TARIAN KEHIDUPAN Tari adalah pertunjukan keindahan Tontonan bagi mereka yang tau sejatinya gerak adalah keteraturan yang bermakna Disetiap ketukan teriring hentakan memberinya warna indah tak terlihat Setiap hentakan disambut nada lain yang berbeda Dan suara pengiring tak pernah berhenti Namun dia bukanlah ruh Ruh tari adalah gerak Lambaian dan hentakan meluruh padu Menyatu memberi makna gembira, gelisah, marah, pasrah Seperti hidup yang bercerita Tarian adalah soneta Yang menyatukan cerita, keindahan dan makna Apakah kehidupan adalah sebuah tarian? Pejamkan mata dan jawablah Aris ”siwo”
KEINDAHAN Apa yang istimewa dari pelangi? Bukankah dia hanya lukisan setengah lingkaran yang berwarna? Apa yang hebat dari taburan kilau bintang? Bukankah ia hanyalah kilau sinar-sinar? Cantikah setiap gurat setengah lingkaran yang berwarna? Mempesonakah setiap kilau sinar-sinar? Mengapa tidak? Apakah karena dia bukan pelangi dan bintang? Apa sesungguhnya yang menjadikan pelangi dan bintang begitu indah? Jika pelangi dan bintang tertutup awan, tetapkah ia indah? Mengapa tidak? Tidak adakah kesejatian disana? Lantas mengapa keindahan itu menghilang?
Kesejatian bukanlah sesuatu yang redup dan menghilang karena sesuatu yang beda kesejatian adalah abadi kehidupan tanpa nadi dan kematian Keindahan itu sejati, karena keindahan itu sesungguhnya adalah hati Setiap insan memaknai keindahan dengan kacamata yang berbeda Pada objeknya sama, seribu makna mengiringinya Mengapa? Karena hati setiap insan berbeda Jika hati ini indah, maka segala rupa yang tampak adalah keindahan Tidak hanya pelangi dan tabur kilau bintang Tetapi semua yang terlihat dan terasa Dihati kita, pada keindahan yang kita ciptakan Aris ”siwo” KETULUSAN BUNGA Kumbang hisaplah tubuhku Hinggaplah meski rusak mahkotaku Menarilah diatas peraduanku, Tunjukkan keperkasaanmu Lalu terbanglah Kembalilah keperaduan Bernyanyi, Menari, Karena Tuhan telah menunggumu menciptakan kemujaraban Nikmati ketenaran, resap kenikmatanku Tetaplah menjadi yang terpercaya Tetaplah menjadi raja madu seribu madu Meski sarinya adalah darahku aris ”siwo”
SUNYI
Ruang-ruang hampa bergema Sekat-sekat lipatan terisi sesak Berendap kebutuhan menyeruak mendekap tega Melesakan keinginan menjadi penguasa Diantara yang bisa, ada yang tak terbiasa Menjadi terasing ditengah retak logika yang menggila Rasa ketulusan terasa gerah Yang terdengar hanyalah kewajaran untuk dapat diterima Ketika perbedaan dapat diterima Ketika kebutuhan menjadi standar tingkat peradaban Ketika mengajak disamakan memaksa Ketika topeng adalah wajah dunia Kemanakah kita akan berjalan? Mengikuti arus seribu mata air budaya Membatu merenungkan Ataukah mengarahkan arus mencapai muara Sunyi adalah nama yang tak terjamah Diam ditengah arus suara yang memenuhi kerongkongan Sunyi adalah pangkal lidah yang tertahan Terdiam diantara ribuan cabang lidah dunia Angka pecahan dibulatkan, subjektifitas di universalkan Dan sunyi tetap saja termarginalkan, Ditepi ruang tak terbaca, digelap bayang menghantuinya Sunyi menunggu waktu merenungi hidup setelah kehidupan dan sunyi dianggap gila, diantara dunia yang semakin membabibuta aris ”siwo”
DI PERHENTIAN Kesepiankah angin dalam desah jalannya? Bukankah dia saksi mata atas segala yang terjadi?
