EDISI 10/2008
FREE
EDISI X / 2008 1 www.thelightmagz.com
THEEDITORIAL
THEEDITORIAL
SENIOR ATAU JUNIOR, BASI ATAU SEGAR? Berbicara mengenai sosok dalam fotografi sering membawa kita kepada dikotomi senior dan junior. Senior bisa dikonotasikan secara positif sebagai kelompok yang memiliki kemampuan mumpuni. Sementara junior bisa dikonotasikan secara positif sebagai kelompok yang lebih up to date, mengikuti tren, segar, baru, unpredictable. Namun pada kenyataannya kita banyak menemui nama-nama dalam kelompok senior dan junior yang memiliki konotasi negatif. Tidak sedikit fotografer senior yang justru kurang disegani lagi karena tidak up to date, kadaluwarsa, ketinggalan jaman, basi, dll. Tidak sedikit pula junior yang dikonotasikan dengan instan, belum matang, belum konsisten. Untuk itu, pada edisi kali ini kami menghadirkan fotografer-fotografer yang baik dari kategori senior maupun junior sama-sama memiliki kualitas yang baik. Kita bisa belajar dari Indra Leonardi dan Roy Genggam yang walaupun sudah tidak muda lagi, namun fotonya masih “muda” dan dikagumi orang muda. Sementara di kategori yang bisa dikatakan junior di kelas profesional kita bisa belajar dari Agus Susanto dan Erich Silalahi yang walaupun belum terlalu senior tapi cukup disegani dan mendapat respek dari fotografer senior.
ABOUT THE COVER PHOTOGRAPHER: ERICH SILALAHI
Menjadi junior yang belum matang dan belum konsisten atau menjadi junior yang segar dan unpredictable adalah pilihan kita sendiri. Sama seperti pilihan antara menjadi senior yang basi dan kadaluwarsa atau senior yang matang, konsisten dan memiliki kemampuan mumpuni. Apa pilihan anda? Editor in Chief “Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”
PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur No. 33A, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi:
[email protected], Public relation: Prana Pramudya, Marketing:
[email protected] - 0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia,
[email protected], Graphic Design: ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto
2
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
3
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY
ERICH SILALAHI, MENINGGALKAN KARIR MAPAN DEMI FOTOGRAFI Fotografi sebagai profesi dianggap cukup bisa menghidupi sehingga dijadikan nafkah dan sumber pencaharian. Banyak fotografer yang memulai profesinya ketika belum mapan berada pada jalur karir lain. Jika motivasi orang menjadi fotografer adalah untuk menjadi kaya, mungkin tidak tepat. Karena terlalu banyak fotografer professional yang justru mengatakan bahwa kalau mau jadi kaya jangan jadi fotografer. Sehingga mungkin mereka yang tetap menekuni bidang fotografi sebagai profesi setelah tahu kondisi ini adalah mereka yang memang menekuni fotografi bukan karena fotografi dipandang melulu pada rupiah yang dihasilkan melainkan lebih kepada kepuasan batin. Salah satu fotografer yang mungkin berprinsip seperti ini adalah Erich Silalahi. Erich adalah seorang fotografer professional yang banyak melakukan pemotretan interior. Uniknya karir Erich sebelum menekuni fotografi sebagai profesi tergolong cukup cemerlang. Namun kecintaannya terhadap fotografi membuatnya tidak bisa pindah ke lain hati selain pada dunia fotografi. Erich mengenal kamera sejak kelas 2 SMP. “waktu itu saya dapat hadiah ulang tahun berupa kamera. Sejak saat itu kemana-mana saya bawa kamera.” Kenangnya. Ketika lulus SMA dan hendak melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi anehnya Erich tidak memilih jurusan fotografi dan lebih memilih untuk masuk ke IPB dan mengambil jurusan yang sama sekali jauh dari fotografi yaitu jurusan penuluhan komunikasi pertanian. Namun walaupun tidak ada hubungannya dengan fotografi, rupanya Erich berencana lain. “Justru gue milih jurusan itu
4
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
5
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY karena akan banyak keliling-keliling dan gue bisa banyak motret.” Ungkapnya sambil tertawa. Tahun 1992, ketika masih berstatus mahasiswa IPB Erich dan beberapa orang temannya mendirikan radio IPB dan ia pun memulai karirnya sebagai penyiar. Beberap atahun kemudia ia sempat pindah ke Radio Kis, Radio Mustang hingga akhirnya Hard Rock. Karir Erich di dunia radio cukup mulus. Ini terlihat dengan diangkatnya ia menjadi program director Cosmo FM beberapa tahun kemudian. “dari situ gue mulai serius motret foto konser. Karena dapet banyak kesempatan untuk nonton konser.” Jelasnya.
“Sam nggak pernah ngajarin tutorial apalagi step by step. Tapi Sam banyak kasih influence buat gue.”
6
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
7
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Gue nyari klien dari friendster.” Tahun 1995 erich merasa bosan bekerja di Radio dan ia pun memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Dari situ ia mulai menekuni lebih serius fotografi. Sempat “mencuri ilmu” dari Sam Nugroho, Erich pun mulai jatuh cinta pada fotografi interior. “Sam nggak pernah ngajarin tutorial apalagi step by step. Tapi Sam banyak kasih influence buat gue.” Ungkapnya. Kecerdikan Erich dalam menekuni bidangnya membawanya kepada klien pertamanya. “Gue nyari klien dari friendster. Caranya gue masukin semua portfolio interior gue di gallery foto di friendster, lalu gue mulai search orang di friendster
8
EDISI X / 2008
INTERIORPHOTOGRAPHY dengan keyword hotel di bagian kolom company. Setelah muncul beberapa nama, gue mulai lihat satu per satu, dan yang kerja di hotel gede mulai gue shortlist. Tahap selanjutnya gue mulai lihat umurnya. Dari umur kita bisa perkirakan jabatannya. Kalau masih muda, mungkin masih staff, tapi kalau udah agak senior mungkin sudah dekat dengan posisi decision maker atau bahkan dia decision makernya. Setelah dapet yang gue mau, mulai deh gue invite untuk add gue. Nah ketika mereka buka invitation gue kan mereka pasti akan lihat profile gue, lihat gallery gue yang isinya foto-foto interior. Dari situ semuanya dimulai. Sampai akhirnya gue dikontrak sama Accor Group Indonesia.” Jelasnya dengan semangat. Kurang lebih 3 bulan menangani pemotretan Accor Indonesia, Erich pun didaulat untuk melakukan pemotretan hotel dalam group Accor Asia pasifik. Foto-foto Erich pun mulai masuk ke gallery foto Accor yang tidak semua fotografer Accor bisa menembusnya. Beberapa tahun menekuni fotografi interior, erich pun diajak untuk bergabung di The Loop, sebuah perusahaan commercial photography service milik Sam Nugroho.
EDISI X / 2008
9
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Gue pengen bikin portfolio mobil aja sampai harus nunggu malam. Gue nggak berani motret siang karena minder, fotograferfotografer The Loop lain kan jago-jago. Makanya tunggu mereka pulang dulu baru gue motret.”
10
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
11
INTERIORPHOTOGRAPHY Bergabung dengan The Loop yang notabene berisi fotografer-fotografer dengan kemampuan fotografi yang mumpuni, Erich pun merasa agak minder. “Gue pengen bikin portfolio mobil aja sampai harus nunggu malam. Gue nggak berani motret siang karena minder fotografer-fotografer The Loop lain kan jago-jago. Makanya tunggu mereka pulang dulu baru gue motret.” Kenangnya. Namun hasil akal-akalannya itu berbuah manis, satu persatu project pemotretan otomotif pun datang. Mulai dari Toyota Rush yang seharusnya dipotret oleh Sam Nugroho, Lalu pemotretan Chevrolet Captiva untuk majalah, hingga Honda Odyssey dan Honda Civic.
“inti dari memotret benda mati adalah shape”
12
EDISI X / 2008
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Penting untuk tahu gimana caranya supaya shapenya keluar.” Berbicara mengenai persamaan memotret mobil dan interior Erich berpendapat bahwa inti dari memotret benda mati adalah shape. “Penting untuk tahu gimana caranya supaya shapenya keluar.”. Jelasnya. Namun untuk interior, erich sedikit lebih detail. “Kalau motret interior gue berusaha ngejar supaya orang yang lihat foto gue bisa tahu karpetnya berapa tebal, spreinya silk atau bukan, dan lain sebagainya. Jadi nggak cuma ngeluari shape tapi juga karakter materialnya.” Sambungnya. Beberapa poin yang harus diperhatikan ketika memotret interior menurut Erich melibatkan eksplorasi bentuk, detail EDISI X / 2008
13
INTERIORPHOTOGRAPHY
14
EDISI X / 2008
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
15
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY dan juga space. “Hotel semakin mahal baisanya ceilingnya semakin tinggi. Nah terkadang hotel yang ceilingnya nggak tinggi maunya di foto kelihatan tinggi. Di situ tugas kita untuk memberi kesan tinggi.” Jelasnya. Pemilihan angle juga sesuatu yang penting bagi Erich.
