LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TERTUTUP
Disusun Oleh : KELOMPOK 5 KELAS C
1. Melita Nur Pitasari
( 1611020118)
2. Sifa Eka Wardani
(1611020124)
3. Kintan Melyana E
(1611020134)
4. Muh. Abdul Khamid
(1611020138)
5. Muh. Andika Cahya
(1611020139)
6. Widia Mei Linanggita P (1611020140) 7. Kurnia Pristiyani
(1611020141)
8. Lutfiani Anisa
(1611020153)
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1 FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO TAHUN 2019
1. Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 36). Fraktur dapat dibagi menjadi : 1. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh. 2. Fraktur berbuka (open / compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah / sedang berhubungan dengan dunia luar.
2. Etiologi 1. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
3. Manifestasi Klinis a. Deformitas b. Bengkak (edema) c. Echimosis (memar) d. Spasme otot e. Nyeri f. Kurang/hilang sensasi g. Krepitasi h. Pergerakan abnormal i.
Rontgen abnormal
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna. a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat). e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
4. Anatomi Fisiologi Tulang paha / femur terdiri dari ujung atas, corpus dan ujung bawah, ujung atas terdiri dari Kaput adalah masa yang membuat dan mengarah ke dalam dan ke atas tulang tersebut halus dan dilapisi dengan kartilago kembali fovea, lubang kecil tempat melekatnya ligamen pendek yang menghubungkan kaput ke area yang besar pada asetabulum os coxal. Trochanten mayor sebelah lateral dan trochanter minor sebelah medial, merupakan melekatnya otot-otot. Carpus adalah tulang panjang agak mendatar ke arah medial, sebagian besar permukaannya halus dan tempat melekatnya otot-otot. Pada bagian posterior linea aspera adalah tulang yang berbentuk hubungan ganda, membentang ke bawah dari trochanter atas dan melebar keluar bawah untuk menutup area yang halus. Ujung bawah terdiri dari kondik medial dan lateral yang besar dan suatu area tulang diantaranya kondile mempunyai permukaan artikulur untuk fibia dibawah dan patela di depan. Fraktur collum dan kaput merupakan fraktur femur yang umum, fraktur tersebut lebih mudah terjadi pada orang tua sebagai akibat karena jatuh. Fraktur tidak dapat segera sembuh karena pada fraktur tersebut memotong banyak suplay darah ke kaput femoris. Untuk membantu menyembuhkan dan memudahkan pergerakan pasien secepat mungkin. Fraktur ini biasanya ditangani dengan memasang pembaja melalui trochanter mayor ke dalam kaput femuris. Dengan demikian pasien mampu untuk turun dari tempat tidur dan mulai untuk berjalan (John Gibson, 1995 : 44).
5. Patofisiologi
6. Pemeriksaan Penunjang a. pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun. c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma. d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati. 7. Penatalaksanaan a. Rekognisis (pengenalan) Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya b. Reduksi / Manipulasi / Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang. c. Retensi / Immobilisasi Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur d. Rehabilitasi Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
8. Komplikasi 1)
Komplikasi awal
•
Syok hipovolemik atau traumatik : bisa berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera. Syok hipovolemik atau traumatik
akibat pendarahan ( baik
kehilangan darah eksternal maupu tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstremitas, toraks, pelvis dan vertebra. •
Emboli lemak : dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
•
Sindrom kompartemen : berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak. Ada 5 tanda syndrome kompartemen:
a.
Pain
:
nyeri
b.
Pallor
:
pucat
c.
Pulsesness
:
tidak ada nadi
d.
Parestesia
:
rasa kesemutan
e.
Paralysis
:
kelemahan
sekitar
lokasi
terjadinya
syndrome
kompartemen. •
Infeksi
•
Tromboemboli emboli paru)
•
Koagulopati
intravaskuler
diseminata
(KID)
:
sekelompok
kelainan
pendarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma massif. Manifestasi KID meliputi : ekimosis, pendarahan yang tidak terduga setelah pembedahan, dan pendarahan dari membrane mukosa, tempat penusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih. 2)
Komplikasi lambat :
a)
Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjsdi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi ( tarikan jauh ) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh.Hal ini dapat disemabuhkan dengan graft tulang.Dimana graft tulang memberikan kerangka untuk invasi sel-sel tulang. b)
Nekrosis Avaskuler Tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya kolum femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami tulang kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru. c)
Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indicator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau
rusak), berkaratnya alat,
menyebabkan inflamasi local, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan, dan remodeling osteoporotic di sekitar alat fiksasi (stress yang
dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut, mengakibatkan osteoporosis disuse). Bila angkat diangkat, tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali sehubungan dengan osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma. Remodeling tulang akan mengembalikan kekuatan structural.
9. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul 1. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) yang berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan. 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dnegan immobilisasi (pemasangan traksi) 3. Gangguan psikologis (kecemasan) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
10. Intervensi Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN NO
DIAGNOSA
TUJUAN & KRITERIA
INTERVENSI
HASIL 1 1. Gangguan
rasa Tujuan : Nyeri berkurang /
1.
Beri penjelasan pada
nyaman (nyeri akut) hilang setelah diberikan
klien
dan
yang
penyebab nyeri.
berhubungan tindakan asuhan
keluarga
tentang
dengan terputusnya keperawatan.
2.
Kaji tingkat nyeri klien
kontinuitas jaringan. Kriteria Hasil : Klien tidak
(lokasi, karakteristik dan durasi)
mengeluh nyeri, klien
serta respon verbal dan non
tampak rileks, mampu
verbal
berpartisipasi dalam
mengisyaratkan nyeri.
aktivitas istirahat dan tidur,
3.
klien mampu melakukan
pengurangan
teknik relaksasi.
memijat atau merubah posisi. 4.
pada
klien
yang
Ajarkan pada klien cara nyeri
misalnya
Pertahankan
immobilisasi / bedrest karena adanya trauma / patah tulang / pemasangan traksi. 5. vital.
Observasi
tanda-tanda
6.
Lakukan
kolaborasi
dalam pemberian obat sesuai dengan yang di indikasikan yaitu anal gesik dan pelemas otot. 2
Gangguan mobilitas Tujuan fisik
:
Klien
dapat 1.
Observasi keterbatasan
berhubungan melakukan aktivitas secara gerak klien dan catat respon
dnegan immobilisasi bertahap. (pemasangan traksi)
klien terhadap immobilisasi.
Kriteria Hasil : Klien dapat 2.
Anjurkan klien untuk
bergerak secara maksimal, berpartisipasi dalam aktivitas klien
dapat dan
mempertahankan tubuh
secara
pertahankan
stimulasi
fungsi lingkungan antara lain TV, maksimal, Radio dan surat kabar.
klien dapat menambahkan 3.
Ajarkan
pada
klien
kekuatan / fungsi dari pada untuk berlatih secara aktif / bagian
tubuh
yang pasif dari latihan POM.
berpengaruh (fraktur).
4.
Monitor tekanan darah
dan catat masalah sakit kepala. 5.
Konsultasikan
dangan
ahli terapi fisik / spesialis, rehabilitasi. 3
Gangguan psikologis Setelah dilakukan asuhan 1. Gunakan pendekatan yang (kecemasan)
selama 1x24 jam kecemasan menenangkan
berhubungan dengan klien teratasi dengan criteria 2. kurangnya
hasil:
harapan
pengetahuan tentang Klien penyakitnya.
mengungkapkan cemas
terhadap
jelas
perilaku
dan 3. Jelaskan semua prosedur dan gejala apa
yang
dirasakan
selama
pasien
untuk
prosedur sign
dalam batas 4.
normal Postur
dengan
mampu pasien
mengidentifikasi
Vital
Nyatakan
Temani
memberikan tubuh,
keamanan
dan
ekspresi mengurangi takut
wajah, bahasa tubuh, dan 5. Berikan informasi factual tingkat
aktivitas mengenai diagnosis, tindakan
menunjukkan berkurangnya prognosis kecemasan
6. Instruksikan pada pasien
untuk
menggunakan
teknik
relaksasi 7. Dengarkan dengan penuh perhatian 8. Kelola pemberian obat anti cemas
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Susan Martin Tucker, dkk, 1995, Standart Keperawatan Pasien, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Nasrul Effendi, 1995, Pengatar Proses Keperawatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Marilynn E. Doenges dkk, 1991, Nursing Care Plans, Quidelinnes For Planning Patient Care (Second Etition).