Thelight Photography Magazine #9

  • Uploaded by: Joko Riadi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Thelight Photography Magazine #9 as PDF for free.

More details

  • Words: 10,569
  • Pages: 69
EDISI 9/2008

FREE

EDISI IX / 2008 1 www.thelightmagz.com

THEEDITORIAL

THEEDITORIAL

YANG MEMBEDAKAN ADALAH CARA BERPIKIR Banyak orang hidup dengan makan makanan yang sama, berpakaian sama memiliki pekerjaan yang sama, memiliki hobby yang sama, namun bisa memiliki tingkat kesuksesan yang jauh berbeda. Ada yang sudah jauh meninggalkan kebanyakan orang ada yang masih senang beramai-ramai dengan orang kebanyakan ada yang bahkan tertinggal jauh dari kebanyakan orang. Hal yang membedakan di tahap awal adalah cara berpikir. Banyak orang yang memiliki cara berpikir yang berbeda. Cara berpikir yang menjebak mereka pada kesenangan sesaat, kepuasan sesaat, keriangan dan keseruan sesaat bersama ramainya orang-orang yang juga terjebak di area itu. Namun ada yang mau berpikir lebih maju, berani berbeda untuk kemajuan sendiri, walaupun harus menjalaninya hanya dengan segelintir orang saja. Untuk itu kami menghadirkan fotografer-fotografer yang mudah-mudahan bisa dijadikan inspirasi, bisa memicu trigger dan menyadarkan kita semua dari kesesatan sesaat. Pada edisi ini kami menghadirkan Evelyn Pritt yang belajar dengan cara yang berbeda dengan peminat fotografi kebanyakan, yaitu dengan mengikuti pameran. Kami juga hadirkan Eddy Hasby yang pembicaraannya kali ini jauh berbeda dari kebanyakan fotografer jurnalis yang pernah hadir di sini, kami hadirkan Agustinus Sidarta yang selalu mencoba mengerti, bukan menghapal. Dan uniknya kami juga menghadirkan Scott Graham yang menciptakan standar baru dalam kualitas fotografi bawah laut di Indonesia dengan foto-foto dan usahanya yang keras di bidang ini.

ABOUT THE COVER PHOTOGRAPHER: SCOTT GRAHAM

Pada akhirnya, semua ini kembali kepada diri kita sendiri apakah bisa menerima, mencerna, menyerap dan menjadi terinspirasi dari cara berpikir orag-orang hebat ini atau kita memilih untuk tetap bergabung dengan orang kebanyakan? Redaksi.

“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”

PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur No. 33A, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi: [email protected], Public relation: Prana Pramudya, Marketing: [email protected] - 0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, [email protected], Graphic Design: ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto

2

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

3

OUTDOORPHOTOGRAPHY

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

EVELYN PRITT, BESAR DARI PAMERAN KE PAMERAN Sudah puluhan fotografer professional kami hadirkan di majalah ini sebelumnya. Berbagai ilmu dan pemikiran menarik dari kaum professional yang sudah terbukti kesuksesannya pun bisa kita ambil. Namun pada kesempatan kali ini kami tertarik untuk menghadirkan fotografer yang belum begitu panjang jam terbangnya, khususnya sebagai fotografer professional. Yang menarik bagi kami adalah pemikiran dan caranya mempelajari fotografi yang tergolong langka di tengah banyaknya pemonat fotografi yang belajar dengan cara ikut-ikutan saja. Ia adalah Evelyn Pritt. Evelyn mulai memotret ketika duduk di bangku kelas 1 SMP. Namun ia mulai lebih serius ketika mengikuti ekstra kurikuler fotografi di SMAnya. Evelyn cukup gemar ikut serta dalam pameran fotografi, namun tidak sembarang pameran. Ia sangat senang ikut serta dalam pameran fotografi yang berkonsep seiring dengan kegemarannya mendalami fine art photography. Beberapa pameran berkonsep seperti Kota kita di antara, lalu kini nanti di Goethe, perempuan dan erotisme, Mata Perempuan, Sencity hingga berbagai pameran berkonsep lain ia ikuti. Walaupun sering mengikuti pameran, Evelyn mengaku tidak suka memotret bersama-sama. “Motret bareng, apalagi rame-rame membatasi kita untuk bisa

4

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

5

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY explore banyak. Selain itu hasilnya juga kurang unik, setidaknya obyeknya sama.” Ungkanya. Untuk itu hunting bersama dimanfaatkan Evelyn hanya untuk keperluan sosialisasi saja. “Banyak yang suka ikut komunitas hunting rame-rame tapi akhirnya fotonya jadi mirip-mirip. Stylenya sama, senang desaturate, posing & lightingnya juga.” Tegasnya.

“Banyak yang suka ikut komunitas hunting ramerame tapi akhirnya fotonya jadi miripmirip. Stylenya sama, senang desaturate, posing & lightingnya juga.”

6

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

7

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

“Nggak semua workshop gue ikutin. Gue lebih suka ikut workshop konseptual daripada workshop teknis, karena teknis kita bisa belajar di mana aja. Tapi konseptual, jauh lebih seru.” Ketimbang bergabung dengan komunitas hunting bareng, Evelyn lebih memilih untuk bergabung dengan komunitas workshop dan pameran bersama. Karena dengan mengikuti workshop dan pameran bersama selain tetap menambah network, Evelyn juga merasa mendapat banyak ilmu dan masukan. Namun Evelyn tetap selektif dalam mengikuti workshop. “Nggak semua workshop gue ikutin. Gue lebih suka ikut workshop konseptual daripada workshop teknis, karena teknis kita bisa belajar di mana aja. Tapi konseptual, jauh lebih seru.” Jelasnya. Kecintaan Evelyn terhadap conceptual photography berdasar kepada pesan yang disampaikan oleh foto yang bersangkutan. “Foto konsep lebih ada pesannya, nggak cuma keren-kerenan. Jadi lebih menarik untuk ditekuni.” Sambungnya. Namun begitu Evelyn mengaku tidak harus selalu memproduksi foto berkonsep.

8

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

9

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

Keunikan lain dari Evelyn yang menarik kami adalah referensi yang menarik baginya. Di tengah ramainya komunitas online yang berusaha menyediakan referensi bagi dan dari anggotanya, Evelyn memilih jalan yang berbeda. “Gue lebih suka browsing festival. Karena sudah jelas karyanya diakui oleh satu system penilaian dari juri yang kompeten. Selain itu ada caption mengenai foto tersebut yang bisa menjadi pembelajaran lebih dari sekedar teknis.” Tegasnya. Dalam menghasilkan foto berkonsep, Evelyn tetap membatasi dirinya agar tidak kelewatan. “Foto berkonsep nggak harus ribet. Takutnya malah keberatan di konsep dan nggak kena subjectnya. Konsep bisa sederhana tapi jelas konsepnya terlihat lebih dominan dibanding eksekusinya.” Jelasnya. Dalam mengkonsep Evelyn memiliki 2 alternatif. Yang pertama ia membuat foto dulu setelah itu baru menyambungkannya dengan sebuah konsep. Yang kedua adalah mengkonsep dulu baru memotret. Evelyn mengaku lebih banyak mengkonsep dulu. “Kalau foto dulu baru dikonsep nggak tau kapan habisnya. Karena bisa aja dihubungin sama foto yang mana aja.” Ungkapnya.

10

EDISI IX / 2008

“Foto konsep lebih ada pesannya, nggak cuma keren-kerenan. Jadi lebih menarik untuk ditekuni.” “Gue lebih suka browsing festival. Karena sudah jelas karyanya diakui oleh satu system penilaian dari juri yang kompeten. Selain itu ada caption mengenai foto tersebut yang bisa menjadi pembelajaran lebih dari sekedar teknis.” EDISI IX / 2008

11

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY Evelyn mengaku sering mendapat konsep secara tiba-tiba. “Konsep datangnya tiba-tiba, kadang nggak direncanakan. Biasanya karena ter-triger dari sesuatu. Tapi gue nggak berani cari referensi dalam mengkonsep karena takutnya malah jadi terpengaruh.” Sambungnya. Dalam hal referensi, Evelyn lebih suka melihat-lihat hasil karya fotografer professional asing. “Fotografer asing warnanya biasanya natural dan nggak artificial. Selain itu karakternya lebih beragam dan yang paling penting mereka konsisten dengan karakternya.” Ungkapnya. Dengan banyak melihat foto dari fotografer asing Evelyn

“Foto berkonsep nggak harus ribet. Takutnya malah keberatan di konsep dan nggak kena subjectnya. Konsep bisa sederhana tapi jelas konsepnya terlihat lebih dominan dibanding eksekusinya.” 12

EDISI IX / 2008

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

“... Seharusnya semua fotografer rajin melakukan pameran, karena dari sini kita bisa dapat masukan.” merasa mendapat manfaat untuk bisa belajar trend dari luar. Dalam menekuni fotografi, Evelyn selalu melakukan dua hal untuk membantunya terus berkembang. “Saya motret komersil untuk cari uang. Tapi selain motret komersil, saya juga masih rajin ikut pameran. Pameran adalah kesempatan untuk explore lebih banyak selain untuk refreshing. Seharusnya semua fotografer rajin melakukan pameran, karena dari sini kita bisa dapat masukan.” Jelasnya. Evelyn merasa tidak pernah jenuh untuk belajar. Hal ini seiring dengan ketakutannya akan ketidakmampuannya pada fotografi. “Gue suka ngerasa selalu kurang. Kayak ada yang gue ngEDISI IX / 2008

13

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

14

EDISI IX / 2008

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

15

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

Gue suka ngerasa selalu kurang. Kayak ada yang gue nggak tahu. Maka dari itu gue selalu cari tahu apa yang gue bisa cari.”

