Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini, penggunaan energi diprediksikan akan meningkat sebesar 70 persen antara tahun 2000 sampai 2030. Sumber energi yang berasal dari fosil, yang saat ini menyumbang 87,7 persen dari total kebutuhan energi dunia diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan tidak lagi ditemukannya sumber cadangan baru. Cadangan sumber energi yang berasal dari fosil diseluruh dunia diperkirakan hanya sampai 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi dunia dari tahun ketahun (pertumbuhan konsumsi energi tahun 2004 saja sebesar 4,3 persen), serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan membuat tuntutan untuk segera mewujudkan teknologi baru bagi sumber energi yang terbaharukan. Di antara sumber energi terbaharukan yang saat ini banyak dikembangkan [seperti turbin angin, tenaga air (hydro power), energi gelombang air laut, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga hidrogen, dan bio-energi], tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber yang cukup menjanjikan. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 persen dari total energi pancaran matahari. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1 persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10 persen sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Energy surya atau dalam dunia internasional lebih dikenal sebagai solar cell atau photovoltaic cell, merupakan sebuah divais semikonduktor yang memiliki permukaan yang luas dan terdiri dari rangkaian dioda tipe p dan n, yang mampu merubah energi sinar matahari menjadi energi listrik. Pengertian photovoltaic sendiri merupakan proses merubah cahaya menjadi energi listrik. Oleh karena itu bidang penelitian yang berkenaan dengan energi surya ini sering juga dikenal dengan penelitian photovoltaic. Kata photovoltaic sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani photos yang berarti cahaya dan volta yang merupakan nama ahli fisika dari Italia yang menemukan tegangan listrik. Sehingga secara bahasa dapat diartikan sebagai cahaya dan listrik photovoltaic. Efek photovoltaic pertama kali berhasil diidentifikasi oleh seorang ahli Fisika berkebangsaan Prancis Alexandre Edmond Becquerel pada tahun 1839. Atas prestasinya
dalam menemukan fenomena photovoltaic ini, Becquerel mendapat Nobel fisikia pada tahun 1903 bersama dengan Pierre dan Marrie Currie. Baru pada tahun 1883 divais solar sel pertama kali berhasil dibuat oleh Charles Fritts. Charles Fritts saat itu membuat semikonduktor Selenium yang dilapisi dengan lapisan emas yang sangat tipis sehingga berhasil membentuk rangkaian seperti hubungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Pada saat itu efisiensi yang didapat baru sekitar 1 persen. Pada perkembangan berikutnya seorang peneliti bernama Russel Ohl dikenal sebagai orang pertama yang membuat paten tentang divais solar sel modern. Efisiensi divais solar sel dan harga pembuatan solar sel merupakan masalah yang paling penting untuk merealisasikan solar sel sebagai sumber energi alternatif. Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara tenaga listrik yang dihasilkan oleh divais solar sel dibandingkan dengan jumlah energi yang diterima dari pancaran sinar matahari. Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 watt permeter persegi. Jika sebuah divais semikonductor seluas satu meter persegi memiliki efisiensi 10 persen maka modul solar sel ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 watt. Saat ini modul solar sel komersial berkisar antara 5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal merupakan jenis divais solar sel yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan jenis solar sel lainnya. Pembangkit energi surya sebenarnya tergantung pada efisiensi mengkonversi energi dan konsentrasi sinar matahari yang masuk ke dalam sel