BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab. Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orrang per tahun (Chairudin, 1998). Taruma yang dialami seseorang akan menyebabkan masalahmasalah sebagai berikut. 1.
Biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi setelah mengalami trauma.
2.
Resiko kematian yang tinggi.
3.
Prodiktivitas menurun akibat banyak kehilangna waktu bekerja.
4.
Kecatatan sementara dan permanen. Di masyarakat, seorang perawa/Ners perlu mengetahui perawatan klien trauma
muskuloskletal yang mungkin dijumpai, baik dijalan maupun selama melakukan asuhan keperawatan di rumah sakit. Selain itu, ia perlu mengetahui dasar-dasar penanggulan suatu trauma yang menimbulkan masalah pada sistem muskuloskletal dengan melakukan penanggulangan awal dan merujuk ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko yang lebih besar. Resiko yang lebih fatal yang perlu diketahui adalah kematian. Peristiwa yang sering terjadi pada klien dibagi dalam tiga periode waktu sebagai berikut : 1. Kematian dalam detik-detik pertama sampai menit berikutnya (50%). Kematian disebabkan oleh laserasi otak dan pangkal otak, kerusakan sumsum tulang belakang bagian atas, kerusakan jantung, oarta, serta pembuluhpembuluh darah besar. Kebanyakan klien tidak dapat ditolong an meninggal ditempat. 2. Kematian dalam menit pertama sampai beberapa jam (35%). Kematian
disebabkan
oleh
perdarahan
subdural
atau
epidural,
hematopneumotoraks, robekan limpa, laserasi hati, fraktur panggul, serta fraktur multipel dengan resimo besar akibat perdarahan yang masif. Sebagian klien pada tahap ini dapat diselamatkan dengan pengetahuan dan penanggulangan trauma yang memadai. 3. Kematian setelah beberapa hari ampai beberapa minggu setelah taruma (15%).
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan beberapa organ atau sepsis. Peran perawat dalam membantu mengurangi resiko tersebut cukup besar. Resiko kegagalan organ dan reaksi sepsis dapat dikurangi secara signifikan dengan asuhan keperawatan yang komprehensif. Penanggulangan klien trauma memerlukan peralatan serta keterampilan khusus yang tidak semuanya dapat dilakukan oleh perawat, berhubung keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki setiap Ners bervariasi, serta peralatan yang tersedia kurang memadai. Trauma
muskuloskletal
biasanya
menyebabkan
disfungsi
struktur
disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi.
B.
Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami tentang Trauma Muskuloskeletal untuk kegiatan pembelajaran.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
1. Fraktur A. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua bagian atau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Apabila terjadi fraktur maka tulang harus diimobilisasi untuk mengurangi terjadinya cedera berkelanjutan dan untuk mengurangi rasa sakit pasien. Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada monopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001). Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan
secara verbal maupun non verbal.
Respon
seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999). B. Etiologi a. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar daripada daya tulang akibar trauma b. Fraktur karena penyakit tulang seperti Tumor Osteoporosis yang disebut Fraktur Patologis.
c. Fraktur Stress/ Fatique (akibat dari penggunaan tulang yang berulang-ulang).
C. Tanda dan Gejala Fraktur Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang terlokalisir pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang menggigitnya atau merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan pasien merupakan sumber informasi yang akurat. Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling nyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan stabilisasi jika memungkinkan. a.
Swelling Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari pembuluh darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
b. Deformitas Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal. c. Tenderness Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatasbare trauma skeletal yang dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang tulang. d.
Krepitasi Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan berusaha untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri trauma lebih lanjut.
e. Disability Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada posisi yang nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan pada pasien dengan dislokasi akan menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang mengalami dislokasi. f. Exposed bone ends Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa pulsasi, gerakan dan sensori di bagian distal pada setiap pasien dengan trauma musculoskeletal.