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY gak tahu. Maka dari itu gue selalu cari tahu apa yang gue bisa cari.” Ungkapnya. Mengenai pengetahuan teknis, Evelyn mengaku lebih banyak belajar dengan mencoba sendiri. “Teknis jadi gampang ketika kita mengerti logikanya. Biarpun nggak pernah belajar teknis secara serius pun pasti nggak akan menemui kesulitan kalau udah ngerti logikanya.” Tegasnya. Bagi mereka yang baru memulai fotografi, Evelyn berpesan untuk memperbanyak referensi. “Referensi yang cuma dari local saja, tapi juga dari luar negeri. Karena beda sekali. Dan yang pasti bisa memperkaya.” Selain itu Evelyn menyarankan untuk terus memotret tanpa takut benar atau salah. Dengan begitu proses eksplorasi akan lebih tak terbatas. Mengenai kemampuan dasar fotografi termasuk teknis, Evelyn berpendapat bahwa setiap orang tetap harus mengerti walaupun tidak harus terpaku. “Pengetahuan dasarnya harus tahu, tapi setelah itu jangan terlalu terpaku dan terjebak pada itu. Banyak lakukan eksplorasi.” Jelasnya. “Banyak yang mengharamkan foto yang blur

16

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

17

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

18

EDISI IX / 2008

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

19

CONCEPTUALPHOTOGRAPHY

WILDLIFEPHOTOGRAPHY

atau shake. Buat saya blur dan shake bukan masalah asalkan bukan didapatkan dengan tidak sengaja. Artinya blur & shake terjadi karena kita memang menginginkannya karena sesuai dengan konsep yang kita inginkan.” Tambahnya. Evelyn pun menegaskan sekali lagi mengenai pentingnya pameran. “Cari info pameran yang sesuai dengan interest kita. Tapi kalau belum tahu interestnya dimana ya coba ikut yang ada saja, dari situ kan kita bisa tahu maunya kita kayak apa.” Tutupnya.

20

EDISI IX / 2008

Buat saya blur dan shake bukan masalah asalkan bukan didapatkan dengan tidak sengaja. Artinya blur & shake terjadi karena kita memang menginginkannya karena sesuai dengan konsep yang kita inginkan.” EDISI IX / 2008

21

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

SCOTT GRAHAM, MENGEJAR HARTA KARUN DI BAWAH LAUT Keindahan alam Indonesia pastinya menarik untuk diabadikan oleh para pehobi fotografi landscape. Obyek pemotretan landscape seakan tidak pernah habis dan membosankan bahkan walaupun kita telah memotretnya berkali-kali. Namun di balik semua keindahan alam Indonesia yang tampak oleh mata orang awam, republik ini ternyata juga menyimpan keindahan alam bawah laut. Sebagai Negara kepulauan, tentunya Indonesia memiliki keindahan flora dan fauna bawah laut yang memukau. Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja kami menemukan seorang yang telah menghabiskan banyak waktunya untuk mengabadikan keindahan dunia bawah laut Indonesia. Ia mengenal betul dunia bawah laut Indonesia terutama daerah Rajaampat Papua. Namanya Scott Graham. Ya dari namanya anda pasti sudah menebak bahwa Scotty bukanlah warna Negara Indonesia asli.

22

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

23

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

24

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

25

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

UNDERWATERPHOTOGRAPHY Scotty adalah seorang yang berkebangsaan Amerika Serikat yang sejak 12 tahun yang lalu memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia setelah menikahi seorang wanita Jawa. Sebelum menetap di Indonesia, Scotty adalah seorang pilot helicopter. Ia juga seorang instruktur menyelam. Perjalanan hidupnya yang senang bertraveling keliling dunia membawanya hingga ke Bali. Ia pun memutuskan untuk menetap di Indonesia dan mencari pekerjaan tetap di Indonesia. “Saat itu saya mendengar ada lowongan di Jakarta International School, saya pun mencoba melamar dan diterima bekerja sebagai guru matematika dan fotorgafi.” Ungkapnya. Sejak saat itu Scotty menganggap Indonesia sebagai rumahnya.

“Menurut saya sangat baik jika kita belajar dengan kamera manual dimana semuanya harus kita atur sendiri. Sehingga kita bisa mempelajari segalanya mulai dari f/ stop, dan lain sebagainya.”

Scotty memulai hobi fotografinya sejak berumur 12 tahun ketika neneknya membelikannya kamera. Sejak saat itu Scotty selalu membawa kamera itu kemanapun ia pergi dan memotret apapun yang ia jumpai. Scotty pun mendalami fotografi secara otodidak dengan banyak membaca buku dan majalah fotografi. Scotty merasa beruntung karena belajar dengan kamera manualnya. “Menurut saya sangat baik jika kita belajar dengan kamera

26

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

27

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

28

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

29

UNDERWATERPHOTOGRAPHY manual dimana semuanya harus kita atur sendiri. Sehingga kita bisa mempelajari segalanya mulai dari f/stop, dan lain sebagainya.” Ungkapnya. “namun amat disayangkan saat ini banyak sekali orang yang menggunakan kamera otomatis yang canggih namun hal itu justru membuat mereka tidak mengerti cara kerja kamera. Mereka hanya membidik dan menjepret, tanpa tahu setting diafragma, kecepatan, ASA dan lain sebagainya.” Tambahnya. Scotty “terseret” dalam hobi memotret bawah laut karena mengikuti hobinya menyelam. “saya sudah menyelam selama lebih dari 25 tahun. Dan pada level ini saya bisa bosan ketika yang saya lakukan hanya menyelam. Maka dari itu saya bawa kamera saya ke bawah dan mulailah saya menyenangi

30

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

“namun amat disayangkan saat ini banyak sekali orang yang menggunakan kamera otomatis yang canggih namun hal itu justru membuat mereka tidak mengerti cara kerja kamera. Mereka hanya membidik dan menjepret, tanpa tahu setting diafragma, kecepatan, ASA dan lain sebagainya.”

EDISI IX / 2008

31

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

32

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

33

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

“Jika ketika di bawah laut anda masih harus mengkhawatirkan mengenai gelombang bawah laut, sudah berapa lama di bawah laut dan sebagainya, bagaimana fotonya bisa jadi bagus.” 34

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

hobi memotret bawah laut.” Jelasnya. Berbicara mengenai fotografi bawah laut, Scotty berpendapat bahwa hal pertama dan utama untuk melakukan pemotretan bawah laut adalah kemampuan menyelam yang baik sehingga ketika memotret kita tidak perlu khawatir akan hal-hal yang berhubungan dengan teknik menyelam dan bisa bekonsentrasi kepada fotografi

itu sendiri. “Jika ketika di bawah laut anda masih harus mengkhawatirkan mengenai gelombang bawah laut, sudah berapa lama di bawah laut dan sebagainya, bagaimana fotonya bisa jadi bagus.” Ungkapnya. Persiapan lain yang harus dilakukan dalam melakukan pemotretan bawah laut adalah temperatur perairan yang akan dikunjungi. “Indonesia tergolong EDISI IX / 2008

35

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

hangat airnya, berkisar sekitar 25 derajat celcius. Namun ada beberapa tempat seperti New Zealand yang memiliki perairan yang sangat dingin sehingga anda membutuhkan wet suite yang tebal juga untuk menjaga temperatur tubuh anda.” Jelasnya. Hal lain yang harus dipersiapkan ketika ingin melakukan pemotretan bawah laut di perairan dingin adalah ketahanan equipment. “saya ingin sekali memotret di antartika. Sangat dingin tapi saya yakin kehidupan bawah lautnya sangat berbeda. Mungkin kamera saya tidak bisa berfungsi secara sempurna tapi saya yakin masih bisa berfungsi dan cukup untuk saya.” Tambahnya. Dalam melakukan pemotretan bawah laut, Scotty biasanya memiliki list hal yang ingin difoto sebelum turun ke bawah. Untuk itu sebelum menyelam biasanya Scotty mencari informasi mengenai tempat yang ingin didatangi dan apa yang akan difoto di lokasi itu. “Jangan sampai kita menyelam untuk memotret tanpa punya tujuan yang jelas. Karena hasilnya pasti berbeda.” Jelasnya. “Memotret tanpa terencana dapat membuat kita tersasar di bawah laut karena kita akan terus memotret apa yang kita lihat. Dan hal itu

“Memotret tanpa terencana dapat membuat kita tersasar di bawah laut karena kita akan terus memotret apa yang kita lihat. Dan hal itu mungkin satu-satunya hal yang paling berbahaya ketika memotret bawah laut.” 36

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

37

UNDERWATERPHOTOGRAPHY mungkin satu-satunya hal yang paling berbahaya ketika memotret bawah laut.” Sambungnya. Ditanya mengenai bahaya lain dalam memotret bawah laut seperti ancaman dari hewan pemangsa bawah laut, Scotty mengaku bahwa sepanjang pengalamannya memotret bawah laut ia belum pernah bertemu dengan Hiu atau hewan berbahaya lainnya. “Jan-

38

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY gankan membahayakan kita, bahkan ketika kita ingin memotret hewan bawah laut pun kita harus cepat dan hati-hati supaya mereka tidak kabur.” Ungkapnya. “Justru itulah salah satu kesulitan memotret bawah laut, yaitu ketika kita tidak bisa mengontrol obyek yang akan kita foto, terutama hewan.” Tambahnya. Kesulitan lain dalam memotret bawah laut adalah

Dengan lighting equipment yang tepat dan set lighting yang tepat saya bisa mendapatkan foto yang jernih bahkan pada perairan yang agak keruh sekalipun”

