Tau Hid

  • Uploaded by: Abdul Kahar
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tau Hid as PDF for free.

More details

  • Words: 8,436
  • Pages: 26
1 Tauhid 1. Takut Kepada Allah Rasulullah SAW bersabda: ”Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon”. 2. Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya Seorang hamba yang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, maka hal itu akan menuntut keinginan menaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya. 3. Allah SWT, Maha Tahu Atas Objek Yang Diketahui Alam tidak bisa lepas dari dua alternatif, pertama alam ada penciptanya, dan alam tidak ada penciptanya. Kalau alam ada penciptanya tentu Sang Pencipta tidak bisa terlepas dari dua alternatif, salah satunya bahwa Dia mesti tahu tentang Apa yang Dia ciptakan. 4. Allah SWT, Maha Berkehendak Atas Apa Yang Wujud Pada bagian ini, kita akan membicarakan masalah Kehendak (Iradah). Dimana masalah ini menjadi suatu polemik yang cukup serius. Karena masalah ini pula, sehingga terjadi kevakuman. Oleh karena itu, insya Allah kami ingin menjelaskan persoalan ini secara rinci. 5. Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih) Iman kepada Allah SWT memiliki tingkatan dan cara yang berbeda-beda. Tauhid muncul sebagai penetralisir dari penyimpangan yang mungkin terjadi.

2 1. Takut Kepada Allah Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon". Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya". Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur." Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu. Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut." Dikisahkan bahwa di tengah Bani Israil ada seorang ahli ibadah yang memiliki keluarga. Lalu, dia tertimpa kelaparan sehingga badannya menggigil. Istrinya pergi untuk mencari makanan bagi keluarganya. Kemudian, dia sampai di rumah seorang saudagar itu makanan untuk keluarganya. Saudagar itu berkata, "Ya, tapi serahkanlah dirimu kepadaku."

3 Perempuan itu terdiam dan kembali ke rumahnya. Dia perhatikan keluarganya yang sedang menjerit kelaparan dan berkata, "Ibu, kami akan mati karena kelaparan. Berikanlah sesuatu yang dapat kami makan." Perempuan itu pergi lagi ke rumah saudagar tadi dan mengabarkan keadaan keluarganya. Saudagar itu bertanya, "Maukah engkau memenuhi keperluanku?" Perempuan ltu menjawab, "Ya". Ketika mereka sedang berduaan, persendian si perempuan itu mengigil sehingga anggota-anggota tubuhnya hampir terlepas dari badannya. Melihat keadaan itu, sang saudagar bertanya, "Ada apa denganmu?" Perempuan itu menjawab, "Aku takut kepada Allah." Saudagar itu berkata, "Engkau saja takut kepada Allah SWT dengan kemiskinanmu. Aku lebih pantas untuk takut kepada-Nya daripada dirimu." Karena itu, dia menjauhi perempuan itu dan memenuhi kebutuhanya. Lalu, perempuan itu pulang menemui anak-anaknya dengan membawa kenikmatan yang banyak. Anak-anaknya pun sangat bergembira. Allah mewahyukan kepada Musa a.s., "Sampaikan kepada fulan bin fulan bahwa Aku telah mengampuni dosadosanya." Lalu, Musa a.s. menemui saudagar itu dan berkata, "Tampaknya engkau telah mengerjakan kebajikan diantara dirimu dan Allah." Kemudian, saudagar itu menceritakan kisahnya. Musa a.s. berkata, "Allah SWT Telah mengampuni dosadosamu." Demikianlah disebutkan di dalam Majma' al-Lathâif. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Allah SWT, berfirman, Pada hamba-Ku tidak berkumpul dua ketakutan dan dua rasa aman. Barangsiapa yang takut kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan keamanan kepadanya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang merasa aman kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan rasa takut kepadanya pada hari kiamat." Tentang hal itu, Allah SWT Berfirman; "Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku". (QS al-Mâ'idah [5]: 44). "Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS. Ali 'Imrân [3]: 175). 'Umar r.a. pernah jatuh pingsan karena takut ketika mendengar bacaan suatu ayat al-Qur'an. Pada suatu hari, dia mengambil sebatang jerami, lalu berkata, "Aduhai, alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut. Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku." Dia menangis terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Oleh karena itu, pada wajahnya ada garis bekas tetesan air mata. Nabi SAW bersabda, "Tidak masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali pada tetek."