“Kalau motret interior gue berusaha ngejar supaya orang yang lihat foto gue bisa tahu karpetnya berapa tebal, spreinya silk atau bukan, dan lain sebagainya. Jadi nggak cuma ngeluari shape tapi juga karakter materialnya.” 16
EDISI X / 2008
Untuk memperkaya pengetahuannya tentang interior yang tidak terasah oleh sekolah interior erich pun rajin membeli majalah bekas. “Gue koleksi majalah bekas. Terutama majalah interior dan fashion.” Tegasnya. Namun Erich belum tertarik untuk mulai menspesialisasikan diri di fashion.
“Di fashion fotografernya banyak dan jago-jago. Jadi kalau mau masuk sana akan capek karena saingannya banyak. Belum lagi karena pemainnya banyak jadinya relatif lebih susah untuk bikin style yang unik karena kebanyakan udah dibikin orang. Kalau di interior karena belum banyak jadi masih banyak style yang bisa dicoba.” Jelasnya. Dalam memotret interior, Erich selalu memulai dengan berusaha menangkap kesan dari ruangan tersebut. “Awalnya gue berusaha menangkap kesan dari ruangan tersebut dan gue berusaha merumuskan mau dibikin kayak apa nih ruangan. Kesannya mau dirubah jadi gimana. Langkah selanjutnya adalah cari kelemahan dari ruangan tersebut dan cari penyelesaiannya. Intinya yang bagus mau ditonjolkan sementara yang lemah diredam.” Jelasnya. Namun setelah menangani begitu banyak pemotretan interior sesekali Erich menemui ruangan-ruangan dengan desaign interior yang konflik. Misalnya di satu elemen berusaha menunjukkan kesan warm, tapi di sisi lain menunjukkan kesan cold. “kalau ketemu kasus kayak gitu ya harus dipilih salah satu mau yang mana, nggak harus semua diambil.” Jelasnya.
“Di fashion fotografernya banyak dan jago-jago. Jadi kalau mau masuk sana akan capek karena saingannya banyak. Belum lagi karena pemainnya banyak jadinya relatif lebih susah untuk bikin style yang unik karena kebanyakan udah dibikin orang. Kalau di interior karena belum banyak jadi masih banyak style yang bisa dicoba.”
EDISI X / 2008
17
INTERIORPHOTOGRAPHY
18
EDISI X / 2008
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
19
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Awalnya gue berusaha menangkap kesan dari ruangan tersebut dan gue berusaha merumuskan mau dibikin kayak apa nih ruangan. Untuk olah digital atau digital imaging, Erich melihat dalam foto interior penggunaan olah digital masih dibutuhkan sewajarnya. “Paling sering DI dibutuhkan untuk cleaning kabel, lampu.” Akunya. “Yang jelas untuk motret interior apalagi untuk keperlua iklan kuncinya adalah harus sabar, karena lampu yang digunakan banyak sehingga jangan sampai detailnya terlewatkan.” Tambahnya. Dalam memotret interior, Erich biasa mendapatkan hanya 4 foto interior dalam satu hari. “Untuk 1 set up saja butuh waktu 4 sampai 5 jam. Karena lighting set upnya banyak dan harus teliti.” Sambungnya.
20
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
21
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Untuk 1 set up saja butuh waktu 4 sampai 5 jam. Karena lighting set upnya banyak dan harus teliti.”
22
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
23
INTERIORPHOTOGRAPHY
24
EDISI X / 2008
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
25
INTERIORPHOTOGRAPHY
Berbicara mengenai kesalahan yang sering dilakukan oleh fotografer interior Erich melihat kesalahan paling sering fotografer interior adalah terlalu mendramatisir. “Banyak orang yang motret dengan angle ekstrim. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita nggak pernah lihat angle begitu. Kalau konteksnya untuk keperluan artistic sih boleh-boleh saja, tapi kalau untuk keperluan foto interior jadi kurang pas.” Tegasnya. “kesalahan kedua adalah adanya tabrakan mood. Misalnya interior klasik dikasih lighting set up yang warm, jadinya kesannya penuh banget.” Sambungnya. Di akhir pembicaraan kami, Erich berbagi tips untuk para fotografer muda. “Yang pertama jangan males bikin PR, yaitu cari info mengenai apapun yang
jangan males bikin PR, yaitu cari info mengenai apapun yang akan kita foto. 26
EDISI X / 2008
UNDERWATERPHOTOGRAPHY
“dan yang tidak kalah penting, jangan bikin hal yang sama dengan yang sudah dibikin orang lain, cari yang baru. Salah satunya dengan memperbanyak referensi. “ akan kita foto. Saya pernah disuruh motret wine yang satu botolnya harganya ratusan juta rupiah. Padahal saya sama sekali nggak ngerti soal wine. Makanya sebelum pemotretan saya cari info sebanyak-banyaknya soal wine, supaya klien merasa tenang karena kita tahu produk mereka. Dengan begitu mereka akan lebih bisa diskusi sama kita soal foto tersebut.” Ungkapnya. “dan yang tidak kalah penting, jangan bikin hal yang sama dengan yang sudah dibikin orang lain, cari yang baru. Salah satunya dengan memperbanyak referensi. “ tutupnya.
EDISI X / 2008
27
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
INDRA LEONARDI, IKON PORTRAITURE INDONESIA Semua fotografer pernah memotret portraiture. Jika kita datang ke sebuah studio foto dan lab cuci cetak, kita akan menemui banyak sekali foto portraiture yang dipajang di dinding-dindingnya. Hampir setiap rumah memajang foto portraiture. Seperti pernah kami bahas pada beberapa edisi sebelumnya, portraiture merupakan satu bidang dalam fotografi yang bisa dikatakan gampang-gampang susah. Gampang karena seringkali dihadirkan apa adanya tanpa perlu pernak-pernik yang aneh-aneh namun justru itulah yang membuatnya menjadi susah karena foto yang dibuat harus tetap dapat terlihat mengesankan bahkan dengan kesederhanaannya. Portraiture juga cukup sulit ketika dituntut untuk menghadirkan aura, emosi, dan cerita di balik sang model yang seringkali adalah orang biasa. Untuk membongkar tips mengatasi segala kesulitan portraiture kami pun mendatangi Indra Leonardi, seorang fotografer yang sudah dianggap sebagai icon fotografi portraiture Indonesia. Indra Leonardi lahir dan besar di keluarga yang sangat akrab dengan fotografi. “kalau tidak salah di keluarga saya ada 7 sampai 8 orang yang suka fotografi.” Ung-
28
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
29
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY kapnya membuka pembicaraan kami. Awal pembelajaran fotografi Indra adalah dengan melihat dan belajar dari orang tuanya yang waktu itu sudah menjalankan usaha fotografi. Namun waktu itu ia belum tertarik dengan fotografi. “Saya lebih tertarik dengan dunia balap waktu itu.” Akunya. Masuknya Indra Leonardi ke dunia fotografi secara serius pun diakui Indra akibat dorongan orang tuanya. “Saya masuk Brooks (sekolah fotografi – red.) pun didorong orang tua karena saya harus meneruskan bisnis fotografi orang tua. Dan di asia sendiri banyak sekali yang seperti saya waktu itu. Jadi mereka juga sekolah fotografi karena harus
“Saya lebih tertarik dengan dunia balap waktu itu.”
30
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
31
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY meneruskan bisnis keluarga.” Ungkapnya. Di tahun-tahun awal studinya di Brooks, Indra belum jatuh cinta pada fotografi. Ia menjalaninya karena harus dijalani saja. Namun di tahun ketiga Indra mulai merasakan ketertarikan. Indra pun mulai serius. Setelah lulus indra sempat bekerja di Los Angeles ikut fotografer yang sering melakukan pemotretan selebriti. Keinginannya untuk belajar dari fotografer senior yang ia sukai mendorongnya untuk sering mengirimkan surat dan portfolionya kepada fotograferfotografer senior yang dikaguminya, berharap suatu saat ia dipanggil untuk bisa bekerja sebagai asisten atau sekedar magang. “Dalam hidup kita harus Think Bigger. Kalau kita nyebar 10 surat, paling bagus kita dapet 8. Maka dari itu saya nyebar banyak.” Jelasnya.
