BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Hasil penelitian The U.S. Centre for Health Statistic selama 8 tahun menunjukkan 32% masyarakat Amerika menderita nyeri yang kronis dan hasil penelitian WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22% pasien menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi nyeri meningkat menjadi 50%. Rasa nyeri akan disertai respon stress, antara lain berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara kuat, memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan (Hartwig & Wilson, 2006). Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang mengganggu, berhubungan dengan ancaman, timbulnya gangguan atau kerusakan jaringan. Keadaan psikologis seseorang sangat berpengaruh, misalnya emosi dapat menimbulkan nyeri/sakit kepala atau membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang berbeda – beda karena nyeri merupakan suatu perasaan subyektif (Sherwood, 2012). Rasa nyeri berfungsi sebagai pertanda tentang adanya suatu gejala atau gangguan di tubuh, seperti peradangan infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang mekanis, kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat
1
merusak jaringan dan melepaskan zat mediator nyeri. Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya di ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Rangsangan akan di dialirkan melalui syaraf sensoris ke Susunan Syaraf Pusat (S.S.P), melewati sumsum tulang belakang ke thalamus (optikus) kemudian ke pusat nyeri yang berada di dalam otak besar, dimana rangsangan terasa sebagai nyeri (Arif, 2010). Jalur nyeri di bagi menjadi beberapa tipe menurut kecepatan hantar rangsanganya, yaitu jalur nyeri cepat melalui serabut A dan jalur nyeri lambat melalui serabut C. Rangsangan terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan ujungujung saraf bebas. Rangsangan akan dibawa sebagai impuls saraf melalui serabut 2 A delta yang bermielin, serabut ini memiliki kecepatan hantar yang tinggi yaitu 30m/detik dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam dan terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri cepat). Serabut C yang tidak bermielin memiliki kecepatan lambat untuk menghantarkan saraf yaitu 12m/detik dan bertanggung jawab atas nyeri yang tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri lambat). Nyeri dirasakan pertama kali biasanya berupa sentakan tajam yang kemudian disusul dengan nyeri yang lebih difus (Sherwood, 2012). Nyeri yang disebabkan oleh nosiseptor mekanis dan panas spesifik akan disalurkan melalui jalur nyeri cepat. Nyeri yang dirasakan sebagai sensasi tertusuk benda tajam yang dapat dengan mudah diketahui lokasinya. Nyeri yang disalurkan melalui jalur nyeri lambat biasanya menetap dalam waktu yang lebih lama disertai rasa yang tidak nyaman. Sensasi ini diikuti oleh sensasi pegal tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas. Jalur nyeri lambat diaktifkan oleh bahan – bahan kimia terutama bradikinin. Bradikinin adalah suatu bahan inaktif yang kemudian menjadi aktif akibat enzim – enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan yang rusak. Senyawa ini tidak hanya memicu nyeri tetapi juga merangsang noniseptor polimedal dan juga merangsang peradangan yang cedera (Sherwood, 2012). Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat analgesik. Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi pembentukan 2
rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem syaraf pusat (Arif, 2010). Analgesik yang termasuk dalam golongan AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang akan mengubah asam 3 arakidonat menjadi prostaglandin di mana prostaglandin adalah mediator nyeri, sedangkan analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan rangsang nyeri sehingga terjadi penghambatan rasa nyeri (Ganiswarna dkk, 1995). Analgesik yang sering digunakan masyarakat adalah yang memiliki kandungan parasetamol, ibuprofen, asam mefenamat, dan lain-lain, namun obat obatan kimia tersebut memilik efek samping yang kurang baik bagi tubuh kita apabila di gunakan dalam jangka waktu panjang. Opioid akan menimbulkan adiksi dan golongan AINS dapat menimbulkan gastritis yang apabila telah parah menyebabkan perdarahan pada saluran cerna, gangguan asam-basa, menghambat ekskresi asam urat, agranulositosis dan gangguan fungsi trombosit (Sardjono dkk, 1995). 1.2 Tujuan Praktikum Untuk mengenal dan mempraktikkan uji analgetik pada hewan uji menggunakan rangsangan kimia
