The Pianist In The Shopping Mall

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View The Pianist In The Shopping Mall as PDF for free.

More details

  • Words: 571
  • Pages: 2
The Pianist in The Shopping Mall SESUATU yang sampai kepadamu, bertugas membawa pesan untukmu. Begitu juga dengan buku Paulo Coelho ini. Seorang teman memberikan buku ini kepadaku, dalam edisi bahasa Inggris, Like The Flowing River, karena menurutnya: ''Mirip gaya tulisanmu.'' Wah, aku dimirip-miripkan Paulo Coelho penulis The Alchemist yang dahsyat itu? Inilah penulis penerima Chrstal Award itu, buku-bukunya telah diterjemahkan dalam 62 bahasa dan The Alchemist telah terjual tak kurang dari 75 juta kopi di seluruh dunia. Dan penulis inilah yang dikatakan mirip dengan gayaku? Hehehe� biar saja. Siapa tahu benar. Karena setelah saya teliti, oo bisa dimengerti. Buku ini berisi kumpulan tulisantulisan pendeknya, semacam refleksi. Sedang aku juga punya kolom di tabloid tempatku bekerja, yang kemudian disiarkan di sebuah radio, namanya juga refleksi. Eh siapa tahu, Paulo Coelho diam-diam adalah pembaca tabloidku dan juga pendengar siaran radioku. Jadi kami memang saling mempengaruhi. Walau spekulasi yang keterlaluan ini harus segera diakhiri. Karena buku ini memang hendak datang sebagai guru, seperti Coelho yang memang layak jadi guruku. Salah satu bagiannya, berisi tulisan yang judulnya aku kutip sebagai judul tulisan ini The Pianist in The Shopping Mall. Ia tentang pianis dari Georgia, negara yang hingga kolom ini aku tulis masih tercabik-cabik konflik itu. Pianis yang paripurna teknisnya, memainkan musik-musik tinggi setara orang bergembira saja. Tetapi karena nasib, ia tidak tampil di gedung opera, melainkan sekadar main di mall, dengan tanpa seorang pun tergerak menontonnya. Tetapi pianis ini, meskipun tanpa penonton, memainkan pianonya dengan jiwa penuh-seluruh. Tak seorangpun? Ternyata tidak. Karena setidaknya ada dua orang yang menontonnya, yakni ya Paulo Coelho sendiri bersama sahabatnya, yang kebetulan seorang pemain biola terkemua di dunia. Atau jika pun dua orang ini terpaksa tak ada, pianis ini akan tetap menggila, karena ia bermain cukup dengan jiwanya. Dan jika permainan itu telah di jiwa, Tuhan sendiri yang akan menjadi penontonnya. Begitulah kirakira petuah bagian ini. Bukan cuma petuah itu benar yang ingin aku garis bawahi, melainkan karena aku tak menyangka jika suatu hari, nasibku, akan serupa dengan pianis itu. Hari itu aku diundang bicara di sebuah mall, di tengah lalu-lalang orang belanja, dan tak seorang pun memperhatikanku. Bahkan ketika MC memintaku naik ke panggung yang bertepuk tangan untukku adalah aku sendiri. Mestinya aku benar-benar butuh seorang untuk bisa kutatap, kuajak bicara tepat di depanku. Tetapi malang, kursi-kursi yang mestintya ditata di depan pangungku pun gagal di hadirkan karena gudangnya terkunci. Bahkan kursi saja gagal dihadirkan apalagi manusia. Maka satu-satunya mata yang bisa aku pelototi adalah moderatorku sendiri. Ke manapun matanya lari, aku ikuti. Tak kubiarkan dia untuk melihat apapun kecuali mataku. Aku khawatir pandangan matanya akan tertumpuk pada kekosongan, padahal setidaknya masih ada mataku di depan matanya. Biarlah kami ramai bicara bedua tanpa peduli apakah orang-orang itu mendengar kami atau tidak. Karena setidaknya masih ada seorang moderator di depanku. Jika dia kehabisan pertanyaan pun, akulah yang ganti akan bertanya kepadanya. Jika ia mulai kelihatan lesu, akulah yang akan menggembirakan hatinya. Aku akan ganti menjadi penanya bagi penanyaku itu. Atau kalau terpaksa, jika moderatorku ini benar-benar menyerah dan memutuskan

pergi, misalnya, aku sudah menyiapkan tekatku. Aku akan bicara dengan kursi bekas tempat duduknya. Aku akan bermonolog dengan benda-benda yang ada. Aku sudah bertekat untuk menjadi sibuk dan asyik dengan diriku sendiri, seperti pianis itu bersibuk dengan permainannya. Dan ketika diskusi ini bubar, aku baru tersadar, bahwa setidaknya ada beberapa orang yang sejak awal berdiri di sana untuk menontonku. Tak peduli berapapun jumlahnya, ternyata selalu ada yang mendengar suaraku. (Prie GS/CN05)

Related Documents


More Documents from ""

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43