BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Pola Kemitraan Agribisnis Konsep formal kemitraan sebenarnya telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 yang berbunyi “Kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan”. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling melengkapi. Tujuan kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha mandiri (Sumardjo et all, 2004). Dalam sistem agribisnis di Indonesia, terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha atau lembaga tertentu. Adapun bentuk-bentuk kemitraan yang dimaksud adalah sebagai berikut (Sumardjo et all, 2004): a. Pola Kemitraan Inti-Plasma Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani, atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Sementara itu, kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan
sistem
inti-plasma
antara
lain:
(1)
tercipta
saling
ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan, (2) tercipta peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Sedangkan kelemahan sistem inti-plasma pada umumnya terjadi karena muncul masalah-masalah antara lain: (1) pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar, dan (2) belum ada
kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan harga komoditas plasma. b. Pola Kemitraan Sub Kontrak Pola sub kontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Beberapa keunggulan pola sub kontrak yaitu adanya kesepakatan tentang kontrak yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Dalam banyak kasus, pola sub kontrak sangat bermanfaat juga kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan dan produktifitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Sedangkan kelemahan yang sering ditemui dalam pelaksanaan kemitraan sub kontrak antara lain: (1) hubungan sub kontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah ke monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku serta dalam hal pemasaran. (2) Berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak. Perasaan saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling menghidupi berubah menjadi penekanan terhadap harga input yang tinggi atau pembelian produk dengan harga rendah. (3) Kontrol kualitas produk ketat, tetapi tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat. c. Kemitraan Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. Dalam kegiatan agribisnis, khususnya hortikultura, pola ini telah dilakukan. Beberapa petani atau kelompok tani hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya kemudian bermitra dengan toko swalayan atau mitra usaha lainnya. Koperasi tani tersebut bertugas memenuhi kebutuhan toko swalayan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Keunggulan dari kemitraan dagang umum yaitu kelompok mitra atau koperasi tani berperan sebagai pemasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Sementara itu, perusahaan mitra memasarkan produk kelompok mitra ke
konsumen. Kondisi tersebut menguntungkan pihak kelompok mitra karena tidak perlu bersusah payah memasarkan hasil produknya sampai ke tangan konsumen. Pada dasarnya, pola kemitraan ini adalah hubungan jual beli sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan mitra maupun kelompok yang mitra. Keuntungan dalam pola kemitraan ini berasal dari margin harga dan jaminan harga produk yang diperjualbelikan, serta kualitas produk sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Sedangkan beberapa kelemahan dari pola kemitraan ini antara lain: (1) dalam praktiknya, harga dan volume produk sering ditentukan secara sepihak oleh pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra, dan (2) sistem perdagangan seringkali ditemukan berubah menjadi bentuk konsinyasi. 2.2 Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani 2.2.1 Biaya Menurut Carter (2009), mendefinisikan biaya adalah sebagai suatu nilai tukar, pengeluaran, atau pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat. Sedangkan meenurut Nuhfil (2009) Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh faktor- faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut. Biaya produksi dapat digolongkan atas dasar hubungan perubahan volume produksi, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah seluruh biaya yang tidak langsung berkaitan dengan jumlah tanaman yang dihasilkan diatas lahan (biaya ini harus dibayar apakah menghasilkan sesuatu atau tidak, termasuk didalamnya sewa lahan, pajak lahan, pembayaran kembali pinjaman, biaya hidup). Pada kebanyakan usahatani, biaya-biaya tetap tidak terlalu banyak berubah mengikuti tingkat atau campuran perubahan kegiatan kecuali, tentu saja kenaikan karena pertambahan biaya. Sedangkan biaya tidak tetap (variabel cost) adalah seluruh biaya yang secara langsung berkaitan dengan jumlah tanaman yang diusahakan dan dengan input variabel yang dipakai (misalnya penyiangan, tenaga kerja, pupuk, bibit). Upaya untuk mengidentifikasi biaya-biaya variabel suatu kegiatan dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada petani mengenai besarnya perubahan biaya jika memperluas atau mengontrak kegiatan apapun (Nuhfil, 2009).
Menurut Nuhfil (2009) dari segi sifat biaya dalam hubungannya dengan tingkat output, biaya produksi dapat dibagi ke dalam: 1. Biaya Total (Total Cost = TC). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. TC = TFC + TVC, dimana TFC = total fixed cost; dan TVC = total variable cost. 2. Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost = TFC).
Biaya tetap total adalah
keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat berubah jumlahnya. Sebagai contoh: biaya pembelian mesin, membangun bangunan pabrik, membangun prasarana jalan menuju pabrik, dan sebagainya. 3. Biaya Variabel Total (Total Variable Cost = TVC). Biaya variabel total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi variabel.
Contoh biaya variabel : upah tenaga kerja, biaya
pembelian bahan baku, pembelian bahan bakar mesin, dan sebagainya. 2.2.2 Penerimaan Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual dan biasanya produksi berhubungan dengan negatif dengan harga, artinya harga akan turun ketika produksi berlebihan. (Soekartawi, 2008). Sedangkan menurut Nuhfil (2009) penerimaan adalah penerimaan produsen dari hasil penjualan outputnya. Terdapat tiga konsep penting tentang revenue yang perlu diperhatikan untuk analisis perilaku produsen. Dari beberapa pengertian diatas, penerimaan adalah suatu penerimaan yang diperoleh oleh produsen dari hasil produksi atau output dan harga jual. Menurut Nuhfil (2009) terdapat tiga konsep penting tentang revenue yang perlu diperhatikan untuk analisis perilaku produsen, yaitu: 1. Total Revenue (TR) adalah penerimaan total dari hasil penjualan output. TR = P.Q, dimana : P=Price / harga dan Q= Quantity / Jumlah barang 2. Average Revenue (AR) adalah penerimaan per unit dari penjualan output. AR = TR / Q = P.Q / Q = P Jadi AR = P 3. Marginal Revenue (MR) adalah kenaikan atau penurunan penerimaan sebagai akibat dari penambahan atau pengurangan satu unit output. MR = ∆TR / ∆Q
2.2.3 Pendapatan Pendapatan adalah selisih lebih pendapatan atas beban sehubungan dengan kegiatan usaha. Apabila beban lebih besar dari pendapatan, selisihnya disebut rugi. Keuntungan atau kerugian merupakan hasil dari perhitungan berkala. Hal itu diketahui secara pasti saat perusahaan menghentikan kegiatannya dan dilakukan likuidasi. (Soemarso, 2007). Sedangkan menurut Yuliana (2007) pendapatan merupakan semua penerimaan seseorang sebagai balas jasanya dalam proses produksi. Balas jasa tersebut bisa berupa upah, bunga, sewa, maupun, laba tergantung pada faktor produksi pada yang dilibatkan dalam proses produksi.