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik daei suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan pendertita, tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya. Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati, persaudaraan, alih pengertian, pemberiian analgesi, ansiolitik, antidepresan, dan pengurangan gejala. Sedangkan toleransi menurun pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan, depresi, penolakan sosial, isolasi mental, dan keadaan yang tidak menyenangkan. Plastisitas saraf sentral maupun perifer menjadi dasar pengetahuan nyeri patologik atau yang diidentikan sebagai nyeri kronik. Nyeri pasca operasi memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang berpengaruh 13 pada mortalitas dan berbagai morbiditas pascaoperasi. Nyeri operasi bersifat self limiting (tidak lebih dari 7 hari). Nyeri hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab penting respon stress dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus ditanggulangi berbeda dengan nyeri kronik berdasarkan three step analgetic ladder WHO. Nyeri operasi umumnya berlangsung 24 jam. Prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder. 27 14 Besarnya persepsi nyeri dan sensasi lain bergantung pada stimulasi dari reseptor perifer yang diikuti dengan transmisi impuls oleh saraf sensorik melalui medula spinalis dan otak, kemudian menuju thalamus dan korteks. Persepsi nyeri 4
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya aktivitas saraf dan perubahan intensitas stimulus. Sebagai contoh pada tangan yang di rendam pada air hangat, respon nyeri akan dipersepsikan dalam jangka waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan memasukkan tangan secara langsung pada air panas. Hal ini merefleksikan besarnya frekuensi impuls yang melalui saraf sensorik.
Gambar 3. Three Step Analgetic Ladder
2.1.1 Patofisiologi Nyeri Tahap terjadinya nyeri adalah sebagai berikut : a. Transduksi Proses inflamasi akan menyebabkan teraktifasinya reseptor nyeri akibat proses kimiawi. Sensitisasi perifer dapat mengakibatkan keadaan meningkatnya ambang nyeri pada seseorang. Apabila pada rangsangan yang lemah terasa nyeri maka keadaan ini disebut dengan Allodinia. Sedangkan apabila pada rangsangan yang kuat terasa sangat nyeri, maka disebut dengan hiperalgesia. Proses transduksi dihambat oleh obat non steroid anti inflamasi.
5
b. Transmisi Proses penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta bermielin dan serabut C tak bermielin. Impuls ini akan dilanjutkan menuju traktus 15 spinothalamikus, sebelum akhirnya disalurkan menuju area somatik primer di korteks serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal di perifer maupun sentral. c. Modulasi Pada tahap ini impuls akan mengalami fase penyaringan intensitas di medula spinalis sebelum dilanjutkan ke korteks serebri. Modulator penghambat nyeri di medula spinalis terdiri dari analgetik endogen seperti endorfin, sistem inhibisi sentral seretonin dan noradrenalin, dan aktifitas serabut A beta. d. Persepsi Proses ini merupakan tahap akhir dari semua proses yang sudah disebutkan diatas. Pada tahap ini akan dihasilkan suatu persepsi nyeri secara subjektif.
6
Obat analgesik mampu menghambat pelepasan dari kortikotropin dan kortisol, walaupun respon dari peningkatan ACTH masih ada. 2.2 Analgetik Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perier dan sistem saraf pusat. 2.2.1 Tramadol Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki afinitas sedang pada reseptor mu(µ) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa dan delta opioid. Obat golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai obat anti nyeri kronis dan nyeri non-maligna. Tramadol tergolong dalam opioid sintetik lemah, sehingga dapat berikatan dengan reseptor morfin pada tubuh manusia. Obat ini memiliki efektifitas yang sama dengan morfin atau miperidin walaupun reseptor tramadol berjumlah lebih sedikit. Tramadol mengikat reseptor µ-opiod, sehingga menyebabkan potensi kerja tramadol menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan morfin. Reseptor opioid akan diaktifkan oleh peptide endogen dan juga eksogen ligand. Reseptor-reseptor ini terdapat pada banyak organ, seperti thalamus, amygdala dan juga ganglia dorsalis. Melalui pengikatan dengan neuron dopaminergik maka akan memodulasi terjadinya hiperkarbia, hipoksemia, miosis dan juga pengurangan motilitas pada saluran cerna. Di hati, obat ini akan mengalami konversi menjadi Odysmetil tramadol, yang merupakan metabolit aktif yang memiliki pontensi kerja yang lebih besar dibandingkan dengan tramadol. Obat ini dieksresi melalui ginjal. Tramadol berwarna putih, pahit, berbentuk kristal dan tidak berbau.