“Dalam hidup kita harus Think Bigger. Kalau kita nyebar 10 surat, paling bagus kita dapet 8. Maka dari itu saya nyebar banyak.” 32
EDISI X / 2008
“Portraiture itu seperti baju putih. Orang boleh punya baju warna hitam, baju polkadot dan lain sebagainya tapi pasti punya baju putih.” Berbicara mengenai portraiture, Indra menjelaskan bahwa awal dari potraiture adalah dari dunia lukis. “Jaman dulu bangsawan, raja, orang kaya, dan orang penting di rumahnya selalu ada lukisan dirinya yang bertema portraiture. Nah perkembangan teknologi membuat portraiture yang dulu banyak dilakukan dengan lukisan perlahan mulai tergantikan dengan fotorgafi.” Jelasnya. Indra mengakui portraiture terus berkembang, jika dulu orang menggunakan lukisan di kanvas dengan bingkai emas sekarang trennya bisa berbeda. Namun Indra yakin portraiture akan tetap ada walaupun banyak bidang fotografi lain yang EDISI X / 2008
33
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
34
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
35
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
“portraiture berkembang karena tren juga berkembang. Klien mulai terbiasa dengan barang bagus karena mereka melihat banyak foto bagus di internet, majalah dan TV. Untuk itu kita juga harus berkembang.“
36
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY berkembang lebih pesat saat ini. “Portraiture itu seperti baju putih. Orang boleh punya baju warna hitam, baju polkadot dan lain sebagainya tapi pasti punya baju putih.” Jawabnya sambil tertawa. Namun untuk bisa bertahan Indra berpendapat bahwa portraiture harus berkembang. “portraiture berkembang karena tren juga berkembang. Klien mulai terbiasa dengan barang bagus karena mereka melihat banyak foto bagus di internet, majalah dan TV. Untuk itu kita juga harus berkembang.“ ungkapnya. “Cobalah think outside the box. Bikin yang belum pernah dibikin orang lain. Bukan cuma pada tahapan teknis tapi justru lebih ke eksplorasi artistiknya. Fotografi itu bukan sekedar teknis, tapi aplikasi dan improvisasinya. Foto portraiture baru ada soulnya ketika ada konsepnya, ada emosinya.” Tambahnya. Indra menyadari foto tidak bisa merepresentasikan 100% kehidupan si model, namun portraiture harus berhasil menghadirkan cerita dari si model. Dalam memotret portraiture Indra selalu memulai dari melihat struktur wajah si model, hobbynya, kehidupan sehari-harinya, dan yang tidak kalah penting foto tersebut gunanya untuk apa. “Kadang orang bikin foto
EDISI X / 2008
37
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
38
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
39
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY modelnya. Cari tahu benar-benar kehidupan modelnya. Dari situ bisa muncul konsepnya. Makanya jangan males cari info tentang si model, ajak diskusi. Kita dulu yang harus membuka diri untuk bisa membuka diri orang lain.” Tambahnya.
“Kita dulu yang harus membuka diri untuk bisa membuka diri orang lain.” portraiture tidak pernah memikirkan aplikasi. Misalnya fotonya gayanya klasik, dengan frame yang klasik tapi dipasang di rumah dengan style milenium, jadinya nggak cocok. Maka dari itu saya selalu Tanya fotonya mau dipasang di mana, kalau perlu saya lihat tempatnya, temboknya seperti apa, warnanya apa, dari situ saya bisa kasih saran apa fotonya bagusnya kayak apa, framenya warna apa dan bentuknya seperti apa.” Jelasnya. “Selain aplikasi penempatan fotonya, fotografer portraiture harus mengerjakan PRnya untuk mengeksplorasi
40
EDISI X / 2008
Salah satu kesulitan portraiture dibandingkan fotografi lain adalah seringnya portraiture dipaksa memotret model yang bukan seorang model professional. Indra pun menyadari dan menghadapi hal tersebut. “Kalau menghadapi model yang bukan model professional saya lebih suka untuk ketemu terlebih dahulu, biasanya saya tunjukin referensi-referensi foto, kalau perlu pasang musik biar lebih santai. Intinya frekuensi antara fotografer dan model harus sama sehingga bisa nyambung.” Jelasnya. “Banyak fotografer ketika menghadapi model yang bukan model professional malah jadi ketakutan sendiri. Padahal harus diingat dalam pemotretan yang dipotret dan yang memotret sama groginya. Untuk itu harus dicairkan dulu suasananya. Jangan lupa juga perhatikan perubahan mood, kalau sudah mulai capek ya istirahat dulu. Kadang footgrafer takut dan lebih banyak ngumpet di belakang kamera. Banyak fotografer yang cuma
EDISI X / 2008
41
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
42
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
43
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
“Kadang orang bikin foto portraiture tidak pernah memikirkan aplikasi. Misalnya fotonya gayanya klasik, dengan frame yang klasik tapi dipasang di rumah dengan style milenium, jadinya nggak cocok. Maka dari itu saya selalu Tanya fotonya mau dipasang di mana, kalau perlu saya lihat tempatnya, temboknya seperti apa, warnanya apa, dari situ saya bisa kasih saran apa fotonya bagusnya kayak apa, framenya warna apa dan bentuknya seperti apa.”
44
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY berani mengintip lewat kamera, tapi waktu berhadapan langsung malah gugup.” Sambungnya. Ketika memotret, Indra juga meyarankan untuk tidak terbawa lingkungan dan pembawaan. “Misalnya ketika memotret model yang seorang militer. Jangan ikut-ikutan jadi kaku. Dan bahkan nggak harus fotonya dibikin kaku, tegas dan keras seperti karakter militer. Banyak yang jadi ikutan kaku apalagi kalau motretnya di tempat seperti markas militer atau sejenisnya.” Jelasnya. “Dalam memotret kita harus pinter-pinter mengamati situasi, harus pintar-pintar memainkan mood, misalnya kalau mau motret dengan gaya yang lebih ceria dan santai mungkin bisa disuruh loncat-loncat dulu. Intinya ketegangannya harus dipindahkan. Tapi harus pintar-pintar, jangan justru bikin suasana makin berantakan.” Tambahnya. Berbicara mengenai teknis, Indra meyadari teknis merupakan sesuatu yang penting walaupun bukan yang utama. “memotret portraiture adalah bagaimana menampilkan cerita dan emosi si model dengan teknis yang pas. Tidak perlu berlebihan tapi janagn kurang juga.” Jelasnya. Indra melihat
EDISI X / 2008
45
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
harus diingat dalam pemotretan yang dipotret dan yang memotret sama groginya. 46
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
fotografer muda banyak yang terlalu berkutat di masalah teknis tapi justru banyak melupakan tren, artistic dan emosi si model. Indra juga melihat banyak fotografer yang menjadi malas karena teknologi. “Teknologi memang harus dipelajari tapi jangan sampai membersihkan debu atau membenarkan lipatan baju saja dilakukan di photoshop. Karena lebih mudah melakukannya waktu motret.” Ungkapnya. Indra berpendapat seharusnya fotografi tidak lebih banyak dilakukan di komputer tapi saat memotret. Komputer hanya membantu mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapat waktu memotret.
EDISI X / 2008
47
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
48
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
49
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY
Kadang footgrafer takut dan lebih banyak ngumpet di belakang kamera. Banyak fotografer yang cuma berani mengintip lewat kamera, tapi waktu berhadapan langsung malah gugup.”
50
EDISI X / 2008
PORTRAITUREPHOTOGRAPHY Di akhir pembicaraan kami dengannya, Indra mengomentari kebiasaan tidak selektif fotografer muda. “Banyak fotografer yang asal jepret aja. Model diberondong dengan jepretan sebanyak-banyaknya, tapi yang jadi nggak banyak. Artinya nggak selektif.” Ungkapnya. “Sebenarnya ketika kita yakin akan kemampuan kita, kita nggak perlu ngeberondong model dengan jepretan sebanyak itu. Di Amerika ada seorang fotografer. Suatu saat ia dimnta untuk memotret seorang selebriti terkenal. Karena berada di kota yang berbeda, fotografer itu harus bepergian dengan pesawat. Ketika sampai di tempat sang selebriti setelah menempuh perjalanan beberapa lama, asisten fotografer pun mulai menyiapkan lighting set dan equipmentnya. Waktu itu mereka menggunakan slide large format. Dan ketika setting sudah selesai, sang selebriti pun berdiri pada tempat yang ditentukan. Fotografer itu pun mulai mengeker dan menjepret. Hebatnya, setelah hanya menjepret sekali saja tanpa bisa melihat hasilnya karena menggunakan slide sang fotografer mengisyaratkan bahwa pemotretan sudah selesai dan menginstruksikan asistennya untuk mengepak kembali semua alatnya. Bayangkan setelah melakukan perjalanan jauh dengan
“Sebenarnya ketika kita yakin akan kemampuan kita, kita nggak perlu ngeberondong model dengan jepretan sebanyak itu.
