Trauma_abdomen_fix_ Dinaaaaaaaaaaaaaaaa.docx

  • Uploaded by: Dina Antari
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Trauma_abdomen_fix_ Dinaaaaaaaaaaaaaaaa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,549
  • Pages: 24
BAB I PENDAHULUAN Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut. Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa,sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak darurat dan meninggal. Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada system pencernaan secara cepat,cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat kita hindari.

BAB II PEMBAHASAN 2.1.Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi trauma abdomen Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). 2. Etiologi Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu : a. Paksaan /benda tumpul Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. b. Trauma tembus Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan

oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. 3. Manifestasi Klinis a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium): 1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2) Respon stres simpatis 3) Perdarahan dan pembekuan darah 4) Kontaminasi bakteri 5) Kematian sel Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) ditandai dengan: 1) Kehilangan darah. 2) Memar/jejas pada dinding perut. 3) Kerusakan organ-organ. 4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut. 5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995). Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan manifestasi sebagai berikut : 1) Laserasi, memar,ekimosis 2) Hipotensi 3) Tidak adanya bising usus 4) Hemoperitoneum 5) Mual dan muntah 6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis), 7) Nyeri

8) Pendarahan 9) Penurunan kesadaran 10) Sesak 11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent. 12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal 13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan retroperitoneal. 14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis 15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe 4. Klasifikasi Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu : a. Trauma tumpul (blunt injury) Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera

pada

suatu

tabrakan

motor

bisa

mengalami trauma

decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal. b. Trauma tajam (penetration injury)

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%). Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan trauma pada isi abdomen. a. Trauma pada dinding abdomen Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi. 1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor. 2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi. b. Trauma pada isi abdomen Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari: 1) Perforasi organ viseral intraperitoneum Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen. 2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah. 3) Cedera thorak abdomen

Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).

5. Patofisiologi Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor fisik dari kekuatan

tersebut

dengan

jaringan

tubuh.

Berat

trauma

yang

terjadi

berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme : a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga. b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks. c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler

PATHWAY

Trauma (kecelakaan) ↓ Penetrasi & Non-Penetrasi ↓ Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom) ↓ Menekan saraf peritonitis ↓ Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri ↓ Motilitas usus ↓ Disfungsi usus → Resiko infeksi ↓ Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari dan eloktrolit kebutuhan tubuh ↓ Kelemahan fisik ↓ Gangguan mobilitas fisik (Sumber : Mansjoer,2001)

6. Manifestasi Klinis Menurut Effendi, (2005) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu : 1. Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas. 2. Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi. 3. Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben. 4. Mual dan muntah 5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.

7. Komplikasi a) Trombosis Vena b) Emboli Pulmonar c) Stress ulserasi dan perdarahan d) Pneumonia e) Tekanan ulserasi f) Atelektasis g) Sepsis 8. Pemeriksaan diagnostik a. Trauma Tumpul 1. Diagnostik Peritoneal Lavage DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai : a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.

b) Perubahan sensasi trauma spinal c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi f)

Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)Test (+)

pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah

makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280) 2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)

Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150) a) Computed Tomography (CT) Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151) b. Trauma Tajam 1. Cedera thorax bagian bawah Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan. 2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik. 3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman

terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151) c. Pemeriksaan Radiologi 1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal 2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.

3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus a) Urethrografi Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis.

b) Sistografi Rupture

buli-buli

intra-

ataupun

ekstraperitoneal

terbaik

ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto postvoiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148) c) CT Scan/IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan

massif.

Nonvisualisasi

keduanya

memerlukan

pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki. d) Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan

kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun

GI tract

dilakukan.(American

bagian College

bawah of

dengan Surgeon

kontras

harus

Committee

of

Trauma,2004:149). d. Pemeriksaan Laboratorium 1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri 2) Penurunan hematokrit/hemoglobin 3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT, 4) Koagulasi : PT,PTT 5) MRI 6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik 7) CT Scan 8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X. 9) Scan limfa 10) Ultrasonogram 11) Peningkatan serum atau amylase urine 12) Peningkatan glucose serum 13) Peningkatan lipase serum 14) DPL (+) untuk amylase 15) Penigkatan WBC 16) Peningkatan amylase serum 17) Elektrolit serum 18) AGD (ENA,2000:49-55) 9. Penatalaksanaan gawat darurat a. Pre Hospital Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. 1. Airway

Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya. 2. Breathing Dengan

ventilasi

yang

adekuat.