Tak ada kehidupan yang mampu bersembunyi, semua disaksikan dan diceritakan diseantero negeri Tak sejengkal tempatpun yang terlewati, dihuninya lembah, gunung, gang perkotaan, bahkan tanah persawahan yang dijauhi manusia kala malam datang Ingin aku menjadi angin, yang tahu segala peristiwa Yang senantiasa melalui jengkal demi jengkal hidup dengan petuah kebijakan Yang selalu dibutuhkan meski tak berwarna, tak berasa dan tak kasat mata Hanya ketulusan, hanya kesucian mengabdi lalui lurung takdirnya Aku ingin menjadi angin, sungguh aku ingin menjadi angin Yang tak pernah mengeluh ketika didesak-desakan untuk menyenangkan siapa saja Yang dihirup lalu dibuang, yang dikecam sebagai perusak namun sibuk diminta demi hujan Aku ingin menjadi angin Yang berlantaikan bumi dan beratap langit Yang bersaudara siang dan memperistri malam Namun aku bukanlah angin yang abadi Aku hanyalah musyafir tua Yang lelah lalui jalan panjang kehidupan Nafas ini serasa mereda, tak segarang dulu menentang malam, tak pula tangguh beradu musim Raut dikening, gurat tepi mata, dan berpuluh tanda penuaan adalah saksi Aku hanyalah musyafir yang bertepi Yang berusia sependek angka menyebut jumlahnya Dan aku hanyalah musyafir yang akan segera berhenti ditepi kehidupan Arissiwo 04,01,2009
MENGAPA HARI INI ADA Sejauh apakah kita akan melangkah lagi Seberapa lamakah waktu akan mengantarkan kita mengiring masa Langkah kita telah meninggalkan bekas
Terkadang kita ingin lekas menghapusnya karena sadar tak ada langkah sempurna yang dapat kita selesaikan Selalu saja meninggalkan luka bagi yang lainnya, atau bahkan bagi diri kita sendiri Dan penyesalan selalu setia pada kebiasaan lama Datang disaat akhir perjalanan Mengapa hari ini ada? Tanya saja pada Tuhan ”Tanya pada Tuhan?” Ya, tanya saja padaNya Karena Dialah sumber dari segala macam yang ada Arissiwo 04,01,2009
PESTA TAHUN BARU DI JALUR GAZA Kubelah hening diam malam Menyibak setiap ruas sunyi, menelusuri sendi waktu yang menepi Kosong, Diam tak bergeming Pesta tahun baru yang panjang...Bahkan terlalu panjang Lihat pesta disana, ditanah sebelah timur tengah Kembang api merah, dentuman keras yang menggetarkan Malam ini adalah malam pesta tumpah darah Demi perut, demi minyak, demi sejengkal tanah dan demi perebutan yang lainnya Adakah kesalahan kita memberi arti hidup sebagai kemenangan dan bukan sebagai kebersamaan? Ketika alam bergolak dan bencana melanda, si miskin dan si kaya akan bersatu melaluinya Si muslim, nasrani, yahudi, budha, hindu, dan yang lainnya akan bersatu padu senasib dan sepenanggungan Lihat gaza! Gaza memerah! Gaza! Selamatkan dia!