“memotret portraiture adalah bagaimana menampilkan cerita dan emosi si model dengan teknis yang pas. Tidak perlu berlebihan tapi janagn kurang juga.”
pesawat, ia hanya melakukan sekali jepretan. Ada permainan psikologis di situ. Sang fotografer secara tidak langsung ingin menyampaikan, “lo penting, gue juga.” Jelasnya sambil tertawa. Inti dari cerita tersebut, selain karena tingkat kemampuan sang fotografer yang sudah begitu tinggi sehingga bahkan dengan hanay sekali jepret pun ia yakin sudah berhasil, tapi ia juga menunjukkan betapa tinggi penghargaannya terhadap kemampuannya. Banyak fotografer yang mengobral skillnya dengan menjepret sebanyakbanyaknya, dan lebih parahnya adalah ketika tidak banyak yang bagus.
EDISI X / 2008
51
LIPUTANUTAMA
LIPUTANUTAMA
JALUR OTODIDAK MEMPELAJARI FOTOGRAFI Lebih dari 90% peminat fotografi meniti jalan otodidak untuk meningkatkan kemampuan mereka berfotografi. Amat sedikit yang berkesempatan mengenyam pendidikan formal fotografi. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini, mulai dari sedikitnya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan program studi fotografi di Indonesia, relatif tingginya biaya studi fotografi di luar negeri, hingga pada ketidaksetujuan orang tua dari anak yang tertarik melanjutkan pendidikan tinggi di program studi fotografi dengan alasan ketidaktahuan bahwa profesi fotografi kini bisa menghidupi. Sebagian besar yang dengan alasan apapun tidak mengenyam bangku sekloah fotografi terpaksa berguru di “jalan” dan di komunitas-komunitas. Namun kelompok ini tidak bisa dianggap remeh, karena justru kelompok otodidak inilah pula yang mendominasi nama-nama papan atas dunia perfotografian professional. Mulai dari Sam Nugroho yang lulusan Arsitektur, Roy Genggam yang lulusan sinematografi, Gerard Adi yang juga lulusan arsitektur, Heret Frasthio yang lulusan komunikasi, Henky Christianto yang lulusan fakultas ekonomi, Djoni Darmo yang lulusan teknik, dan masih banyak nama yang menjadi besar dan diakui karena kemampuan fotografinya. Memang nama-nama fotografer professional yang pernah mengenyam pendidikan fotografi formal juga tidak sedikit, seperti Indra
52
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
53
LIPUTANUTAMA
“belajar di komunitas sama seperti orang buta yang belajar berjalan kepada orang buta yang sudah lebih lama buta. Berhasil atau tidaknya bergantung kepada diri kita sendiri dan juga orang yang mengajari kita. Hal yang memungkinkan terjadinya kegagalan adalah ketika orang buta yang dipilih untuk mengajari kita ternyata bukan orang buta yang bisa “melihat”.
LIPUTANUTAMA Leonardi, Kayus Mulia, Anton Ismael, Irawati Sarah, Sonny Sandjaya, Novijan Sanjaya, Arkadius Pribadi, Ajie Lubis dan masih banyak nama besar lainnya. Yang menarik dari kami adalah bagaimana orang-orang yang karena alasan apapun tidak berguru dari institusi formal fotografi namun bisa menjadi besar dan sukses di fotografi. Jika pendidikan formal fotografi menghadirkan ilmu yang sistematis, terencana dan memberikan kesempatan kepada orang yang mempelajarinya untuk mengenal dasar-dasar fotografi yang baku seperti exposure, hubungan kecepatan dan diafragma, teknik panning, teknik kamar gelap, teknik dodging & burning, hingga pengenalan dan penggunaan medium format camera, large format camera atau view camera dengan hitungan swing & tiltnya, jalur otodidak relatif tidak menghadirkan segala kemudahan untuk mengenal segala hal ajaib tersebut dengan mudah. Beberapa nama yang sudah terlanjur besar di fotografi melalui jalur otodidak menganggap komunitas, workshop, seminar sebagai sekolah fotografi mereka. Mereka rajin datang dari satu seminar ke seminar yang lain, dari satu workshop ke workshop lain, atau bah-
54
EDISI X / 2008
kan kalau perlu ke kursus singkat. Tidak sedikit pula yang belajar dari komunitas baik komunitas online maupun offline. Workshop, seminar dan kursus singkat menyediakan kesempatan untuk belajar fotografi secara praktis. Tidak terlalu banyak teori namun memberikan pengetahuan yang aplikatif. Memang di satu sisi hal ini bisa menyebabkan kemampuan basic kelompok yang belajar dari workshop dan seminar tidak sekuat mereka yang berguru di perguruan tinggi. Namun pada banyak kasus pemotretan umum mereka terlihat sama fasihnya berfotografi. Sementara di sisi lain komunitas menghadirkan kesempatan saling berbagi dan saling menerima ilmu dari sesama rekan dalam komunitas yang sedang sama-sama belajar. Mereka belajar dengan melihat foto rekan satu komunitas, mereka belajar dengan hunting bersama, mereka belajar dari tukar pikiran, saling bertanya, dan saling membagikan informasi. Tapi apakah itu cukup dan apakah itu aman? AT, seorang fotografer senior beranggapan bahwa proses pembelajaran melalui jalur otodidak bisa sangat menyenangkan. Dan justru karena terlalu menyenangkan tadi banyak juga yang
“Di jalur otodidak kita bisa meyakini dan menggunakan satu teknik yang sebenarnya salah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada yang memberi tahu bahwa itu salah. EDISI X / 2008
55
LIPUTANUTAMA terjebak. “belajar di komunitas sama seperti orang buta yang belajar berjalan kepada orang buta yang sudah lebih lama buta. Berhasil atau tidaknya bergantung kepada diri kita sendiri dan juga orang yang mengajari kita. Hal yang memungkinkan terjadinya kegagalan adalah ketika orang buta yang dipilih untuk mengajari kita ternyata bukan orang buta yang bisa “melihat”. Ketika kita berguru pada orang yang juga sedang belajar, kita sebenarnya hanya mempelajari pengalamannya. Belum tentu pengalamannya berada di jalur yang benar, walaupun belum tentu berada di jalur yang salah juga.” Ungkapnya. AT melihat hal ini sebagai resiko memilih jalur otodidak. “Di jalur otodidak kita bisa meyakini dan menggunakan satu teknik yang sebenarnya
56
EDISI X / 2008
LIPUTANUTAMA namanya saja. Belum tentu nama besar menjamin kemampuannya. Kalau ia fotografer professional, lihat apakah pekerjaannya masih banyak dengan harga yang masuk akal, lihat apakah fotonya masih bisa bersaing dengan fotografer muda yang lebih up to date.” Tambahnya.
