Laporan Kasus
TINEA CRURIS Paper Ini Dibuat Untuk Melengkapi Persyaratan Kepaniteraan Klinik Dasar Senior di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH P.SIANTAR
Disusun Oleh
ELVANDO T.M SIMATUPANG 211 210 185
Dokter Pembimbing
dr. DAME MARIA PANGARIBUAN, Sp.KK
BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH PEMATANG SIANTAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA MEDAN 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan hidayah - Nya sehingga dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini dengan judul “Tinea Cruris”. Adapun penyusunan Laporan Kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Djasamen Saragih, Pematangsiantar. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada dokter pembimbing dr. Dame Maria Pangaribuan, Sp.KK yang telah membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam menyusun Laporan Kasus ini. Bahwasanya dalam penulis Laporan Kasus ini masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penyusun. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan penyusunan Laporan Kasus ini di kemudian hari. Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga Laporan Kasus ini memberi manfaat bagi pembacanya. Atas perhatiannya, penyusun mengucapkan terimakasih.
Pematang Siantar, Agustus 2016 Penulis
Elvando T.M Simatupang
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
2
A. Defenisi tinea cruris ..................................................................................
2
B. Epidemiologi .............................................................................................
2
C. Etiologi ......................................................................................................
2
D. Patogenesa .................................................................................................
3
E. Gejala klinis ..............................................................................................
3
F. Pemeriksaan penunjang .............................................................................
5
G. Diagnosa banding ......................................................................................
6
H. Tatalaksana ................................................................................................
7
BAB III STATUS PASIEN ............................................................................
9
BAB IV PEMBAHASAN ..............................................................................
12
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
14
ii
BAB I PENDAHULUAN
Tinea merupakan jenis penyakit yang jarang ditemukan pada siapapun tapi pada dasaranya jenis penyakit ini sering ditemukan pada pria. Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita (jamur yang menyerang kulit). Tinea sendiri merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur pada daerah genitokrural (selangkangan), sekitar anus, bokong dan kadangkadang sampai perut bagian bawah. Di dalam Laporan Kasus ini kami akan bahas lebih jelas lagi dan terperinci mengenai jenis-jenis penyakit.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tinea kruris merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis adalah sebuah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk. Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu sebagai tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis, tinea manus, tinea unguium, tinea korporis dan lain-lain. Tinea kruris sendiri merupakan jenis dermatofitosis yang terjadi pada daerah lipatan paha, dan meluas hingga suprapubis, daerah perineum, dan daerah anus.
B. Epidemiologi Secara epidemiologi, tinea kruris merupakan penyakit dengan onset usia dewasa dengan laki-laki lebih banyak menderita, dibandingkan perempuan. Pada daerah berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh tinea rubrum yang terutama didaerah daerah Asia, Australia dan Afrika.
C. Etiologi Seperti namanya, agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita yang tergabung ke dalam kelas fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam 3 genus yaitu : Mycrosporum, Tricophyton dan Epidermophyton. Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin. Tranmisi dermatofitosis dapat terjadi melalui 3 sumber : 1. Antropofilik : antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak langsung walaupun jarang, yaitu: T.rubrum, T.mentagrophtes, dan lain-lain. 2
2. Zoofilik : umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus. 3. Geofilik : melalui lingkungan terutama tanah. Pada
tinea
kruris
etiologinya
adalah
T.rubrum
dan
T.mentagrophytes. Faktor predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik terkait keratin yang dimiliki, kondisi penjamu, berupa atopi,imunosupresi serta komsumsi glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, iktiosis dimana terjadi defek pada sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskuler. Di samping itu ada pula faktor lokal yang memudahkan terjadinya infeksi yaitu keringat, pajanan okupasional khusus, gaya hidup, lokasi geografis, dan kelembaban yang tinggi, terutama pada negara iklim tropis atau semitropis.
D. Patogenesa Infeksi
dermatofita
diawali
dengan
adhesi
artrokonidia
ke
keratinosit, umumnya berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi. Dermatofitosis menghasilkan keratinase yang memungkinkan untuk mencerna keratin dan mempertahankan diri pada struktur
berkeratin.
Sebagai
respon
terhadap
jamur,
tubuh
akan
menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial, dan lekosit polimorfonuclear. Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur. Pada dermatofita berada pada stratum korneum. Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respon inflamasi yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, bahkan vesikel.
3
E. Gejala klinis Dari anamnesis, tinea kruris ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan terdiri dari efloresensi kulit. Lesi awal dapat berupa eritematosa/hiperpigmentasi/kecoklatan, berbatas tegas, disertai skuama. Predileksi awal adalah pada paha bagian atas, kemudian ke bawah yaitu anus, dan kadang juga di perineum.