tersebut. Professor Smalley, peraih Nobel bidang kimia atas prestasinya menemukan Fullerene, menyatakan bahwa teknologi nano menjanjikan peningkatan efisiensi dalam pembuatan sel surya antara 10 hingga 100 kali pada sel surya. Smalley menambahkan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal telah terbukti ketika sel surya dimanfaatkan untuk keperluan satelit ruang angkasa dan alat alat yang diletakkan di ruang angkasa. Penggunaan sel surya dengan meletakkannya di ruang angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat dan ringan yang mampu bertahan di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik. Perkembangan yang menarik dari teknologi sel surya saat ini salah satunya adalah sel surya yang dikembangkan oleh Michael Gratzel. Gratzel memperkenalkan tipe solar sel photokimia yang merupakan jenis solar sel exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang di endapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Gratzel, sehingga jenis solar sel ini sering juga disebut dengan sel Gratzel atau dye-sensitized solar cells (DSSC). Sel Gratzel dilengkapi dengan pasangan redoks yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan). Komposisi penyusun solar sel seperti ini memungkinkan bahan baku pembuat sel Gratzel lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang sangat sederhana seperti screen printing. Meskipun solar sel generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, solar sel jenis ini diperkirakan mampu memberi pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah. Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan solar sel sebagai salah satu sumber
energi masa depannya mengingat posisi Indonesia pada khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di permukaan bumi di hampir seluruh Indonesia. Berdasarkan perhitungan Mulyo Widodo dalam kondisi puncak atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di Indonesia seluas satu meter persegi akan mampu mencapai 900 hingga 1000 Watt. Lebih jauh pakar solar sel Wilson Wenas menyatakan bahwa total intensitas penyinaran perharinya di Indonesia mampu mencapai 4500 watt hour per meter persegi yang membuat Indonesia tergolong kaya sumber energi matahari ini. Dengan letaknya di daerah katulistiwa, matahari di Indonesia mampu bersinar hingga 2.000 jam pertahunnya. Dengan kondisi yang sangat potensial ini sudah saatnya pemerintah dan pihak universitas membuat satu pusat penelitian solar sel agar Indonesia tidak kembali hanya sebagai pembeli divais solar sel di tengah melimpahnya sinar matahari yang diterima di bumi Indonesia. Namun teknologi ini masih terbilang cukup mahal, Karena solar sel yang berada di pasaran harganya masih cukup tinggi, sehingga pemerintanh masih enggan melirik teknologi ini. Penelitian di bidang tenaga surya sangat dibutuhkan utnuk mengembangkan potensi Indonesia sebagai negera tropis. Teknologi sel surya murah dan ramah lingkungan di perlukan utuk pengembangan potensi Indonesia mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Sebagai sumber daya alam yang terbarukan, akhir-akhir ini biomassa mendapatkan perhatian yang cukup serius untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Kompenen dari biomassa sendiri sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin. Persentase dari ketiga unsur tersebut adalah selulosa 40-45% (untuk tumbuhan kasar dan halus), lignin 25-35% untuk tumbuhan halus dan 17-25% untuk tumbuhan kasar, hemiselulosa 20% untuk tumbuhan halus dan 17-25% untuk tumbuhan kasar.
Biomassa dapat dikonversi menjadi berbagai bentuk energi dengan proses konversi termokimia. Proses tersebut dibagi menjadi gasifikasi, pirolisis, pencairan secara termokimia. Untuk mengolah limbah biomassa yang biasanya memiliki kadar air relatif tinggi, metode pirolisis dan gasifikasi