salah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada yang memberi tahu bahwa itu salah. Kalau di jalur pendidikan formal ada dosen yang memberi tahu kesalahan selain logika fotografi kita yang mulai berjalan setelah dasar-dasar fotografi ditanamkan.” Tambahnya. Namun suka atau tidak suka, hal tersebut harus dijalani ketika kita memilih jalur otodidak. “penyelesaiannya adalah, pilihlah baik-baik orang yang dijadikan inspirasi atau guru. Jangan karena fotonya paling bagus di komunitas dianggap sebagai maestro fotografi dunia. Kalau bisa pilihlah yang terbukti punya kredibilitas yang baik.” Ungkapnya. “Jangan silau dengan nama besar. Saya kenyang sekali lihat fotografer yang besarnya hanya
AT melihat kejelian memilih komunitas atau fotografer untuk menginspirasi dan untuk berguru menentukan bagaimana jadinya ia ketika jam terbangnya sudah tinggi. Jika AT melihat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan fotografi seseorang masih ada walaupun salah memilih komunitas ataupun fotografer sebagai inspirasi, HI seorang fotografer professional asal Malaysia berpendapat lebih tegas. “Bagi saya siapa fotografer atau komunitas yang menginspirasi seorang fotografer menentukan apakah ia akan jadi fotografer baik atau tidak. Jika dia memilih komunitas atau fotografer yang tidak kompeten untuk menjadi inspirasi ataupun tempat berguru artinya ia tidak memiliki darah fotografi dalam dirinya.” Ungkapnya. “Sederhana saja, ketika anda memiliki darah fotografi di dalam diri anda, anda tidak akan salah pilih komunitas atau orang yang dijadikan inspirasi atau
“ketika anda memiliki darah fotografi di dalam diri anda, anda tidak akan salah pilih komunitas atau orang yang dijadikan inspirasi atau tempat berguru. Ketika anda memiliki darah fotografi anda pasti bisa membedakan mana komunitas dan fotografer yang baik dan layak dijadikan inspirasi dan tempat berguru mana yang tidak. EDISI X / 2008
57
LIPUTANUTAMA
fotografi memiliki kandungan cita rasa seni yang cukup kental membuat seseorang yang ingin belajar pada awalnya harus bisa membedakan mana foto yang baik mana yang tidak. Mana komunitas yang bisa memberikan banyak ilmu dan pengetahuan mana komunitas yang hanya menawarkan persahabatan. Mana fotorgafer yang memiliki kemampuan dan cita rasa tinggi mana yang tidak. 58
EDISI X / 2008
LIPUTANUTAMA tempat berguru. Ketika anda memiliki darah fotografi anda pasti bisa membedakan mana komunitas dan fotografer yang baik dan layak dijadikan inspirasi dan tempat berguru mana yang tidak. Sederhananya lagi seperti ini, ketika anda dihadapkan kepada 2 kendaraan untuk anda pilih, yang satu bajaj, yang satu lagi sebuah mobil bermerk Bentley. Bajaj terasa lebih familiar karena sudah dikenal di mana-mana, sementara Bentley tidak pernah akrab di telinga kita. Bajaj terlihat lebih ramah, sementara Bentley terkesan angkuh. Mereka yang memilih bajaj artinya memiliki batas atas apresiasi sekelas bajaj, sementara mereka yang memilih Bentley memiliki batas atas apresiasi sekelas Bentley.” Tambahnya. HT berpendapat karena fotografi memiliki kandungan cita rasa seni yang cukup kental membuat seseorang yang ingin belajar pada awalnya harus bisa membedakan mana foto yang baik mana yang tidak. Mana komunitas yang bisa memberikan banyak ilmu dan pengetahuan mana komunitas yang hanya menawarkan persahabatan. Mana fotorgafer yang memiliki kemampuan dan cita rasa tinggi mana yang tidak. Menanggapi tren hunting bersama atau sesi pemotretan bersama, HT
“Dalam proses belajar ada yang namanya eksplorasi cita rasa pribadi. Di situ anda perlu egois. Apa maunya anda, lakukanlah. Sementara dalam sesi hunting bersama anda tidak bisa egois. berkomentar lebih keras lagi. “Hunting bersama itu bukan tempat belajar. Coba lihat apa bangganya memiliki foto yang modelnya sama, lighting set upnya mirip, bedanya hanya komposisi dan exposure saja.” Ungkapnya. “Dalam proses belajar ada yang namanya eksplorasi cita rasa pribadi. Di situ anda perlu egois. Apa maunya anda, lakukanlah. Sementara dalam sesi hunting bersama anda tidak bisa egois. Namun saya tidak menyatakan hunting bersama sebagai salah satu yang diharamkan. Hanya saja, jangan gunakan itu sebagai tempat belajar.
Lebih baik untuk sarana bersosialisasi saja.” Sambungnya. AT pun menganggap sesi hunting bersama sebagai salah satu perangkap dalam jalur otodidak. “Banyak yang awalnya hanya ingin punya pengalaman memotret. Karena tidak ada uang untuk menyewa lampu, sewa studio, sewa model untuk seorang diri maka mulailah dengan hunting bersama yang terasa lebih bersahabat di kantong. Namun lama kelamaan jadi ketagihan dan bahkan lebih parah lagi ketika hasil hunting bersama diakui sebagai portfolio untuk berjualan jasa fotografi.” Ungkapnya. “Memang tidak ada aturan baku mengenai portfolio, namun saya pribadi tidak akan mengakui hasil hunting bersama sebagai portfolio karena eksplorasinya bersama-sama.”tambahnya.
EDISI X / 2008
59
LIPUTANUTAMA AT sendiri mulai mendalami fotografi melalui jalur otodidak dengan sangat hati-hati. “saya selalu selektif memilih workshop. Tidak semua workshop saya ikuti. Dan bahkan lebih banyak workshop yang kurang baik dibanding yang baik menurut saya. Salah satu cara mengevaluasi apakah workshop, seminar, kursus singkat, dan komunitas tertentu memberikan hasil yang positif bagi kita atau tidak adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, apakah setelah mengikuti workshop, seminar, kursus singkat, ataupun komunitas tertentu saya menjadi lebih mengerti esensi fotografi sehingga bisa mengaplikasikannya pada kasus lain atau saya hanya bisa membuat apa yang dibuat pembicara atau rekan yang ada di workshop, seminar, kursus singkat dan komunitas tertentu. Ketika esensi fotografinya yang didapat artinya anda sudah belajar dengan benar.” Jelasnya. Beberapa buku, majalah dan komunitas tertentu juga dianggap HT menjebak dan membodohi mereka yang sedang belajar dengan menampilkan data teknis yang tidak berbicara apa-apa. “Makin banyak media yang mengobral data teknis seperti kamera yang dipakai, lensa yang dipakai, bukaan diafragma, kecepatan, ISO/ASA,
60
EDISI X / 2008
LIPUTANUTAMA
“Hasil pemotretan bisa sangat berbeda bahkan ketika dilakukan dengan alat yang sama, bukaan dan kecepatan yang sama ketika dilakukan di tempat yang berbeda, dengan model yang memiliki warna kulit yang berbeda, dengan power dari lighting equipment yang berbeda. Jadi bodoh sekali jika kita menganggap data teknis sebagai sesuatu yang bisa membantu mencerna esensi dari teknik fotonya...”
dll sebagai pelengkap sebuah foto. Memangnya apa arti data teknis tersebut?” Ungkapnya. “beberapa waktu yang lalu seorang murid saya pernah bertanya kepada saya. Ia melihat suatu foto hi key di sebuah majalah dengan data teknis di bawahnya menyebutkan bahwa bukaan 2,8 dan speed 1/125. Ia bertanya mengapa ia tidak bisa mendapatkan hasil yang sama ketika mencoba mengikutinya di studionya. Padahal ia menggunakan bukaan dan speed yang sama. Ia tidak mempertimbangkan kondisi pencahayaan di studionya yang berbeda dengan di
foto yang ia contoh. Ia tidak mempertimbangkan power lighting equipment yang mungkin sekali berbeda antara yang ia gunakan dan yang digunakan di foto yang ia lihat itu. Ia juga tidak mempertimbangkan lensa yang digunakan, kamera yang digunakan, dan masih banyak kondisi yang berbeda. Akhirnya ia bertanya kepada saya, jadi apa gunanya data teknis itu pak? Dan saya pun menjawab “sampah, tidak ada gunanya.” Jelasnya. “Hasil pemotretan bisa sangat berbeda bahkan dengan alat yang sama, bukaan dan kecepatan yang sama ketika dilakukan di tempat yang berbeda, dengan model yang memiliki warna kulit yang berbeda, dengan power dari lighting equipment yang berbeda. Jadi bodoh sekali jika EDISI X / 2008
61
LIPUTANUTAMA
Ketika kita menerima pengetahuan atau informasi melalui kasus pemotretan cobalah untuk mencernanya melalui koridor esensi dan logika, bukan pada koridor menghapal dan menjiplak.
62
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY kita menganggap data teknis sebagai sesuatu yang bisa membantu mencerna esensi dari teknik fotonya, karena kita tidak tahu kondisi di lokasi pemotretan. Terlalu banyak hal yang mempengaruhi sehingga data teknis jadi tidak ada gunanya lagi.” Sambungnya. Belajar fotografi di jalur otodidak memang bukan perkara mudah. Walaupun kesempatan improvisasi terbuka amat sangat lebar, namun pintu-pintu jebakan juga terbuka sama lebarnya. Pada akhirnya untuk lolos dari jebakan tersebut dibutuhkan pemahaman bukan penghapalan dari semua informasi yang diterima. Ketika kita menerima pengetahuan atau informasi melalui kasus pemotretan cobalah untuk mencernanya melalui koridor esensi dan logika, bukan pada koridor menghapal dan menjiplak. Dengan begitu apapun contoh yang kita lihat ilmu yang kita dapatkan dari contoh itu akan membuat kita bisa mengaplikasikannya pada kasus lain, bukan membatasi kita hanya pada kemampuan menghasilkan foto dengan kasus yang sama.