Disana ada saudara kita yang tersakiti Lihat Israel!dia menggila! Selamatkan! Selamatkan Israel! Dia saudara kita yang sedang sakit jiwanya! Jangan biarkan dia menjadi gila! Tidak ada yang harus dibunuh lagi, jangan taburi anak cucu kita dengan darah dendam berkepanjangan! Cukup sudah, cukup! Damailah di tanah Tuhan Jalur gaza adalah titipan Arissiwo 18 01 09 Data com AMORA
Aku bukanlah syair sakit hati, aku hanyalah saksi
suci. Kesucian rasa ,
perjuangan sebuah ketulusan. Lima tahun sudah berlalu, sepertinya tak ada yang terlewatkan. Sedih, duka, senyum, tawa. Aku adalah saksi diantara mereka. Dua rasa yang sebelumnya tak pernah ragu mengatakan bahwa mereka adalah pertautan satu jiwa. Yang sama-sama merasakan sakit ketika salah satu diantaranya tersakiti. Cerita telah berlalu, buku kehidupannya adalah aku, yang diam, yang menyaksikan. Aku adalah kejujuran yang terperikan kemunafikan rasa sakit yang ditahan. Aku adalah mereka, mereka adalah aku, karena mereka adalah aku yang satu, sang kisah yang dikubur air mata. Tujuh juli duaribu delapan, tigapuluh januari duaribu sembilan. Beberapa saat lagi enam tahun usia kami. Namun sepertinya... Tak ada lagi aku, yang ada hanyalah yang terpisah. Sakitkah? Kejamkah? Semua adalah aku yang menginjak akhir masa cerita. Kalimat kebohongan itu telah melukai hati, yang mencinta dengan kasih. Bukan karena harta, bukan karena kelelakian yang menguasa. Ketulusan yang tak tahu mengapa mereka saling mencinta. Sesuatu yang tak diukur dari seberapa banyak, rasa sayang yang tak dikarenakan wajah elok rupawan. Karena
semua akan musnah Akulah jiwa yang terbelah, jiwa yang terbunuh. Pecahan yang pernah dipersatukan. Ketulusan yang berakhir kejam. Betapa mudahnya kata maaf terlontar ketika sang hawa meminta, maaf aku salah melangkah, aku akan mengikuti kemanapun jalan yang akan kau tempuh, melalui meski duri adalah kepastian yang akan meninggalkan luka dilangkah berat perjuangan kita. Namun aku yakin, kamulah kasih sejatiku, yang mengerti aku, yang aku mengerti, yang akan membawa langkah-langkah kita selanjutnya menuju surga. Waktu berlalu berselang pagi.. kesalahan itu terulang, aku yang hidup dibunuh lagi, untuk... kesekian kali. Dan kata maaf kembali terdengar. Tak apa, karena aku memang mencintanya. Hatiku sepertinya tak pernah kering dari telaga kata maaf untuknya, bahkan aku memohon untuknya, memaafkan diri yang telah dibencinya karena langkah yang dianggapnya salah. Bukan, bukan kamu yang salah. Akulah yang tak mampu menjagamu, hingga langkah itupun kau tempuh karena rasaku yang tak semuanya tersampaikan lewat lisan, hanya terjaga hati. Adakah sesuatu yang tak mampu aku ungkapkan dengan untaian katakata indah? Tak ada yang percaya. Namun janjiku untuk menjadikanmu tokoh utama disana selalu saja sulit terwujud, bukan aku tak mau. Namun aku tak mampu menggambarkan betapa akulah ruh dalam raga sucimu. Tulang iga yang mungkin tak dipersatukan. Satu-satunya doa yang mungkin tak terkabulkan. Namun aku yakin, inilah ujian sebagai bukti betapa Tuhan menyayangi kita. Dan menjadikan semuanya sebagai batas ujian seberapa kukuh tali pengikat jiwa. Jika rapuh, pergilah, jika tulus pulanglah. Biarkan Tuhan menyelesaikan bangun rasa yang ada. Karena Dialah yang memberi pada kita, aku tak pernah meminta mencintamu, aku diberiNya. Akulah yang
meminta
untuk
membencimu,
namun
aku
tak
pernah
mendapatkannya. Biarlah Tuhan yang meletakan pena menuliskan cerita. Kalaupun aku perih, inilah pemberianNya, jika aku menangis, inilah airmata dariNya, jika aku pulang, biarlah.....jangan pernah menangis, jangan pernah memintaku lagi jika Tuhan bukan alasannya, aku telah menutup pintu hati ini, hanya untukNya aku ada. Demi senyummu aku rela. Hawa
yang
kucinta,
pergilah
jika
memang
itu
adalah
jalanmu.