4 Dalam Raqâ'id al-Akhbâr disebutkan: Hari kiamat didatangkan kepada hamba maka kejelekan-kejelekannya lebih banyak daripada kebaikan-kebaikannya. Lalu, dia diperintahkan ke neraka. Bulu matanya berkata, "Wahai Tuhanku, Rasul-Mu Muhammad SAW telah bersabda, Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah, Dia mengharamkannya pada api neraka. Lalu, aku menangis karena takut kepada-Mu." Karena itu, Allah mengampuni dan mengeluarkannya dari neraka dengan berkah sehelai bulu matanya yang ketika di dunia pernah menangis karena takut kepada Allah SWT. Jibril a.s. berseru, "Fulan bin fulan selamat karena sehelai bulu mata". Dalam Bidâyah al-Hidâyah disebutkan: Pada hari kiamat, didatangkan Neraka Jahanam yang nyalanya bergemuruh, dan setiap umat berlutut karena takut kepadanya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah SWT. Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya (QS. al-Jatsiyah [45]: 28). Ketika mendatangi neraka, mereka mendengar suara didih dan nyalanya. Gemuruh nyalanya terdengar hingga jarak perjalanan lima ratus tahun. Setiap para nabi berkata, "Diriku, diriku," kecuali Rasullullah SAW. Beliau berkata, "Umatku, umatku." Dari Neraka Jahim itu keluar api sebesar gunung. Umat Muhammad SAW berusaha mendorongnya. Mereka berkata, "Wahai api, demi hak orang-orang yang menegakkan shalat, yang bersedekah, yang khusyu' dan yang puasa, kembalilah." Namun, api itu tidak mati kembali maka dipanggillah Jibril a.s. Kemudian Jibril datang dengan membawa segelas air, lalu diberikan kepada Rasulullah SAW. Jibril berkata, "Wahai Rasulullah, ambillah ini, lalu siramkan pada api itu." Kemudian, beliau menyiramkannya pada api sehingga ketika itu pula api itu padam. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Ini air apa?" Jibril a.s. menjawab, "Ini adalah air mata orang-orang yang durhaka diantara umatmu. Mereka menangis karena takut kepada Allah SWT. Lalu, aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar disiramkan pada api itu, sehingga api itu menjadi padam dengan izin Allah SWT" Rasulullah SAW Berdoa, "Ya Allah, anugerahilah aku dengan dua mata itu tidak menjadi seperti yang digambarkan penyair: Mengapa mataku tak menangis karena dosa-dosaku, Umurku lepas dan tanganku tetapi aku tak tahu." Dikisahkan dari Muhammad bin al-Mundzir r.a. bahwa ketika dia menangis, wajah dan janggutnya dibasahi air mata. Dia berkata, "Telah sampai kabar kepadaku bahwa api neraka tidak akan membakar tempat-tempat yang pernah dibasahi air mata." Karena itu, hendaklah orang Mukmin takut akan azab Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsu. Allah SWT berfirman: "Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat

5 tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya". (QS an-Nazi'at [79]: 37 dan 41). Barangsiapa yang ingin selamat dari azab Allah dan memperoleh pahala dan rahmat-Nya, hendaklah dia bersabar atas kesengsaraan dunia dan ketaatan kepada Allah, serta menjauhi kemaksiatan. Dalam Zahr al-Riyâdh terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Beliau bersabda, "Apabila para penghuni surga masuk ke dalam surga, para malaikat menemui mereka dengan segala kebaikan dan kenikmatan. Para malaikat itu menempatkan mimbar-mimbar untuk mereka. Diberikan kepada mereka berbagai macam makanan dan buah-buahan. Terhadap kenikmatan ini, mereka keheranan; Allah bertanya, "Wahai hamba-hamba-Ku, mengapa kalian tampak keheranan? Ini bukan tempat untuk merasa heran." Mereka menjawab, "Sesuatu yang dijanjikan kepada kami telah tiba waktunya." Allah SWT berfirman kepada para malaikat, "Angkatlah hijab dari wajah mereka." Namun, para malaikat bertanya, "Wahai Tuhan kami, bagaimana mereka akan melihat-Mu, bukankah dulu mereka adalah orang-orang yang durhaka?". Allah SWT menjawab, "Angkatlah hijab, karena mereka adalah orang-orang yang selalu berzikir, bersujud, dan menangis di dunia karena ingin sekali-bertemu dengan-Ku." Lalu, hijab itu diangkat. Mereka memandang Allah, lalu menjatuhkan diri untuk bersujud kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah berfirman kepada mereka, "Angkatlah kepala kalian. Ini bukan tempat untuk beramal, melainkan tempat kemuliaan." Allah menampakkan diri kepada mereka tanpa diketahui bagaimana penampakan diri-Nya, dan dengan rasa bahagia berkata kepada mereka, "Salam sejahtera bagi kamu sekalian, wahai hamba-hamba-Ku. Aku telah ridla kepada kalian. Apakah kalian ridla kepada-Ku?" Mereka serentak menjawab, "Wahai Tuhan kami, bagaimana kami tidak ridla, padahal Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terpikirkan kalbu manusia." Inilah makna firman Allah SWT: "Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla terhadap-Nya". (QS Ali 'Imrân [3]: 119). (Kepada mereka dikatakan), "Salam," sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS Yâsîn [36]: 58).

6 2. Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya Seorang hamba yang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, maka hal itu akan menuntut keinginan menaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah SWT berfirman, Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu" (QS Ali 'Imran [3]: 31). Ketahuilah, wahai yang dikasihi Allah, bahwa kecintaan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah limpahan ampunan-Nya kepadanya. Ada yang mengatakan, apabila hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, cintanya hanya milik dan kepada Allah. Hal itu menuntut keinginan mentaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, mahabbah ditafsirkan sebagai keinginan untuk taat dan kelaziman mengikuti Rasulullah SAW dalam peribadatannya. Hal itu merupakan dorongan menuju ketaatan kepada-Nya. Al-Hasan r.a. berkata, "Beberapa kaum berjanji di hadapan Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, sungguh kami mencintai Tuhan kami.' Maka turunlah ayat di atas." Basyar al-Hâfî berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Beliau bertanya, 'Wahai Basyar, tahukah engkau, dengan apa Allah meninggikanmu diantara kawankawanmu?' "Tidak, wahai Rasulullah," jawabku. Beliau bersabda, 'Dengan baktimu kepada orang-orang saleh, nasihatmu kepada saudara-saudaramu, kecintaanmu kepada sahabat-sahabatmu dan pengikut Sunnahku, dan kepatuhanmu kepada Sunnahku.' Selanjutnya Nabi SAW bersabda, 'Barangsiapa yang menghidupkan Sunnahku, dia telah mencintaiku. Dan, barangsiapa yang mencintaiku, pada hari kiamat dia bersamaku di surga.'" Di dalam hadits masyhur disebutkan bahwa orang yang berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW ketika orang lain berbuat kerusakan dan terjadi pertikaian diantara para penganut mazhab, dia memperoleh pahala dengan seratus pahala syuhada. Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam. Nabi SAW bersabda, "Semua umatku masuk surga kecuali orang yang tidak menginginkannya." "Para sahabat bertanya, "Siapa yang tidak menginginkannya?" Beliau menjawab, "Orang yang mentaatiku masuk surga, sedangkan orang yang durhaka kepada-ku tidak menginginkan masuk surga. Setiap amalan yang tidak berdasarkan Sunnahku adalah kemaksiatan."