4
Disamping itu ada juga central healing, dengan bagian tepi lesi cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya yaitu dalam bentuk tanda peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila sudah bertahun dia akan berwarna bercak hitam disertai skuama. Apabila digaruk, dapat muncul temuan erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi perubahan arah liken simpleks kronikus.
F. Pemeriksaan Penunjang Untuk menunjang diagnosis berupa pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Jika curiga tinea cruris, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan pada kulit yang tidak berambut dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga mencapai sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul steril.
5
Untuk pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu, dicabut, kemudian kulit dikerok untuk memperoleh sisik. Pemakaian agen antifungal dalam waktu dekat terkadang
dapat
menyulitkan identifikasi. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas objek glass, kemudian teteskan 1-2 KOH 20%. Melarutkan jaringan dapat ditambah tinta parker superchroom blue black dengan tujuan melihat jamur secara lebih nyata. Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup dengan menggunakan pembesaran 10x10 dan 10x45. Gambaran
yang
sesuai
untuk
dermatofitosis
pada
kulit
adalah
ditemukannya hifa, yang namak sebagai 2 garis sejajar dengan sekat dan cabang, atau spora berderet pada kelainan yang lama / sudah diobati.
G. Diagnosa Banding Diagnosa bandingnya adalah: -
Dermatitis seboroik Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya susah dibedakan
dengan tinea kruris maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat prediksi lain, terutama aksila dan dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakkan diagnosa. -
Psoriasis Psoriasis pada sela paha dapat terjadi, akan tetapi umumnya
memiliki gambaran lesi yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lamelar. Keberadaan lesi pada tempat predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis. -
Kandidosis Pada daerah lipatan paha umumnya memiliki konfigurasi hen and
chicken, umunya basah, berkrusta, serta adanya flour albus yang khas. 6
Penyakit ini juga akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus. Pada umumnya ditemukan psudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH -
Eritrasma Memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama
pada seluruh lesi dan sering kali berlokasi di sela paha. Pada lampu wood ditemukan efluoresensi merah (coral red)
H. Tatalaksana Pada pasien tinea kruris dilakukan medikamentosa dan non medikamentosa. Tatalaksana non medikamentosa
terutama diarahkan
untuk menjaga kebersihan diri, menganti pakaian, menjaga tubuh berkeringat banyak, tidak memakai handuk sembarangan, menghindari kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan
obat.
Berdasarkan
PERDOSKI
tahun
2011,
secara
medikamentosa diberikan obat topikal dan sistemik. Obat topikal golongan alilamin, diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatif dapat diberi golongan azol : Siklopiroksolamin, Asam undesilinat dan Tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu. Obat sistemik diberikan jika lesi kronik, luas atau gagal respon dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25mg/kgbb/hari, ketokonazol 200mg/hari, itranokonazol 2x100mg/hari, serta terbinafin oral 1x250 mg/hari Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis 0,5-1 gram. Obatnya biasa direabsorpsi lebih baik jika dimakan bersama dengan makanan yang mengandung lemak. Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi pilihan bila terjadi resistensi pada griseofulvin. Diberikan 10-12 hari pada pagi hari setelah makan.
7
Pilihan
obat
yang
cenderung
kurang
hepatotoksik
adalah
itrakonazol, akan tetapi terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga komsumsi obat lain pada pasien juga perlu dipertimbangkan. Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungsidal dan dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2-3 minggu dengan dosis 62,5 – 250 mg
sehari bergantung pada berat
badannya.
8
BAB III STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN Nama
: Adtya Sigiro
Alamat
: Bah Butong
Umur
: 22 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Kristen
No RM
: 322582
B. ANAMNESA PASIEN Keluhan : Bercak kemerahan dan gatal di lipatan paha kiri dan kanan sejak 2 bulan yang lalu Telaah
: Awalnya muncul bercak kemerahan kecil di lipatan paha kiri dan kanan serta terasa gatal terutama pada saat pasien berkeringat. Bercak kemudian bertambah besar dan meluas. Os mengaku sering menggaruk akibat gatal yang dirasakan sehingga menjadi kering dan kehitaman. Os sudah berobat ke puskesmas dan diberi obat oral dan krim, tetapi tidak ada perubahan sehingga os berobat ke Poliklinik Kulit & Kelamin RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.