Tinggalkanlah nestapa yang jangan pernah engkau rasa. Tinggalkanlah bersamaku
saja,
bukan
padamu,
biarkan
aku
yang
menanggung
semuanya. Kelemahanmu adalah aku, ketulusanmu adalah aku, dan aku rela menjadi tumbal kebahagiaanmu. Biarlah, biarlah aku yang merasa sepi, karena tak ada lagi suara yang selalu kunanti. Biarlah, biarlah gelap mengisi kebutaan, karena cahayamu terhalang kerasnya hati. Sayangku, kekasihku, istriku, pergilah.....pergilah dalam senyummu, pergilah meski luka adalah hanya aku yang layak merasakannya, sendiri. Biarlah asap yang menjadi teman akhirku, bukan genggamanmu, bukan pertaruhan nyawamu. Biarlah aku menjalani cerita akhir hidupku, dalam perenungan, dalam kesendirian. Karena tak ada yang sepertimu. menyayangiku, mengerti aku. Bukan areta, bukan shafa, bukan apapun, bukan siapapun, bukan cita-cita, bukan mimpi. akulah aku yang sejujurnya, yang telah terhapus dari cita dan mimpi. Akulah aku, sendiri
MALAM BERDOSA Rugikah aku malam ini Hening yang kering dari alunan dzikir Waktu mengalir seperti kemarin, meniti waktu tanpa terasa tangga-tangga peralihannya Bumbung isi kepala mengelana meniti dosa Tak terbendung, tak terjaga Penuhi bejana dengan puing-puing dosa Akukah pendosa bagiMu ya Rabb Pendosa yang tak kunjung bersujud taubat Akukah pembangkang bagiMu ya Malik Yang tak patuhi rambu-rambu perintahMu
Ya lelana aku yang berdosa Mengapa sedari sadar tak juga kau bersandar Membersihkan diri, membersihkan hati Bersimpuh, bersujud membasuh kotor perihati Sudah menjadi darah dan dagingmukah lelaku bejat Telah terpilin matikah ikatan setan Segeralah terjaga, segeralah Lepaskan jika kau terikat, putuskan jika telah kuat tali pengekang Jangan biarkan keburukan memenjara Jangan biarkan hatimu tak tersentuh hidayah Bangunlah, terjagalah Tuhan menantimu untuk mendekatiNya Merindumu sebagai hambaNya yang dicinta Dipeluk dan kasihNya, biarkan darah-darah dosa hilang penuh dalam kasihNya Aris, 05022009 Semarang
RINDU RASA Sudah mati rasaku padamu Telah terbunuh kekasih hatiku Kering Hati ini telah tersakiti, jiwa ini telah lumpuh sampyuh Dimanakah dia yang dulu merasaku Membelaiku disaat tangis tak reda Menegakkanku saat lemah resah Mengajakku hadapi waktu demi waktu Menampar hatiku demi kesadaranku Wahai yang aku rindu Sendirikah aku menjelang waktu Pergikah kasih tulusmu Terjagakah mimpi semayam sayang
Ya rasaku Tak lagi adakah urat kekuatanmu Yang menjagaku untuk dhuha, berdoa dan bersahaja Membangun depa demi depa langkah berdua Bersama meniti jalan menuju surga Ya rasaku Pulanglah,peluk aku, dekap kepedihanku, rasakan ruhku yang merindu Wahai senyumku, bangunkan aku dengan sabarmu Datangi aku dengan kasihmu Jangan pergi, aku butuh penyanggaku Datanglah, pulanglah Tidak akan mati rasaku padamu Aris”adhek”, 05022009 Semarang 03.30 Semoga ini misteri, yang harus kami lalui disaat Tuhan menguji kami. Semoga ini rahasiaNya, yang akan diperlihatkanNya disaat yang telah ditentukan MAKNA KEBERSAMAAN Kebersamaan adalah sejalan Kebersamaan adalah ikatan Kebersamaan adalah ketulusan Kebersamaan adalah satu tujuan Kebersamaan adalah kejujuran Kebersamaan adalah berdampingan Kebersamaan adalah sentuhan Kebersamaan adalah penyertaan Kebersamaan adalah pemaknaan Kebersamaan adalah lebih dari sekedar pemaksaan