membutuhkan energi tambahan untuk menguapkan air yang terkandung, sehingga total efisiensi energinya menjadi rendah. Pada proses gasifikasi dan pirolisis sebagian besar produk cair yang berupa minyak juga ikut terdegradasi, padahal minyak ini cukup potensial untuk dijadikan bahan bakar atau diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk sesuai komposisinya. Untuk penentukan suhu yang optimum yang menghasilkan sejumlah minyak paling banyak. Serta menentukan komposisi senyawa kimia yang terlarut dalam minyak yang dihasilkan. Minowa, et. Al yang meneliti proses dekomposisi selulosa dan glukosa dalam air panas bertekanan 3 Mpa tanpa katalis, melaporkan bahwa jumlah minyak yang terbentuk maksimum terjadi pada suhu 280oC. Dia atas suhu 280oC jumlah produk minyak justru menurun dan diiringi kenaikan jumlah produk padat berupa arang. Mekanisme yang terjadi dalam proses dekomposisi selulosa dalam air panas bertekanan adalah sebagai berikut: 1. Dekomposisi selulosa dimulai pada suhu 200oC. Sebagian besar glukosa diperoleh pada suhu 200oC sampai 220oC. Jumlah selulosa yang terdekomposisi terus meningkat sampai suhu 240oC, menghasilkan produk-produk non-glukosa yang terlarut dalam air. (hidrolisis)
(dekomposisi sekunder)
selulosa
→
glukosa
→
produk-produk non-glukosa
2. Di atas suhu 240oC terjadi pembentukan minyak, arang dan gas-gas. Pada suhu yang semakin tinggi, makin banyak minyak yang terdekomposisi menjadi arang dan gas-gas. produk-produk non-glukosa → minyak + arang + gas-gas (dekomposisi)
minyak
→
arang + gas-gas
Peran katalis Na2CO3 adalah menekan terjadinya dekomposisi minyak menjadi arang dan gas-gas, sehingga akan memperbanyak produk minyak yang dihasilkan. Selain itu, metode pencairan biomassa dalam air panas bertekanan ini ternyata sangat baik digunakan sebagai perlakuan awal (pretreatment) terhadap biomassa sebelum dilakukan proses fermentasi anaerob. Hal ini karena senyawa-senyawa organik berantai panjang telah terdegradasi menjadi senyawa organik berantai pendek sehingga fermentasi anaerob menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Pengolahan awal ini cukup dilakukan pada suhu 175oC dalam air panas bertekanan. Hasil analisis minyak dengan GC_MS
no Nama Senyawa 1 2 3 4 5 6 7
n-oktadekana n-nonadekana Asam 14-metil pentadekanoat Asam 11-oktadekanoat Asam 1,2-benzena dikarboksilat Asam 12-metil tetradekanoat Lain-lain
% berat komposisi 6,16 5,66 2,99 2,59 1,94 0,65 80,01
Jenis limbah biomassa di Indonesia tentu berbeda dengan bahan-bahan yang telah diteliti oleh para peneliti tersebut. Apalagi kebanyakan peneliti masih memfokuskan pada degradasi selulosa murni. Untuk itu penelitian yang akan direncanakan ini difokuskan pada pencairan limbah biomassa berselulosa yang banyak terdapat di Indonesia yaitu jerami, untuk menghasilkan produk yang berupa minyak
Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan, serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Sedangkan, akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan pra-syarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat tersebut, dikembangkan berbagai energi alternatif, di antaranya energi terbarukan. Potensi energi terbarukan, seperti: biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera, sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan, padahal potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah besar. Energi surya merupakan salah satu energi yang sedang giat dikembangkan saat ini oleh Pemerintah Indonesia karena sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup besar. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi angin rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu:
• Teknologi energi surya fotovoltaik, energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total ± 6 MW. • Teknologi energi surya termal, energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian (perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan air. 1.