EDISI IX / 2008

39

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

40

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

41

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

dorongan gelombang bawah laut yang bisa membuat kita bergerak. Untuk memaksimalkan hasil pemotretan bawah laut, Scotty selalu membawa dua buah lighting equipment khusus bawah laut. Dengan menggunakan lighting equipment pada posisi yang tepat, foto yang dihasilkan bisa jauh lebih jernih dari foto bawah laut tanpa menggunakan lampu. Warna yang dihasilkan pun jauh lebih matang jika dibandingkan dengan memotret tidak menggunakan lampu. Sayangnya Scotty tidak menemukan satu penjual peralatan fotografi di Indonesia yang menjual lighting equipment khusus bawah laut ini. Ia pun memesannya langsung dari Amerika Serikat. Lighting set up untuk pemotretan bawah laut rupanya juga memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dari lighting set up biasa. “Setting lampu di bawah laut tidaklah mudah. Karena daya jangkau cahaya yang dihasilkan juga terbatas, sehingga harus diperhitungkan jarak antara subyek dan lighting equipmentnya.”Jelasnya. “namun di sisi lain jika terlalu dekat dan terlalu terang, maka hasilnya pun akan over.” Tambahnya. “Hal yang harus diperhati-

42

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

43

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

UNDERWATERPHOTOGRAPHY kan sebelum melakukan setting lighting adalah memperhatikan kejernihan air, ambient light yang ada. Semakin banyak cahaya yang ada, semakin leluasa kita memotret. Misalnya saja pada saat memotret di perairan yang dangkal, untuk makro saya bisa menggunakan diafragma 32 untuk mendapatkan depth of field yang maksimal.” Jelasnya. “namun hal ini tidak dimungkinkan ketika kita memotret di perairan dalam di mana airnya tidak begitu jernih atau dimana tidak banyak cahaya.” Tambahnya. Pencahayaan memang menjadi hal yang penting dalam memotret bawah laut melebihi pemotretan pada umumnya. “Dengan lighting equipment yang tepat dan set lighting yang tepat saya bisa mendapatkan foto yang jernih bahkan pada perairan yang agak keruh sekalipun” Jelasnya. Jika dalam memotret landscape ada istilah golden hour atau waktu terbaik untuk melakukan pemotretan, pada fotografi bawah laut juga terdapat hal yang sama, hanya waktunya berbeda. “Waktu yang terbaik untuk memotret bawah laut adalah pagi hari sekali dan sore hari sekali. Bukan karena masalah pencahayaan, tapi karena pada jam-

44

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

45

UNDERWATERPHOTOGRAPHY jam itu hewan-hewan bawah laut banyak aktif. Biasanya sesaat setelah matahari terbit, dan sesaat sebelum matahari terbenam.” Jelasnya. “Sebenarnya memotret di siang hari jauh lebih baik dari segi pencahayaan, karena lebih banyak cahaya yang masuk. Namun sayangnya sangat sulit melihat ikan berkeliaran pada jam itu. Kecuali jika kita hanya ingin memotret terumbu karang.’ Tambahnya.

“Saya berharap semakin banyak orang yang memotret bawah laut supaya semakin banyak orang yang tahu bahwa alam bawah laut begitu indah sehingga orang akan berpikir dua kali jika ingin merusak alam bawah laut.” 46

EDISI IX / 2008

UNDERWATERPHOTOGRAPHY

Dalam melakukan pemotretan bawah laut Scotty juga sangat memperhatikan gelombang bawah laut. “ketika gelombangnya kuat, biasanya airnya lebih jernih dan ikan yang muncul lebih banyak dibandingkan gelombangnya pelan. Namun tingkat kesulitan untuk memotret ketika gelombangnya kuat juga cukup tinggi.” Ungkapnya. Ditanya mengenai lokasi memotret bawah laut yang paling ia sukai Scotty menjawab “Saya telah menyelam di berbagai tempat di berbagai Negara, namun yang terbaik adalah Indonesia, khususnya Raja Ampat Papua.” Di akhir ceritanya mengenai alam bawah laut yang indah Scotty menyangkan tindakan perusakan alam bawah laut karena penggunaan bom ikan, penangkapan ikan secara berlebihan, dan tindakan lain yang bisa merusak habitat bawah laut. “Saya berharap semakin banyak orang yang memotret bawah laut supaya semakin banyak orang yang tahu bahwa alam bawah laut begitu indah sehingga orang akan berpikir dua kali jika ingin merusak alam bawah laut.” Tutupnya.

EDISI IX / 2008

47

LIPUTANUTAMA

LIPUTANUTAMA

PRAKTEK BISNIS “HITAM” FOTOGRAFER PROFESIONAL Kehadiran teknologi digital pada kamera mempermudah peminat fotografi untuk menghasilkan obyek yang lebih baik. Hal ini dikarenakan karakter digital yang instan, sehingga fotografer dapat dengan seketika melihat hasil pemotretan sesaat setelah menjepret. Kasus foto terbakar, foto kurang bagus exposurenya dan cacat teknis lainnya semakin minim peluangnya untuk terjadi. Dan kalaupun terjadi dengan mudahnya sang fotografer dapat menghapusnya dan memotret ulang dengan setting yang lebih baik. Kemudahan ini menyebabkan pehobi fotografer yang mulai menkomersilkan hobby mereka bertambah banyak. Jumlah fotografer wedding, fashion, jurnalistik, komersil dan berbagai macam spesialisasi lainnya meningkat pesat dalam hal kuantitas. Sayangnya tidak banyak yang berhasil mengaliri foto-foto yang mereka hasilkan dengan karakter-karakter unik tiap fotografer yang membuatnya. Jika kita lihat pameran wedding yang pastinya dihadiri banyak sekali fotografer wedding hampir tidak ada satu karya yang dengan mudah bisa kita recall sesaat setelah kita meninggalkan gedung pameran. Jika kita lihat foto-foto

48

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

49

LIPUTANUTAMA

Banyak yang terlanjur jatuh cinta hingga rela mengikuti apa yang dilakukan idolanya tersebut.

LIPUTANUTAMA fashion spread dan mencoba menebak siapa fotografer yang menciptakannya berdasar karakter pencipta yang dimunculkan dalam foto-foto itu sering kali kita salah sangka. Banyak fotografer muda yang terlanjur jatuh cinta pada karakter fotografer senior yang menjadi inspirasinya. Hasilnya foto yang dihasilkan berusaha meniru fotografer idolanya tersebut termasuk karakternya. Hanya saja bedanya fotografer yang meniru ini biasanya menghasilkan foto yang kurang bernyawa dibandingkan yang ditiru. Jika kita mengunjungi komunitaskomunitas online di mana bisa kita dapatkan galeri foto-foto anggotanya, banyak sekali foto yang mirip dan setipe tanpa memiliki karakter dengan fotografer yang berbeda-beda. Di sebuah komunitas online berulang kali dibahas teknik foto dengan RDP style (RDP = Rarindra – red.). Banyak yang terlanjur jatuh cinta hingga rela mengikuti apa yang dilakukan idolanya tersebut. Trend fotografi pun tidak luput dari proses cloning yang dilakukan pehobi fotografi. Ketika sedang trend unsaturated tone, seolah-olah semua foto harus seperti itu. Ketika pose dari model pada pemotretan fashion harus

50

EDISI IX / 2008

tidak biasa dan terkesan aneh kalau dilihat dari cara manusia berpose setiap harinya semua foto fashion pun ikut serta menjadi pengikutnya. Segala perilaku dan keadaan penyamaan selera, style, karakter dan gaya dalam berfotografi ini terbawa hingga ketika mereka mulai mengkomersialkan fotografi. Akibatnya perang harga pun tidak bisa dihindari. AK, seorang fotografer wedding yang sudah lebih dari 10 tahun memotret wedding terheran-heran dengan cara berhitung para fotografer wedding baru. “Ada yang jual paket pre wedding dengan nilai di bawah 1 juta. Padahal untuk bayar listrik, bayar asisten, bayar konsumsi, hingga printing saja bisa habis sekitar 500 ribu. Itu belum termasuk kalkulasi penyusutan equipment. Padahal kerjanya seharian, belum lagi ditambah meeting-meeting beberapa kali sebelum hari pemotretan. Nggak masuk akal lagi hitungannya.” Yudi, seorang awam yang pernah menggunakan jasa fotografer wedding pun bercerita tentang pengalaman menariknya memilih fotografer wedding. “dulu ada fotografer yang ketika kita minta penawaran harga mereka malah menyuruh kita untuk keliling-keliling dulu cari gambaran harga dari orang lain setelah itu baru kembali. Dan fotografer tersebut menjanjikan akan memberikan harga yang lebih murah dari harga termurah yang saya dapatkan.” Jelasnya. “Aneh kan kalau harga fee fotografi seorang fotografer ditentukan oleh besaran harga fotografer lainnya?” sambungnya sambil tertawa. Di level yang lebih serius, di bidang fotografi komersil untuk keperluan iklan pun terjadi praktik-praktik bisnis tidak beretika. Sebut saja OS, seorang fotografer komersil yang banyak melakukan pemotretan untuk keperluan iklan bercerita “Saya pernah didatangi

Aneh kan kalau harga fee fotografi seorang fotografer ditentukan oleh besaran harga fotografer lainnya?” EDISI IX / 2008

51

LIPUTANUTAMA

LIPUTANUTAMA

seorang art director dari sebuah perusahaan periklanan. Awalnya ia banyak memuji hasil karya saya. Selanjutnya ia menawarkan dirinya untuk memberikan pekerjaan memotret iklan-iklan yang ia kerjakan. Saya pun menyambutnya dengan senang. Tapi sayangnya hal ini tidak terjadi semudah itu. Art director ini pun meminta imbalan berupa komisi sebanyak 20-30% dari besar nilai penawaran yang saya ajukan. Hal ini menjadi tidak masuk akal karena harga saya jadi sangat mahal ketika saya harus menambahkan 20-30% dari harga saya.”

telepon minta diikutsertakan dalam pitching, karena pertimbangan males nolaknya akhirnya kita terima saja, dengan rencana nanti nggak usah dipilih karena memang fotografer-fotografer yang lain jauh lebih bagus karyanya. Beberapa hari sebelum penunjukan, fotografer yang minta ikutan ini telpon lagi dan bilang, “gini aja deh, harga loyang tentuin aja, gue ikut aja. Itupun 30%nya buat lo kok, jadi kalau lo mau dapet lebih gede ya tinggal digedein aja harganya.” Akhirnya karena imingiming komisi tersebut gue pun milih dia.”