7
Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari. Kadar terapeutik dalam darah berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini dapat melakukan penetrasi pada sawar darah dengan baik, sehingga konsentrasi tramadol dapat dihitung pada cairan serebrospinal. Tramadol 3mg/kg yang diberikan secara oral, i.m. atau i.v. efektif pada pengobatan nyeri sedang hingga berat. Penurunan yang nyata keadaan menggigil setelah operasi yang telah tercatat pada pasien yang ditangani dengan obat ini dan efek depresi pernafasan yang minimal merupakan keuntungan dari obat ini. Tramadol memperlambat pengosongan lambung, meskipun efeknya kecil dibandingkan dengan opioid lain. Selain itu, tramadol juga dapat menyebabkan sensasi berputar, konstipasi, pusing, dan penurunan kesadaran. Penggunaan tramadol sebaiknya dihentikan bila didapatkan gejala seperti kejang, nadi lemah, dan kesulitan bernafas. Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih aman untuk digunakan karena tidak memiliki efek yang serius terhadap pencernaan, sistem koagulasi, dan ginjal. Obat ini bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini tidak menyebabkan toleransi atau adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas organ utama atau efek sedatif yang signifikan. Obat ini juga bermanfaat pada pasien yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi non steroid. Kerugian tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin dan kejadian kejang. Oleh karena itu pada pasien epilepsi, penggunaan tramadol
8
sebaiknya dihindari. Selanjutnya efek samping tramadol yang paling sering terjadi adalah meningkatnya insidensi mual dan muntah pada pasien perioperatif. Odansetron dapat mengganggu komponen analgesik pada tramadol karena efek pada reuptake dan pelepasan 5- hydroxytryptamine.
2.2.2 Natrium Diklofenak Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dengan efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik yang digunakan secara luas pada nyeri akut, subakut, dan kronis. Obat ini umum digunakan untuk kondisi yang berkaitan dengan nyeri kronis pada muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid, osteoartritis, spondilitis ankilosa, spondiloartritis, dan artritis gout.
Gambar 2. Rumus Struktur Na Diklofenak Salah satu kelebihan utama dari natrium diklofenak adalah kemampuannya untuk memblokir isoenzim cyclooxygenase-2 (COX-2) 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan OAINS lain. Hal ini menyebabkan berkurangnya insiden gangguan gastrointestinal, tukak lambung, dan perdarahan gastrointestinal. Obat ini sudah tersedia bentuk-bentuk generiknya sehingga bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah. Penelitian yang dilakukan oleh Meinicke J et al membuktikan bahwa natrium diklofenak memiliki efektivitas lebih baik daripada ibuprofen dalam pengobatan artritis reumatoid. Dosis harian natrium diklofenak adalah 100 sampai 200 mg yang dibagi menjadi beberapa dosis. Efek samping natrium diklofenak terjadi pada kira-kira 30% penderita, baik pada pasien lanjut usia dimana organ-organnya
9
telah mengalami penurunan fungsi maupun pada pasien sehat. Salah satu efek sampingnya yaitu gangguan fungsi ginjal. Obat ini dapat menyebabkan oliguria yang disebabkan oleh menurunnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus ginjal. Pada keadaan tersebut akan terjadi retensi atau kegagalan ekskresi. berbagai produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat. Adanya produkproduk metabolisme protein tersebut pada plasma darah dapat digunakan sebagai indikator kegagalan fungsi ginjal meskipun kurang sensitif. Selain itu, penggunaan natrium diklofenak juga sering dikaitkan dengan terjadinya nekrosis papiler. Penggunaannya dalam jangka waktu lama pada penyakit-penyakit kronis tentu saja akan meningkatkan risiko efek samping terhadap ginjal. Urea adalah produk sisa metabolisme protein dengan berat molekul rendah yang bebas disaring oleh glomerulus ginjal. Pada sebagian besar penelitian klinis dan toksikologi, ureum biasanya digunakan sebagai penanda fungsi ginjal. Kadar ureum dipengaruhi oleh banyak faktor seperti diet tinggi protein, sepsis, luka bakar, trauma, dehidrasi, perdarahan gastrointestinal, dan pada penggunaan obat kortikosteroid atau tetrasiklin. Meskipun demikian, di Indonesia ureum masih lazim digunakan untuk mengecek fungsi ginjal, baik dalam klinik maupun penelitian karena mudah dilakukan dan relatif murah. Penelitian mengenai toksisitas natrium diklofenak pada ginjal masih terbatas, padahal obat ini digunakan secara luas di masyarakat. 2.2.3 Antalgin Antalgin termasuk derivat metasulfonat dari amidopiryn yang mudah larut dalam air dan cepat diserap kedalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin merupakan inhibitor selektif dari prostaglandin F2α yaitu: suatu mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi radang seperti panas, merah, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada penderita demam rheumatik dan rheumatik arthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).