EDISI X / 2008
63
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
AGUS SUSANTO, JAM TERBANG JUNIOR, KEMAMPUAN SENIOR Dari semua fotografer jurnalistik yang pernah hadir di majalah ini semuanya bisa digolongkan sebagai senior. Untuk itu, sebagai penyegaran kali ini kami menghadirkan Agus Susanto, seorang fotografer yang belum bisa dikatakan senior namun belum bisa dikatakan junior juga karena foto-fotonya yang begitu menyegarkan. Agus Susanto mengawali ketertarikannya dengan fotografi ketika duduk di bangku SMA di Yogya. Saat itu ia banyak melakukan pemotretan ketika keliling kota dan keliling jawa naik motor bersama temannya. Saat itu Agus masih menggunakan kamera pocket. Ketika lulus SMA, Agus mendaftarkan diri di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan diterima. Setelah membayar uang masuk UII, pengumuman UMPTN pun keluar dan Agus diterima di jurusan administrasi niaga
64
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
65
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
66
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
67
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
“Saya nggak tau teori, tapi saya banyak belajar di lapangan karena di jurnalistik ilmunya banyak di lapangan.” “Untuk bisa merasakan rasanya tempat itu kadang kita harus berkalikali ke situ.”
68
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY Universitas Sebelas Maret Solo. Uang masuk UII pun dikembalikan dan ia pergunakan untuk membeli kamera SLR. Sejak saat itu ia mulai lebih serius lagi mendalami fotografi. Ia banyak mendokumentasikan kegiatan mahasiswa pencinta alam di kampusnya dan itu mengawali ketertarikannya dengan dunia jurnalistik. Beberapa saat kemudian ketika Agus tidak bisa menggunakan kamera SLR yang lebih canggih ia dikenalkan dengan komunitas Himpunan Senifoto Bengawan (HSB) dan di situ ia banyak menimba ilmu. Selama kuliah Agus rajin memotret, termasuk meliput demo mahasiswa yang pada akhirnya dimuat di majalah kampus. Setelah lulus kuliah di UNS, Agus merantau ke Jakarta dan kuliah di IKJ sambil bekerja di sebuah majalah foto. Namun karena kesibukannya kuliahnya pun terlantar dan berhenti. Tahun 2000, Agus diterima menjadi salah satu pewarta foto Kompas. Sejak bergabung dengan Kompas hingga saat ini Agus pernah sempat menangani bidang fashion, olahraga, hiburan, kuliner, politik hingga kini ditempatkan di metro. Agus belajar fotografi di kompas hanya melalui teguran para seniornya ketika melihat fotonya yang kurang baik.
“Saya nggak tau teori, tapi saya banyak belajar di lapangan karena di jurnalistik ilmunya banyak di lapangan.” Ungkapnya. Agus juga gemar memotret feature suatu tempat atau cerita di balik suatu tempat. Untuk menghasilkan foto feature yang baik Agus berpendapat terkadang sang fotografer harus berkali-kali datang ke tempat tersebut sebelum memotret. “Untuk bisa merasakan rasanya tempat itu kadang kita harus berkali-kali ke situ.” Jelasnya. Untuk memotret feature, Agus selalu melakukan pendekatan terlebih dahulu. “Kalau object sudah tidak curiga akan kehadiran kita, baru kita bisa memotret dengan baik.” Jelasnya. Hal ini juga diterapkan ketika harus melakukan pemotretan di daerah rawan. “Kalau motret di daerah rawan, begitu sampai jangan langsung keluarkan kamera. Sebaiknya duduk-duduk dulu di warung, minum dulu, ngobrol sama orang setempat. Jadi mereka nggak kaget dan nggak curiga.” Tambahnya. Pendekatan ke obyek ini yang dianggap Agus sering dilupakan oleh fotografer junior. “Yang muda-muda
“Saya banyak cari foto-foto bagus di internet, cari foto dari majalah yang bagusbagus. Semakin sering kita melihat foto yang bagus, semakin mata kita terlatih untuk bikin foto yang sama bagusnya. Memang pada awalnya nyontek, namun lama kelamaan jadi terlatih untuk improvisasi sendiri.” EDISI X / 2008
69
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
70
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
71
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY maunya cepat aja. Jadi begitu sampai lokasi maunya langsung motret, nggak mau coba pendekatan ke obyek dulu, ajak ngobrol.” Jelasnya. “Padahal terkadang sebagai seorang wartawan, pewarta foto juga harus mencari tahu sejarah seuatu tempat, ekspresi, emosi dari obyek fotonya sebelum memotret. Dan dengan melakukan pendekatan kita jadi lebih tahu hal-hal seperti itu.” Namun dari semua bidang dalam jurnalistik yang pernah ditekuninya, Agus mengaku paling menggemari bidang olahraga. “Di olahraga, klimaksnya nggak terprediksi, bisa kapan saja. Di situ serunya, jadi kita harus terus siap.”
72
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
73
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
74
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
75
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
“Referensi foto jurnalistik tidak harus dari Koran atau majalah politik, tapi bahkan majalah fashion pun bisa jadi rerefensi dan inspirasi yang menarik untuk membuat foto jurnalistik yang baik.”
76
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY Jelasnya. Dalam memotret olahraga, jika menemui satu obyek yang berpotensial untuk membuat berita biasanya ia terus mengincar. “Misalnya sepak bola, kalau dari awal sudah ada satu pemain yang temperamental, ya sudah lupakan yang lain dulu incar yang itu dulu. Tungguin kapan ia berulah. Pasti dapat kok.” Jelasnya. Melihat satu per satu foto Agus Susanto, membuat kami bisa mengambil kekuatan utama foto Agus dibanding fotografer jurnalis lain, yaitu komposisinya. Foto Agus terlihat di atas rata-rata karena selain memiliki nilai berita yang merupakan syarat mutlak foto jurnalistik yang baik namun juga memiliki komposisi yang cantik. Agus sendiri mengaku banyak belajar komposisi dari banyak melihat referensi. “Saya banyak cari foto-foto bagus di internet, cari foto dari majalah yang bagus-bagus. Semakin sering kita melihat foto yang bagus, semakin mata kita terlatih untuk bikin foto yang sama bagusnya. Memang pada awalnya nyontek, namun lama kelamaan jadi terlatih untuk improvisasi sendiri.” Ungkapnya. “Referensi foto jurnalistik tidak harus dari Koran atau majalah politik, tapi bahkan majalah fashion pun bisa jadi rerefensi dan inspirasi yang menarik untuk membuat foto jurnalistik
yang baik.” Sambungnya. Setelah banyak melihat foto yang bagus, Agus yakin kemampuan untuk memvisualisasikan foto di kepala menjadi lebih baik lagi. “Fotografer jurnalistik tidak harus selalu hanya menangkap momen apa adanya, tapi juga harus rajin memvisualisasikan kemungkinan-kemungkinan momen yang bisa terjadi. Sehingga yang didapat bukan sekedar nilai beritanya tapi juga enak dilihat.” Ungkapnya. Berbicara mengenai hal yang paling ia tidak sukai dalam memotret adalah ketika harus meliput peresmian suatu tempat atau ulang tahun perusahaan atau orang. “Motret orang salaman itu paling susah dan menyebalkan. Karena susah untuk jadi bagus. Tapi karena ini pekerjaan ya tetap nggak bisa ditolak, haru mau menjalani.” Jelasnya sambil tersenyum. Menjalani hidupnya sebagai pewarta foto yang bertugas untuk di bidang metro yang mewajibkannya rajin
“Meliput konflik itu artinya kesempatan memiliki fotofoto yang langka.”
berkeliling mencari berita dan obyek foto yang baik, Agus sesekali menemui kejenuhan akibat rutinitasnya itu. Untuk menyiasati hal tersebut Agus selalu mencari tantangan baru dengan mencari berita baru yang sedang panas-panasnya untuk dikerjakan. “Atau bahkan kalau perlu kita mencari berita yang orang lain belum terpikir. Caranya salah satunya ya dengan cari di internet.” Akunya. Seperti kebanyakan fotografer jurnalistik lain, Agus juga pernah meliput konflik. Namun sedikit berbeda dengan fotografer-fotografer yang pernah hadir di sini, Agus justru senang ketika EDISI X / 2008
77
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
78
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
79
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
80
EDISI X / 2008
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
81
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
ditugaskan untuk meliput konflik dan perang. “Meliput konflik itu artinya kesempatan memiliki foto-foto yang langka.” Ungkapnya. Agus tidak pernah takut sama sekali akan resiko meliput konflik. Agus yakin kode etik jurnalistik sudah cukup melindunginya dari hal-hal yang dapat membahayakannya, sejauh sang fotografer juga tahu aturan dan tidak melanggar kode etik yang berlaku. Kemampuan khusus yang harus dimiliki oleh seorang fotografer jurnalistik dalam meliput konflik dan perang adalah harus bisa mengirimkan gambar bahkan dalam kondisi apapun. Karena hal itu berhubungan dengan waktu dan momen. Ketika seorang fotografer yangs edang meliput daerah konflik terlambat mengirimkan foto maka nilai foto tersebut jadi ikut berkurang. Di akhir pembicaraan kami, Agus berpesan kepada fotografer muda untuk lebih banyak belajar di lapangan selain mengerti isu dan berita yang sedang dibicarakan, dan salah satu caranya adalah dengan banyak melihat website.
