BAB I PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosis. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Sejak tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. WHO pada tahun 2013 memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 9 juta orang, serta membunuh 1,5 juta pasiennya . Laporan terakhir dari WHO pada tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-5 terbanyak kasus TB di dunia setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan dengan perkiraan prevalensi TB sebesar 520.000 dan 410.000 kasus baru pertahun. Selain itu kasus resistensi terhadap obat anti tuberkulosis merupakan masalah baru yang penting dalam program penanggulangan tuberculosis. 1,2 Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positip sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. 1 Pasien gagal, putus pengobatan dan kambuh setelah mendapatkan pengobatan TB kategori I, untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya dikelompokkan WHO sebagai kategori II
dengan rejimen obat (2HRZES + 1
1HREZ + 5HRE). Ada berbagai faktor yang dianggap sebagai penyebab kegagalan pengobatan atau kekambuhan kasus tuberkulosis yaitu kemiskinan, intoleransi terhadap obat, ketidaktahuan tentang lama pengobatan, ketidaktahuan tentang cara mengkomsumsi obat, dan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus.3,4 Melihat dari banyaknya prevalensi kasus TB paru kasus baru di indonesia maka penting bagi kita untuk mengetahui, mencegah dan menangani TB paru berdasarkan kategori pengobatannya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TUBERKULOSIS PARU 1. Definisi Tuberkulosis Mycobacterium
adalah
penyakit
tuberculosis
yang
complex.
disebabkan
Tuberkulosis
oleh
infeksi
paru
adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). 5
2. Epidemiologi Pada tahun 2013 WHO mencatat insiden TB di dunia yaitu sebesar 9 juta kasus, dengan 1,5 juta kematian (1,1 juta penderita TB dengan HIV negative dan 0,4 juta penderita TB dengan HIV positif ). Tuberkulosis saat ini banyak menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian terutama di negara berkembang. Hasil survey terakhir WHO tahun 2014 mencatat Indonesia sebagai
negara dengan pasien tuberkulosis (TB)
terbanyak ke-5 di dunia perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien TB di dunia. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. 2,5
3. Etiologi Penyebab
penyakit
TB
paru
adalah
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis kompleks. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun
3
utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga mengurangi efektivitas terhadap antibiotik. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alcohol. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, menunjukkan bahwa bakteri ini lebh menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apeks paru lebih tinggi dari bagian lain,sehingga apeks paru menjadi predileksi TB paru. 5,6,7
Gambar 1.1 : Gambaran mikroskopik kuman M.Tuberculosis 4. Gejala Klinis Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
4
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala – gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain Tb, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru dan lain – lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopik langsung. 8
5. Patogenesis a. Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
5
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : • Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada
anak
setelah
mendapat
ensefalo
meningitis,
tuberkuloma) atau • Meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.5
b. Tuberkulosis Post-Primer Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian biasanya pada usia 15-40 tahun sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1) Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
6
2) Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnyaberdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini : • Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas. • Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi • Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).5,7
6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru 1). Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam : a. Tuberkulosis Paru BTA (+) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks menunjukkan gambaran tuberkulosis Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman positif
7
Satu atau lebih spesimen dahak SPS hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika b. Tuberkulosis Paru BTA (-) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, pasien dengan HIV negative Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif 2). Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Tipe
penderita
ditentukan
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : a. Kasus baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif b. Kasus yang sebelumnya diobati Kasus kambuh (relaps) Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan. Infeksi sekunder Infeksi jamur TB paru kambuh Kasus setelah putus berobat (default) Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif 8
Kasus setelah gagal (failure) Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan c. Kasus pindahan (Transfer In) Pasien
yang
pengobatannya.