MAJNUN Kau lemparkan senyum yang tak pernah kulihat senyatanya
Tertawa renyah dalam bayang perandaian Hingga aku meyakini Kaulah tulang iga yang diambil Tuhan dari rangka tubuhku Untukku kau diciptakan Sebagai makmum yang akan mengikuti kemanapun langkah kakiku Hingga jiwa ini tercerabut dari rumah kediamannya Diamlah Dengarkan degup jantungku saat angin membawa suaramu Melewati rongga demi rongga dan menggeliatkannya untuk lebih cepat berdetak Hingga darahku bergolak Bergerak lebih cepat dari biasanya Berlari melebih waktu yang tersedia Berkelana melewati batas dimensi yang tak pernah tersentuh lagi oleh akal sehat Suatu saat aku berpikir Tak akan menyentuhmu untuk kedua kalinya jika semuanya terjadi Menikmatimu dalam kesucian yang utuh tanpa sebuah belaian Hanya memandangmu sebagai putri kecantikan abadi Meski semuanya kurindukan Namun rasa ini kembali goyah Adakah aku telah memberhalakanmu ? Mengagungkanmu tak selayaknya kita sebagai makhluk yang sama Mengangkatmu ke atas langit rumah dan menundukkan keningku lebih dalam dibanding sujud yang telah mengajariku bahwa hanya Tuhan yang layak menerima persembahan Rasa sadar menampar keimananku Mengajakku kembali menyapamu sebagai makhluk Meski dirimu serasa luar biasa sebagai seorang wanita Namun dirimu tetaplah manusia Yang pernah kubelai dengan jiwa
LUNG
Aku mulai dengan hisapan demi hisapan Seakan mencari tahu dimana letak kejujuran hati yang selama ini aku pendam, tertahan Kelip cahaya langit terhias mengisi seluruh ruang mata yang tepejam Tabir lisan tak semuanya terurai, menjadikan semuanya terahasiakn Sepertimu, dimataku Cahaya, Dimanakah dapat kulihat setiap saat semau mata ini memandang ? Ketika kubenturkan bayangmu atasku Hati ini serasa semakin tersilaukan Betapa berdosanya aku Menjamahi perasaanmu dengan angkuh dalam kesombongan Satu demi satu kuuntai kalimat dan tak pernah mencapai muara kata Kudekap maknamu Ketika kau ungkapkan lembar demi lembar ayat-ayat kehidupan Melalui harum dan keindahan bahasa lisan yang rasanya belum pernah aku dengar sebelumnya Bodohkah aku ? Atau gilakah aku dengan semua ini ? Duh, shang hyang kuasa Duh, shang hyang pencipta alam Duh, shang hyang keabadian Dimanakah imanku ? Dimanakah nur cahaya-Mu ? Yang telah kuminta dengan seribu permohonan Yang telah kupeluk dengan tangan-tangan pendosa ini Salahkah aku dengan apa yang telah Kau hadirkan di hatiku Ataukah ini sebuah ujian yang harus aku tuntaskan Hingga ajal menjemput dan memberikan jawaban atas semua yang Kau perlihatkan ke hamba-Mu ini Nafsu, amarah dan semua kegilaan seakan menjadikanku semakin lemah Selemah debur ombak yang telah menjilati bibir pantai Jumawa dan akhirnya luruh juga Aku kembali tertunduk Merenungkan dan mencari dimanakah kejujuran hati Bimbang untuk memisahkan antara ketulusan dan nafsu angkara
Hingga alampun hanya diam ketika aku bertanya Dimanakah aku harus memilih jalan