“gini aja deh, harga loyang tentuin aja, gue ikut aja. Itupun 30%nya buat lo kok, jadi kalau lo mau dapet lebih gede ya tinggal digedein aja harganya.”

Sebaliknya para pekerja kreatif dan producer di perusahaan periklanan pun mengaku sering digoda oleh fotografer untuk mendapatkan komisi atau sekedar uang balas jasa jika mereka mau menggunakan jasa fotografer tersebut. LA, seorang art director yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional mengaku sempat menggunakan jasa fotografer dengan pertimbangan komisi yang diberikan fotografer tersebut. “Waktu itu tim gue lagi nyari fotografer untuk eksekusi iklan yang kita buat. Ada beberapa nama yang kita panggil untuk pitching. Tiba-tiba ada satu orang fotogafer yang tidak kita panggil tiba-tiba

Kasus lain yang lebih keterlaluan dialami OD, seorang art director di sebuah perusahaan periklanan kelas menengah. “Setiap tim kreatif mau motret, kita selalu Tanya rekomendasi dari producer kita. Biasanya producer selalu rekomen 2-3 nama. Sisanya kita yang mutusin. Tapi pernah ada kejadian selama berkali-kali dala kurun waktu beberapa bulan producer gue selalu ajuin 3 nama, di mana yang 1 selalu ada sementara yang 2 gantiganti. Anehnya yang 1 itu selalu terpilih karena 2 kandidat yang lain selalu penuh schedulenya. Atau kadang harga 2 fotografer yang lain nggak masuk di akal. Beberapa kali kita coba

pakai fotografer itu biasa saja, bahkan terakhir-terakhir ketika kita kasih kerjaan yang lebih perlu detail dan teknis yang lebih ribet dia kewalahan. Pernah motret 1 product aja dari pagi sampai sore nggak dapet-dapet. Dan anehnya setelah kejadian itu producer gue masih mau rekomendasiin dia. Klien pun udah beberapa kali ngeluh karena merasa fotografer ini nggak cukup capable. Akhirnya gue coba ajak ngomog producer gue secara baikbaik. Awalnya dia nggak mau ngaku. Tapi akhirnya dia ngaku juga bahwa

52

EDISI IX / 2008

Pernah motret 1 product aja dari pagi sampai sore nggak dapet-dapet. Dan anehnya setelah kejadian itu producer gue masih mau rekomendasiin dia.

EDISI IX / 2008

53

LIPUTANUTAMA

“...dari setiap pemotretan dia dapet lagi dalam jumlah yang nggak masuk akal, bisa sampe 50% dari total nilai job...”

LIPUTANUTAMA

“...Mulai dari dibayarin karaoke, makan-makan di restoran mahal, tiket pesawat & hotel untuk liburan sampe pernah si fotografer ngasih cewek...”

dia dikasih banyak sekali uang oleh fotografer itu dan dari setiap pemotretan dia dapet lagi dalam jumlah yang nggak masuk akal, bisa sampe 50% dari total nilai job. Ngerasa rahasianya sudah terbongkar, producer gue ini pun mulai merayu gue. Dia bilang nanti gue bagi deh. Selain itu dia juga ngasih macem-macem buat gue. Mulai dari dibayarin karaoke, makan-makan di restoran mahal, tiket pesawat & hotel untuk liburan sampe pernah si fotografer ngasih cewek (PSK – red.) untuk gue. Semuanya dibayarin sama si fotografer. Tapi karena klien gue juga udah nggak tahan maka gue nggak mau terima dan tetep maksa pake fotografer lain.” Bisnis fotografi memang kompleks. Mungkin satu-satunya spesialisasi dalam fotografi yang tidak melulu soal fotografi adalah fotografi komersil. AB, seorang cretive group head sebuah perusahaan periklanan memandang wajar jika harga dari fotografer di mark up untuk kepentingan profit perusahaannya. Namun jika di mark up untuk keuntungan pribadi tim yang terlibat di dalamnya maka hal itu tidak bisa dibenarkan. EF seorang freelance photography producer yang sudah banyak memproduceri banyak sekali fotografer top dan perusahaan periklanan top Indonesia melihat fenomena terjadi karena beberapa alasan. “Yang pertama,

54

EDISI IX / 2008

ini terjadi karena sulitnya mendapat kepercayaan perusahaan periklanan. Sudah menjadi rahasia umum, hal tersulit untuk menjadi fotografer komersil adalah mendapat akses ke kalangan pekerja periklanan apalagi hingga mendapat kepercayaan untuk terpilih untuk mengeksekusi ide-ide iklan mereka. Ketika seorang fotografer gagal meyakinkan perusahaan periklanan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengeksekusi ide mereka dengan karya dan kata-kata pada setiap presentasinya maka uang dan imbalanlah yang mampu membantunya.” Ungkapnya. Bagi EF, komisi untuk producer atau art director perusahaan periklanan pada setiap penunjukkan fotografer komersil masih bisa dianggap wajar jika besarannya tidak melebihi 10% dari nilai pekerjaan yang dilakukan. AD, Seorang creative director sebuah perusahaan periklanan memandang wajar taktik bisnis yang dilakukan oleh fotografer dengan memberikan komisi seperti ini, namun tidak semua bisa dibenarkan. “Wajar atau mungkin lebih tepatnya bisa dimengerti karena persaingan yang makin berat. Tapi tetap tidak bisa begitu saja dibenarkan. Cara yang mudah untuk melihat bahwa hal tersebut sesuatu yang bisa

Ketika seorang fotografer gagal meyakinkan perusahaan periklanan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengeksekusi ide mereka dengan karya dan kata-kata pada setiap presentasinya maka uang dan imbalanlah yang mampu membantunya.”

EDISI IX / 2008

55

LIPUTANUTAMA dibenarkan atau tidak adalah apakah mereka melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi di bawah meja atau transparan. Jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi artinya ada ketakutan, sehingga sudah pasti hal tersebut merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Namun jika hal itu dilakukan secara terang-terangan hingga semua anggota tim dari perusahaan periklanan yang terlibat mengetahui deal ini maka bisa disimpulkan hal tersebut memang diperbolehkan di perusahaan tersebut.” AD pun pernah menghadapi tawarantawaran komisi seperti itu. “Karena posisi saya di atas decision maker dalam proses penunjukan fotografer, maka godaan yang datang untuk menginter-

“...banyak fotografer top yang setiap tahun harganya semakin tinggi namun bisa tetap ramai tanpa harus memberikan komisi. Tanpa menyogok pun ia bisa terus menaikkan harga seenakenaknya.” 56

EDISI IX / 2008

LIPUTANUTAMA vensi art director/creative group head saya dalam memilih fotografer sangat besar. Tawaran komisi hingga imingiming lain pun datang. Biasanya saya justru meminta fotografer yang bersangkutan untuk mengkonversi komisi tersebut menjadi discount dari harga penawaran yang diajukan, itupun kalau memang fotografer yang bersangkutan cukup capable.” Ungkapnya. Imbalan atas kerjasama antara fotorgafer dan perusahaan periklanan memang sesuatu yang masih sering dianggap tabu, namun FT, seorang account manager sebuah perusahaan periklanan melihat imbalan menjadi sesuatu yang tidak tabu jika dilakukan dalam waktu yang tidak berdekatan dengan penunjukan fotografer pada seuah project, besarannya pun harus wajar, tidak terlalu besar. Misalnya pemberian parcel atau voucher belanja pada lebaran atau natal. Lepas dari segala perdebatan mengenai halal atau tidaknya praktik bisnis semacam ini, AD menyimpulkan bahwa fotografer yang memberikan iming-iming imbalan ataupun komisi dalam bentuk apapun pada setiap project yang diberikan adalah fotografer yang tidak memiliki kemam-

puan yang cukup menjual. “Sederhana saja, banyak fotografer top yang setiap tahun harganya semakin tinggi namun bisa tetap ramai tanpa harus memberikan komisi. Tanpa menyogok pun ia bisa terus menaikkan harga seenak-enaknya. Artinya, kemampuan fotonya pastilah luar biasa karena ia tidak membutuhkan apapun selain portfolio dan kemampuannya untuk membuat klien memilihnya. Sementara banyak fotografer yang harganya sudah kelewat murah pun masih saja rindu order, untuk itu mereka memberi imbalan. Yang paling menyedihkan adalah ketika seorang fotorgafer yang sudah murah nggak ketulungan dan memberi komisi dan imbalan pada setiap penunjukkan pemotretan namun masih tidak terpilih. Artinya sudah pasti ada yang salah besar dari portfolio dan kemampuannya. Hahaha… ” Jelasnya sambil tertawa.

Yang paling menyedihkan adalah ketika seorang fotorgafer yang sudah murah nggak ketulungan dan memberi komisi dan imbalan pada setiap penunjukkan pemotretan namun masih tidak terpilih. Artinya sudah pasti ada yang salah besar dari portfolio dan kemampuannya.

EDISI IX / 2008

57

THEEVENT

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDDY HASBY, MENGUNGKAP TANTANGAN BERAT PEWARTA FOTO

Fotografi jurnalistik sampai saat ini adalah sepsialisasi dalam fotografi yang memiliki banyak peminatnya. Hal ini didukung oleh banyaknya media massa dan kantor berita yang ada di dunia yang notabene sangat menyuburkan tumbuhnya profesi pewarta foto. Pada kesempatan kali ini, kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Eddy Hasby, salah seorang pewarta foto terbaik yang dimiliki surat kabar nasional terbesar di Indonesia ini. Eddy mengawali ketertarikannya pada fotografi karena melihat ayahnya yang suka memotret. Ia pun tertarik mengikuti jejak ayahnya, namun proses pembelajarannya dilakukan secara otodidak sendiri. “Waktu itu belum ada sekolah fotografi, jadi belajarnya ya dengan banyak diskusi dengan sesama peminat fotografi. Waktu itu saya banyak diskusi dengan Pak Johny Hendarta, Mas Roy Suryo, Pak Agus Leonardus dan fotografer Yogya lainnya.” Ungkap pria yang berkuliah hukum di kota gudeg ini.