D. Jenis Fraktur a.
Fraktur Tertutup (Simple Fracture) Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya perdarahan internal kekompartemen jaringan dan dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 500 cc tiap fraktur. Setiap sisi patahan memiliki potensi untuk menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar akibat laserasi pembuluh darah di dekat sisi patahan. Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan hematom. Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup. Dan karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi, maka berilah penanganan strain dan sprain seperti penanganan tehadap fraktur tertutup.
b.
Fraktur Terbuka (Compound Fracture) Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai gangguan integritas kulit. Hal ini biasanya disebabkan oleh ujung tulang yang menembus kulit atau akibat laserasi kulit yang terkena benda-benda dari luar pada saat cedera. Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka adalah perdarahan eksternal, kerusakan lebih lanjut pada otot-otot dan saraf serta terjadinya kontaminasi. Sangat penting untuk mengenal adanya luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu masuk dari kontaminasi kuman. Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita trauma. Adanya luka terbuka didekat daerah yang diduga terjadi fraktur, harus dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka dan harus diberikan penanganan seperti fraktur terbuka. Denyut nadi, pergerakan, sensasi dan warna kulit harus segera dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang secara berkala.
E. Tipe Fraktur a. Fraktur Trasversal Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai menembus bagian tengah secara tegak lurus dari tulang biasanya disebabkan oleh kecelakaan langsung. b.
Fraktur Greenstick Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan yang masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar dari tulang perpendicular sampai batas tengah tulang.
c.
Fraktur Spiral Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis frakturnya tidak rata
d. Fraktur Oblique Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik. e.
Fraktur Comminuted Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
F. Prinsip Penatalaksanaan Fraktur Kejadian fraktur jarang yang mengancam nyawa, meskipun demikian penanganan pada kejadian yang mengancam nyawa telah dilaksanakan sampai kondisi pasien stabil. Pertahankan jalan napas, control perdarahan, tutup luka terbuka pada dada dan lakukan resusitasi cairan. Jika telah selesai barulah identifikasi dan imobilisasi semua fraktur dan siapkan untuk transportasi. Penatalaksanaan Fraktur adalah sebagai berikut : 1) Stabilkan jalan napas. 2) Kontrol perdarahan. 3) Tutup sucking chest wound (luka terbuka pada dada). 4) Resusitasi cairan. 5) Jika ada fraktur terbuka, balut luka sebelum melakukan pembidaian dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat. 6) Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-sendi, meskipun ada beberapa tulang pada fraktur yang dapat diluruskan.
7) Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada trauma amputasi atau anggota gerak yang sudah tidak dapat diselamatkan lagi. 8) Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan imobilisasi sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur. Tujuan Imobilisasi : a.
Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur terbuka. Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur masih dapat bergerak bebas ketika pasien dipindahkan.
b.
Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh darah dan jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur.
c.
Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
d.
Untuk mengurangi nyeri.
2. Dislokasi A. Definisi Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan articular, kadangkadang disertai dengan robeknya ligament yang seharusnya menahan pangkal tulang agar tetap berada pada tempatnya. Persendian yang biasanya terkenal adalah bahu, siku, panggul dan pergelangan.
B. Etiologi Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya : a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir. b. Trauma akibat kecelakaan c. Trauma akibat pembedahan ortoped d. Terjadi infeksi di sekitar sendi
C. Klasifikasi Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a.
Dislokasi congenital: terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b.
Dislokasi patologik: akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c.
Dislokasi traumatic: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi : a. Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. b. Dislokasi Berulang. Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
D. Tanda dan gejala a. Nyeri b. Deformitas c. Paralisis d. Hilangnya pulsasi (jika tekan nervus dan pembuluh darah). Pada kebanyakan kasus pada pasien dengan fraktur atau dislokasi selalu cek nadi, kekuatan otot dan sensasi (pulsasi, motorik dan sensorik) pada bagian distal daerah yang terluka. Hilangnya pulsasi berarti ekstremitas dalam keadaan yang membahayakan dan transportasi ke rumah sakit seharusnya tidak ditunda. Informasikan terlebih dahulu ke rumah sakit yang akan dituju agar petugas dan dokter bedah tulang telah siap ketika pasien tiba. E. Patofisiologi Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit
kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).