7 Seorang ulama sufi berkata, "Kalau Anda melihat seorang guru sufi terbang di udara, berjalan di atas laut atau memakan api, dan sebagainya, sementara dia meninggalkan perbuatan fardlu atau sunnah secara sengaja, ketahuilah bahwa dia berdusta dalam pengakuannya. Perbuatannya bukanlah karamah. Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian." Al-Junayd r.a. berkata, "Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali melalui Allah. Jalan untuk sampai kepada Allah adalah mengikuti al-Mushthafa SAW". Ahmad al-Hawari r.a. berkata, "Setiap perbuatan tanpa mengikuti Sunnah adalah batil. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang mengabaikan Sunnahku, haram baginya syafaatku." Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam. Ada seorang gila yang tidak meremehkan dirinya. Kemudian, hal itu diberitahukan kepada Ma'ruf al-Karkhi. Dia tersenyum, lalu berkata, "Wahai saudaraku, Allah memiliki para pencinta dari anak-anak, orang dewasa, orang berakal, dan orang gila. Yang ini adalah yang engkau lihat pada orang gila." Al-Junayd berkata, "Guruku al-Sari r.a. jatuh sakit. Kami tidak tahu obat untuk menyembuhkan penyakitnya dan juga tidak tahu sebab sakitnya. Dokter yang berpengalaman memberikan resep kepada kami. Oleh karena itu, kami menampung air seninya ke dalam sebuah botol. Lalu, dokter itu melihat dan mengamatinya dengan saksama. Kemudian dia berkata, Aku melihat air seni ini seperti air seni seorang pencinta ('âsyiq). 'Aku seperti disambar petir dan jatuh pingsan. Botol itu pun jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali kepada al-Sari dan mengabarkan hal itu kepadanya. Dia tersenyum dan berkata, 'Allah mematikan apa yang dia lihat.' Aku bertanya, 'Wahai guru, apakah mahabbah itu tampak jelas dalam air seni?' Dia menjawab, 'Benar.' Al-Fudhayl r.a. berkata, "Apabila ditanyakan kepadamu, apakah engkau mencintai Allah, diamlah. Sebab, jika engkau menjawab 'tidak', engkau menjadi kafir. Sebaliknya, jika engkau menjawab 'ya', berarti sifatmu bukan sifat para pencinta Allah maka waspadalah dalam mencintai dan membenci (sesuatu)." Sufyân berkata, "Barangsiapa mencintai orang yang mencintai Allah SWT, berarti dia mencintai Allah. Barangsiapa memuliakan orang yang memuliakan Allah SWT, berarti dia memuliakan Allah SWT." Sahl berkata, "Tanda kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada al-Qur'an. Tanda kecintaan kepada Allah dan al-Qur'an adalah kecintaan kepada Nabi SAW. Tanda kecintaan kepada Nabi SAW. adalah kecintaan kepada Sunnahnya. Tanda kecintaan kepada Sunnahnya adalah kecintaan kepada akhirat. Tanda kecintaan kepada akhirat adalah membenci keduniaan. Tanda kebencian kepada keduniaan adalah tidak mengambilnya kecuali sebagai bekal dan perantara menuju akhirat." Abu al-Hasan al-Zanjânî berkata, "Pokok ibadah itu adalah tiga anggota badan, yaitu telinga, hati, dan lidah. Telinga untuk mengambil pelajaran, hati untuk

8 bertafakur, sedangkan lidah untuk berkata benar, bertasbih, dan berzikir. Sebagaimana Allah SWT berfirman, "Berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang". (QS. alAhzab [33]: 41-42). Abdullah dan Ahmad bin Harb berada di suatu tempat. Lalu, Ahmad bin Harb memotong sehelai daun rumput. Kemudian, Abdullah berkata kepadanya, "Engkau mengambil lima hal yang melalaikan kalbumu dari bertasbih kepada Maulamu. Engkau membiasakan dirimu sibuk dengan selain zikir kepada Allah SWT. Engkau jadikan hal itu sebagai jalan yang diikuti orang lain, dan engkau mencegahnya dari bertasbih kepada Tuhannya. Engkau bebankan kepada dirimu hujjah Allah 'Azza wa jalla pada hari kiamat." Demikian dikutip dari Rawnaq al-Majâlis. Al-Sari r.a. berkata, "Aku bersama al-Jurjânî melihat tepung. Lalu, al-Jurjânî menelannya. Aku tanyakan hal itu kepadanya, 'Mengapa engkau tidak memakan makanan yang lain?' Dia menjawab, 'Aku hitung di antara mengunyah dan menelan itu ada tujuh puluh kali tasbih. Karena itu, aku tidak pernah lagi memakan roti sejak empat puluh tahun yang lalu. Sahl bin Abdullah makan setiap lima belas hari sekali. Ketika memasuki bulan Ramadlan, dia tidak makan kecuali sekali saja. Sekali-sekali dia menahan lapar hingga tujuh puluh hari. Apabila makan, badannya menjadi lemah. Namun jika lapar, badannya menjadi kuat. Dia beriktikaf di Masjidil Haram selama tiga puluh tahun tanpa terlihat makan dan minum. Dia tidak melewatkan sesaat pun dari berzikir kepada Allah. 'Umar bin 'Ubayd tidak pernah keluar dari rumahnya kecuali karena tiga hal, yaitu shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, dan melayat orang yang meninggal. Dia berkata, "Aku melihat orang-orang mencuri dan merampok. Umur adalah mutiara indah yang tidak ternilai maka hendaklah umur itu disimpan dalam lemari yang abadi di akhirat. Ketahuilah bahwa pencari akhirat harus melakukan kezuhudan dalam kehidupan dunia agar cita-citanya hanya satu dan batinnya tidak terpisah dari lahirnya. Tidak mungkin menjaga keadaan itu kecuali dengan penguasaan lahir dan batin." Ibrahim bin al-Hakim berkata, "Apabila hendak tidur, bapakku sering menceburkan diri ke laut, lalu bertasbih. Ikan-ikan hiu pun berkumpul dan ikut bertasbih bersamanya." Wahab bin Munabbih berdoa kepada Allah agar dihilangkan rasa kantuk pada malam hari. Karena itu, dia tidak pernah tidur selama empat puluh tahun. Hasan alHallaj mengikat kakinya dari mata kaki hingga lutut dengan tiga belas ikatan. Dia menunaikan shalat dalam keadaan seperti itu sebanyak seribu rakaat dalam sehari semalam.