SILUET Inikah penjara rasa Berterali maya tak terlihat Membingungkan lalu menjadikan kebimbangan sebagai hal biasa Memperluas telaga dan merubah warnanya menjadi tak jelas Remang tak berwarna Sayap-sayap mengembang Mengepakkan dan menerbangkan tubuh hingga tak membumi Menjadikan lupa sebagai makhluk yang pasti akan kembali ke daratan Dan lidah begitu mudah membelah kata Memutar mimpi menjadikannya harapan Menjelmakan diri seakan menguasai dunia Tak terhingga kidung, puisi, syair, prosa hingga satir kepalsuan Menceritakan hal yang sama tentang satu hal Setiap orang mencatatkan diri sebagai yang paling luar biasa Mengumbar kisah yang bertambah hebat dari satu telinga ke telinga lain Selalu berubah Menggantungkan cerita pada apa yang dihadapi dan bukan apa yang terjadi Luar biasa Inilah penjara rasa Yang menggiring tubuh untuk terpaksa Memangkas jalan ke tujuan
Mengindahkan satu per satu anak tangga Hingga mereka lupa Persetubuhan, pergumulan, perselingkuhan dan bahkan perzinahanpun diakuinya sebagai ketulusan Akankah kebenaran akan diperlihatkan ? Akankah jalan akan ditunjukkan ? Di mata yang telah terpejam Lalui jalan sesat yang terlalu dalam Terikat nafsu terpenjara rasa Hanyut ke dasar telaga dosa
Begitu luasnya makna dalam lembaran kosong sebelumnya, makna yang tak mungkin dapat aku jabarkan dalam untaian kalimat sederhana manusia. Luas, begitu luas. Kekosongan adalah keindahan yang sempurna. Keindahan yang tak mampu dilukiskan dengan gambaran apapun, keindahan sempurna yang tak bias disampaikan dari kata perkata, keindahan yang utuh, keindahan sempurna. Nikmat, benar-benar nikmat yang utuh. Tak terasa, tak berasa, tak berisi, hanya sempurna. Sempurna tanpa noda, sempurna tanpa garis ragu, sempurna tanpa apaapa. Sempurna adalah keniscayaan yang tak terlukiskan, kesempurnaan yang tak membutuhkan kata tambahan, kesempurnaan yang tak membutuhkan penegasan, kesempurnaan yang hanya sempurna.
Kosong, kosong, kosong, tanpa goda. Kosong-kosong, kosong, tanpa noda Kosong, kosong, kosong, tanpa apa-apa Histeria keterlarutan rasa, menyatunya ruh dan jiwa. Hanya keindahan yang ada. Keiindahan....indah.......tak ada luka amarah, tak ada sakit rasa gulana, tak ada dunia, tak ada apa-apa.....inilah, entahlah, tak lelah, tak bergairah, tak ada apa-apa, hanya indah rasanya,hanya indah............................................................................................................. ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... .........................................hanya indah Subkhanallah aris
datacom SEMPURNA
Apa itu sempurna? Sempurna itu keutuhan Sempurna itu tanpa cacat Sempurna itu tepat Sempurna itu lengkap Jika aku mengatakan sempurna itu adalah kewajaran? Benarkah? Manusia memiliki tubuh yang lengkap, berakal, dan memiliki hati, apakah manusia itu sempurna? Jika hewan memiliki tubuh, berakal dan memiliki naluri, apakah dia juga sempurna? Jika matahari terbit dan terbenam tepat pada waktunya, apakah dia sempurna juga? Jika Tuhan maha bisa, maha besar, maha tahu, maha bijak, maha pengampun, dan maha yang lainnya, apakah Tuhan dikatakan sempurna ataukah maha sempurna? Bukankah setelah sempurna taka ada lagi? Jika demikian apakah sempurna itu? Bukankah wajar jika manusia itu memiliki tubuh yang lengkap, berakal, dan memiliki hati? Bukankah wajar jika hewan memiliki tubuh, berakal dan memiliki naluri? Bukankah wajar jika Tuhan maha bisa, maha besar, maha tahu, maha bijak, maha pengampun, dan maha yang lainnya? Lantas, apakah sempurna itu? Arissiwo Pamularsih,10 muharam
Sesak