TEKNOLOGI
ENERGI
SURYA
FOTOVOLTAIK
Salah satu cara penyediaan energi listrik alternatif yang siap untuk diterapkan secara masal pada saat ini adalah menggunakan suatu sistem teknologi yang diperkenalkan sebagai Sistem Energi Surya Fotovoltaik (SESF) atau secara umum dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (PLTS Fotovoltaik). Sebutan SESF merupakan istilah yang telah dibakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk mengidentifikasikan suatu sistem pembangkit energi yang memanfaatkan energi matahari dan menggunakan teknologi fotovoltaik. Dibandingkan energi listrik konvensional pada umumnya, SESF terkesan rumit, mahal dan sulit dioperasikan. Namun dari pengalaman lebih dari 15 tahun operasional di beberapa kawasan di Indonesia, SESF merupakan suatu sistem yang mudah didalam pengoperasiannya, handal, serta memerlukan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah menjadikan SESF mampu bersaing dengan teknologi konvensional pada sebagian besar kondisi wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau - pulau kecil yang tidak terjangkau oleh jaringan PLN dan tergolong sebagai kawasan terpencil Selain itu SESF merupakan suatu teknologi yang bersih dan tidak mencemari lingkungan. Beberapa kondisi yang sesuai untuk penggunaan SESF antara lain pada pemukiman desa terpencil, lokasi transmigrasi, perkebunan, nelayan dan lain sebagainya, baik untuk penerangan rumah maupun untuk fasilitas umum. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan jaman, pada saat ini di negara-negara maju penerapan SESF telah banyak digunakan untuk suplai energi listrik di gedung-gedung dan perumahan di kota-kota besar. Pada umumnya modul fotovoltaik dipasarkan dengan kapasitas 50 Watt-peak (Wp) dan kelipatannya. Unit satuan Watt-peak adalah satuan daya (Watt) yang dapat dibangkitkan oleh modul fotovoltaik dalam keadaan standar uji (Standard Test Condition - STC). Efisiensi pembangkitan energi listrik yang dihasilkan modul fotovoltaik pada skala komersial saat ini adalah sekitar 14 15 %. Komponen utama suatu SESF adalah: • Sel fotovoltaik yang mengubah penyinaran/radiasi matahari menjadi listrik secara langsung (direct conversion). Teknologi sel fotovoltaik yang banyak dikembangkan dewasa ini pada umumnya merupakan jenis teknologi kristal yang dibuat dengan bahan baku berbasis silikon. Produk akhir dari modul fotovoltaik menyerupai bentuk lembaran kaca dengan ketebalan sekitar 6 8 milimeter. • Balance of system (BOS) yang meliputi controller, inverter , kerangka modul,peralatan listrik, seperti kabel, stop kontak, dan lain-lain, teknologinya sudah dapat dikuasai;
• Unit penyimpan energi (baterai) sudah dapat dibuat di dalam negeri; • Peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat, sistem hibrid, dan lain-lain masih diimpor. Kandungan lokal modul fotovoltaik termasuk pengerjaan enkapsulasi dan framing sekitar 25%, sedangkan sel fotovoltaik masih harus diimpor. Balance of System (BOS) masih bervariasi tergantung sistem desainnya. Kandungan lokal dari BOS diperkirakan telah mencapai diatas 75%. Sasaran Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia • Sasaran pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: Semakin berperannya pemanfaatan energi surya fotovoltaik dalam penyediaan energi di daerah perdesaan, sehingga pada tahun 2020 kapasitas terpasangnya menjadi 25 MW. • Semakin berperannya pemanfaatan energi surya di daerah perkotaan. • Semakin murahnya harga energi dari solar photovoltaic , sehingga tercapai tahap komersial. • Terlaksananya produksi peralatan SESF dan peralatan pendukungnya di dalam negeri yang mempunyai kualitas tinggi dan berdaya saing tinggi. Strategi Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Strategi pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: • Mendorong pemanfaatan SESF secara terpadu, yaitu untuk keperluan penerangan (konsumtif) dan kegiatan produktif.Mengembangan SESF melalui dua pola, yaitu pola tersebar dan terpusat yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pola tersebar diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk menyebar dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan pola terpusat diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk terpusat. • Mengembangkan pemanfaatan SESF di perdesaan dan perkotaan. • Mendorong komersialisasi SESF dengan memaksimalkan keterlibatan swasta. • Mengembangkan industri SESF dalam negeri yang berorientasi ekspor. • Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien dengan melibatkan dunia perbankan. Program Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Program pengembangan energi surya fotovoltaik adalah sebagai berikut: • Mengembangkan SESF untuk program listrik perdesaan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah yang jauh dari jangkauan listrik PLN. • Meningkatkan penggunaan teknologi hibrida, khususnya untuk memenuhi kekurangan pasokan tenaga listrik dari isolated PLTD. • Mengganti seluruh atau sebagian pasokan listrik bagi pelanggan Sosial Kecil dan Rumah Tangga Kecil PLN dengan SESF. Pola yang diusulkan adalah: • Memenuhi semua kebutuhan listrik untuk pelanggan S1 dengan batas daya 220 VA; • Memenuhi semua kebutuhan untuk pelanggan S2 dengan batas daya 450 VA; • Memenuhi 50 % kebutuhan listrik untuk pelanggan S2 dengan batas daya 900 VA; • Memenuhi 50 % kebutuhan untuk pelanggan R1 dengan batas daya 450 VA. • Mendorong penggunaan SESF pada bangunan gedung, khususnya Gedung Pemerintah. • Mengkaji kemungkinan pendirian pabrik modul surya untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri dan kemungkinan ekspor. • Mendorong partisipasi swasta dalam pemanfaatan energi surya fotovoltaik. • Melaksanakan kerjasama dengan luar negeri untuk pembangunan SESF skala besar. Peluang Pemanfaatan Fotovoltaik Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang kecil dan banyak yang terpencil menyebabkan sulit untuk dijangkau oleh jaringan listrik yang bersifat terpusat. Untuk memenuhi kebutuhan energi di daerah-daerah semacam ini, salah satu jenis energi yang potensial untuk dikembangkan adalah energi surya. Dengan demikian, energi surya dapat dimanfaatkan untuk p enyedian listrik dalam rangka mempercepat rasio elektrifikasi desa. Selain dapat digunakan untuk program listrik perdesaan, peluang pemanfaatan energi surya lainnnya adalah: • Lampu penerangan jalan dan lingkungan; • Penyediaan listrik untuk rumah peribadatan. SESF sangat ideal untuk dipasang di tempat-tempat ini karena kebutuhannya relatif kecil. Dengan SESF 100 /120Wp sudah cukup untuk keperluan penerangan dan pengeras suara; • Penyediaan listrik untuk sarana umum. Dengan daya kapasitas 400 Wp sudah cukup untuk memenuhi listrik sarana umum; • Penyediaan listrik untuk sarana pelayanan kesehatan, seperti: rumah sakit, Puskesmas, Posyandu, dan Rumah Bersalin; • Penyediaan listrik untuk Kantor Pelayanan Umum Pemerintah. Tujuan pemanfaatan SESF pada kantor pelayanan umum adalah untuk membantu usaha konservasi energi dan mambantu PLN mengurangi beban puncak disiang hari; • Untuk pompa air ( solar power supply for waterpump ) yang digunakan untuk pengairan irigasi atau sumber air bersih (air minum). Kendala Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia • Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi surya fotovoltaik adalah: • Harga modul surya yang merupakan komponen utama SESF masih mahal mengakibatkan harga SESF menjadi mahal, sehingga kurangnya minat lembaga keuangan untuk memberikan kredit bagi pengembangan SEEF; • Sulit untuk mendapatkan suku cadang dan air accu , khususnya di daerah perdesaan, menyebabkan SESF cepat rusak; • Pemasangan SESF di daerah perdesaan pada umumnya tidak memenuhi standar teknis yang telah ditentukan, sehingga kinerja sistem tidak optimal dan cepat rusak.; • Pada umumnya, penerapan SESF dilaksanakan di daerah perdesaan yang sebagian besar daya belinya masih rendah, sehingga pengembangan SESF sangat tergantung pada program Pemerintah; • Belum ada industri pembuatan sel surya di Indonesia, sehingga ketergantungan pada impor sangat tinggi. Akibatnya, dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga modul surya menjadi semakin mahal. 2.