9 AI-Junayd pernah pergi ke pasar dan membuka tokonya. Dia masuk, menurunkan tirai, menunaikan shalat empat ratus rakaat, kemudian pulang. Selama empat puluh tahun Habsyi' bin Dawud menunaikan shalat dluha dengan wudlu untuk shalat 'isya maka hendaklah orang-orang Mukmin selalu dalam keadaan suci. Setiap kali berhadas, bersegeralah bersuci, shalat dua rakaat, dan berusaha menghadap kiblat dalam setiap duduknya. Hendaklah dia membayangkan bahwa dirinya sedang duduk di hadapan Nabi SAW, menurut kadar kehadiran dan pengawasan batinnya. Dengan demikian, dia terbiasa tenang dalam segala perbuatan. Dia rela menanggung penderitaan, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti (orang lain), dan memohon ampunan dari setiap hal yang menyakitkan. Dia tidak membanggakan diri dan perbuatannya, karena bangga diri ('ujb) termasuk sifat-sifat setan. Pandanglah diri dengan mata kehinaan dan pandanglah orang-orang saleh dengan mata kemuliaan dan keagungan. Barangsiapa yang tidak mengenal kemuliaan orang-orang saleh, Allah mengharamkannya bergaul dengan mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengenal mulianya ketaatan, dicabutlah manisnya ketaatan itu dari kalbunya. Al-Fudhayl bin 'Iyadh ditanya, "Wahai Abu' Al-Fudhayl, kapan seseorang bisa dikatakan orang saleh?" Dia menjawab, "Apabila ada kesetiaan dalam niatnya, ada ketakutan dalam kalbunya, ada kebenaran pada lidahnya, dan ada amal saleh pada anggota tubuhnya." Allah Swt. berfirman ketika Nabi Saw. melakukan mikraj, "Wahai Ahmad, jika engkau ingin menjadi orang yang paling wara, berlaku zuhudlah di dunia dan cintailah akhirat, "Nabi Saw. bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku berlaku zuhud di dunia?" Allah menjawab, " Ambillah dari keduniaan itu sekadar memenuhi keperluan makan, minum, dan pakaian. Janganlah menyimpannya untuk hari esok dan biasakanlah berzikir kepada-Ku." Nabi SAW bertanya lagi, "Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku membiasakan berzikir kepada-Mu?" Allah menjawab, "Dengan mengasingkan diri dari manusia. Gantilah tidurmu dengan shalat dan makanmu dengan lapar." Nabi SAW bersabda, "Kezuhudan di dunia dapat menenangkan hati dan badan. Kecintaan kepadanya dapat memperbanyak tekad kuat dan kesedihan. Kecintaan kepada keduniaan merupakan induk setiap kesalahan, dan kezuhudan dari keduniaan merupakan induk setiap kebaikan dan ketaatan." Seorang saleh melewati sekelompok orang. Tiba-tiba dia mendengar seorang dokter sedang menerangkan tentang penyakit dan obat-obatan. Dia bertanya, "Wahai penyembuh penyakit tubuh, dapatkah engkau mengobati penyakit hati?" Dokter itu menjawab, "Ya, sebutkan penyakitnya." Orang saleh itu berkata, "Dosa telah menghitamkannya sehingga menjadi keras dan kering. Apakah engkau dapat mengobatinya?" Dokter menjawab, "Obatnya adalah ketundukan, permohonan yang sungguh-sungguh, istigfar di tengah malam dan siang hari, bersegera menuju ketaatan kepada Zat Yang Mahamulia dan Maha Pemberi ampunan, dan permohonan maaf kepada Raja Yang Mahakuasa. Inilah obat penyakit hati dan