Tamparlah aku jika kamu marah Bunuhlah aku jika itu pantas Sakitilah jika membuatmu merasa puas Habisilah jika itu bisa memenuhi hasrat baikmu Remuk redam rusak sesak Sekat dekap sekap Lelah sudah susah Gelap Sunyi Sepi Sendiri Mati Saat ini Hening bening tanpa denting Hanya desis angin temani maling Bukan, Masih ada yang membaca bismilah berulang bismilah Maling sesak dihimpit kawan, istri dan anak Mengerling kanan kiri takut suara bismilah lebih pecah Melihat dirinya yang dihimpit sunyi Berisik pelan membelah angin malam Maling sesak menutup muka waspadakan mata Menunggu lena hingga tidur membawanya di ujung lidah pembawa suara Bismilah, bismilah, bismilah aris datacom
MAAFKAN ANAKMU Apa yang harus aku lakukan? Untuk menebus dosa ini pak
Dengan apa aku harus menebusnya Demi gumpalan dosa yang selalu saja aku tumpuk Pak, bu, aku tak mampu lagi untuk sekedar mengucapkan kalimat untuk meminta maaf pada kalian Terlalu berat bagiku untuk melihat gulir air yang akan mengalir dari mata kecewamu Dadaku terasa ingin meledak Tapi itu semua percuma Percuma jika tak ada yang dapat aku berikan demi pengharapanpengharapan kalian yang telah aku kecewakan Saat ni aku hanya mampu berharap pada Tuhan Ya, pada Tuhan Kepada siapa lagi aku meminta mukjizat yang tersembunyi Selain padaNya Aku masih bersyukur, tak segelintir kalimat tauhidku yang rubuh dan tergadaikan Namun aku berharap, tolong doakan aku demi pengharapan ini Aku merindukan kesolehan, aku rindu pengabdianku pada kalian Pak, bu, aku mohon Mintakan jalan ajaib yang akan menjadikanku senandung kebanggaan Meski itu adalah sebentar Dan sejenak membuat bibir kalian mengembang Aku mohon, maaf dan doakan aku Demi bapak ibu aris Semarang, 010607 MEMBACA CAHAYA
Salahkah aku jika aku bertanya tentang siapa Tuhan yang sebenarnya meski aku sudah beragama? Benarkah aku jika aku mewujudkan Tuhan dalam pikiranku sebagai yang berbentuk dan dapat ku gambarkan pada sebuah kertas dengan penaku?
Dosakah aku jika aku terus mencari siapa sesungguhnya Tuhanku yang sebenarnya. Aku telentang memandang langit. Ignin kukepakkan kedua tanganku layaknya burung yang ingin terbang dan melihat seisi dunia dengan mata sadarku. Bukan untuk sekedar melihat, menikmati, membandingkan, membenarkan, menyalahkan, mengagumi dan menghina. Tapi aku ingin mencari tahu dimana Tuhan duduk dengan gagah disinggasanaNya. Aku hanya ingin bertatap muka dan tidak hanya bertatap nama sebagai yang tahu bahwa aku berTuhan tapi tak pernah sekalipun mengetahui siapa Dia yang sesungguhnya. Pikiran menjajah dunia rasaku, dunia kesadaranku akan keberadaanNya yang agung. Selagi kecil aku tak pernah berpikir, benarkah apa yang aku kerjakan, selayaknyakah aku sujud dan menengadahkan tangan. Meminta pada sesuatu yang aku sendiri belum menyadari adakah Dia dan benarkah yang aku sembah dan aku minta? Terlintas dalam benak indahnya surga dan kejamnya neraka. Keresahan yang membawaku pada masa dimana Tuhan diciptakan oleh manusia dengan perwujudan berhala berkepala ganda. Keindahan dan kebengisan yang berdiri bersama dengan banyak tangan tanpa sisi kanan dan kiri yang diperjelas. Aku terbang, benar-benar terbang dalam pengembaraan dunia maya spiritualitas. Mencari dan mencari kebenaranNya. Dosa, tiba-tiba ketakutan muncul untuk terus melakukan perjalanan panjang yang membawa dua kemungkinan. Membawaku pada kecerahan atau
bahkan
pada
kemurtadanku
sendiri.