82
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
83
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
ROY GENGGAM, FROM ZERO TO HERO Dari sedikit nama fotografer senior yang masih eksis, bukan sekedar terdengar nama besarnya tapi juga masih produktif dan masih punya kemampuan bersaing dengan yang muda-muda muncul nama Roy Genggam. Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa kami tidak pernah menghadirkan Roy Genggam di majalah ini padahal tim kami punya hubungan yang sangat baik dengan Roy Genggam. Adalah penyegaran yang kami tujuan. Di tengah begitu banyaknya majalah fotografi, workshop, seminar yang menampilkan Roy Genggam, kami justru memilih untuk menyimpannya untuk menghadirkan maestro-maestro fotografi seperti Roy Genggam dalam suasanan yang lebih segar di mana exposure mereka sudah tidak sebanyak sebelumnya. Namun kharisma, kemampuan dan kehebatan Roy Genggam sepertinya tidak habis karena masih bisa tetap segar ditampilkan bahkan ketika sudah begitu banyak tulisan dan pemikirannya beredar melalui majalah, workshop dan seminar. Berikut cuplikan pembicaraan kami dengannya di studionya di bilangan pondok pinang. Roy Genggam mulai mengenal dunia seni ketika pada awalnya ia berniat untuk menjadi seniman lukis atau patung. Sejak SMA Roy sudah menghasilkan uang dari lukis. Ia lahir dari seorang ibu yang seorang pelukis dan ayah yang seorang arsitek. Ketika bermaksud melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Roy dianjurkan pamannya untuk masuk ke sekolah film. Ia pun mendaftar di IKJ dan diterima. Mulai saat itu Roy mulai mengurangi melukis dan mulai memproduksi film pendek.
84
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
85
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“...9 dari 10 fotografer adalah anak orang kaya, hanya 1 yang anak orang miskin yaitu saya.” 86
EDISI X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Selama kuliah Roy terbilang cukup cemerlang, hingga untuk keperluan ujian akhirnya Roy membuat film bersama Garin Nugroho. Waktu itu Roy bertugas sebagai kameraman dan Garin sebagai sutradaranya. Namun amat disayangkan film produksi mereka hilang. Roy pun ngambek dan meninggalkan bangku kuliahnya. Bahkan ketika dekannya menyuratinya untuk menawarkan membiayai pembuatan ulang filmnya Roy tetap menolak. EDISI X / 2008
87
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
setiap film, setiap kamera memiliki karakter yang berbeda sehingga membutuhkan treatment yang berbeda pula. Jangan pernah berpikir dengan kamera bagus kita pasti bisa mendapatkan hasil yang bagus. Belum tentu.” 88
EDISI X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Sejak saat itu Roy memutuskan untuk pindah jalur menjadi fotografer. Namun perjalanan menjadi fotografer rupanya tidak semulus yang dibayangkan. Tidak ada order yang datang selain tawaran menjadi jurnalis. “waktu itu tawaran itu nggak saya ambil karena saya lebih suka making picture daripada taking picture.” Jelasnya. Beberapa saat kemudian karir Roy Genggam di fotografi dimulai ketika ia mulai bekerja di majalah Asri dan tidak lama kemudian pindah ke majalah Laras. Setelah beberap saat kemudian Laras berhenti terbit Roy pun kembali menganggur. Ia pun memutuskan untuk membuat studio di kawasan tebet. Ditanya mengenai modal fotografer komersil yang tergolong besar Roy pun menyangkal. “Di setiap seminar saya selalu bilang, 9 dari 10 fotografer adalah anak orang kaya, hanya 1 yang anak orang miskin yaitu saya. Saya suka bilang begitu bukan karena apa-apa, hanya karena ingin menginspirasikan orang untuk berani menjadi fotografer tanpa takut masalah modal.” Ungkapnya. “Saya pernah motret hanya dengan 3 lampu dengan kamera medium namun bisa mengalahkan hasil fotografer dengan alat yang jauh lebih
EDISI X / 2008
89
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
90
EDISI X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
91
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
COMMERCIALPHOTOGRAPHY lengkap dari saya.” Sambungnya. Namun kini Roy sudah memiliki alat yang lengkap, bahkan mungkin salah satu yang terlengkap di Indonesia. “Sekarang klien sudah nggak peduli saya pakai apa.” Tegasnya. Awal transisi dari teknologi film ke digital pun dijalani Roy dengan alot. “Awalya saya nggak mau pakai digital, lalu yang jualan pintar juga, dia ngebujuk istri saya yang juga merangkap jadi partner saya. Akhirnya istri saya pun mulai membujuk saya dengan perhitungan penghematan yang masuk akal. Saya pun akhirnya setuju.” Kenangnya. “Setiap hari, pagi-pagi sebelum klien datang saya menyempatkan diri untuk belajar memotret dengan digital, saya nggak mau kelihatan bodoh kalau suatu waktu saya harus motret pakai digital.” Sambungnya.
“Coba lihat berapa banyak fotografer junior yang punya lampu tapi punya light meter juga? Tidak banyak. Padahal lighting tetap perlu dihitung.” Roy berpendapat bahwa setiap film, setiap kamera memiliki karakter yang berbeda sehingga membutuhkan treatment yang berbeda pula. “Cara untuk tahu, ya tidak lain selain berusaha mengenalnya, banyak berlatih. Dengan begitu jadi tahu karakternya dan tahu harus diapakan.” Jelasnya. “Jangan pernah berpikir dengan kamera bagus kita pasti bisa mendapatkan hasil yang bagus. Belum tentu.” Tambahnya. Namun kemudahan yang dihadirkan digital dipandang Roy membawa hal yang kurang baik terutama bagi mere-
92
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
93
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“kalau kurvanya masih linear sudah bagus artinya aman untuk dkoreksi.” 94
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
95
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Kita belajar segala teknik fotografi untuk kita lupakan. Yang penting tujuannya.”
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“memotret baru bisa dibilang berhasil kalau hasilnya sama bagusnya dengan apa yang ada di kepalanya, tidak lebih dan tidak kurang.”
ranggapan kalau ada kesalahan exposure sedikit bisa diperbaiki di komputer. Padahal proses editing di komputer sama seperti melakukan push ASA di film. Grainnya ikut naik.” Tambahnya. Foto yang bagus secara kualitas digital bagi Roy adalah foto yang dengan kurva linear pun sudah bagus. “kalau kurvanya masih linear sudah bagus artinya aman untuk dkoreksi.” Jelasnya. Roy melihat banyak fotografer belum mengerti penggunaan olah digital sepenuhnya. “banyak yang motret mobil dengan digitak imaging namun key lightnya beda, tonenya beda, arah cahayanya beda, jadi terlihat janggal.”Ungkapnya. “Untuk aman di-DI, foto harus benar semua terlebih dahulu. Artinya motretnya harus jelas di atur di awal, jangan dibelakang. Kalau perlu di breakdown apa yang perlu di foto, lighting diagramnya, scenario DInya, sehingga semuanya terencana di awal.” Tambahnya.