10
Gambar 3. Rumus Struktur Antalgin Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan. Sebagai antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Kerja analgetik antalgin lebih besar dibandingkan dengan kerja antipiretik yang dimilikinya. Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah (Ganiswara,1981). Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama, penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal.Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur.Jika gejala tersebut timbul, penggunaan obat ini harus segera dihentikan. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah: methemoglobinemia, erupsi kulit, seperti pada kasus eritematous disekitar mulut, hidung dan alat kelamin. antalgin adalah obat pereda nyeri, namun obat ini tidak untuk mengobati rasa nyeri otot pada gejala-gejala flu dan tidak untuk mengobati kondisi rematik dan lumbago(Lukmanto, 1986). Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur (Lukmanto, 1986). Efek samping lain yang
11
mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia. Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral (Widodo, 1993).
12
BAB III METODOLOGI
3.1 Alat, Bahan dan Hewan Uji
Alat : 1. Spluit injeksi (1,0ml) 2. Jarum oral (ujung tumpul) 3. Beker glass 4. Stopwatch Hewan Uji : Lima belas ekor mencit betina umur 40 – 60 hari berat 20-30 g Bahan : 1. Larutan Dekstrosa 5% dalam air (pH 5) 2. Larutan Na diklofenak (50mg) dalam dekstrosa 5% 3. Larutan tramadol HCl dalam dekstrosa 5% 4. Larutan asam asetat 3% 5. Larutan Antalgin dalam dekstrosa 5%
3.2 Metodologi 1. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok (A, B, C) yang masing – masing terdiri dari 5 ekor. 2. Masing – masing mencit ditimbang kemudian diberi label. 3. Mencit – mencit pada kelompok A (kelompok kontrol) diberi larutan dekstrosa secara per oral kemudian ditunggu selama 5 menit. 4. Mencit – mencit pada kelompok B diberi larutan Na-Diklofenak dengan dosis 50mg/kgBB per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat). 5. Mencit – mencit pada kelompok C diberi larutan tramadol HCl dengan dosis 50mg/kgBB per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat). 6. Mencit – mencit pada kelompok D diberi larutan Antalgin dengan dosis 500mg/kgBB per oral kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat). 7. Semua mencit diberi larutan asam asetat 3% v/v dengan volume 0,2 ml melalui rute intraperitoneal.
13
8. Dilakukan pengamatan geliat mencit (perut kejang dan kaki ditarik kebelakang). 9. Dicatat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama 20 menit. 10. Dilakukan perhitungan persen daya analgetik. 11. Analisis data dilakukan dengan membandingkan rata –rata daya analgetik antara kelompok B dan C menggunakan t-test (jika data terdistribusi normal) atau uji wilcoxon (jika data tidak berdistribusi normal). 3.3 Skema Kerja
Mencit dibagi menjadi tiga kelompok (A, B, C) yang masing – masing terdiri dari 5 ekor.
Masing – masing mencit ditimbang kemudian diberi label.
kel. A (5 ekor)
kel. B (5 ekor)
kel. C (5 ekor)
kel. D (5 ekor)
(kontrol) diberi lar. Dekstrosa 5% per oral
lar.Na-Diklofenac 50mg/kgBB per oral
Lar.Tramadol HCl 50mg/kgBB per oral
Lar. Antalgin 500mg/kgBB per oral
kemudian ditunggu selama 30 menit (hitunglah volume pemberiannya dan konsentrasi larutan yang harus dibuat)
Semua mencit diberi larutan asam asetat 3% v/v dengan volume 0,2 ml melalui rute intraperitoneal.