RPK
: (-)
RPT
: (-)
RPO
: Obat oral dan krim
RPA
: (-)
Status Dermatologi Ruam
: Papul, erosi, skuama, eritema hiperpigmentasi
Lokasi
: Lipatan paha kiri dan kanan 9
10
RUAM KULIT
11
DD : -
Tinea Kruris
-
Dermatitis Seboroik
-
Psoriasis Seboroik
Diagnosa sementara : Tinea Kruris Penatalaksanaan •
Ketokonazole tab 1x1 (VII)
•
Cetrizine tab 1x1 (VII)
•
Ketokonazol cream
Anjuran : Pasien kita anjurkan untuk menjaga kebersihan diri. Tidak menggaruk bagian yang mengalami infeksi jamur agar tidak meluas. Pasien teratur makan obat dan sering kontrol.
12
BAB IV PEMBAHASAN
RESUME Seorang laki - laki berusia 22 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Djasamen Saragih dengan keluhan awalnya muncul bercak kemerahan kecil dan terasa gatal terutama pada saat pasien berkeringat. Bercak kemudian bertambah besar dan meluas. Os mengaku sering menggaruk akibat gatal yang dirasakan sehingga menjadi kering dan kehitaman. Os sudah berobat ke puskesmas dan diberi obat oral dan krim, tetapi tidak ada perubahan. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya papul, erosi, skuama, eritema hiperpigmentasi di daerah lipatan paha kiri dan kanan. RPT dan riwayat alergi disangkal.
DISKUSI Pada pasien ini ruam dijumpai papul, erosi, skuama, eritema hiperpigmentasi di daerah lipatan paha kiri dan kanan. Hal ini membuktikan adanya kesamaan ruam dengan tinea kruris pada teori sebelumnya Pada pasien ini juga diberikan terapi ketokonazole, cetrizine, ketokonazole cream dimana hal ini juga diberikan ada tinea kruris berdasarkan teori sebelumnya atau dengan kata lain pada kasus ini diberikan terapi antijamur, dan kortikosteroid yang sama diberikan pada kasus tinea kruris pada teori sebelumnya.
13
BAB V KESIMPULAN
Tinea kruris merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis adalah sebuah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk. Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu sebagai tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis, tinea manus, tinea unguium, tinea korporis dan lain-lain. Tinea kruris sendiri merupakan jenis dermatofitosis yang terjadi pada daerah lipatan paha, dan meluas hingga suprapubis, daerah perineum, dan daerah anus. Pada
tinea
kruris
etiologinya
adalah
T.tubrum
dan
T.mentagrophytes. Faktor predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik terkait keratin yang dimiliki, kondisi penjamu, berupa atopi, imunosupresi serta komsumsi glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, ichtyosis dimana terjadi defek pada sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskuler. Disamping itu ada pula faktor lokal yang memudahkan terjadinya infeksi yaitu keringat, pajanan okupasional khusus, gaya hidup, lokasi geografis, dan kelembaban yang tinggi, terutama pada negara iklim tropis atau semitropis Dari anamnesis, tinea kruris ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan terdiri dari efloresensi kulit. Lesi awal dapat berupa eritematosa/hiperpigmentasi/kecoklatan,berbatas tegas, disertai skuama. Predileksi awal adalah pada paha bagian atas, kemudian ke bawah yaitu anus, dan kadang juga di perineum. 14
Berdasarkan PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa diberikan obat topikal dan sistemik. Obat topikal
golongan alilamin,
diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatif dapat diberi golongan azol : siklopiroksolamin, asam undesilinat dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu Obat sistemik diberikan jika lesi kronik,luas atau gagal respon dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25mg/kgbb/hari, ketokonazol 200mg/hari, itranokonazol 2x100mg/hari, serta terbinafin oral 1x250 mg/hari Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis 0,5-1 gram. Obatnya biasa direabsorpsi lebih baik jika dimakan bersama dengan makanan yang mengandung lemak. Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi pilihan bila terjadi resistensi pada griseofulvin. Diberikan 10-12 hari pada pagi hari setelah makan. Pilihan
obat
yang
cenderung
kurang
hepatotoksik
adalah
itrakonazol, akan tetapi terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga komsumsi obat lain pada pasien juga perlu dipertimbangkan. Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungsidal dan dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2-3 minggu dengan dosis 62,5-250 mg sehari bergantung pada berat badannya.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Exfoliative Dermatitis. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10 th ed. Canada: WBSaunders Company.2006:215-2162. 2. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K,Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. Chicago: McGraw-Hill Company,2008: 225-32. 3. Tugba Rezan Ekmekci, Adem Koslu. Erythroderma in a Young Healthy Man. Dermatology Online Journal 12 (6): 23 4. Djuanda, A., Dermatitis Eritroskuamosa, Eritoderma. dalam Ilmu PenyakitKulit dan Kelamin. (Ed) V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.3. 5. Siregar, R.S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. (Ed) II. Jakarta : EGC;2005
16