10 penyembuhan dari Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." Lalu, orang saleh itu menjerit dan berlalu sambil menangis. Dia berkata, "Dokter yang baik, engkau telah mengobati penyakit hatiku." Dokter itu berkata, "Ini adalah penyembuhan penyakit hati orang yang bertaubat dan mengembalikan kalbunya kepada Zat Yang Mahabenar dan Maha Menerima taubat". Dikisahkan bahwa seseorang membeli seorang budak. Lalu budak itu berkata, "Wahai tuanku, aku ingin mengajukan tiga syarat kepada Anda. Pertama, Anda tidak menghalangiku untuk menunaikan shalat wajib apabila tiba waktunya. Kedua, Anda boleh memerintahku sesuka Anda pada siang hari, namun tidak menyuruhku pada malam hari. Ketiga, Anda memberikan kepadaku sebuah kamar di rumah Anda yang tidak boleh dimasuki orang lain." Pembeli budak itu berkata, "Aku akan memenuhi syarat-syarat itu." Selanjutnya dia berkata, "Lihatlah kamar-kamar itu." Budak itu pun berkeliling dan menemukan sebuah kamar yang sudah rusak, lalu berkata, "Aku mengambil kamar ini." Pembeli budak itu bertanya, "Wahai budak, mengapa engkau memilih kamar yang rusak?" Budak itu menjawab, "Wahai tuanku, tidakkah Anda tahu bahwa yang rusak itu di sisi Allah merupakan taman." Budak itu melayani tuannya pada siang dan malamnya dia beribadah kepada Tuhannya. Hingga pada suatu malam, tuannya berkeliling di sekitar rumahnya, lalu sampai dikamar budak itu. Tiba-tiba dia melihat kamar itu bercahaya, sementara budak itu sedang bersujud dan di atas kepalanya ada pelita dari cahaya yang tergantung di antara langit dan bumi. Budak itu bermunajat dan merendahkan diri (kepada Allah): Dia berdoa, "Ya Allah, aku memenuhi hak tuanku dan melayaninya pada siang hari. Kalau tidak begitu, niscaya aku tidak akan melewatkan siang dan malamku selain untuk berkhidmat kepada-Mu maka ampunilah aku, wahai Tuhanku." Tuannya menyaksikan hal itu hingga tiba waktu subuh. Pelita itu menghilang dan atap kamar itu pun menutup kembali. Lalu, dia kembali dan memberitahukan hal itu kepada istrinya. Ketika malam kedua tiba, dia mengajak istrinya dan mendatangi pintu kamar itu. Tiba-tiba mereka menemukan budak itu sedang bersujud dan ada pelita di atas kepalanya. Mereka pun berdiri di depan pintu kamar sambil memandangi budak itu dan menangis hingga tiba waktu subuh. Lalu, mereka memanggil budak itu dan berkata, "Engkau aku merdekakan karena Allah SWT sehingga engkau dapat mengisi siang dan malammu dengan beribadah kepada Zat yang engkau mohonkan maaf-Nya." Kemudian, budak itu menadahkan tangannya ke langit dan berkata, Wahai Pemilik segala rahasia kini rahasia itu telah tampak hidup ini tak lagi kuinginkan setelah rahasia itu tersebar.

11 Lalu dia berdoa, "Ya Allah, aku memohon kematian kepada-Mu." Budak itu pun tersungkur dan lalu meninggal. Demikianlah keadaan orang-orang saleh, serta para pencinta dan pendamba. Dalam Zahr al-Riyadh disebutkan bahwa Musa a.s. punya seorang karib yang sangat dekat. Pada suatu hari, karibnya berkata, "Wahai Musa, berdoalah kepada Allah agar aku dapat mengenal-Nya dengan makrifat yang sebenar-benarnya." Musa a.s. berdoa, dan doanya dikabulkan. Kemudian, karibnya pergi ke puncak gunung bersama binatang-binatang buas. Musa pun kehilangan dia maka Musa berdoa, "Wahai Tuhanku, aku kehilangan saudara dan karibku." Tiba-tiba ada jawaban, "Wahai Musa, orang yang mengenal-Ku dengan makrifat yang sebenarbenarnya tidak bergaul dengan makhluk untuk selama-lamanya." Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Yahya a.s. dan Isa a.s. sedang berjalan di pasar. Tiba-tiba seorang perempuan menabrak mereka. Yahya a.s. berkata, "Demi Allah, aku tidak merasakannya." Lalu Isa a.s. bertanya, "Mahasuci Allah, badanmu ada bersamaku. tetapi kalbumu ada di mana!" Yahya a.s. menjawab, "Wahai anak bibiku, kalau kalbu merasa tenteram kepada selain Allah sekejap mata pun, niscaya engkau mengira aku tidak mengenal Allah." Seorang ulama berkata, "Makrifat yang benar adalah menceraikan dunia dan akhirat, dan menyendiri untuk Maula. Dia mabuk karena tegukan mahabbah. Karena itu, dia tidak sadar kecuali ketika melihat Allah. Dia berada di atas cahaya dari Tuhannya."