dipindahkan
ke
register
lain
untuk
melanjutkan
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah d. Kasus lain : Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang tidak dikertahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, kembali diobati dengan BTA negative.5
7. Diagnosis Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin. a. Pemeriksaan Klinis Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 8 Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
9
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”. 8 b. Pemeriksaan Bakteriologik 1) Bahan pemeriksaan Pemeriksaan
bakteriologik
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung,
kurasan
bronkoalveolar
(bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). 6 2) Cara pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Cara pemeriksaan dahak mikroskopis langsung diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) setiap pagi 3 hari berturutturut. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Pagi ( keesokan harinya ) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatif → Mikroskopik negatif. 5,7,9 c. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CTScan. Pada gambaran foto toraks, lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di
10
daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). 5,7 Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas – batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas (tuberkuloma). 7 Secara umum, gambaran radiologis TB Paru dapat berupa : 1) Kelainan terutama pada lapangan atas paru 2) Bayangan bercak – bercak atau noduler 3) Adanya kavitas (cavernae) 4) Adanya kalsifikasi 5) Kelainan bilateral lapangan atas 6) Kelainan menetap setelah beberapa minggu 7) Bayangan milier 8) Bayangan fibrosis. 7 d. Pemeriksaan Penunjang 1) Polymerase chain reaction (PCR) 2) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda - Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) - Mycodot - Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) - Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. 3) Pemeriksaan BACTEC 4) Pemeriksaan Cairan Pleura 5) Pemeriksaan histopatologi jaringan 6) Pemeriksaan darah 7) Uji tuberculin. 5
11
Gambar 1.2 Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru. 5
8. Penatalaksanaan a. Tujuan Pengobatan TB 1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup 2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya 12
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB 4) Menurunkan penularan TB 5) Mencegah terjadinya TB resistan obat. 9 Tabel 1.1 Pengelompokan OAT 10
Tabel 1.2 Jenis, Sifat, dan dosis OAT lini pertama 9
13
b. Prinsip Pengobatan TB Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip : 1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi 2) Diberikan dalam dosis yang tepat 3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan 4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Tahap Awal Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktyu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 9 c. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Pasien baru TB paru BTA positif Pasien TB paru BTA negative foto thoraks positif Pasien TB ekstra paru.
14
Tabel 1.3 Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tabel 1.4 Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya : Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 1.5 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2
15
Tabel 1.6 Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
OAT sisipan (HRZE) Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selam sebulan (28 hari). Tabel 1.7 Dosis KDT untuk sisipan
Tabel 1.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
16
d. Efek Samping OAT Tabel 1.9 Efek Samping Ringan OAT
Tabel 1.10 Efek Samping Berat OAT
Penanganan efek samping obat: Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik\ Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat / allopurinol Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti tertulis di atas. Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya 17
Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik. 5,9
e. Evaluasi Pengobatan 1) Klinis. Biasanya dikontrol dalam 1 minggu pertama selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis, hendaknya terdapat perbaikan keluhankeluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dan lain-lain. 2) Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan 2, 4 dan 6. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang. 3) Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batukbatuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai ada penyakit lain disamping TB paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal pasien
18
sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS. 7
f. Hasil Pengobatan TB Tabel 1.11 Hasil Pengobatan TB 9
9. Komplikasi Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, emphiema, laringits, usus, Poncet’s arthropathy. b. Komplikasi lanjut : Obstruksi Jalan napas > SPOT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat > fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.7
19
10. TUBERKULOSIS MULTI DRUGS RESISTENT (TB MDR) Resistensi ganda atau Multi Drugs Resistant adalah M. Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Tuberkulosis MDR menurut WHO adalah resistensi terhadap 2 obat TB lini pertama yaitu isoniazid dan rifampicin. Pada umumnya, pasien yang didiagnosis dengan TB- MDR direkomendasikan oleh WHO untuk diterapi selama 24 bulan dengan obat anti tuberculosis lini kedua. 11, 12 Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan. Resistensi initial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasien belum atau sudah pernah menjalani pengobatan OAT sebelumnya. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan. 11 Pada tahun 2003 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% pertahun. Prevalensi TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200.000 kasus baru terjadi di dunia. Di negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%. Saat ini menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke 8 dari 27 negara dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Di Indonesia, data awal survei resistensi obat OAT lini pertama yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka TBMDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%). Hasil Survei terbaru yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. 10,11,12,13 Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek TB-MDR yaitu: 13 a. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori 2 b. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan kategori 2
20
c. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin d. Pasien gagal pengobatan kategori 1 e. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1 f. Kasus TB kambuh g. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2 h. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TBMDR. i. ODHA dengan gejala TB-HIV Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB : 14 a. Mono-resistance : kebal terhadap salah satu OAT. b. Poly-resistance : kebal terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin. c. Multidrug-resistance (MDR) : kebal terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin. d. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kebal terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, amikasin).
e. TB Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya. Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan obat dengan metode standar yang tersedia di Indonesia. Uji kepekaan obat ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi Mycobacterium tuberkulosis terhadap OAT. Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test). 10
21
a. Metode konvensional Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair (MGIT). Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT lini kedua b. Tes Cepat (Rapid Test). MenggunakanXpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert. Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin. Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam. Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin Menggunakan Line probe assay (LPA): Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 - 48 jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada. Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan Isoniasid.