Kebimbangan
demi
kebimbangan mulai menjadi racun yang membuatku berpikir ulang. Dosakah aku ketika aku mencari siapa Tuhanku? Jika aku berdosa, dosakah Ibrahim yang sedang mencari Tuhan? Kebingungan yang menyesatkan. Kesadaran untuk mencari yang justru membuatku sampai pada titik ketidak sadaran pada diriku sendiri. Ketidak sadaran bahwa ada yang harus aku kerjakan sebagai kewajiban manusia yang telah beragama. Melakukan sujud dan berdoa. Kutanggalkan semua atribut kepercayaanku dan kucari sendiri siapa Tuhanku. Tuhan yang diwujudkan adalah tuhan yang dicipta oleh manusia. Hewan, tumbuhan, berhala dan juga benda-benda lainnya adalah Tuhan yang
diciptakan. Tuhan sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri yang hanya mampu
kita
sebut
dalam
lisan
sebagai
tinanda
dengan
penanda
keagungannya yang ditampakkan oleh segala sesuatu yang tampak dan dirasa oleh indera. Dan untuk menegaskannya, Tuhan telah mengutus manusia
dan
seisi
alam
raya
sebagai
petunjuk
siapa
Dia
yang
sesungguhNya. Tuhan adalah Tuhan. Tuhan mencipta dan tidak dicipta. Karenanya, tuhan berwujud esa. Meski aku belum mampu menikmati wujud wajahNya, namun aku senantiasa menikmati wujud cahaya kasih dan cahaya cintaNya. Cahaya yang senantiasa abadi. Dan akhirnya kusadari, kami tak hanya bertatap nama. Meski kami belum pernah bertatap mata, namun kami senantiasa bertatap
muka
dalam
penglihatanMu
yang
maha
sempurna
saat
perjalanku menuju sujudku padaNya. Dan aku kembali pulang sebagai manusia yang telah beragama. Pulang dari perjalanan panjang membaca dan akhirnya kudapatkan cahaya dalam pelukan. aris datacom Empuk-empuk panas Ada yang bilang kekuasaan selalu sibuk untuk membenarkan dirinya sendiri Ada juga yang bilang bahwa kekuasaan hanya bersifat sementara tapi tetap saja enak Hingga seringkali mereka yang telah merasakan enaknya kursi kekuasaan lupa bahwa semua itu hanya bersifat sementara Dan mereka menjadi terlena diatasnya Menjadikan kursi sebagai tempat yang tak pernah ingin ditinggalkan Tidak disaat dia makan, mandi atau bahkan buang hajat Saat tidurpun kekhawatiran kehilangan kursi kekuasaan selalu saja hadir Menjadi mimpi harian dan rutinitas laku untuk hidup diatas bumi dengan menggantungkan kaki diawang-awang Seperti tak mengenal titik akhir pemberhentian Suatu hari seorang maling dan seorang ”tukang pijat plus-plus” bicara Mereka bilang kalau suatu saat akan meninggalkan dunia yang selama ini dikuasainya
Dunia yang dianggap gelap oleh sebagian besar orang Dunia yang selama ini disebut sebagai biang keladinya kebiadaban Dan mereka adalah pemimpin bagi dirinya sendiri Yang memilih jalan dan mengambil resiko apapun yang suatu saat diyakini akan berakhir pada satu titik kepastian Maling akan tertangkap ”tukang pijat plus-plus” akan menjadi tua Dan yang lainnyapun akan berada pada titik ketidak mampuan untuk menggadaikan diri mereka untuk sekedar tersenyum kenyang Kesadaran itu ternyata hidup juga didunia yang gelap pekat Yang tak sarat cahaya spiritual Yang senantiasa sekarat dibawah bayang-bayang kelaparan Dan aku mulai berpikir Sampai kapan sentuhan cahaya kesadaran akan menyapa Kesadaran bahwa kursi ini mungkin saja salah Yang terus saja ingin kududuki Kurasakan manis dan keempukannya Namun tak pernah kusadari panasnya yang suatu saat akan mewujudkan diri sebagai kobaran api dosa yang mengandung karma Semoga
Tuhan
memberiku
cahaya
yang
mampu
kujaga
percik
kesuciannya Semarang, 10122007 Arissiwo