58

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

59

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

60

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

61

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

jangan mengklaim bahwa ini style gue nih. Jangan gitu, biarin orang lain yang menilai style kita seperti apa, bukan kita yang mengaku.”

62

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY Pada awal 1990an Eddy bekerja di harian Bernas sebagai wartawan tulis. Ia pun mulai mempelajari jurnalistik di sana. Namun karena memang sudah menekuni fotografi sejak sebelumnya, maka Eddy pun terkadang melakukan profesi sebagai wartawan tulis sekaligus memotret. Karena dianggap cukup baik hasil fotonya, Eddy pun diminta untuk ebih berkonsentrasi di foto. Ia pun semakin giat belajar fotografi jurnalistik. “Di daerah (Yogya- red.) buku fotografi susah sekali maka dari itu saya belajar fotografi jurnalistik denga cara membuat kliping foto dari Koran-koran lain. Waktu itu saya banyak belajar dari foto-fotonya Julian Sihombing & Kartono Riyadi.” Jelasnya. Eddy mengakui proses belajarnya pada awalnya lebih banyak mencoba meniru walaupun pada akhirnya muncul style sendiri. “Tapi jangan mengklaim bahwa ini style gue nih. Jangan gitu, biarin orang lain yang menilai style kita seperti apa, bukan kita yang mengaku.” Jelasnya. Dengan banyak mengamati foto Julian Sihombing dan Kartono Riyadi, Eddy banyak mendapat ilmu fotografi jurnalistik. “Kartono itu sukanya pake lensa fix, sementara Julian berani pake lensa wide. Dulu dia berani pakai lensa 20mm padahal yang lain nggak ada yang berani.” Ungkapnya.

Pada tahun 1994 Eddy keluar dari Bernas dan dikontrak Kompas untuk meliput PON. Karena cocok Eddy pun dipekerjakan secara tetap di Kompas hingga sekarang. Di Kompas saat ini Eddy ditugasi untuk banyak mengurusi masalah arsip foto. Pekerjaannya lebih banyak berkutat dengan metadata sebuah foto. “Dengan mengisi data foto pada script IPTC yang tersedia, mencari foto jadi sangat mudah karena kita bisa mencari hanya dengan memasukkan kata kunci yang diinginkan dan foto yang menyimpan data yang terdapat kata kunci yang dimasukkan pun akan muncul.” Jelasnya. “Selain untuk memudahkan pencarian, ini bagus sekali sebagai bukti hak cipta. Sayangnya di Indonesia belum banyak. Padahal di media massa, foto yang masuk bisa sampai 250 foto per hari. Bayangkan kalau kita harus milih satu per satu, padahal deadline sudah di depan mata. Nggak akan keburu. Di Kompas, kalau nggak ada caption IPTCnya sudah pasti dibuang foto itu. Itu sudah kesepakatan bersama” Sambungnya. Eddy menyayangkan fotografer local yang kurang menghargai hasil karyanya dengan tidak mengisi caption

“Dengan mengisi data foto pada script IPTC yang tersedia, mencari foto jadi sangat mudah karena kita bisa mencari hanya dengan memasukkan kata kunci yang diinginkan dan foto yang menyimpan data yang terdapat kata kunci yang dimasukkan pun akan muncul.”

EDISI IX / 2008

63

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

64

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

65

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

“Bayangkan kalau suatu saat media online sudah dominan, mungkin pewarta foto lebih susah lagi bersaingnya karena lebih baik mereka mempekerjalan kameraman audio visual karena karakter media online yang memungkinkan untuk menampilkan audio visual.” konten metadata. Bahkan seharusnya ketika kita mengupload foto-foto di komunitas online tidak perlu mengisi data teknis, karena ada software pembaca metadata sehingga sudah pasti terbaca. Berbicara mengenai tantangan dalam fotografi jurnalistik Eddy mengaku sangat menyayangkan minimnya institusi pendidikan fotografi jurnalistik. Sementara persaingannya semakin ketat. “Bayangkan kalau suatu saat media online sudah dominan, mungkin pewarta foto lebih susah lagi bersaingnya karena lebih baik mereka mempekerjalan kameraman audio visual karena karakter media online yang memungkinkan untuk menampilkan audio visual.” Jelasnya “Tantangan lain, beberapa kantor berita sudah membuka kesempatan bagi siapa saja yang memiliki foto dengan nilai berita yang baik untuk bisa menjual fotonya kepada kantor berita tersebut. Jadi pewarta foto nantinya bisa bersaing dengan

66

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

67

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

68

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

69

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

orang awam juga.” Sambungnya. Untuk itu Eddy melihat tidak ada pilihan bagi pewarta foto untuk bertahan di tengah persaingan selain untuk menjadi pewarta foto yang memiliki kemampuan mumpuni. “Kalau teknologi berubah dan kita tidak siap ya hancur lah kita. Untuk itu kalau mau bertahan ya harus mau belajar, up to date dengan teknologi dan motretlah yang bagus.” Tegasnya. Ditanya cara untuk bisa memotret bagus, Eddy berpendapat bahwa masalah teknis harus sudah di luar kepala, “Masalah teknis sih sudah tidak usah diomongin lagi. Harus sudah di luar kepala. Selanjutnya kemampuan yang berhubungan dengan konten yang harus diasah. Mulai dari pencarian foto yang memiliki news value, dan juga kemampuan loby nara sumber.” Jelasnya. “Terkadang kita susah menemukan foto yang memiliki news value yang baik. Nah di situ lah kita harus bermain dengan visual. Cari komposisi yang baik sehingga fotonya yang dihasilkan tetap menarik.” Tambahnya. Eddy berpendapat bahwa fotografer muda terkadang kurang gigih dalam menghasilkan foto yang baik “Mereka kurang fight. Mengolah visualnya kadang masih tanggung, harusnya bisa

70

EDISI IX / 2008

“Kalau teknologi berubah dan kita tidak siap ya hancur lah kita. Untuk itu kalau mau bertahan ya harus mau belajar, up to date dengan teknologi dan motretlah yang bagus.”

EDISI IX / 2008

71

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

72

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

73

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

“Dengan memperkaya referensi otak kita akan dirangsang untuk menghasilkan foto yang baik dengan terinspirasi referensi tersebut. Makin banyak referensi yang kita lihat makin kaya perbendaharaan di otak kita.”

74

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY lebih baik lagi. Tapi mungkin waktu dan proses yang akan mengajari mereka.” Jelasnya. Salah satu cara untuk melakukan evaluasi terhadap hasil foto kita, Eddy menyarankan untuk mengevaluasi jumlah foto yang bagus dari total foto yang kita buat. “Semakin banyak yang jadi, atau semakin sedikit yang gagal semakin baik kemampuan kita” Jelasnya. Dalam mempelajari fotografi jurnalistik Eddy melihat seharusnya fotografer muda harus lebih sabar. “Pernah ada mahasiswa yang memgambil semiotic sebagai tema skripsinya. Padahal basicnya saja masih lemah. Jadi banyak yang maunya instan, langsung loncat ke advanced.” Tegasnya. “Biasanya yang instan itu baru kewalahan kalau kon-

“Semakin banyak yang jadi, atau semakin sedikit yang gagal semakin baik kemampuan kita”

“Biasanya yang instan itu baru kewalahan kalau kondisinya lapangan tidak menguntungkan. Misalnya ketika tidak ada momen, biasanya mereka mati kutu. disinya lapangan tidak menguntungkan. Misalnya ketika tidak ada momen, biasanya mereka mati kutu. Akhirnya yang dipentingkan hanya hasil akhirnya saja. Misalnya dengan menghalalkan olah digital dengan porsi lebih dari sewajarnya. Padahal seringkali proses olah digital lebih memakan waktu dibanding kita olah lebih sabar di lokasi.” Jelasnya. Selain itu Eddy juga menyarankan fotografer muda untuk mencari buku yang baik. Setidaknya carilah buku referensi yang baik. “Dengan memperkaya referensi otak kita akan dirangsang untuk menghasilkan foto yang baik dengan terinspirasi referensi tersebut. Makin banyak referensi yang kita lihat

makin kaya perbendaharaan di otak kita.” Tegasnya. Di akhir perbincangan kami Eddy berpesan kepada para fotografer muda untuk lebih peduli terhadap masalah arsip ketika produktifitas sudah tinggi. “Mulailah melakukan archiving. Karena dari situ foto yang menumpuk di dalam komputer kita masih bisa dianggap berharga. Karena tanpa archiving kita pun jadi malas mencari foto-foto yang bagus. Akhirnya jadi tidak terpakai dan jadi sampah.” Jelasnya. “Sayang sekali kalau ada foto yang bersejarah. Padahal foto-foto itu adalah tabungan kita untuk hari tua. Karena suatu saat foto tersebut bisa mahal nilainya. Makanya mulailah untuk mengisi caption IPTC sebelum semakin banyak fotonya. Karena semakin menumpuk semakin malas kita melakukannya.” Tutupnya.