F. Komplikasi a.
Komplikasi Dini 1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut. 2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.\ 3) Fraktur disloksi
b.
Komplikasi lanjut. 1) Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan
sendi
bahu,
terutama
pada
pasien
yang
berumur
40
tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi. 2) Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau 3) Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid 4) Kelemahan otot
G. Penatalaksanaan Dislokasi Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi pasien pada posisinya saat pertama kali ditemukan. Jangan coba meluruskan atau mengurangi dislokasi kecuali jika ada seorang ahli. Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan waktu transport. Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas bawah adalah dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan, siku, bahu, panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa adanya bahaya kerusakan permanen.
Bagaimanapun juga ketika menolong pasien dengan dislokasi lutut dan tidak ada pulsasi pada bagian distal. Maka harus dikoreksi dalam waktu 1 atau 2 jam setelah terjadi trauma. Dan seharusnya waktu sejak terjadinya kecelakaan hingga sampai ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.
3.
Sprain A. Definisi Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya disebabkan memutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi batas normal. Organ yang sering terkena biasanya lutut, dan pergelangan kaki, cirri utamanya adalah nyeri, bengkak dan kebiruan pada daerah injuri.
Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak disertai deformitas. Bagaimanapun juga lebih bail lakukan penanganan sprain seperti
penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang mengalami sprain pada posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika mungkin. B. Etiologi a. Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki. b. Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.
C. Manifestasi klinis a. Nyeri b. Inflamasi/peradangan c. Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
D. Tanda Dan Gejala a. Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah. b. Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata. c. Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon. d. Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan
E. Patofisiologi Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001: 2357)
F. Pemeriksaan Diagnostik a. Riwayat: 1) Tekanan 2) Tarikan tanpa peredaan 3) Daya yang tidak semestinya
b. Pemeriksaan Fisik : 1) Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal.
G. Penatalaksanaan a. Pembedahan. Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; penguranganpengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak. b.
Kemotherapi Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c.
Elektromekanis. 1. Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C 2. Pembalutan
/
wrapping
eksternal.
Dengan
pembalutan,
cast
atau
pengendongan (sung) 3. Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas. 4. Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit. 5. Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit.
4. Strain A. Definisi Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan, peregangan berlebihan, atay stres yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan kedalam jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355 ). Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di sekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada deformitas atau bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan menghilangkan beban pada daerah yang mengalami injuri. Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas dan evaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.
B. Etiologi a. Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak, seperti pada pelari atau pelompat. b. Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak. c. Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon).
C. Manifestasi Klinis Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa: a.
Nyeri
b.
Spasme otot
c.
Kehilangan kekuatan
d.
Keterbatasan lingkup gerak sendi.
e.
Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan :
f.
Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-menerus dari servis yang berulang-ulang.
g.
Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
h.
Nyeri mendadak
i.
Edema
j.
Spasme otot
D. Patofisiologi Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi , otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha), hamstring (otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak (Chairudin Rasjad,1998).
