Tiga Hari Untuk Limabelas Menit

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tiga Hari Untuk Limabelas Menit as PDF for free.

More details

  • Words: 548
  • Pages: 2
Tiga Hari untuk Limabelas Menit Belum lama ini saya diundang bicara di luar pulau dengan dua kali penerbangan. Artinya perjalanan itu jauh sekali untuk ukuran cuma untuk bicara beberapa jam saja? Beberapa jam? Tidak. Karena jatuhnya malah cuma beberapa menit, tepatnya lima belas menit. Untuk waktu sesingkat itu saya butuh menghabiskan waktu tiga hari meninggalkan anak istri. Bagaimana ini mungkin? Mungkin, karena inilah yang terjadi. Intinya adalah acara buka puasa bersama. Untuk mendengar ceramah saya, ada serangkaian acara pembuka. Pertama acara waktu molor, kedua musik pembuka, ketiga mengaji, keempat sambutan, kelima sambutan, keenam sambutan, ketujuh pembagian bingkisan, kedelapan foto bersama, kesembilan ceramah saya. Begitu saya naik panggung, bedug magrib tiba! Ini bukan soal apakah saya kecewa atau bahagia. Kecewa, karena ada pembicara yang tidak kebagian waktu berbicara. Ini mestinya kesakitan profesional. Sudut pandang kecewa ini boleh saja saya pakai. Tetapi jika sudut itu saya geser, beda lagi persoalannya. Ia langsung menjadi sudut bahagia. Bagaimanapun, berbicara di depan publik bukanlah urusan mudah. Jika gagal, seminggu sakitnya masih terasa. Maka terhindar dari kesakitan tetapkah sebuah keberuntungan. Seperti petinju, tanpa bertanding, saya sudah mengantoni sabuk juara. Memang tidak memuaskan. Tapi menjadi juara, tetaplah juga keberuntungan. Sudut ini juga boleh saya pakai. Tetapi kedua-keduanya, malah batal saya pakai. Ada sudut pandang ketiga yang malah menggoda saya. Yakni menikmati saja seluruh perintah alam itu seperti apa maunya. Dan inilah hasilnya: malah ada sesuatu yang menakjubkan saya di balik tradisi molor waktu itu. Sungguh, untuk punya kebiasaan ini, membutuhkan sikap mental yang seragam manusia seluruh Negara, karena molor waktu nyaris merata di sekujur negara. Ini sungguh tidak mudah. Sukses mengajari semua pihak untuk memiliki kebiasaan yang sama, adalah sukses yang mencengangkan. Ini sebetulnya keberhasilan besar kebudayaan yang dibentuk sekian lama, melewati mata rantai sosial yang rumit, untuk akhirnya sukses mengeram ke benak kita secara bersama-sama. Saya belum tertarik bicara soal apakah molor waktu ini baik atau buruk, saya sedang bicara soal sistem sosial yang demikian berhasilnya membentuk watak bersama. Jika sistem sekuat ini dipakai ke arah yang sebaliknya, hasilnya tentu akan sama baiknya. Artinya, ada sistem yang demikian canggih sehingga membuat hasilnya selalu pasti: pasti molor waktu. Jika kecanggihan serupa dipakai untuk sebaliknya, hasilnya pasti juga sebaliknya: pasti tepat waktu. Perkara sistem itu sekarang masih dipakai untuk budaya molor waktu, ini soal teknis saja. Jika mau, ini soal pembalikan fokus saja. Jika seluruh benak kita dibalik, saya kira hasilnya juga akan terbalik. Mendadak, sambil menunggu ceramah kehabisan waktu itu, saya menjadi semakin mencintai Negeri saya ini. Karena melihat Indonesia dengan rasa iba, sungguh membuat banyak persoalan terasa berbeda sama sekali. Di sebuah negeri molor waktu, adalah keliru jika mentang-mentang saya pembicara, lalu ingin bicara tepat waktu. Di sebuah negeri susah, adalah keliru jika kita ingin bergembira, sendirian pula. Di sebuah negeri penuh motor kreditan, keliru jika Anda gagah bermobil mewah, dan takut tergores pula. Mereka, yang sering kita sebut sebagai gangguan itu, adalah bagian dari hidup kita. Dan jangan-jangan seluruh persoalan itu, kita pula yang ikut menjadi penyebabnya. Sungguh tidak adil, menjadi seorang penyebab tanpa mau menanggung akibat. Maka seluruh dari persoalan hidup di Indonesia ini tak layak dikeluhkan karena ada unsur kita di dalamnya. Ia harus dihadapi, digembirai. Maka tak peduli seberapapun sempit waktu ceramah saya, saya melakukannya dengan gembira. Naik panggung, membuka cuma untuk menutup lalu makan bersama. Wuaaa� senangnya!

(Prie GS/)

Related Documents

Dua Tiga Hari Lepas
May 2020 13
Hari
November 2019 58
Hari
July 2020 42
Hari
November 2019 54

More Documents from ""

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43