonesia/ http://www.panganjuk.go.id/images/artikel/artikel_teori_dan_pemikiran_berlakunya hukum_islam_indonesia.pdf https://dewapurnama.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-hukum-islam-diindonesia.pdf https://smujiono.wordpress.com/2011/03/17/sejarah-hukum-islam-di-indonesia/ http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149572&val=5885&title=TEOI TEORI%20PEMBERLAKUAN%20HUKUM%20ISLAM%20DI%20INDONESIA
24