Dilakukan pengamatan geliat mencit (perut kejang dan kaki ditarik kebelakang).
14
Dicatat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama 20 menit.
Dilakukan perhitungan persen daya analgetik dan BAB III analisis data menggunakan r studio METOLOGI
15
BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Penimbangan Berat Mencit Kelompok Mencit
Berat Badan (gr)
Berat Badan (kg)
1
20
0,020
2
16
0,016
3
17
0,017
4
18
0,018
5
13
0,013
5.2 Perhitungan Konversi, Dosis dan Volume Penyuntikan 4.2.1
Natrium Diklofenak Natrium Diklofenak yang diberikan 50 mg/kg BB. Berat mencit yang paling besar dikonversi Rumus : C =
𝐖𝐱𝐃 𝐕
Konsentrasi Natrium Diklofenak yang Disuntik Oral C= C=
W 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑥 D V 0,020 𝑥 50 mg 0,5 ml
C = 2 mg/ml Volume Natrium Diklofenak yang disuntik oral Mencit 1 :
V=
0,020 𝑥 50 mg 2 mg/ml
V = 0,5 ml Mencit 2 :
V=
0,016 𝑥 50 mg 2 mg/ml
V = 0,4 ml
16
Mencit 3 :
V=
0,017 𝑥 50 mg 2 mg/ml
V = 0,425 ml Mencit 4 :
V=
0,018 𝑥 50 mg 2 mg/ml
V = 0,45 ml Mencit 5 :
V=
0,013 𝑥 50 mg 2 mg/ml
V = 0,325 ml Setelah 30 menit kemudian di injeksi asam asetat 3 % dengan volume 0,2 ml 5.3 Data Jumlah Geliat Mencit Selama 20 Menit Kelompok
Kontrol (-)
Na Diklofenak
Tramadol
Antalgin
1
3
11
10
29
2
42
17
4
31
3
22
84
6
35
4
54
34
15
18
5
41
71
7
22
Mencit
5.4 Data Prosentase Daya Analgetik Kelompok
Na Diklofenak
Tramadol
Antalgin
Mencit
(%)
(%)
(%)
1
96,33
96,67
90,33
2
99,60
99,90
99,26
3
96,18
99,73
98,41
4
99,37
99,72
99,67
5
98,27
99,83
99,46
17
5.5 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan membandingkan rata –rata daya analgetik antara kelompok B dan C menggunakan t-test (jika data terdistribusi normal) atau uji wilcoxon (jika data tidak berdistribusi normal).
18
19
Dari analisa data diatas didapatkan hasil bahwa data tersebut menunjukkan data nonparametrik, alasannya karena data tidak homogen (P<0.05, cek barlett test). Data terdistribusi normal, berdasarkan hasil P>0.05 pada Shapiro test. Data tidak homogen, berdasarkan hasil P<0.05 pada Barlett test. Hasil Dunn.test : terdapat perbedaan signifikan antara Tramadol dengan Antalgin, Tramadol dengan Natrium Diklofenak (P<0.05), sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara Natrium Diklofenak dibandingkan Antalgin (P>0.05). Hasil dunnTest: khasiat analgetik lebih poten ditunjukkan oleh Tramadol dibandingkan Natrium Diklofenak maupun Antalgin (lihat hasil dunnTest atau Boxplot).
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Mahasiswa melakukan praktikum farmakologi dan toksikologi dengan materi analgetik. Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari dan mengetahui efektivitas analgetika sediaan obat ( Natrium Diklofenak, Tramadol, dan Antalgin) pada hewan uji mencit sehingga kita dapat membandingkan daya analgetika dari obat – obat tersebut setelah mencit diberi induktor nyeri asam asetat 3 %. Percobaan ini menggunakan metode Witkin ( Writhing Tes / Metode Geliat ), dengan prinsip yaitu memberikan asam asetat 3% ( indikator nyeri ) kepada mencit yang akan menimbulkan geliat ( Writhing ), sehingga dapat diamati respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan cara menarik abdomen, menarik kaki kebelakang, dan membengkokan kepala ke belakang. Dengan pemberian obat analgetik (Natrium Diklofenak, Tramadol, dan Antalgin ) akan mengurangi respon tersebut. Pemberian obat-obat analgetik pada mencit dilakukan secara peroral,setiap mencit diberikan obat yang berbeda, sebagai kontrol negatif diberikan Aquades, setelah obat diberikan mencit didiamkan selama 30 menit. Kemudian disuntik secara intraperitoneal dengan larutan induksi asam asetat 3 %. Pemberian dilakukan secara intraperitoneal karena memungkinkan sediaan lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh, cepat memberikan efek, mencegah penguraian asam asetat pada jaringan fisiologik organ tertentu, serta efek merusak jaringan tubuh jika pada organ tertentu. Misalnya apabila asam asetat 3% diberikan per oral, akan merusak saluran pencernaan, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap asam. Larutan asam asetat diberikan setelah 30 menit, ini bertujuan agar obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 3% mencit akan menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 20 menit.