TEKNOLOGI
ENERGI
SURYA
TERMAL
Selama ini, pemanfaatan energi surya termal di Indonesia masih dilakukan secara
tradisional. Para petani dan nelayan di Indonesia memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian dan perikanan secara langsung. Teknologi dan Kemampuan Nasional Berbagai teknologi pemanfaatan energi surya termal untuk aplikasi skala rendah (temperatur kerja lebih kecil atau hingga 60 o C) dan skala menengah (temperatur kerja antara 60 hingga 120 o C) telah dikuasai dari rancang-bangun, konstruksi hingga manufakturnya secara nasional. Secara umum, teknologi surya termal yang kini dapat dimanfaatkan termasuk dalam teknologi sederhana hingga madya. Beberapa teknologi untuk aplikasi skala rendah dapat dibuat oleh bengkel pertukangan kayu/besi biasa. Untuk aplikasi skala menengah dapat dilakukan oleh industri manufaktur nasional. Beberapa peralatan yang telah dikuasai perancangan dan produksinya seperti sistem atau unit berikut: • Pengering pasca panen (berbagai jenis teknologi); • Pemanas air domestic; • Pemasak/oven; • Pompa air (dengan Siklus Rankine dan fluida kerja Isopentane ); • Penyuling air ( Solar Distilation/Still ); • Pendingin (radiatif, absorpsi, evaporasi, termoelektrik, kompressip, tipe jet); • Sterilisator surya; • Pembangkit listrik dengan menggunakan konsentrator dan fluida kerja dengan titik didih rendah. Untuk skala kecil dan teknologi yang sederhana, kandungan lokal mencapai 100 %, sedangkan untuk sistem dengan skala industri (menengah) dan menggunakan teknologi tinggi (seperti pemakaian Kolektor Tabung Hampa atau Heat Pipe ), kandungan lokal minimal mencapai 50%. Sasaran pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: • Meningkatnya kapasitas terpasang sistem energi surya termal, khususnya untuk pengering hasil pertanian, kegiatan produktif lainnya, dan sterilisasi di Puskesmas. • Tercapainya tingkat komersialisasi berbagai teknologi energi surya thermal dengan kandungan lokal yang tinggi. Strategi Pengembangan Energi Surya Termal • Strategi pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Mengarahkan pemanfaatan energi surya termal untuk kegiatan produktif, khususnya untuk kegiatan agro industri. • Mendorong keterlibatan swasta dalam pengembangan teknologi surya termal. • Mendor ong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efektif. • Mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mengembangkan surya termal. Program pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: • Melakukan inventarisasi, identifikasi dan pemetaan potensi serta aplikasi teknologi fototermik secara berkelanjutan. • Melakukan diseminasi dan alih teknologi dari pihak pengembang kepada pemakai
(agro-industri, gedung komersial, dan lain-lain) dan produsen nasional (manufaktur, bengkel mekanik, dan lain-lain) melalui forum komunikasi, pendidikan dan pelatihan dan proyek-proyek percontohan. • Melaksanakan standarisasi nasional komponen dan sistem teknologi fototermik. • Mengkaji skema pembiayaan dalam rangka pengembangan manufaktur nasional. • Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk berbagai teknologi fototermik. • Meningkatkan produksi lokal secara massal dan penjajagan untuk kemungkinan ekspor. • Pengembangan teknologi fototermik suhu tinggi, seperti: pembangkitan listrik, mesin stirling , dan lain-lain. Peluang Pemanfaatan Energi Surya Termal Prospek teknologi energi surya termal cukup besar, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas pasca-panen komoditi pertanian, untuk bangunan komersial atau perumahan di perkotaan. Prospek pemanfaatannya dalam sektor-sektor masyarakat, yaitu: • Industri, khususnya agro-industri dan industri pedesaan, yaitu untuk penanganan pascapanen hasil-hasil pertanian, seperti: pengeringan (komoditi pangan, perkebunan, perikanan/peternakan, kayu olahan) dan juga pendinginan (ikan, buah dan sayuran); • Bangunan komersial atau perkantoran, yaitu: untuk pengkondisian ruangan ( Solar Passive Building , AC) dan pemanas air; • Rumah tangga, seperti: untuk pemanas air dan oven/ cooker ; • PUSKESMAS terpencil di pedesaan, yaitu: untuk sterilisator, refrigerator vaksin dan pemanas air. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan surya termal adalah: • Teknologi energi surya termal untuk memasak dan mengeringkan hasil pertanian masih sangat terbatas. Akan tetapi, sebagai pemanas air, energi surya termal sudah mencapai tahap komersial. Teknologi surya termal masih belum berkembang karena sosialisasi ke masyarakat luas masih sangat rendah; • Daya beli masyarakat rendah, walaupun harganya relatif murah; • Sumber daya manusia (SDM) di bidang surya termal masih sangat terbatas. Saat ini, SDM hanya tersedia di Pulau Jawa dan terbatas lingkungan perguruan 1.Tenaga Listrik dari Air Sebuah skema hidro memerlukan dua hal yaitu debit air dan ketinggian jatuh (biasa disebut ‘Head’) untuk menghasilkan tenaga yang bermanfaat. Ini adalah sebuah sistem konversi tenaga, menyerap tenaga dari bentuk ketinggian dan aliran, dan menyalurkan tenaga dalam bentuk daya listrik atau daya gagang mekanik. Tidak ada sistem konversi daya yang dapat mengirim sebanyak yang diserap dikurangi sebagian daya hilang oleh sistem itu sendiri dalam bentuk gesekan, panas, suara dan sebagainya.