22
Gambar 1.3 Alur Diagnostik TB Resistan Obat. 10 Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR digunakan secara hirarki; pilih dahulu kelompok satu, kemudian secara berurutan pilihan terakhir kelompok 5, perlu diketahui kelompok 4 tidak tersedia di Indonesia. a. Kelompok 1 : OAT lini 1. Isoniazid (H), Rifampisin (R), Etambutol (E), Pirazinamid (Z), Rifabutin (Rfb). b. Kelompok 2 : Obat suntik. Kanamisin (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin (Cm), Streptomisin (S). c. Kelompok 3 : Fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx), Ofloksasin (Ofx).
23
d. Kelompok 4 : Bakteriostatik OAT lini kedua : Etionamid (Eto), Protionamid (Pto), Sikloserin (Cs), Terzidone (Trd), PAS. e. Kelompok 5: Obat yang belum diketahui efektivitasnya : Klofazimin (Cfz), Linezolid
(Lzd),
Amoksiclav
(Amx/clv),
Tiosetazone
(Thz),
Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr). 11 Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :10
Km – Eto – Lfx – Cs – Z(E)/ Eto – Lfx – Cs – Z – (E) - Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratories - Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal. - Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten - Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada : Pasien TB MDR yang didiagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah ada konfirmasi hasil uji resistensi M. tuberculocis dengan cara konvensional, paduan OAT akan disesuaikan Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloksasin diganti
dengan
moksifloksasin,
hal
tersebut
dilakukan
dengan
pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.
24
Terjadi efek samping berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal – hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut : Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut ; Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/ Mfx – Eto – Cs- PAS – Z – (E) Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan waspada
terhadap
kemungkinan
tendinitis/rupture
tendon
bila
menggunakan levofloksasin dosis tinggi. Jika pada pengobatan TB BDR tidak dapat menggunakan sikloserin, maka penggunaan sikloserin dapat diganti dengan PAS Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB-MDR/HIV memerlukan penatalaksanaan khusus Prinsip Paduan Pengobatan TB MDR - Setiap paduan obat TB MDR terdiri dari minimal 4 macam obat dengan efektifitas yang pasti atau hampir pasti - Dosis obat berdasarkan berat badan - Obat suntikan (kanamisin atau capreomisin) digunakan minimal selama 6 bulan dan 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
25
- Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan petugas kesehatan yang ditunjuk sebagai PMO - Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan piridoxin (vitamin B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin. - Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal, kecuali jika terjadi efek samping ataupun pada pasien TB MDR/HIV yang mendapatkan ARTY maka beberapa jenis obat diberikan dalam dosis terbagi seperti : PAS, sikloserin dan etionamid. Lama dan cara pemberian pengobatan - Lama pengobatan adalah minimal 18 bulan setelah konversi biakan. Pengobatan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Satuan bulan dimaksud adalah bulan sesuai dosis bukan bulan kalender. Satu bulan pengobatan adalah apabila pasien mendapatkan 28 dosis pengobatan (1 bulan = 4 minggu = 28 hari) - Cara Pemberian Obat Tahap awal : suntikan diberikan 5 kali seminggu, baik selama rawat inap dan rawat jalan. Obat peroral diminum / ditelan 7 kali dalam seminggu didepan petugas kesehatan. Tahap lanjutan : obat oral diberikan dan diminum/ditelan setiap 6 kali dalam seminggu di depan petugas kesehatan. - Cara menentukan lama pengobatan Tahap awal, lama pengobatan adalah : Rumus : a + 4 bulan, Dimana a = bulan pertama tercapai konversi biakan Lama tahap awal minimal 6 bulan. Bila sampai bulan ke 8 pasien tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal. Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjut adalah total lama pengobatan dikurangi dengan lama pengobatan tahap awal Total lama pengobatan adalah : Rumus : a + 18 bulan 26
