Candi Borobudur
Gaya arsitektur
stupa dan candi
Kota
Kecamatan Borobudur, sekitar 3 km dari Kota Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)
Negara
Koordinat
Indonesia
7.608°S 110.204°E
Awal konstruksi
sekitar 770 Masehi
Selesai
sekitar 825 Masehi
Klien
Sailendra
Detail teknis
Sistem struktur
piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci
Ukuran
luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)
Desain dan konstruksi
Arsitek
Gunadharma
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha
tengah
duduk
bersila
dalam
posisi
teratai
sempurna
dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma). Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat
suci
untuk
memuliakan Buddha sekaligus
berfungsi
sebagai
tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur
telah
mengalami
serangkaian
upaya
penyelamatan
dan
pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Provinsi Riau adalah sebuah provinsi yang terletak di tengah Pulau Sumatera, tepatnya di Pesisir Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera. Provinsi Riau dihuni oleh suku Melayu sebagai suku asli sekaligus suku mayoritas penduduknya. Karena demografisnya yang demikian, budaya Melayu menjadi terasa sangat kental bila kita berkunjung ke Provinsi ini. Salah satu yang bisa dengan mudah kita jumpai untuk membuktikan kentalnya budaya Melayu di sana adalah rumah adat melayu khas Provinsi Riau yang bernama Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar.
1. Struktur Bangunan Rumah Dalam budaya Melayu, sebetulnya dikenal beberapa jenis arsitektur rumah adat, misalnya Rumah Melayu Atap Limas Potong, Rumah Melayu Atap Belah Bubung, Rumah Melayu Atap Lipat Kajang, dan Rumah Melayu Atap Lontik. Kendati demikian, yang dipilih untuk menjadi rumah adat khas dari Provinsi Riau adalah Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar atau juga disebut Balai Salaso Jatuh. Rumah adat Selaso Jatuh Kembar adalah sebuah rumah panggung berukuran besar yang tersusun lebih dari satu tingkat. Rumah ini dinamakan Selaso Jatuh Kembar karena ia memiliki selasar (selaso) yang lebih rendah (turun) dibandingkan dengan ruang tengah. Secara keseluruhan, rumah adat Riau ini dibuat dari bahan alam. Atapnya terbuat dari daun rumbia yang diikat menggunakan rotan pada tulang atap, sementara bagian lainnya seperti dinding, tiang, atau lantai terbuat dari kayu-kayu kualitas terbaik semacam kayu meranti, kayu punak, atau kayu medang.
2. Fungsi Rumah Adat Rumah adat Selaso Jatuh Kembar tidak digunakan sebagai desain rumah tinggal. Rumah adat Riau ini pada masa silam difungsikan sebagai balai pertemuan adat. Oleh karenanya, rumah adat ini juga disebut Balai Salaso Jatuh. Kendati bukan difungsikan sebagai rumah tinggal, Selaso Jatuh Kembar tetap dibagi menjadi beberapa ruangan. Ada ruang luas yang digunakan untuk tempat bersila atau tempat untuk bermusyawarah dalam pertemuan adat, ada ruangan untuk menyimpan benda-benda adat seperti alat musik tradisional dan perlengkapan tari-tarian, ada anjungan, tempat tidur, dan bahkan ada dapur. 3. Ciri Khas dan Nilai Filosofis Selain ukurannya yang besar dan terdiri atas beberapa tingkat, ada beberapa karakteristik yang dimiliki rumah adat Selaso Jatuh Kembar dibandingkan rumah adat Melayu lainnya. Karakteristik yang kemudian menjadi ciri khas rumah adat Riau ini antara lain:
Memiliki silangan pada ujung atap (perabung) yang disebut Sulo Bayung (Selembayung) dan silangan padan kaki atap yang disebut Sayok Layangan. Silangan ini merupakan simbol bahwa masyarakat Melayu Riau adalah masyarakat yang religius.
Memiliki loteng (lantai tingkat 2) yang dilengkapi dengan lubang-lubang angin berukuran besar.
Pada bagian depan rumah dilengkapi dengan hiasan ukiran-ukiran etnik Melayu
dengan
motif
flora
(tumbuhan)
dan
fauna
(hewan)
yang
mengisyaratkan pentingnya peran hutan bagi masyarakat Melayu Riau. Ukiran yang didominasi warna merah dan kuning tersebut dapat ditemui dalam berbagai motif, seperti motif selembayung, lebah bergayut, atau motif pucuk rebung.
Rumah adat Riau ini selalu menghadap ke badan sungai. ini merupakan pertanda bahwa masyarakat Riau tidak bisa dilepaskan dari fungsi sungai sebagai satu-satunya jalan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.