EDISI IX / 2008

75

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

76

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

77

THEINSPIRATION

MAKIN LUPA MAKIN PINTAR Di sebuah padepokan persilatan di daratan Cina, beberapa pendekar persilatan dari berbagai perguruan yang sedang berselisih tampak berkumpul. Mereka ingin menyerang perguruan Butong atas hasutan bangsa Mongol. Tiba-tiba salah seorang murid dari partai itu yang telah dituduh membelot ke partai Ming yang ditakuti tiba-tiba datang dan membela partai Butong. Ia pun berusaha meredakan ketegangan dengan mengatakan bahwa mereka telah dihasut dan diadu domba oleh bangsa Mongol. Singkat cerita, murid perguruan Butong yang telah berpindah ke perguruan Ming itu harus berhadapan dengan pendekar sakti dari bangsa Mongol. Karena berhutang janji kepada puteri raja Mongol, murid Butong itu pun diminta untuk tidak menggunakan jurus dari perguruan Ming yang terkenal sakti. Ia pun menyanggupi. Sesaat kemudian sang maha guru pun mengajarkan sebuah ilmu taichi yang belum lama diciptakan kepada murid yang harus berhadapan dengan pendekar sakti Mongol itu. Sang guru pun hanya menyebutkan esensi dari ilmu itu. Pada beberapa jurus awal murid Butong itu kewalahan menghadapi pendekar mongol. Sang maha guru pun terus memberikan petunjuk dari pinggir arena pertarungan. “Untuk menguasa Taichi kamu harus lupa akan segalanya. Lupa akan semua jurus yang pernah kau pelajari, lupa akan apa yang aku katakan, dan lupa pada dirimu sendiri” begitu kira-kira petunjuk sang guru kepada muridnya yang mulai kewalahan menghadapi pendekar mongol itu. Namun sekejap kemudian ketika ia berteriak kepada gurunya bahwa ia sudah lupa akan segalanya, tiba-tiba ia berubah menjadi sakti dan menguasai ilmu taichi yang baru diturunkan itu. Ia pun berhasil mengatasi dan menaklukan pendekar mongol itu dengan sekejap. Selama beberapa tahun terakhir saya banyak mengamati perkembangan dunia fotografi di Indonesia beserta banyak peminatnya. Berbagai macam workshop

78

EDISI IX / 2008

THEINSPIRATION pun saya datangi (setidaknya karena saya memiliki akses gratis ke workshop karena saya mewakili majalah ini). Satu kesamaan yang saya temukan dari sebagian besar peserta workshop dan peminat fotografi yang ingin belajar dan menjadi lebih baik lagi. Mereka selalu melemparkan pertanyaan seperti, “diafragma dan speednya berapa mas?” atau “foto yang itu lampunya ada berapa ya mas?” atau “untuk motret bagus, lebih baik saya punya lampu berapa ya?” dan masih banyak pertanyaan sejenis. Intinya mereka sangat ingin untuk mengetahui dan belajar lebih banyak lagi. Beberapa artikel, buku dan majalah fotografi yang beredar pun tidak segan-segan mencantumkan data teknis berupa kamera dan lensa yang dipakai, bukaan diafragma, speed, ASA, dll. Ya memang banyak sekali orang ingin mempelajari sesuatu dengan mencoba mencari tahu atau bahkan kalau perlu menghapal teori-teori yang ada. Namun amat disayangkan fotografi terlalu luas untuk dirumuskan dalam satu atau dua buah rumus baku. Atau kebalikannya akan terlalu tebal jika kita ingin menulis rumus lengkap fotografi. Fotografi adalah sesuatu yang sangat

“...amat disayangkan fotografi terlalu luas untuk dirumuskan dalam satu atau dua buah rumus baku.”

EDISI IX / 2008

79

THEINSPIRATION

mereka yang berhasil “menguasai” fotografi telah berhasil mencerna esensi dari ilmu fotografi, sekali lagi esensinya bukan tutorial step by step atau hitungan matematisnya dan lebih jauh lagi setelah mencernanya mereka menurunkannya ke pikiran bawah sadar mereka.

80

EDISI IX / 2008

THEINSPIRATION conditional. Semua aturan sangat bergantung pada kasusnya, kamera yang digunakan, lensa yang digunakan, tempat pemotretan, warna bidang disekitar lokasi pemotretan, temperatur warna dan lain sebagainya. Artinya sangat tidak mungkin merumuskan dan mencatat semua rumus yang ada karena banyak kemungkinan yang akan muncul yang akan memunculkan rumus baru pada tiap pengecualiannya. Namun jika memang benar tidak dirumuskan dan dihafal, bagaimana mungkin ada fotografer yang begitu hebatnya sehingga ia selalu bisa memotret dengan bagus dalam kondisi dan kemungkinan apapun. Setidaknya ia tidak membuka rumus memotret dengan benar dengan kemungkinan ke-sekian. Bagaimana mereka bisa menguasai fotografi tanpa hapal rumusnya? Satu hal yang saya simpulkan sementara ini yang cukup bisa memuaskan keingintahuan saya terhadap pertanyaan ini. Saya meyakini mereka yang berhasil “menguasai” fotografi telah berhasil mencerna esensi dari ilmu fotografi, sekali lagi esensinya bukan tutorial step by step atau hitungan

matematisnya dan lebih jauh lagi setelah mencernanya mereka menurunkannya ke pikiran bawah sadar mereka. Agustinus Sidarta dalam edisi ini bercerita bagaimana ia tetap bisa menyelesaikan soal fisika bahkan ketika ia tidak menghapal rumusnya. Karena esensinya yang dicerna dan dimengerti sehingga bagaimanapun kondisinya, ia dapat membuat rumus untuk menyelesaikannya. Begitu juga dengan fotografi, ketika kita berhasil mencerna logika fotografi dan membentuknya dalam sebuah system pemikiran bawah sadar yang sangat kompatibel dengan kondisi pemotretan apapun

semua ilmu dan pengetahuan yang kita dapat memang kita pelajari untuk kita lupakan.

yang kita hadapi maka semuanya akan bisa dipecahkan tanpa perlu menghapal hitungan matematisnya. Roy Genggam pernah berkata pada saya, semua ilmu dan pengetahuan yang kita dapat memang kita pelajari untuk kita lupakan. Bayangkan ketika pertama kali belajar menyetir mobil, kita diajarkan rumusnya bahwa kopling harus ditekan terlebih dahulu baru perseneling bisa dimasukkan, lalu kopling dibuka perlahan-lahan seiring gas ditekan perlahan. Semuanya berusaha kita cerna dengan otak sadar. Otak sadar kita berusaha mencerna dan terus mengkalkulasikan ketika kita menyetir. “tekan kopling, geser perseneling, buka kopling, tekan gas.” Namun apa yang terjadi ketika kita sudah mahir. Kita tidak pernah lagi berpikir sekarang saatnya menekan kopling, atau sebentar lagi saya harus membuka kopling sambil menekan EDISI IX / 2008

81

THEINSPIRATION gas perlahan. Semuanya terjadi secara otomatis, bahkan kita bisa melakukannya sambil berbicara dengan teman yang menumpang di dalam mobil kita, sambil menelepon atau bahkan sambil makan. Ya semua ilmu memang kita pelajari untuk kita lupakan. Ketika kita berhasil mencerna esensi dari ilmu fotografi dan membuat “system” logika fotografi yang kompatibel dengan segala kondisi di otak bawah sadar kita, maka hampir tidak ada permasalahan fotografi yang kita bisa pecahkan. Namun apa yang terjadi ketika kita mencerna hitungan matematisnya, teknis step by stepnya, dan pengecualian-pengecualian dari setiap rumusnya? Kita akan selalu kebingungan karena terlalu banyak kemungkinan yang mungkin muncul dan terlalu banyak rumus yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Sama seperti murid perguruan Butong yang menjadi sakti ketika ia berusha melupakan semua ilmu yang ia pelajari, mungkin kita juga bisa tiba-tiba menjadi sakti dalam bidang fotografi ketika kita melupakan segala ilmu fotografi yang kita tahu dan menurunkannya ke otak bawah sadar kita.

82

EDISI IX / 2008

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Ketika kita berhasil mencerna esensi dari ilmu fotografi dan membuat “system” logika fotografi yang kompatibel dengan segala kondisi di otak bawah sadar kita, maka hampir tidak ada permasalahan fotografi yang kita bisa pecahkan. Jadi apakah anda masih tertarik untuk mempertanyakan bukaan diafragma, speed, ASA, setting lighting yang baik atau memilih untuk membiarkan otak bawah sadar anda yang mengambil alih?

EDISI IX / 2008

83

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

AGUSTINUS SIDARTA, MENGERTI FOTOGRAFI, BUKAN MENGHAPAL. Banyak pehobi foto yang menganggap fotografi sebagai bagian dari seni. Untuk itu tidak heran jika seorang pehobi fotografi masuk ke dalam level professional karena memiliki latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan seni seperti desain grafis, seni rupa dan bidang seni lainnya. Namun hal ini rupanya tidak berlaku bagi Agustinus Sidarta. Agus yang mulai menekuni fotografi ketika duduk di bangku sekolah menengah atas Gonzaga adalah seorang sarjana teknik elektro. “Dari kecil saya memang suka sekali matematika dan fisika, beda dengan kebanyakan orang.” Ungkap fotografer yang menjadi salah satu pendiri klub fotografi di sekolah dan kampusnya ini. “Saya dulu disuruh orang tua untuk kuliah di Jerman ambil jurusan teknik. Saya nggak mau, mau kapan lulusnya?” jelasnya sambil menjelaskan betapa lamanya masa studi perguruan tinggi teknik di Jerman. “Padahal saya pingin banget kuliah fotografi, karena memang sudah dari

84

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

85

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Still life itu seru karena kemungkinan untuk eksperimen sangat besar.”

“fotografi itu basicnya science. Dalam fotografi ada iluminasi, pencahayaan.

