Tinjauan Pustaka Ld50.docx

  • Uploaded by: Annisa Yohanes
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Pustaka Ld50.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 944
  • Pages: 4
Tinjauan pustaka Pengujian toksisitas bertujuan untuk mengetahui keamanan zat-zat yang digunakan dalam terapi. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok yaitu uji toksisitas akut, uji toksisitas jangka pendek (subakut), dan uji toksisitas jangka panjang (kronis). Pengujian LD50 merupakan pengujian toksisitas akut. Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau bebeapa kali dalam jangka waktu 24 jam. Uji toksisitas subkronis dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang, setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 bulan untuk anjing. Uji toksisitas kronis mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hidup hewan. Uji toksisitas akut terutama bertujuan untuk mencari efek toksik, sedangkan uji toksisitas kronis bertujuan untuk menguji kaamanan obat (Harmita, Radji M 2006). Letal Dosis 50% (LD50) adalah dosis suatu zat berhasiat yang mematikan satu kelompok hewan percobaan 50% dari jumlah hewan yang digunakan. Sedangkan efektif dosis 50% (ED50) adalah dosis suatu zat berkhasiat yang menunjukkan efek yang diinginkan pada 50% dari jumlah hewan yang digunakan (Schmitz G, Lepper H, Heidrich M 2003). LD50 secara statistik menyatakan bahwa dosis ini akan membunuh binatang-binatang dengan sensitivitas yang rata-rata hampir sama. LD50 merupakan hasil dari suatu pengujian dan bukan hasil pengukuran kuantitatif. LD50 bukan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari suatu laboratorium ke laboratorium lainnya, bahkan laboratorium yang sama bisa berbeda hasilnya tiap kali pengujian. Oleh karena itu kondisi-kondisi pada pengujian harus dicatat(Kamaludin MT, Munaf S 2004). Indeks terapeutik (TI) adalah perkiraan batas keamanan obat dengan mengukur rasio dosis terapeutik efektif pada 50% hewan percobaan (ED50) dan dosis letal pada 50% hewan percobaan (LD50) (Kee dan Hayes 1993). TI dapat dirumuskan sebagai: LD50

TI= ED50 Semakin dekat rasio suatu obat dengan angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya. Indeks terapeutik ini berhubungan erat dengan batas keamanan (margin of savety).

Gambar 1. Hubungan indeks terapeutik dengan batas keamanan obat (Sumber: Kee dan Hayes 1993). Obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit. Dosis obat yang terdapat dalam serum perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dengan dosis letal. Obat-obat dengan indeks terapeutik yang tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma tidak perlu dimonitor secara rutin (Kee dan Hayes 1993).

Gambar 2. Margin of savety obat yang memiliki IT rendah (A) dan Margin of savety obat yang memiliki IT tinggi (B). (Sumber: Kee dan Hayes 1993) Caffeine adalah suatu obat stimulasi yang bersifat psikoaktif dari golongan xanthinealkaloid yang berwarna putih. Caffeine dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 oksidasemenjadi tiga metabolit, yaitu paraxanthine, theobromine dan theophyline. Obat ini dapat menembus sawar otak dan mempengaruhi pembuluh darah di otak, sehingga badan dan otak “tidak bisa tidur”, menyebabkan pelepasan adrenalin ke tubuh dan membuat sel-sel selau aktif dan terjaga. Obat ini juga memanipulasi pelepasa dopamine di otak dan membuat perasaan menjadi tenang dan “melayang”. Penambahan caffeine terus menerus akan memblokade kerja adenosine karena molekul caffeine yang mirip dengan adenosine dan menempati reseptor adenosine (hormone ini melambatkan kerja syaraf menjelang waktu istirahat). Gejal overdosis caffeine tidak seperti obat stimulansia yang lain. Dimulai dari tingkat yang paling rendah adalah halusinasi,

disorientasi dan disinhibisi. Pada dosis yang lebih tinggi lagi akan menyebabkan rhabdomyolisis (kerusakan dari jaringan otot). Striknin merupakan stimulan sistem syaraf pusat (SSP). Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yang lebih tinggi di SSP (Louisa, Dewoto 2007). Medula oblongota hanya dipengaruhi oleh striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin (Louisa, Dewoto 2007). Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat, yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma (Louisa, Dewoto 2007). Daftar Pustaka Harmita, Radji M. Uji Toksisitas. Di dalam: Manurung J, editor. 2006. Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Kamaludin MT, Munaf S. Penelitian, Pengembangan, dan Penilaian Obat. Di dalam: Raharjo R, editor. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Kee JL, Hayes RH. 1993. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan. Anugerah P, penerjemah: Asih Y, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248 Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. 2003. Farmakologi dan Toksikologi, Edisi 3. Setiadi L, penerjemah: Sigit JI, Hanif A, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Related Documents

Tinjauan Pustaka
May 2020 27
Tinjauan Pustaka
October 2019 43
Tinjauan Pustaka
June 2020 32
Tinjauan Pustaka
October 2019 49
Tinjauan Pustaka
June 2020 35
Tinjauan Pustaka
October 2019 45

More Documents from "Rusman Efendi"

Sediaan Solid.docx
December 2019 32
Tinjauan Pustaka Ld50.docx
December 2019 11
Kewirausahaan 3 Dan 4.docx
December 2019 15
11meningits.pdf
April 2020 24
April 2020 29