menaruh perhatian (tetepi masih memperhatikan juga) terhadap kemurnian Islam mereka dan lebih memiliki kelonggaran untuk membolehkan upacara-upacara non Islam, paling sedikitnya bersedia memberikan suatu tempat kecil dalam lingkungan keagamaan. Kelompok Muhammadiyah cenderung tetap menuntut Islam yang sudah dimurnikan dari tiap anasir keagamaan lain. 2. Kelompok Nadhotul Ulama cenderung untuk membenarkan praktek dengan kebiasaan dan berdasarkan mazhab yang terperinci dalam kitab-kitab ulasan keagamaan yang tradisional. Kelompok Muhammadiyah cenderung untuk membenarkan hal itu atas dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum kepada AlQuran dan Hadist yang ditafsirkan secara jelas. 3. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung menitikberatkan hubungan dengan Tuhan di mana penerimaan rahmat dan berkat sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan dan suatu pengertian bahwa peruntungan seseorang seluruhnya ditetapkan oleh kehendak Tuhan merupakan ciri-ciri pokoknya. Kelompok Muhammadiyah cenderung menitikberatkan hubungan dengan nama kerja keras dan penentuan nasib sendiri jadi titikberatnya. 4. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk memegangi konsep ‘totalistk’ mengenai pegangan agama dalam kehidupan, di mana segi usaha manusia cenderung menerima makna keagamaan dan di mana batas antara apa yang bersifat keagamaan dan sekuler, cenderung kabur. Kelompok Muhammadiyah memegang pengertian yang sempit tentang agama di mana hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di mana batas antara apa yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam. 5. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk memberi tekanan pada aspek penyempurnaan langsung agama, untuk memberi tekanan pada pengalaman keagamaan. Kelomok Muhammadiyah cenderung memberikan tekanan pada aspek instrumental agama dan sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan. Organisasi Muhammadiyah memandang persoalan keagamaan yang tercampuri dengan tradisi atau budaya dari luar agama Islam dipandang menyalahi hukum Islam, oleh karena itu harus dibersihkan atau direformasikan (tajdid) sebagaimana ciri dari perjuangan dakwah organisasi Muhammadiyah. Adapun beberapa kegiatan keagamaan yang dikategorikan oleh organisasi Muhammadiyah sebagai tradisi budaya dan bukan suatu ajaran dari agama Islam diantara ialah tahlilan, khaul dan berzanzi. Dari kegiatan keagamaan tersebut, tahlilan nampaknya cukup mendapat perhatian serius dari organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tahlilan merupakan suatu aktivitas keagamaan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi suatu peristiwa yang dianggap penting. Salah satunya adalah menyikapi peristiwa kematian seseorang.
Penentangan organisasi Muhammadiyah mengenai tahlilan bukan terletak pada pelarangan membaca kalimat thoyyibah, akan tetapi hal-hal yang menyertainnya. Adapun tekad mendirikan organisasi Muhammadiyah adalah keinginann untuk berjuang menegakkan dan menyiarkan agama islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah terutama dalam bidang tauhid dan ibadah yang dinilai oleh K.H. Ahmad Dahlan telah banyak tercampuri ajaran dari luar ajaran islam, sehingga harus dibersihkan agar umat islam dapat menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan lurus sebagaimana ditentukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Pandangan organisasi Nahdhotul Ulama terhadap tahlilan sangat bertolak belakang dengan pandangan organisasi Muhammadiyah. Dikembangkannya tahlilan sebagai salah satu metode dakwah Nahdhotul Ulama, pada dasarya tidak terlepas dari paradigma yang dipakai para ulama Nahdhotul ulama yaitu “memelihara warisan yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu alal-qadimis shalih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah). Diambilnya paradigma tersebut terkait erat dengan kondisi masyarakat islam pada waktu itu, terutama masyarakat pedesaan yang sangat erat antara agama dan budaya. Dalam perkembangannya, organisasi Nahdhatul Ulama cenderung lebih menitikberatkan pada masalah-masalah yang banyak diilhami oleh budaya atau tradisi yang keberadaannya jelas-jelas diakui oleh organisasi Nahdhatul Ulama. K.H. A. Muchith Muzadi dalam bukunya yang berjudul “NU dan Fiqih Kontekstual” mengatakan sebagai berikut: 1. Agama islam bukan kebudayaan, tetapi islam tidak menghapus dan menolak kebudayaan, kecuali yang tidak sejalan, tidak sesuai, merugikan atau bertentangan dengan islam. 2. Budaya lama yang baik, dipelihara dan dikembangkan, sedang budaya baru yang lebih baik dicari dan dipergunakan. Salah satu tradisi lama yang dipandang baik oleh oganisasi Nahdhotul Ulama adalah tahlilan, istighatsah, dan lain sebagainya, yang semua itu kemudian diperkuat oleh penegasan secara terbuka sebagai identitas warga Nahdhotul Ulama. Tahlilan bukanlah agama, tetapi budaya yang baik dan patut dilestarikan. Kesimpulan Acara tahlilan serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah menjadi budaya/tradisi masyarakat jawa yang sudah medarah daging dalam kehidupan masyarakat, meskipun banyak menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak mengenai hukum pelaksanaan tahlilan, boleh atau tidaknya pelaksaan acara tersebut, tidaklah bisa melunturkan budaya/tradisi tahlilan di tengah-tengah kebiasaan masyarakat. Dikarenakan sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan mereka sejak lama dan merupakan kegiatan yang bermanfaat karena didalam pelaksanaan acara tahlilan terdapat bacaan dzikir, ayat-ayat Al-Qur’an, pembacaan do’a-do’a dan lain sebagainya, yang dimaksudkan pahalanya ditujukan untuk orang yang telah meninggal dan diharapkan dapat meringankan beban mereka di alam kuburnya. Dalam penyedian/pemberian makanan juga bertujuan untuk shodakoh yang diharapkan pahalanya juga bisa sampai kepada orang yang telah meninggal tersebut. Percaya atau tidak dan baik buruknya budaya/tradisi tahlilan, tentu mereka yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda mengenai hukum pelaksanaan tahlilan serta apapun yang terdapat didalam acara tersebut, dilandasi oleh pengetahuan mereka mengenai agama dan tradisi berdasarkan dalil-dalil serta hadist yang mereka ketahui dan pelajari, tentu mereka memiki alasan masing-masing dalam menyatakan hukum budaya/tradisi tahlilan. Selagi kegiatan itu tidak merugikan pihak lain dan dapat memberikan manfaat, lebih baik kita saling menghormati serta menghargai segala pendapat dari pihak manapun. Karena sebesar apapun pertentangan antara pihak yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan tahlilan, tidak akan bisa merubah budaya/tradisi tersebut. DAFTAR PUSTAKA http://www.m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,46661-lang,id-c,buku-t, Menjawab+Kontroversi+Acara+Tahlilan-.phpx. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37823-lang,id-c,ubudiyaht,Tentang+Tahlilan+dan+Dalilnya-.phpx. http://sosbud.kompasiana.com/2014/09/11/mengintip-tradisi-tahlilan-dalam-masyarakatnu-673937.html.