86

EDISI IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY SMA saya motret dengan serius.” Tambahnya. Akhirnya sebagai jalan tengah Agus memutuskan untuk berkuliah di jurusan teknik elektro ITI. Agus menekuni fotografi pada awalnya lebih banyak kepada foto fine art. Ia banyak belajar dari Nico Darmadjungen. Setelah puas menekuni foto fine art Agus mulai mempelajari still life. “Still life itu seru karena kemungkinan untuk eksperimen sangat besar.” Jelasnya. Namun hingga saat ini Agus mengaku sesekali masih memotret fine art. Mengawali pembicaraan kami mengenai fotografi Agus melontarkan pendapat yang menarik agi kami, “fotografi itu basicnya science. Dalam fotografi ada iluminasi, pencahayaan. Bahkan proses pembuatan lensa itu sendiri adalah science. Bahkan film processing itu sendiri isinya proses kimia.” Agus meyakini bahwa fotografi dan science sangat berhubungan dan jika kita mengetahui prosesnya maka kita pun lebih mengerti fotografi. “Sebagai contoh pembuatan lensa. Proses pembuatan lensa itu kan seperti membuat bola kaca dengan kelengkungan tertentu, kemudian dipotong. Nah bola kaca itu ka nada radiusnya, ada tingkat

EDISI IX / 2008

87

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

88

EDISI IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

89

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY kelengkungannya, itulah yang membuat karakter lensa berbeda.” Jelasnya. “Kalau kita mengerti prosesnya, maka kita pasti bisa. Sama seperti waktu SMA saya tidak suka menghapal rumus, saya lebih suka mengerti prosesnya dengan begitu saya dihadapkan dengan soal fisika seperti apapun saya bisa bikin rumusnya, bukan menghapal. Seharusnya fotografi juga seperi itu, dimengerti logikanya bukan dihapalkan. Sayangnya banyak yang lebih suka menghapal.” Tambahnya. Namun begitu, bukan berarti pehobi foto harus terpaku pada hal teknis fotografi. “Bagi saya dalam fotografi teknis itu hanya kendaraan saja. Peralatan dan penguasaan alat memang perlu tapi bukan segala-galanya. Yang penting adalah bagaimana menggunakan alat yang ada untuk keinginan kita.” Jelasnya. “Nah di situlah dibutuhkan penguasaan basic teknis bukan supaya kita diperbudak oleh alat, justru malah untuk “memperkosa” alat ini untuk mendapatkan yang kita mau.” Tambahnya. Agus sadar bahwa fotografer seharusnya lebih dominan daripada alat, namun Agus juga berpendapat bahwa fotografer harus tau batasan kemampuan alat. “Terkadang kita membutuh-

90

EDISI IX / 2008

“Kalau kita mengerti prosesnya, maka kita pasti bisa. Sama seperti waktu SMA saya tidak suka menghapal rumus, saya lebih suka mengerti prosesnya dengan begitu saya dihadapkan dengan soal fisika seperti apapun saya bisa bikin rumusnya, bukan menghapal. Seharusnya fotografi juga seperi itu, dimengerti logikanya bukan dihapalkan. Sayangnya banyak yang lebih suka menghapal.”

EDISI IX / 2008

91

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Bagi saya dalam fotografi teknis itu hanya kendaraan saja. Peralatan dan penguasaan alat memang perlu tapi bukan segala-galanya. Yang penting adalah bagaimana menggunakan alat yang ada untuk keinginan kita.”

92

EDISI IX / 2008

EDISI IX / 2008

93

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

94

EDISI IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

95

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Nah di situlah dibutuhkan penguasaan basic teknis bukan supaya kita diperbudak oleh alat, justru malah untuk “memperkosa” alat ini untuk mendapatkan yang kita mau.” kan alat tertentu untuk mendapatkan yang kita mau, misalnya ketika kita memotret gerakan di dalam studio maka ada standar minimal flash duration yang harus dipenuhi, jadi nggak semua lampu bisa dipakai.” Bercerita mengenai awal karirnya di dunia fotografi komersil Agus mengakui bahwa ia pun merasa kesulitan ketika mulai mencoba masuk ke lingkup itu. “Setelah lulus kuliah, saya mulai masuk ke kalangan advertising. Nggak muluk-muluk, saya hanya sebar portfolio ke perusahaan iklan kelas menengah kecil lah. Namun karena

96

EDISI IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY belum dikenal mereka pun tidak berani ambil resiko. Saya bisa mengerti karena project iklan biasanya nilainya besar, jadi mereka nggak mau ambil resiko, tapi di sisi lain sempat sebel juga karena kondisi itu.” Jelasnya. Agus pun tidak putus asa, ia terus mencoba dengan membuat portfolio baru dan setiap ada yang baru selalu ia kirimkan ke perusahaan advertising. Pekerjaan pun mulai datang ketika ia mengadakan pameran tunggal di Pondok Indah Mal. Satu per satu order pemotretan pun dikerjakan hingga sekarang Agus bisa dikatakan sudah tergolong mapan di lingkup komersil. Persaingan di lingkup fotografer komersil yang sering terjadi saat ini rupanya tidak begitu berimbas kepada Agus. “Banyak yang bilang fotografer mulai banting-bantingan harga, tapi saya nggak pernah merasa banting harga tuh.” Jelasnya. “Jangankan banting harga bahkan harga kompetitor secara tepat pada setiap pitching pun saya nggak tahu. Kalau rangenya kurang lebih tahu lah, tapi besaran tepatnya nggak tahu.” Tambahnya. “Yang harus diingat, saya nggak pernah mau dengerin atau cari tahu ke siapapun juga mengenai harga orang lain. Alasannya, pertama belum tentu yang informasi itu benar. Kalau

EDISI IX / 2008

97

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

98

EDISI IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

99

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

saya nggak pernah mau dengerin atau cari tahu ke siapapun juga mengenai harga orang lain. “Fotografer komersil itu kan seperti gabungan antara artis dan bisnisman, jadi harus ada itungan yang benar, bagaimana caranya supaya biaya produksi tertutup dan masih ada penghargaan terhadap hasil kerja kita.” 100 EDISI

IX / 2008

dibilang fotografer A turun harga terus kita ikut turun harga padahal ternyata informasinya salah kan celaka juga. Makanya lebih baik jangan dengerin. Alasan kedua harga yang kita tetapkan seharusnya ditetapkan bukan atas dasar prosentase dari harga pesaing, tapi atas penghargaan terhadap karya kita. Maka dari itu lebih baik saya nggak tau info itu.” Jelasnya. Dalam menetapkan harga, Agus selalu berpedoman pada biaya yang harus dikeluarkan ditambah penghargaan terhadap karyanya tersebut. “Fotografer komersil itu kan seperti gabungan antara artis dan bisnisman, jadi harus ada itungan yang benar, bagaimana caranya supaya biaya produksi tertutup dan masih ada

EDISI IX / 2008

101

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY penghargaan terhadap hasil kerja kita.” Jelasnya. Untuk menjaga harganya agar tetap bisa diterima oleh klien, Agus selalu melakukan evaluasi range harga. “Setiap ada klien baru, saya selalu masukin harga standar. Tapi setelah beberapa kali kita kan bisa evaluasi, klien yang ini range nya berapa sih, yang lain lagi berapa.” Jelasnya Berbicara mengenai banyaknya pekerjaan yang datang Agus mengaku terkadang memilih menolak pekerjaan. “Terkadang saya menolak pekerjaan. Yang pertama biasanya kalau saya nggak suka, yang kedua kalau saya

“Terkadang saya menolak pekerjaan. Yang pertama biasanya kalau saya nggak suka, yang kedua kalau saya merasa tidak sanggup.” merasa tidak sanggup.” Akunya. Alasan dibalik penolakan pekerjaan ini cukup masuk akal karena berhubungan dengan reputasinya. “Apapun kalau kita suka mengerjakannya bisa jadi bagus hasilnya karena kita lebih resistan terhadap kesulitan. Sebaliknya kalau mengerjakannya saja sudah tidak suka, bagaimana mau bagus. Jadi ketika di tengah pemotretan menemui masalah, saya bisa cepat menyerah. Akhirnya kualitas juga yang dikorbankan. Sementara kalau tidak sanggup lebih baik saya tolak, daripada memaksakan diri untuk menerima tapi hasilnya jelek.” Jelasnya. “Kalau saya memaksakan diri

102 EDISI

IX / 2008

EDISI IX / 2008

103

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Apapun kalau kita suka mengerjakannya bisa jadi bagus hasilnya karena kita lebih resistan terhadap kesulitan.

104 EDISI

IX / 2008

EDISI IX / 2008

105

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

106 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

107

COMMERCIALPHOTOGRAPHY untuk menegrjakan foto yang saya tidak yakin sanggup atau tidak, saya akan banyak eksperimen mencari cara memotretnya. Masalahnya klien kan supervisi, nah di situ klien akan melihat kita jadi bodo, karena nggak dapet-dapet. Untuk itu lebih baik kalau nggak yakin jangan diambil.” Tambahnya. Namun setiap kali menolak pekerjaan karena tidak sanggup, Agus selalu menyempatkan diri untuk mencoba memotret hal yang sama untuk mempelajarinya. Sehingga lain kali ketika tawaran sejenis datang ia sudah menguasainya. Berbicara mengenai tantangan di dunia komersil Agus menganggap tantangan terbesar dari dunia fotografi

108 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Kalau saya memaksakan diri untuk menegrjakan foto yang saya tidak yakin sanggup atau tidak, saya akan banyak eksperimen mencari cara memotretnya. Masalahnya klien kan supervisi, nah di situ klien akan melihat kita jadi bodo, karena nggak dapetdapet. EDISI IX / 2008

109

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

110 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

111

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

112 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

113

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Harus diingat teknis memang penting tapi ujung-ujungnya kalau tastenya dangdut ya fotonya dangdut juga.