21
Penggunaan asam asetat sebagai induktor dalam percobaan ini karena asam asetat merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi dalam tubuh, pemberian sediaan asetat terhadap hewan percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan
rasa
nyeri
akibat
adanya
kerusakan
jaringan
atau
inflamasi. Prostaglandin meyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata, sehingga mencit akan menggeliatkan kaki belakang saat efek dari penginduksi ini bekerja. Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa urutan obat yang memiliki daya analgetik paling tinggi atau kuat adalah Tramadol, Antalgin, Natrium Diklofenak. Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang paling tinggi adalah Tramadol sebanyak 99,17%. Natrium Diklofenak pada percobaan ini memiliki daya analgetik yang tinggi setelah Tramadol yaitu 97,95%. Sedangkan analgetik yang menunjukkan aktivitas dibawah Tramadol dan Natrium diklofenak adalah Antalgin dengan persentase 97,43% Dari analisa data juga didapatkan hasil bahwa data tersebut menunjukkan data non-parametrik, alasannya karena data tidak homogen (P<0.05, pada uji barlett test). Data terdistribusi normal, berdasarkan hasil P>0.05 pada uji Shapiro test. Data tidak homogen, berdasarkan hasil P<0.05 pada uji Barlett test. Hasil Dunn.test : terdapat perbedaan signifikan antara Tramadol dengan Antalgin, Tramadol dengan Natrium Diklofenak (P<0.05), sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara Natrium Diklofenak dibandingkan Antalgin (P>0.05). Hasil uji dunnTest menunjukkan bahwa khasiat analgetik lebih poten ditunjukkan oleh Tramadol dibandingkan Natrium Diklofenak maupun Antalgin.
22
BAB VI KESIMPULAN
5.1 Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perier dan sistem saraf pusat. 5.2 Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang paling tinggi adalah Tramadol sebanyak 99,17%. Natrium Diklofenak pada percobaan ini memiliki daya analgetik yang tinggi setelah Tramadol yaitu 97,95%. Sedangkan analgetik yang menunjukkan aktivitas dibawah Tramadol dan Natrium diklofenak adalah Antalgin dengan persentase 97,43%. 5.3 Hasil Dunn.test : terdapat perbedaan signifikan antara Tramadol dengan Antalgin, Tramadol dengan Natrium Diklofenak (P<0.05), sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara Natrium Diklofenak dibandingkan Antalgin (P>0.05). 5.4 Hasil uji dunnTest menunjukkan bahwa khasiat analgetik lebih poten ditunjukkan oleh Tramadol dibandingkan Natrium Diklofenak maupun Antalgin.
23
DAFTAR PUSTAKA
Bertram, Katzung. 2007. Basic and Clinical Pharma cology ed 10. New York: Mc Graw Hill Medical. Dipiro, Joseph. 2008. Pharmacoterapy., A Pathophy siologic Approach., ed 7., New York: Mc Graw Hill Medical. Frances V.A and Mary I.F. 1998. Use and Abuse of Over-the-counter Analgesic Agents. Journal of Psychiatry & Neuroscience, 23 (1):13-34. Gery schmitz. 2001. Farmakologi dan toksikologi, ed 3., Jakarta: ECG. Goodman, L. S., and A. Gilman. 1991. Pharmacological Basis of Therapeutic, 8th ed. New York: Pergam on Press. Mutschler, Ernest. 1991. Dinamika Obat: Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit ITB. Tan H.T dan Kirana Rahardja.. 2010. Obat-obat Penting: Khasiat. Penggunaan, dan Efek-efek Samping. edisi ke-6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
24