ka yang ingin instan. “Coba lihat berapa banyak fotografer junior yang punya lampu tapi punya light meter juga? Tidak banyak. Padahal lighting tetap perlu dihitung.” Tegasnya. “Mereka be-
Mengenai teknik lighting, Roy selalu menanyakan diri sendiri, mau dibikin jadi seperti apa fotonya. “Cahaya utamanya satu, dan tidak selalu main light harus lebih terang. Intinya atmosfir apa yang mau dibikin.” Jelasnya. Bagi Roy Lighting tidak bisa dirumuskan karena berhubungan dengan rasa dan keuni-
96
EDISI X / 2008
EDISI X / 2008
97
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
98
EDISI X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
99
COMMERCIALPHOTOGRAPHY kan. “Kita belajar segala teknik fotografi untuk kita lupakan. Yang penting tujuannya.” Tambahnya. Bagi Roy, memotret baru bisa dibilang berhasil kalau hasilnya sama bagusnya dengan apa yang ada di kepalanya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk belajar berusaha “menggambar di kepala” Roy menyarankan untuk memperbanyak referensi “Banyak-banyak lihat pameran seni rupa, film, buku, musik karena akan memperkaya referensi jiwa seni.” Tegasnya. Fotografi bagi Roy harus memiliki konsep. “Sesederhana apapun sebuah foto harus punya konsep. Maka dari itu perlu untuk belajar menggambar di otak.” Berbicara mengenai fotografi komersil,
“Banyak-banyak lihat pameran seni rupa, film, buku, musik karena akan memperkaya referensi jiwa seni.” 100 EDISI
X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Sesederhana apapun sebuah foto harus punya konsep. Maka dari itu perlu untuk belajar menggambar di otak.” Roy beranggapan bahwa hal teknis merupakan sesuatu yang mutlak di fotografi komersil. Selanjutnya mental professional dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain juga penting. “Janji harus tepat waktu, attitude juga jangan aneh-aneh.” Jelasnya. Bagi Roy fotografer komersil adalah gabungan dari seniman, tukang, pedagang, dan aktor yang menguasai permainan psikologi. “Seniman karena harus bikin hasil karya yang berseni. Tukang karena terkadang harus menuruti apa maunya klien. Pedagang karena harus memikirkan cara menjual produknya, dan aktor karena terkadang harus bisa mengatur mood.” Jelasnya. “Kadang lebih melelahkan beraktingnya dariapda motretnya. Harus marah sama crew kalau mereka lambat, EDISI X / 2008
101
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
102 EDISI
X / 2008
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI X / 2008
103
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“fotografer komersil adalah gabungan dari seniman, tukang, pedagang, dan aktor yang menguasai permainan psikologi.” 104 EDISI
X / 2008
EDISI X / 2008
105
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
WHERETOFIND namun setelah itu harus bercanda dengan klien, selanjutnya harus bisa kasih tau make up artis bahwa make upnya jelek tanpa menyinggung perasaaannya. Untuk itu staminanya harus tinggi. Stamina fisik, stamina mental dan juga financial karena pembayarannya juga butuh waktu.
“dan yang paling penting manajemennya harus baik, manajemen waktu, manajemen uang, manajemen semuanya supaya tidak mengecewakan orang lain.” 106 EDISI
X / 2008
Di akhir pembicaraan kami, Roy berpesan bagi mereka yang masih junior untuk tidak menyepelekan basic teknis karena sampai kapanpun akan berkutat di situ. “ Ini perlu supaya tidak ada yang mutlak. Sehingga kita bisa banyak berimprovisasi” Jelasnya. Mengenai portfolio Roy menyarankan fotografer muda untuk memiliki portfolio yang baik walaupun tidak harus banyak. “dan yang paling penting manajemennya harus baik, manajemen waktu, manajemen uang, manajemen semuanya supaya tidak mengecewakan orang lain.” Tegasnya.
EDISI X / 2008
107
WHERETOFIND JAKARTA
Telefikom Fotografi Universitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPus Indonesia Photographer Organization (IPO) Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410 Unit Seni Fotografi IPEBI (USFIPEBI) Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafruddin Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, Jakarta UKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI) Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta Utara Perhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA) PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18 Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKT Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100 Studio 51 Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta Perhimpunan Fotografi Tarumanegara Kampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBar Pt. Komatsu Indonesia
108 EDISI
X / 2008
WHERETOFIND Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140 LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya) Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510 HSBC Photo Club Menara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930 XL Photograph Jl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSel Kelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28 Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSel FreePhot (Freeport Jakarta Photography Community) Masterlist Management Export Import Department PT Freport Indonesia Plaza 89 6th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6 Nothofagus PT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6 CybiLens PT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270 FSRD Trisakti FSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, Jakbar SKRAF (Seputar Kamera Fikom) Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870 One Shoot Photography FIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74,
JakPus Lasalle College Sahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110 LSPR Photography Club London School of Public Relation Campus B (Sudirman Park Office Complex) Jl. KH Mas Mansyur Kav 35 Jakarta Pusat 10220 FOCUS NUSANTARA Jl. KH Hasyim Ashari No. 18, Jakarta SUSAN + PRO Kemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730 e-Studio Wisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440 VOGUE PHOTO STUDIO Ruko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38 Shoot & Print jl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jkt Q Foto Jl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, Jkt Digital Studio College Jl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-Pus Darwis Triadi School of Photography
jl. Patimura No. 2, Kebayoran Baru eK-gadgets centre Roxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, Jkt Style Photo Jl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330 Neep’s Art Institute Jl. Cideng Barat 12BB, Jakarta V3 Technology Mall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, Jakarta Cetakfoto.net Kemang raya 49D, Jakarta 12730 POIsongraphy ConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18 Jakarta 12560
BEKASI
Lubang Mata Jl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134
BANDUNG
PAF Bandung Kompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111 Jepret Sekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, Bandung Spektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad) jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumedang, Jabar Padupadankan Photography Jl. Lombok No. 9S Bandung Studio intermodel Jl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116
Lab Teknologi Proses Material ITB Jl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, Bandung Satyabodhi Kampus Universitas Pasundan Jl. Setiabudi No 190, Bandung
Lembaga pendidikan seni dan design visimedia college Jl. Bhayangkara 72 Solo
YOGYAKARTA
Atmajaya Photography club Gedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. TASIKMALAYA babarsari no. 007 yogyakarta Eco Adventure Community “UKM MATA” Akademi Seni Rupa Jl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, dan Desain MSD Rajapolah, Tasikmalaya 46155 Jalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151 SEMARANG Unif Fotografi UGM (UFO) PRISMA (UNDIP) Gelanggang mahasiswa UGM, BulakPKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) sumur, Yogya Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Fotografi Jurnalistik Club Kampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari Semarang 50243 MATA Semarang Photography Yogyakarta FOTKOM 401 Club gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIP UNDIP Jl. Imam Bardjo SH. No.1, Semarang FISIPOL UPN “Veteran” yogyakarta. Jl Babasari No.1, Tambakbayan, YogyaDIGIMAGE STUDIO karta, 55281 Jl. Setyabui 86A, Semarang Jl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243 SURABAYA Ady Photo Studio Himpunan Mahasiswa Pengged/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln. mar Fotografi (HIMMARFI) Teuku Umar 24 Semarang Jl. Rungkut Harapan K / 4, Surabaya Pandawa7 digital photo studio AR TU PIC Jl. Wonodri sendang raya No. 1068C, UNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Semarang Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219 Kloz-ap Photo Studio FISIP UNAIR Jl. Kalicari Timur No. 22 Semarang JL. Airlangga 4-6, Surabaya Hot Shot Photo Studio SOLO Ploso Baru 127 A, Surabaya, 60133 HSB (Himpunan Seni BenToko Digital gawan) Ambengan Plasa B23. jl Ngemplak No. Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 30 Surabaya 57156 Sentra Digital EDISI X / 2008
109
WHERETOFIND Pusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 Surabaya
Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213
Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Samarinda Kaltim
TRAWAS
BATAM
Batam Photo Club Perumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435
SOROWAKO
KALTIM
ONLINE PICK UP POINTS:
VANDA Gardenia Hotel & Villa Jl. Raya Trawas, Jawa Timur
MALANG
MPC (Malang Photo Club) Jl. Pahlawan Trip No. 25 Malang JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club) student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144 UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni) kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100
JEMBER
UFO (United Fotografer Club) Perum Mastrip Y-8 Jember, Jawa Timur Univeritas Jember (UKPKM Tegalboto) Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jember jl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121
MEDAN
Medan Photo Club Jl. Dolok Sanggul Ujung No. 4
110 EDISI
X / 2008
Sorowako Photographers Society General Facilities & Serv. Dept DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. PEKANBARU Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO CCC (Caltex Camera Club) 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM- SELATAN Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271 GORONTALO Masyarakat Fotografi Gorontalo LAMPUNG Graha Permai Blok B-18, Jl. RambuMalahayati Photography Club tan, Huangobotu, Dungingi, Kota Jl. Pramuka No. 27, Kemiling, Ban- Gorontalo dar Lampung, 35153. LampungIndonesia. Telp. (0721) 271114 AMBON Performa (Perkumpulan FoBALIKPAPAN tografer Maluku) FOBIA jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon. Indah Foto Studio Komplek Ruko (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Bandar Klandasan Blok A1, Balikpa- Vivi Salon) pan 76112 Badak Photographer Club (BPC) www.estudio.co.id ICS Department, System Support http://charly.silaban.net/ Section, PT BADAK NGL, Bontang, www.studiox-one.com Kaltim, 75324 KPC Click Club/PT Kaltim Prima Coal Supply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta
SAMARINDA
MANGGIS-55 STUDIO (Samarinda Photographers Community)