Dimana a = bulan pertama tercapai konversi biakan Setiap pemberian suntikan maupun obat oral selama masa pengobatan dibawah pengawasan petugas kesehatan yang berperan sebagi PMO. Untuk peran pengawasan ini dapat dibantu oleh pendamping PMO yang bisa berasal dari pasien yang sudah sembuh, kader kesehatan atau sukarelawan lain yang terlatih. 10
27
BAB III LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien Nama
: Ny. I
Umur
: 70 Tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Desa Tawaeli
Pekerjaan
: IRT
Agama
: Islam
Pendidikan Terakhir
: SMA
II. Anamnesis Keluhan Utama : Sesak Napas Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari yang lalu, pasien juga mengalami batuk yang dialami sejak ± 7 bulan lalu, batuk disertai dahak berwarna kuning, pernah disertai darah sekitar 2 bulan yang lalu namun hanya berupa bercak – bercak. Berkeringat malam (+), penurunan berat badan (+), dan mudah lelah. Demam (+) dialami sekitar 5 hari SMRS, mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (+), pusing (+), sakit kepala (-), BAB dan BAK lancar. Riwayat Penyakit terdahulu:
Riwayat TB BTA (+) dan menjalani
pengobatan OAT sejak 5 bulan yang lalu namun putus 1 minggu yang lalu. Riwayat Penyakit Keluarga: DM (-), HT (-), Kolesterol (-), As. Urat (-) III. Pemeriksaan Fisis Keadaan umum : SP : CM/SS/UNDERWEIGHT BB: 37 Kg / TB: 150 cm / IMT: 16,4 kg/m2 Vital Sign: Tekanan Darah
: 110/60mmHg Pernapasan : 34 Kali/Menit
Nadi
: 92 Kali/Menit Suhu
: 37,9℃
28
Kepala: Wajah
: Tampak pucat, Oedem palpebra (-)
Deformitas : (-) Bentuk
: Normocepal
Mata
: - Konjungtiva
Mulut
: Anemis -/-
- Sklera
: Ikterik -/-
- Pupil
: Isokor kiri = kanan (2-3 mm)
: Sianosis (-), Stomatitis (-)
Leher: Kelenjar Getah Bening : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-) Kelenjar Tiroid
: Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
JVP
: R5 +2 cmH2O
Massa Lain
: (-)
Thorax: Paru – paru : - Inspeksi
: Bentuk simetris ki=ka, Retraksi otot pernapasan (+)
- Palpasi
: Vokal fremitus ka = ki, Nyeri tekan (-), Massa lain (-)
- Perkusi
: Sonor pada semua lapang paru, Nyeri ketok (-)
- Auskultasi : Vesikuler+/+, Rh +/+, Wh -/Jantung: - Inspeksi
: Ictus Cordis terlihat
- Palpasi
: Ictus Cordis teraba
- Perkusi
: Pekak, Batas jantung atas linea sternalis sinistra SIC2 Batas jantung kanan parasternal dextra SIC4 Batas jantung kiri Axillaris Anterior sinistra SIC5
- Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni reguler Bunyi jantung tambahan (-) Abdomen: Inspeksi
: Cekung, Massa (-), Cicatrix (-)
Auskultasi
: Peristaltik Usus (N), Bising Aorta Abdominalis (-)
29
Perkusi
: Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi
: Nyeri tekan epigastrium (+), Pembesaran Organ (-), Massa Lain (-)
Extremitas: Atas
: Akral hangat, oedem (-), ulcus (-)
Bawah
: Akral hangat, Oedem (-), ulcus (-)
IV. Resume :
Pasien perempuan usia 70 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 3 hari yang lalu, batuk disertai dahak berwarna kuning sejak 7 bulan lalu, hemoptisis 2 bulan yang lalu namun hanya berupa bercak – bercak. Berkeringat malam (+), penurunan berat badan (+), dan mudah lelah. Febris (+) dialami sekitar 5 hari SMR, nausea (+), nyeri epigastrium (+). Pasien memiliki riwayat diagnosis TB BTA (+) dengan pengobatan OAT selama 5 bulan putus 1 minggu yang lalu, Dari pemeriksaan TTV ditemukan TD: 110/60 mmHg, N: 92x/menit, P: 34x/menit, S: 37,9°C, IMT: 16,4. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi otot pernapasan, auskultasi didapatkan bunyi rhonki positif pada kedua apeks paru, dan didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium.