Gambar.
Head
Persamaan Daya yang atau Daya yang
adalah
ketinggian
vertikal
masuk
=
konversinya Daya yang keluar
keluar
=
Daya
Persamaan di atas Daya yang masuk, Pgross. Daya yang skema Pnet
yang
masuk
dimana
air
jatuh. adalah: (Loss)
+
Kehilangan
×
Efisiensi
konversi
biasanya digunakan untuk menggambarkan perbedaan yang kecil. atau total daya yang diserap oleh skema hidro, adalah daya kotor, manfaatnya dikirim adalah daya bersih, Pnet. Semua efisiensi dari gambar diatas disebut Eo. = Pgross ×Eo kW
Daya kotor adalah head kotor (Hgross) yang dikalikan dengan debit air (Q) dan juga dikalikan dengan sebuah faktor (g = 9.8), sehingga persamaan dasar dari pembangkit listrik adalah : Pnet = g ×Hgross × Q ×Eo kW (g=9.8) dimana head dalam meter, dan debit air dalam meter kubik per detik (second (s)). Dan Eo terbagi sebagai berikut. Eo = Ekonstruksi sipil × Epenstock × Eturbin × Egenerator × Esistem kontrol × Ejaringan × Etrafo Biasanya Ekonstruksi sipil : 1.0 - (panjang saluran × 0.002 ~ 0.005)/ Hgross Epenstock >: 0.90 ~ 0.95 (tergantung pada panjangnya) Eturbin : 0.70 ~ 0.85 (tergantung pada tipe turbin) Egenerator : 0.80 ~ 0.95 (tergantung pada kapasistas generator) Esistem kontrol> : 0.97 Ejaringan : 0.90 ~ 0.98 (tergantung pada panjang jaringan) Etrafo : 0.98 Ekonstruksi sipil dan Epenstock adalah yang biasa diperhitungkan sebagai ‘Head Loss (Hloss)/kehilangan ketinggian’. Dalam kasus ini, persamaan diatas dirubah ke persamaan berikut. Pnet= g ×(Hgross-Hloss) ×Q ×(Eo – Ekonstruksi sipil - Epenstock ) kW Persamaan sederhana ini harus diingat: ini adalah inti dari semua disain pekerjaan pembangkit listrik. Ini penting untuk menggunakan unit-unit yang benar. Efisiensi sistem yang spesifik untuk sebuah skema yang berjalan pada disain aliran
penuh.
Kekayaan alam Indonesia memang melimpah ruah, dari mulai sumber daya alam sampai sumber daya mineral semua tersedia. Sumber daya mineral yang melimpah di negara tercinta ini antara lain emas, tembaga, platina, nikel, timah, batu bara, migas, dan panas bumi. Untuk mengelola panas bumi (geothermal) Pertamina telah membentuk PT Pertamina Geothermal Energy, Desember 2006 yang lalu. Geothermal adalah salah satu kekayaan sumber daya mineral yang belum banyak dimanfaatkan. Salah satu sumber geothermal kita yang berpotensi besar tetapi belum dieksploitasi adalah yang ada di Sarulla, dekat Tarutung, Sumut. Sumber panas bumi Sarulla bahkan dikabarkan memiliki cadangan terbesar di dunia. Adalah Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan hal itu ketika berkunjung ke lokasi panas bumi tersebut, seperti dimuat oleh koran lokal Medan beberapa tahun lalu.