12 3. Allah SWT, Maha Tahu Atas Objek Yang Diketahui Alam tidak bisa lepas dari dua alternatif, pertama alam ada penciptanya, dan alam tidak ada penciptanya. Kalau alam ada penciptanya tentu Sang Pencipta tidak bisa terlepas dari dua alternatif, salah satunya bahwa Dia mesti tahu tentang Apa yang Dia ciptakan. Orang-orang yang meyakini tentang Sang Pencipta telah bersepakat, bahwa Allah SWT adalah Mahatahu . Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang apa yang diketahui-Nya. Apakah Ilmu-Nya akan menambah-Nya ataukah tidak? Kesepakatan untuk menetapkan tentang Ilmu Allah sudah cukup, lalu kami ingin menambahkan keterangan, bahwa alam tidak bisa lepas dari dua alternatif: pertama, alam ada Penciptanya atau alternatif kedua, bahwa alam tidak ada Penciptanya. Kalau alam ini tidak ada Penciptanya, tentu apa yang telah kami sampaikan di muka tidak benar. Sementara kalau ada Penciptanya, tentu Sang Pencipta tersebut tidak bisa lepas dari dua altematif: Dia menciptakan, dan tahu atau tidak terhadap apa yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan, bahwa Dia menciptakannya dan tidak tahu tentang apa yang Dia ciptakan, karena Dia terpaksa atau bodoh, tentu pernyataan demikian adalah tidak benar, sebab hal itu mustahil, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dengan demikian tinggal satu alternatif, yakni Dia mesti tahu tentang apa yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan Dia Mahatahu , hanya saja Dia tahu secara global (totalitas) dan bukan secara parsial. Sebab kalau secara parsial akan mengakibatkan Ilmu-Nya huduts, akibat Dia harus mengetahui apa yang baru terjadi. Akan tetapi hal itu tidak benar, sebab huduts tidaklah berbeda-beda. Kalau pernyataan itu benar, tentu kalau ada sesuatu yang sangat kecil terwujud tanpa sepengetahuan-Nya tentu bisa saja terjadinya langit tanpa sepengetahuan-Nya juga. Kalau dikatakan, "Kami bisa menerima, bahwa Sang Pencipta tidak akan menciptakan sesuatu kalau Dia tidak tahu tentang apa yang Dia ciptakan tersebut. Akan tetapi para malaikat yang diserahi tugas untuk mengurus hal tersebut mengetahui obyek yang diketahui secara mandiri. Dan inilah tingkat kemiripan sifat-sifat mereka dengan Sang Pencipta." Kami jawab, bahwa hal itu sangat mustahil, sebab Sang Pencipta SWT menurut Anda hanyalah akal murni. Sementara akal murni yang bersih dari materi disyaratkan harus tidak bodoh terhadap obyek yang diketahui. Kebodohan yang terjadi pada manusia itu, karena ia dalam materi, sehingga karena disibukkan oleh suatu materi, ia pun tidak akan tahu terhadap yang lain. Anda telah tahu, bahwa langit -menurut pendapat Anda - tahu tentang apa yang dapat diketahui secara parsial, lalu mengapa Anda tidak mengharuskan hal itu untuk Allah SWT sebagaimana menetapkannya untuk langit? Kalau mereka menjawab, "Karena hal itu akan mengakibatkan terjadinya sesuatu yang baru (huduts) pada Dzat Allah." Maka dari jawaban tersebut, kami dapat meluruskan, "Tidak harus demikian, sebab IImu-Nya adalah Qadim (Mahadahulu tanpa awal) .Dia mengetahui apa yang bakal terjadi dari berbagai formulasi dan

13 transformasi alam sampai titik terakhir. Dan atas dalil Anda, dari sisi mengetahui berbagai sebab yang pertama tentu akan mengetahui sebab-sebab berikutnya dan seterusnya, karena orang yang tahu, tentu ia tahu apa penyebabnya. Sedangkan segala sesuatu yang terjadi tentu ada sebab musababnya, demikian seterusnya hingga titik akhir dari suatu rangkaian. Lalu sifat baru (huduts) dan perubahan (taghayyur) itu terjadi terhadap semua makhluk (hawadits). Sementara hal itu akan berlangsung sesuai dengan IImu-Nya, sehingga IImu-Nya adalah satu dan tidak berubah. Sedangkan perubahan yang terjadi itu hanya dari sisi, bahwa Dia tahu tentang perubahan tersebut, dan itu terjadi secara sistematis." Kalau ada pertanyaan, "Apakah IImu-Nya akan menambah pada Dzat-Nya, ataukah IImu itu sendiri juga Dzat?" Kami jawab, "Kelompok Mu'tazilah memang berpendapat, bahwa Dzat-Nya adalah IImu itu sendiri. Sementara kelompok Asy'ariyyah dan sebagian besar kelompokkelompok yang lain berpendapat, bahwa IImu-Nya bukanlah Dzat-Nya. Sementara yang saya yakini adalah, bahwa Allah SWT Mahatahu, sedangkan dalil yang membuktikan Kemahatahuan-Nya sudah kami kemukakan sebelumnya Ini merupakan mukadimah dari mukadimah kedua Kalau sudah ditetapkan, bahwa Ilmu-Nya akan mengubah Dzat-Nya adalah mustahil, maka dengan demikian kita akan mengatakan, bahwa Ilmu itu tidak bisa lepas dari dua kemungkinan Ilmu-Nya adalah Dzat itu sendiri -sementara saya tidak berkeyakinan- seperti ini. Atau kemungkinan kedua, bahwa ilmu itu tambahan dari Dzat Dan inilah aliran (madzhab) yang Anda ikuti. Kalau Ilmu-Nya itu tambahan dari Dzat, tentu tidak dapat lepas, dari tiga alternatif Ilmu itu lepas dan berdiri sendiri tanpa Dzat, atau Ilmu itu adalah sesuatu yang harus wujud (wajibul-wujud), atau Dzat itu menjadi syarat Ilmu. Kalau sekarang Ilmu itu lepas dari Dzat dan berdiri sendiri, dan itu merupakan sesuatu yang qadim, maka akan ada dua Tuhan, Yaitu Dzat dan Ilmu, sedangkan hal tersebut adalah mustahil. Kalau ada pertanyaan, "Apakah Dzat merupakan persyaratan Ilmu?" Maka kami jawab, "Kalau demikian, maka ia tidak bisa lepas dari dua kemungkinan. Ia sesuatu yang qadim atau ia sesuatu yang baru (huduts), Kalau ia qadim tentu tidak dapat dibenarkan bila sesuatu yang qadim menjadi syarat qadim yang lain. Kalau Ilmu itu sesuatu yang huduts, maka tidak bisa lepas dari dua altematif, ia berada pada Dzat Sang Pencipta atau pada yang lain Kalau Ilmu yang huduts berada pada Dzat Sang Pencipta, tentu pada Dzat-Nya terdapat sesuatu yang baru, dan ini tidak benar. Kalau Ilmu berada pada selain Dzat Sang Pencipta, berarti Ilmu itu bukan termasuk Sifat-sifat-Nya." Kalau ditanya, "Ini berarti sama dengan aqidah kelompok Mu'tazilah?"