V. Diagnosis Kerja : TB paru gagal terapi + suspek TB MDR + Dyspepsia VI. Diagnosis Banding : Bronkhitis Kronik, bronkiektasis VII. Penatalaksanaan : IVFD RL 24 tpm O2 3-4 L Inj. Ranitidin amp 1 amp/12 jam/IV Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam/IV Inj. Dexamethason /8 jam/IV Codein 20 mg 3 x 1/2 Neurodex 2 x 1 OAT kategori II Rifampisin Izoniazid
30
Pirazinamid Etambutol Streptomisin VIII. Pemeriksaan Penunjang : Darah Rutin
-
WBC
: 18,8 103/mm3
-
RBC
: 4,38 106/mm3
-
HCT
: 33,1 %
-
PLT
: 451 103/mm3
-
HB
: 10,2 g/dl
Kimia Darah GDS
: 121 mg/dl
Ureum
: 27,3 mg/dl
Kreatinin
: 0,72 mg/dl
Foto thoraks : KP dupleks lama aktif Sputum BTA (++)
IX. Anjuran Pemeriksaan : GenXpert XI. Diagnosis Akhir : TB Paru Failure Treatment XII. Prognosis : Dubia
31
BAB IV DISKUSI Pada kasus ini pasien masuk dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 3 hari yang lalu, batuk disertai dahak berwarna kuning sejak 7 bulan lalu, hemoptisis 2 bulan yang lalu namun hanya berupa bercak – bercak. Pasien juga mengeluh berkeringat malam, penurunan berat badan, mudah lelah, sesak nafas, nyeri dada, dan demam. Hal ini sesuai dengan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis bahwa gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 – 3 minggu bahkan lebih, dan dapat juga disertai dengan gejala tambahan seperti batuk disertai darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam. Gejala – gejala ini merupakan mekanisme reaksi tubuh terhadap agen infektif yang menyerang sistem tubuh. Berdasarkan riwayat penyakit terdahulu pasien, diperoleh data bahwa pasien telah didiagnosis positif menderita TB paru sejak 6 bulan lalu dan telah menjalani pengobatan sejak 5 bulan yang lalu namun putus seminggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis TB gagal terapi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA (++) pada bulan ke-5 pengobatan dan foto thoraks yang menunjukkan gambaran KP dupleks aktif pada kedua apeks paru. Maka dari itu pasien ini di berikan terapi OAT kategori 2 yaitu 2[HRZE]S/HRZE/5[H3R3E3] Regimen obat yang diberikan pada pasien ini adalah OAT kategori 2 yaitu 2 [HRZE]S/HRZE/5[H3R3E3]. Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E) diminum setiap hari selama 2 bulan sedangkan Streptomisin (S) disuntikkan setiap hari selama 2 bulan. Setelah itu, Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E) diminum setiap hari selama 1 bulan , dan Isoniazid (H), Rifampisin (R) bersama Ethambutol yang diminum setiap tiga kali seminggu selama 5 bulan berikutnya. Isoniazid dan rifampisin disebut sebagai bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Isoniazid merupakan obat yang paling aktif untuk mengobati
32
tuberkulosis yang disebabkan oleh strain – strain yang rentan dengan cara menghambat sintesis dari mycolic acid, yang merupakan komponen penting dari dinding sel mikrobakteri. Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M.tuberkulosis juga mematikan kuman yang “dorman” selama fase pembelahan singkat. Penggunaannya pada terapi TBC dibatasi oleh harganya yang cukup mahal. Manfaat utamanya terletak pada terapi yang dapat dipersingkat dari 2 tahun menjadi 6-12 bulan. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu . Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering adalah penyakit kuning (icterus), terutama bila dikombinasikan dengan isoniazid yang juga agak toksik terhadap hati. Pyrazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam (pH 5 – 6). Mekanisme kerjanya berdasarkan pengubahannya menjadi asam pirazinatoleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Begitu PH dalam makrofag diturunkan, maka kuman yang berada di sarang infeksi yang menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh isoniazid. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif; pada fase pemeliharaan hanya bila terdapat multiresistensi. Etambutol bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel. Ethambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. 15,16 Pada kasus kronik atau gagal pengobatan seperti pada kasus ini hal yang harus dilakukan adalah dengan metode diagnosis konfirmatif TB melalui pemeriksaan kultur. Semua pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB sebelumnya (pasien TB gagal baik kategori 1 atau kategori 2, loss to follow up, dan relaps/kambuh) harus diperiksa dengan GeneXpert terlebih dahulu sebelum