114 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY komersil adalah ketika fotografer harus mampu membuat foto yang bagus dan juga harus membantu menjual karena fotonya memang digunakan untuk keperluan jualan (iklan). Tantangan lain yang bisa membahayakan fotografer adalah kondisi di mana seorang fotografer hanya berpikir untuk mencari uang, sehingga portfolionya hanya pekerjaan. “Saya selalu membagi 2 portfolio saya, ada project komersil ada project idealis personal. Project idealis ini berguna untuk mengasah skill dan taste kita. Harus diingat teknis memang penting tapi ujungujungnya kalau tastenya dangdut ya fotonya dangdut juga. Nah bahayanya fotografer komersil sebagian besar projectnya dikerjakan secara teamwork, jadi banyak pihak yang terlibat sehingga layout dari klien nggak bisa sembarangan dirubah. Nah kalau kita nggak punya keleluasaan untuk merubah kan lama-lama taste kita jadi tidak terasah.” Jelasnya. Sebagai solusi Agus memandang memotret untuk keperluan majalah bisa menjadi salah satu cara yang murah untuk memiliki portfolio bagus. Besaran bayaran dari majalah yang sangat kecil dianggap Agus bukan masalah. “Lebih baik mana, kita dibayar kecil tapi kita bisa explore banyak dan semua

EDISI IX / 2008

115

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

116 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

117

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

118 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

119

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY property, wardrobe, model, make up artis, stylist sudah diatur oleh majalah atau pilih bikin portfolio sendiri dimana tidak ada yang membayar kita dan bahkan kita masih harus menanggung biaya property, wardrobe, dan team yang terlibat.” Jelasnya. Ditanya mengenai asumsi kebanyak orang bahwa untuk menjadi fotografer komersil harus memiliki modal besar Agus menentangnya mentah-mentah. “Ah itu alasan klasik saja. Lihat saja Pak Harto yang cuma orang desa, anak petani bisa jadi presiden kok, Inul juga yang cuma anak kampung bisa begitu sukses dan kaya. Masak kita mau jadi fotografer aja harus kaya dulu. Yang

120 EDISI

IX / 2008

“...Lihat saja Pak Harto yang cuma orang desa, anak petani bisa jadi presiden kok, Inul juga yang cuma anak kampung bisa begitu sukses dan kaya. Masak kita mau jadi fotografer aja harus kaya dulu...” EDISI IX / 2008

121

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

122 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

123

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Di barat, fotografer banyak yang nggak punya alat karena terlalu mahal. Tapi di sana banyak sekali tempat rental alat. Jadi terjadi simbiosis mutualisme. Fotografer nggak perlu investasi mahalmahal, sementara pengusaha persewaan alat bisa hidup.”

124 EDISI

IX / 2008

EDISI IX / 2008

125

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Di luar negeri fotografer semakin tua semakin mahal, di sini semakin tua semakin hilang karena kebanyakan nggak bisa mengikuti trend. Jadi tastenya nggak diupdate.”

126 EDISI

IX / 2008

EDISI IX / 2008

127

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

128 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI IX / 2008

129

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Bagaimanapun juga fotografi masih berkiblat ke Negara-negara barat. Mereka adalah trendsetter. Maka dari itu mereka tidak pernah hilang karena mereka trendsetternya. Sementara kita di Indonesia kan bukan trendsetter. Jadi kalau tidak bisa up to date dengan perkembangan trend ya selesailah sudah.” 130 EDISI

IX / 2008

COMMERCIALPHOTOGRAPHY penting niat dan usaha, jalan keluarnya banyak sekali kok, termasuk sewa. Jelasnya. Agus menyayangkan kondisi fotografi di Indonesia yang menuntut fotografer untuk memiliki alat. “Di barat, fotografer banyak yang nggak punya alat karena terlalu mahal. Tapi di sana banyak sekali tempat rental alat. Jadi terjadi simbiosis mutualisme. Fotografer nggak perlu investasi mahal-mahal, sementara pengusaha persewaan alat bisa hidup.” Di akhir perbincangan kami, Agus berpesan kepada semua yang ingin serius di fotografi untuk memperkuat pengetahuan basic fotografi. Selain itu fotografer dituntut selalu up to date dengan trend, maka dari itu carilah referensi sebanyak-banyaknya. Karena fotografer bisa bertahan ketika tastenya bisa diterima oleh pasar saat itu. “Di luar negeri fotografer semakin tua semakin mahal, di sini semakin

EDISI IX / 2008

131

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

tua semakin hilang karena kebanyakan nggak bisa mengikuti trend. Jadi tastenya nggak diupdate.” Jelasnya. “Bagaimanapun juga fotografi masih berkiblat ke Negara-negara barat. Mereka adalah trendsetter. Maka dari itu mereka tidak pernah hilang karena mereka trendsetternya. Sementara kita di Indonesia kan bukan trendsetter. Jadi kalau tidak bisa up to date dengan perkembangan trend ya selesailah sudah.” Tutupnya.

132 EDISI

IX / 2008

EDISI IX / 2008

133

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

WHERETOFIND JAKARTA

Telefikom Fotografi Universitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPus Indonesia Photographer Organization (IPO) Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410 Unit Seni Fotografi IPEBI (USFIPEBI) Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafruddin Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, Jakarta UKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI) Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta Utara Perhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA) PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18 Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKT Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100 Studio 51 Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta Perhimpunan Fotografi Tarumanegara Kampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBar Pt. Komatsu Indonesia

134 EDISI

IX / 2008

Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140 LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya) Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510 HSBC Photo Club Menara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930 XL Photograph Jl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSel Kelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28 Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSel FreePhot (Freeport Jakarta Photography Community) Masterlist Management Export Import Department PT Freport Indonesia Plaza 89 6th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6 Nothofagus PT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6 CybiLens PT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270 FSRD Trisakti FSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, Jakbar SKRAF (Seputar Kamera Fikom) Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870 One Shoot Photography FIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74,

JakPus Lasalle College Sahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110 LSPR Photography Club London School of Public Relation Campus B (Sudirman Park Office Complex) Jl. KH Mas Mansyur Kav 35 Jakarta Pusat 10220 FOCUS NUSANTARA Jl. KH Hasyim Ashari No. 18, Jakarta SUSAN + PRO Kemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730 e-Studio Wisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440 VOGUE PHOTO STUDIO Ruko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38 Shoot & Print jl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jkt Q Foto Jl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, Jkt Digital Studio College Jl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-Pus Darwis Triadi School of Photography EDISI IX / 2008

135

WHERETOFIND jl. Patimura No. 2, Kebayoran Baru eK-gadgets centre Roxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, Jkt Style Photo Jl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330 Neep’s Art Institute Jl. Cideng Barat 12BB, Jakarta V3 Technology Mall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, Jakarta Cetakfoto.net Kemang raya 49D, Jakarta 12730 POIsongraphy ConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18 Jakarta 12560

BEKASI

Lubang Mata Jl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134

BANDUNG

PAF Bandung Kompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111 Jepret Sekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, Bandung Spektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad) jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumedang, Jabar Padupadankan Photography Jl. Lombok No. 9S Bandung Studio intermodel Jl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116

136 EDISI

IX / 2008

WHERETOFIND Lab Teknologi Proses Material ITB Jl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, Bandung Satyabodhi Kampus Universitas Pasundan Jl. Setiabudi No 190, Bandung

Lembaga pendidikan seni dan design visimedia college Jl. Bhayangkara 72 Solo

Pusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 Surabaya

Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213

Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Samarinda Kaltim

YOGYAKARTA

TRAWAS

BATAM

Batam Photo Club Perumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435

SOROWAKO

KALTIM

ONLINE PICK UP POINTS:

Atmajaya Photography club Gedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. TASIKMALAYA babarsari no. 007 yogyakarta Eco Adventure Community “UKM MATA” Akademi Seni Rupa Jl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, dan Desain MSD Rajapolah, Tasikmalaya 46155 Jalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151 SEMARANG Unif Fotografi UGM (UFO) PRISMA (UNDIP) Gelanggang mahasiswa UGM, BulakPKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) sumur, Yogya Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Fotografi Jurnalistik Club Semarang 50243 Kampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari MATA Semarang Photography Yogyakarta Club FOTKOM 401 FISIP UNDIP gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus Jl. Imam Bardjo SH. No.1, Semarang FISIPOL UPN “Veteran” yogyakarta. Jl Babasari No.1, Tambakbayan, YogyaDIGIMAGE STUDIO karta, 55281 Jl. Setyabui 86A, Semarang Jl. Pleburan VIII No.2, Semarang SURABAYA 50243 Himpunan Mahasiswa PenggeAdy Photo Studio d/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln. mar Fotografi (HIMMARFI) Jl. Rungkut Harapan K / 4, Surabaya Teuku Umar 24 Semarang Pandawa7 digital photo studio AR TU PIC Jl. Wonodri sendang raya No. 1068C, UNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Semarang Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219 Kloz-ap Photo Studio FISIP UNAIR Jl. Kalicari Timur No. 22 Semarang JL. Airlangga 4-6, Surabaya Hot Shot Photo Studio SOLO Ploso Baru 127 A, Surabaya, 60133 HSB (Himpunan Seni BenToko Digital Ambengan Plasa B23. jl Ngemplak No. gawan) Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 30 Surabaya Sentra Digital 57156

VANDA Gardenia Hotel & Villa Jl. Raya Trawas, Jawa Timur

MALANG

MPC (Malang Photo Club) Jl. Pahlawan Trip No. 25 Malang JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club) student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144 UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni) kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100

JEMBER

UFO (United Fotografer Club) Perum Mastrip Y-8 Jember, Jawa Timur Univeritas Jember (UKPKM Tegalboto) Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jember jl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121

MEDAN

Medan Photo Club Jl. Dolok Sanggul Ujung No. 4

Sorowako Photographers Society General Facilities & Serv. Dept DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. PEKANBARU Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO CCC (Caltex Camera Club) 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM- SELATAN Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271 GORONTALO Masyarakat Fotografi Gorontalo LAMPUNG Graha Permai Blok B-18, Jl. RambuMalahayati Photography Club tan, Huangobotu, Dungingi, Kota Jl. Pramuka No. 27, Kemiling, Ban- Gorontalo dar Lampung, 35153. LampungIndonesia. Telp. (0721) 271114 AMBON Performa (Perkumpulan FoBALIKPAPAN tografer Maluku) FOBIA jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon. Indah Foto Studio Komplek Ruko (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Bandar Klandasan Blok A1, Balikpa- Vivi Salon) pan 76112 Badak Photographer Club (BPC) www.estudio.co.id ICS Department, System Support http://charly.silaban.net/ Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324 KPC Click Club/PT Kaltim Prima Coal Supply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta

SAMARINDA

MANGGIS-55 STUDIO (Samarinda Photographers Community) EDISI IX / 2008

137

Related Documents


More Documents from "Silmina Ulfah"