C. Klasifikasi Strain a. Derajat I/Mild Strain (Ringan) Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998). 1) Gejala yang timbul : a) Nyeri local b) Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot 2) Tanda-tandanya : a) Adanya spasme otot ringan b) Bengkak c) Gangguan kekuatan otot d) Fungsi yang sangat ringan 3) Komplikasi a) Strain dapat berulang b) Tendonitis c) Perioritis 4) Perubahan patologi Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar. 5) Terapi Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat,kompresi dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan otot. b. Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Derajat ii/medorate strain (ringan) yaitu adanya cidera pada unit muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan. 1) Gejala yang timbul a) Nyeri local b) Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot c) Spasme otot sedang d) Bengkak e) Tenderness f)
Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
2) Komplikasi sama seperti pada derajat I : a) Strain dapat berulang b) Tendonitis c) Perioritis 3) Terapi : a) Immobilisasi pada daerah cidera b) Istirahat c) Kompresi d) Elevasi 4) Perubahan patologi : Adanya robekan serabut otot c. Derajat III/Strain Severe (Berat) Derajat
III/Strain
Severe
(Berat)
yaitu
adanya
tekanan/penguluran
mendadakyang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan ketidakstabilan sendi. 1) Gejala : a) Nyeri yang berat b) Adanya stabilitas c) Spasme d) Kuat e) Bengkak f)
Tenderness
g) Gangguan fungsi otot 2) Komplikasi : Distabilitas yang sama
3) Perubahan patologi : Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon. 4) Terapi: Imobilisasi
dengan
kemungkinan
pembedahan
untuk
mengembalikanfungsinya.
D. Komplikasi a.
Strain yang berulang
b.
Tendonitis
E. Penatalaksanaan a.
Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
b.
Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol pembengkakan.
c.
Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
d.
Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan konservatif.
5.
Kontusio A. Definisi Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan, tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355). Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan, 1993: 63)
B. Etiologi a.
Benturan benda keras.
b.
Pukulan.
c.
Tendangan/jatuh
C. Manifestasi Klinis a. Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena rupture pembuluh darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur. b. Nyeri, bengkak dan perubahan warna. c. Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan kehilangan darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).
D. Gejala a. Nyeri b. Bengkak c. Perubahan warna d. Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar satu minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan terbatas. e. Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya beberapa hari setelah terjadinya cedera. f.
Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit.
g. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang terbatas disebut hematoma. h. Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)
E. Patofisiologi Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada kerusakan kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih rentan rusak
dibanding orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari pembuluhnya ke jaringan, kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat terjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko, 1993: 192). Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan didaur ulang oleh makrofag. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio merupakan hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan. Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah yang harus baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bila fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993: 192).
F. Penatalaksanaan a.
Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
b.
Tinggikan daerah injury.
c.
Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap pemberian) untuk vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan rasa tidak nyaman.
d.
Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-30 menit) 4 kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi.
e.
Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.
f.
Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada indikasi (Brunner & Suddart,2001: 2355).
g.
Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera kontusio adalah sebagai berikut:
h.
Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan kapiler.
i.
Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan jaringan-jaringan lunak yang rusak.
j.
Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan berikutnya.
G. Asuhan Keperawatan Pada Klien Trauma Muskuloskeletal 1.
Pengkajian a. Identitas pasien. b. Keluhan Utama. Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas / ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon c. Riwayat Kesehatan d. Riwayat penyakit sekarang 1) Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau setelah berolah raga. 2) Daerah mana yang mengalami trauma. 3) Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan. e.
Riwayat Penyakit Dahulu. Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya
f. Riwayat Penyakit Keluarga. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini. g.
Pemeriksaan Fisik. 1) Inspeksi : Kelemahan, Edema, Perdarahan perubahan warna kulit, Ketidakmampuan menggunakan sendi. 2) Palpasi : Mati rasa 3) Auskultasi 4) Perkusi
h.
Pemeriksaan Penunjang Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan dengan patah tulang.
2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada otot, ligament atau tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa, perdarahan, edema, nyeri. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan, ditandai dengan ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon. c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas ditandai dengan gerakan yang minim (imobilisasi)
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi penyakit dan program pengobatan .
2.8.
Intervensi Keperawatan .
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
mengenai
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi. Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Sprain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan stabilitas sendi. Strain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulo-tendinous (otot dan tendon) sedangkan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
B. Saran Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita tentang asuhan keperawatan klien dengan trauma musculoskeletal : kontusio, sprain, strain dan dislokasi. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima Kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD Dinkes Provinsi DKI Jakarta. Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan(Edisi 3) Jakarta: EGC. Brunner & Suddart. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. http://zillyannurse.blogspot.com/2011/11/askep-trauma-muskuloskeletal.html