Memeriksa

pernapasan

dengan

menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). 3. Circulation Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas). Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) 1. Stop makanan dan minuman 2. Imobilisasi 3. Kirim kerumah sakit. Penetrasi (trauma tajam) 1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis. 2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka. 3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril. 4.

Imobilisasi pasien.

5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum. 6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang. 7. Kirim ke rumah sakit.

b. Hospital 1. Trauma penetrasi Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a. Skrinning pemeriksaan rontgen b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum. c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada. d. Uretrografi Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra. e. Sistografi Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada : -

fraktur pelvis

-

trauma non-penetrasi

2. Penanganan pada trauma benda tumpul: a. Pengambilan contoh darah dan urine Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase. b. Pemeriksaan rontgen Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera. c. Study kontras urologi dan gastrointestinal Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).

2.2.Konsep Asuhan Keperawatan Menurut krisanty, (2009) pengkajiandan diagnose secara teoritis yaitu: 1. Pengkajian Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat. Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. 2. Primary survey a) Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi, b) Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler, c) Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan. Penurunan kesadaran. d) Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis. e) Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang. 3. Secondary survey a. Fokus Asesment -

Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis: Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ? Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)? Robekan/laserasi pada kulit kepala? Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut? Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung? Battle sign dan racoon eyes?

-

Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian belakang.. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit

-

Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).

-

Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness.

-

Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik

-

Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.

-

Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.

-

Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

-

Pemeriksaan fisik difokuskan pada daerah abdomen: Inspeksi: Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang. Auskultasi: Bising usus Perkusi: Bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Palpasi: kekauan dan spasme pada perut karena akumulasi darah atau cairan.

4. Diagnosa keperawatan 1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan 2) Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen. 3) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan tubuh

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik 5) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang

5. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN No

Diagnosa Keperawatan

1

Kekurangan

Setelah

.

volume

dilakukan

cairan

b/d

perdarahan

1. Kaji tanda-tanda vital.

1. untuk mengidentifikas

tindakan

i defisit volume

keperawatan

cairan.

1x24

jam,

2. Pantau cairan

2. mengidentifikas

volume cairan

parenteral dengan

i keadaan

tidak

elektrolit,

perdarahan,

mengalami

antibiotik dan

serta Penurunan

kekurangan.

vitamin

sirkulasi volume cairan menyebabkan

KH: -

Intake

kekeringan mukosa dan

dan

pemekatan urin.

output

Deteksi dini

seimbang -

Turgor

memungkinkan

kulit

terapi

baik -

pergantian

Perdarahan (-)

cairan segera. 3. Kaji tetesan infus.

3. awasi tetesan untuk mengidentifikas i kebutuhan cairan.

4. Kolaborasi : Berikan cairan

4. cara parenteral membantu

parenteral sesuai

memenuhi

indikasi.

kebutuhan nuitrisi tubuh.

5. Cairan parenteral

5. Mengganti

( IV line ) sesuai

cairan dan

dengan umur.

elektrolit secara adekuat dan cepat.

6. Pemberian tranfusi darah.

6. menggantikan darah yang keluar.

2

Nyeri

.

b/d

Setelah

1. Kaji karakteristik

adanya

dilakukan

nyeri.

trauma

tindakan

abdomen atau

keperawatan

luka penetrasi

1x24

jam,

abdomen.

Nyeri

klien

tingkat nyeri klien.

teratasi.

2. Beri posisi semi fowler.

-

Skala nyeri 0

-

Ekspresi

2. Mengurngi kontraksi abdomen

3. Anjurkan tehnik

3. Membantu

manajemen nyeri

mengurangi rasa

seperti distraksi

nyeri dengan

KH:

tenang.