14 Saya jawab, "Kami dapat membedakan antara aqidah mereka dengan aqidah yang kami yakini. Dimana kami berkeyakinan, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, baik secara global maupun parsial, dan tidak boleh dikatakan, bahwa Ilmu-Nya adalah Dzat-Nya itu sendiri dan lain sebagainya. Sebab ketentuan untuk memberikan Nama kepada Sang Pencipta secara mutlak adalah cara yang ditempuh oleh syari'at, dan tidak ada ketentuan syari'at yang menunjukkan, bahwa Ilmu-Nya adalah tambahan dan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Akan tetapi hal itu disebutkan secara mutlak. Sementara banyak alasan rasional yang menunjukkan, bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui. Dan tidak dapat dibenarkan bila Ilmu-Nya wujud secara qadim dan berdiri sendiri, tidak butuh kepada Sang Pencipta SWT. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, bila Ilmu itu qadim tapi butuh syarat."

15 4. Allah SWT, Maha Berkehendak Atas Apa Yang Wujud Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya, maka tujuan dan maksud untuk mewujudkan itu disebut. Pada bagian ini, kita akan membicarakan masalah Kehendak (Iradah). Dimana masalah ini menjadi suatu polemik yang cukup serius. Karena masalah ini pula, sehingga terjadi kevakuman. Oleh karena itu, insya Allah kami ingin menjelaskan persoalan ini secara rinci. Kehendak secara hakiki dan makna yang dapat dipahami adalah kesepakatan jiwa untuk melakukan perbuatan ketika terwujudnya kekuatan emosional. Lalu di dalam kekuatan imajinasi terdapat sesuatu yang menggerakkan untuk melakukan pekerjaan tersebut karena adanya sesuatu yang disenangi atau ditakuti. Akan tetapi definisi seperti ini mustahil bagi Dzat Sang Pencipta, Allah SWT Dengan demikian, Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya. Maka tujuan dan maksud untuk mewujudkan sesuatu itu disebut Kehendak. Dan pada hakikatnya hal itu bisa diartikan sebagai munculnya suatu perbuatan dari kekuatan, sehingga menjadi suatu perbuatan. Sementara telah dibuktikan dengan dalil, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Dia Yang menciptakan alam semesta, dan sudah kita kukuhkan, bahwa alam ini akan selalu butuh kepada-Nya. Hal itu juga telah kita sepakati, sekalipun mereka menyebutnya sebagai sebab (illat), tapi mereka telah menetapkan, bahwa alam tidak akan eksis tanpa Sang Pencipta. Dia juga Maha Mengetahui alam ini. Sedangkan Ilmu-Nya tentang hal-hal yang Dia ketahui, baik yang telah terjadi, sedang dan bakal terjadi adalah satu cara dan bentuk yang tidak akan berubah. Dia tidak akan bodoh dan juga tidak akan lupa. Ilmu, bila dikaitkan dengan-Nya maka Ilmu itu sebelum pekerjaan dan juga setelahnya untuk selama-lamanya. Kemudian Ilmu bila dikaitkan dengan apa yang bakal terjadi dari sisi apa yang diketahui, maka obyek yang diketahui dibedakan menjadi apa yang telah dan bakal terjadi. Sementara yang bakal terjadi tetap berada dalam kekuatan, sedangkan yang sudah terjadi telah keluar menjadi suatu pekerjaan. Akhirnya yang berubah adalah kondisi obyek yang diketahui, dan bukan Ilmu-Nya. Ini adalah kaidah yang cukup sempurna bila Anda memahami tingkatan ini. Apabila ditetapkan demikian, maka segala yang ada dalam "Kekuatan" Iradah-Nya adalah yang bakal terjadi. Maka Allah SWT adalah Maha Berkehendak untuk mewujudkan sesuatu, dari sisi, bahwa Dia-lah Yang mensistematisasi seluruh sebab yang berlaku sesuai dengan Ilmu-Nya. Oleh karena itu, segala sebab akan sesuai dengan apa yang telah Dia ketahui, sehingga kehendak secara mutlak dalam bahasan ini dapat diartikan, bahwa apa yang dikehendaki itu telah diketahui.