33
memulai pengobatan TB kategori-2. Jika tidak memungkinkan sekaligus dilakukan pemeriksaan GeneXpert, maka pemberian OAT kategori-2 diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan GeneXpert. Jika hasil pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil TB RR, maka paduan OAT langsung diganti dengan OAT MDR. Demikian juga untuk pasien TB yang tidak mengalami konversi, harus segera diperiksa GeneXpertnya, sambil meneruskan pengobatan tahap lanjutan. 10 Metode kultur standar untuk diagnosis TB, selain berguna untuk diagnosis konfirmatif atau definitif juga berperan penting pada uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap anti tuberkulosis (OAT). Selain itu, dapat digunakan sebagai monitoring maupun deteksi kasus resistensi – MDR (Multi Drug Resistant) dan untuk mengatasi kesulitan diagnosa pada kasus TB koinfeksi HIV yang sering dilaporkan dengan BTA negatif. Pemeriksaan laboratorium secara kultur dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test). Metode konvensional menggunakan media padat maupun cair, berfungsi untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT lini kedua. Sedangkan tes cepat (rapid test) menggunakan 2 metode yaitu Xpert MTB/RIF atau GeneXpert yang merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin dimana hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam dan digunakan untuk uji kepekaan terhadap rifampisin. Metode kedua yaitu menggunakan Line Probe Assay (LPA) atau Hain test/Genotype MTB DR plus dimana hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 - 48 jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada dan digunakan untuk uji kepekaan terhadap rifampisin dan isoniasid. 10,17
34
BAB V DAFTAR PUSTAKA
1. Suharyo. Determinasi Penyakit Tuberkulosis Di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 9: 85-91; 2009. 2. World Health Organization. Global tuberculosis Report 2014. Geneva : World Health Organization; 2014. 3. Dooley, K, et al. Risk Factors for tuberculosis Treatment Failure, default, or relapse and Outcomes of Retreatment in Morocco. BMC Public Health 11: 40; 2011. 4. Behera D, Balamugesh. Profile of Treatment Failure in TuberculosisExperience from as Tertiary Care Hospital. Lung India 23:103-105:8385;2006 5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. 6. Wijaya, A,A. Merokok dan Tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8: 18 -22;2012 7. Amin, Z., & Bahar, A., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., Alwi, I., & Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 2230-2239
35
8. Wijaya, I Made K. Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Pasien Tuberkulosis. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III 2013. 9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 11. Soepandi, P.Z. Diagnosis dan Penatalaksaan TB – MDR. CDK edisi 180;2010. 12. World Health Organization. Multidrug and extensively drug-resistant TB (M/XDR-TB) Global report on surveillance and response. Geneva: WHO Press; 2010. 13. Burhan, Erlina. Tuberkulosis Multi-Drug Resistance (TB-MDR). Majalah Kedokteran Indonesia Voume 60 Nomor 12; 2010. 14. World Health Organization. Definitions and Reporting Framework for Tuberculosis. Geneva: WHO Press; 2013. 15. Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011 16. Tjay, T.H., Kirana R. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Ke Enam. Jakarta: Gramedia;2009. 17. Suliati. Kultur Bifasik Agar-Darah Sebagai Alternatif Metode Cepat dan Sensitif Untuk Deteksi Mycobacterium Tuberculosis. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan Jilid 1;2012
36