1. Mengetahui

mengalihkan perhatian 4. Managemant

4. lingkungan

lingkungan yang

yang nyaman

nyaman.

dapat memberikan rasa nyaman

5. Kolaborasi pemb erian analgetik sesuai indikasi.

klien 5. analgetik membantu

mengurangi rasa nyeri.

3

Resiko

.

infeksi

Setelah b/d

1. Kaji tanda-tanda

dilakukan

infeksi.

1. Mengidentifika si adanya resiko

tindakan

tindakan

infeksi lebih

pembedahan,

keperawatan

dini.

tidak

1x24

jam,

adekuatnya

infeksi

tidak

pertahanan

terjadi.

2. Kaji keadaan luka.

2. Keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat

tubuh.

mengurangi resiko KH: -

Tanda-tanda infeksi (-)

-

infe

ksi. 3. Kaji tanda-tanda vital.

3. Suhu tubuh naik dapat di indikasikan

Leukosit

adanya

5000-10.000

proses infeksi.

mm3 4. Lakukan cuci

4. Menurunkan

tangan sebelum

resiko

kntak dengan pasien.

terjadinya kontaminasi mikroorganisme .

5.. Lakukan

5. Dengan

pencukuran pada

pencukuran

area operasi

klien terhindar

(perut kanan

dari infeksi post

bawah

operasi

6. Perawatan luka

6. Teknik aseptik

dengan prinsip

dapat

sterilisasi.

menurunkan

resiko infeksi nosokomial 7. Kolaborasi

7. Antibiotik

pemberian

mencegah

antibiotik

adanya infeksi bakteri dari luar.

4

Gangguan

Setelah

1. Kaji kemampuan

.

mobilitas

dilakukan

pasien untuk

kemampuan

fisik

tindakan

bergerak.

klien dalam

berhubungan

keperawatan

dengan

1x24

kelemahan

jam, diharapka

peralatan yang

fisik

n

dibutuhkan

mobilisasi. 2. Dekatkan

dapat

bergerak

2. meminimalisir pergerakan kien.

pasien.

bebas.

3. Berikan latihan gerak aktif pasif. 4. Bantu kebutuhan

KH: -

1. identifikasi

pasien.

3. melatih otototot klien. 4. membantu dalam mengatasi

Mempertahan

kebutuhan dasar

kan mobilitas

klien.

optimal 5. Kolaborasi

5. terapi

dengan ahli

fisioterapi dapat

fisioterapi.

memulihkan kondisi klien.

Gangguan

Setelah

.

nutrisi kurang

dilakukan

bantu klien untuk

berlanjut

dari

tindakan

istirahat sebelum

menurunkan

kebutuhan

keperawatan

makan

tubuh

b/d

intake

yang

kurang.

1. Ajarkan dan

1. Keletihan

5

1x24

jam,

nutrisi

klien

terpenuhi.

2. Awasi pemasukan diet/jumlah

keinginan untuk makan. 2. Adanya pembesaran hepar dapat menekan

KH: -

Nafsu makan meningkat

-

BB Meningkat

-

Klien lemah

tidak

kalori, tawarkan

saluran gastro

makan sedikit

intestinal dan

tapi sering dan

menurunkan

tawarkan pagi

kapasitasnya.

paling sering. 3. Pertahankan hygiene mulut yang baik

3. Akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru

sebelum makan

dan rasa tak

dan sesudah

sedap yang

makan .

menurunkan nafsu makan.

4. Anjurkan makan

4. Menurunkan

pada posisi duduk

rasa penuh pada

tegak.

abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.

5. Berikan diet tinggi kalori, rendah lemak

5. Glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabol isme sehingga akan membebani hepar.

6. Implementasi Implementasi sesuai intervensi

7. Evaluasi: 1. Tidak ada perdarahan 2. Tidak ada distensi abdomen 3. Tekanan darah dalam batas normal 4. Nadi dalam batas normal 5. Kesadaran baik 6. Nyeri dapat terkontrol

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC: Jakarta. Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis, Mossouri, Elsevier inc. Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta: EGC Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius

More Documents from "Dina Antari"