16 Sementara sistem analogi akan menyatakan, bahwa segala yang dikehendaki itu sudah diketahui. Lalu segala yang diketahui akan berjalan sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan segala yang Dia kehendaki akan berjalan sesuai dengan Ilmu Allah SWT. Apabila dibenarkan, bahwa Ilmu merupakan sebab dari yang Dia kehendaki di dalam "Kekuatan" Iradah-Nya, maka apa yang dilakukan akan mengikuti apa yang ada di dalam "Kekuatan", sedangkan masalahnya sudah jelas. Sehingga apa yang keluar telah menjadi perbuatan, maka kejadian (perbuatan) itu menunjukkan adanya ketetapan Allah terhadap kejadian tersebut. Sedangkan ketetapan tersebut adalah yang dituntut dengan Kehendak yang mengikut pada Ilmu. Kalau ada pertanyaan, "Lalu apakah yang diketahui itu terbatas atau tidak?". Kami jawab, "Pertanyaan ini butuh rincian terlebih dahulu. Maka si penanya harus menambahkan, bahwa yang terbatas adalah obyek yang diketahui. Maka suatu keharusan secara rasional, bahwa obyek yang diketahui itu dalam lingkup, sedangkan apa yang ada dalam suatu lingkup tentu terbatas, sementara yang terbatas tentu ada batas akhir. Dengan demikian obyek yang diketahui adalah berada dalam batas, baik obyek pengetahuan tersebut berada dalam Kekuatan Iradah atau sudah keluar menjadi pekerjaan. Dengan demikian, seluruh alam dalam lingkup lingkaran yang kesembilan dan seluruh yang ada di dalamnya, dari berbagai jenis, macam dan individu adalah terbatas dalam Ilmu Allah SWT". Kalau masih terus ditanya, "Ini dapat kita terima, akan tetapi sekarang pertanyaannya, apakah Sang Pencipta Maha Mengetahui tentang sesuatu yang tidak terbatas atau tidak?". Maka kita jawab, "Ini adalah pertanyaan yang mustahil, dilihat dari sisi tersebut, sebab seluruh obyek yang diketahui adalah terbatas, maka pertanyaan seperti ini sangat melenceng dari kebenaran". Kalau misalnya ditanya, "Apakah bisa dikatakan, ilmu layak membatasi terhadap apa yang tidak terbatas ataukah tidak?". Kami jawab, "Ilmu itu sendiri tidak dapat diterangkan dengan sifat seperti itu, kecuali bila dikaitkan dengan obyek yang diketahui. Kalau tidak, maka ciri khusus yang dimiliki oleh Ilmu itu tidak benar, tapi kalau dikaitkan dengan obyek yang diketahui, maka obyek tersebut akan terbatas. Dengan demikian, hanya dapat dikatakan satu cara, bahwa Ilmu itu qadim yang berkaitan, bahwa alam-alam saling berurutan, sehingga kalau dikaitkan dengan alam itu sendiri akan terbatas. Akan tetapi apabila keterbatasan itu dikaitkan dengan Ilmu Allah yang Qadim tentu tidak benar, sebab Ilmu-Nya itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak terbatas. Ini merupakan sumber kesalahan. Dan barangkali bagi orang yang tidak memahami hakikat masalah akan mengira, kalau obyek yang diketahui itu terbatas, tentu Ilmu Allah juga terbatas. Jauh sekali mereka mampu memahami hakikat sebenarnya.

17 Sementara yang dapat dikatakan terbatas adalah obyek yang diketahui, dilihat dari sisi ia dapat dibatasi, sehingga sebagian besar para ahli ilmu kalam berpendapat, bahwa cara itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak. Lalu bagaimana dengan Ilmu Sang Maha Pencipta SWT?. Sebab Ilmu Allah bukan dari sisi sifat baru ('aradl) atau jauhar. Maka bagaimanapun persoalannya, istilah terbatas atau tidak adalah bila dikaitkan dengan obyek yang diketahui dan tidak dikaitkan dengan Ilmu. Hal itu tidak mengurangi Kekuasaan Allah, dan juga tidak dapat dikatakan bahwa Dia tidak kuasa".

18 5. Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih) 1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah Firman Allah SWT, QS. an-Nisaa' (4): 136: Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasulNya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. al-Baqarah (2): 163, Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selainNya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255. Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24 Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti: "Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia." QS. alIkhlash (112): 1-4. Sabda RasululIah SAW: Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18). Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).

19 Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12. 2. Pengertian Iman Kepada Allah Iman kepada Allah ialah: 1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah; 2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya; 3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk). Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang. Makrifat Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu. Makrifat ialah: "Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam" untuk mengenal Allah, ialah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan "adanya Allah". memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu' dan khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya menetapkan: "Awwaluddini, ma'rifatullah permulaan agama, ialah mengenal Allah". Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan syairnya yang berbunyi: Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh. Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-'Ukbary dalam Kulliyiat-nya menulis: "ada dua martabat Islam: (l) di bawah

20 iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota". Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan al-Asy'ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan". Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: "Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada (hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaanNya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir). Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama. 3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah Mengakui ada-Nya Allah, ialah: "Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu". Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam ini. 4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam (al-Qur'an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah. Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu. 4.1. Aliran Kitab Tauhid Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam. Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:

21 (1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal. (2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'. (3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturutturut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, alBaidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi. Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur alMaturidi. Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2 1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil adaNya Allah atau dalailul wujud atau dalailut tauhid. 2. Lihat. 'Abdurrahman al-Jazairi Taudihul 'Aqa'id. 4.2. Pengertian Ilmu Tauhid Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud. Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus". Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas: [1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifatsifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya. [2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya. Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab mereka.

22 Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.3 3. Risalah Tauhid. 4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan karakter alam. Al-Qur'an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-Qur'an menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah akal bersaudara kembar dengan iman. Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmuNya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang mustahil pada akal. Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar. karena al-Qur'an menghargai akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan Mu'aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifatsifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.

23 Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk). Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4 4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi. 4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma'qulat). Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur'an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan nadhar. Diantara-nya ialah: Katakanlah ya Muhammad: "Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l). Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185). Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2). Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75). Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang

24 mewajibkan kita memakai qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as. 4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat (sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir. Tersebut dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda". memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis: "Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal". Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab), ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin terlepas dari akal ini. 4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan akal (rasio). Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda dari binatang. Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang diperoleh melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini. 4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.

25 Alasannya: [1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui. [2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar. [3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja. [4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss). 4.8. Akal Pokok Pengetahuan Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al'aqlu ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil. Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi. 1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir. Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal. Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan 'awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya. 2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya. Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga: - yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal). - yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara'). Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua, yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal. Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah

26 mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal. Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah, sedang akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar. Ta'abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa'ad dan wa'id. 4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera. Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat), adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya. Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: "Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".

Related Documents

Tau Hid
July 2020 4
Hid
November 2019 23
To Hid
November 2019 16
Alde Hid
June 2020 7
Hid A
October 2019 19
Hid Rodina Mika
June 2020 9

More Documents from ""