Saat ini panas bumi (geothermal) mulai menjadi perhatian dunia karena energi yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi energi listrik, selain bebas polusi. Beberapa pembangkit listrik bertenaga panas bumi telah terpasang di manca negara seperti di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Swedia, Swiss, Jerman, Selandia Baru,
Australia, dan Jepang. Amerika saat ini bahkan sedang sibuk dengan riset besar mereka di bidang geothermal dengan nama Enhanced Geothermal Systems (EGS). EGS diprakarsai oleh US Department of Energy (DOE) dan bekerja sama dengan beberapa universitas seperti MIT, Southern Methodist University, dan University of Utah. Proyek ini merupakan program jangka panjang dimana pada 2050 geothermal meru-pakan sumber utama tenaga listrik Amerika Serikat. Program EGS bertujuan untuk meningkatkan sumber daya geothermal, menciptakan teknologi ter-baik dan ekonomis, memperpanjang life time sumur-sumur produksi, ekspansi sumber daya, menekan harga listrik geothermal menjadi seekono-mis mungkin, dan keunggulan lingkungan hidup. Program EGS telah mulai aktif sejak Desember 2005 yang lalu. Terjadinya
Lumpur
Panas
dan
Panas
Bumi
Untuk memahami bagaimana panas bumi terbentuk, kita bisa analogikan bumi ini dengan telur ayam yang direbus. Bila telur rebus tadi kita belah, maka kuning telurnya itu dapat kita pandang sebagai perut bumi. Kemudian putih telur itulah lapisan-lapisan bumi, dan kulitnya itu merupakan kulit bumi. Di bawah kulit bumi, yaitu lapisan atas merupakan batu-batuan dan lumpur panas yang disebut magma. Magma yang keluar ke permukaan bumi melalui gunung disebut dengan lava. Setiap 100 meter kita turun ke dalam perut bumi, temperatur batu-batuan cair tersebut naik sekitar 30 C. Jadi semakin jauh ke dalam perut bumi suhu batu-batuan maupun lumpur akan makin tinggi. Bila suhu di permukaan bumi adalah 270 C maka untuk kedalaman 100 meter suhu bisa mencapai sekitar 300 C. Untuk kedalaman 1 kilometer suhu batu-batuan dan lumpur bisa mencapai 57-600 C. Bila kita ukur pada kedalaman 2 kilometer suhu batuan dan lumpur bisa mencapai 1200 C atau lebih. Lebih panas dari air rebusan yang baru mendidih. Bahkan bila lumpur ini menyembur keluar pun masih tetap panas. Hal seperti inilah yang terjadi di Sidoarjo dan sekitarnya dimana lumpur panas masih menyembur. Di dalam kulit bumi ada kalanya aliran air dekat sekali dengan batu-batuan panas di mana suhu bisa mencapai 1480C. Air tersebut tidak menjadi uap (steam) karena tidak ada kontak dengan udara. Bila air panas tadi bisa keluar ke permukaan bumi karena ada celah atau terjadi retakan di kulit bumi, maka timbul air panas yang biasa disebut dengan hot spring. Air panas alam (hot spring) ini biasa dimanfaatkan sebagai kolam air panas, dan banyak pula yang sekaligus menjadi tempat wisata. Di Indonesia banyak juga air panas alami yang dimanfaatkan sebagai sarana pemandian dan tempat wisata seperti Ciater, Cipanas-Garut, Sipoholon dan Desa Hutabarat di Tarutung, Lau Debuk-debuk di Tanah Karo, dan beberapa tempat lainnya di penjuru tanah air. Kadang-kadang air panas alami tersebut keluar sebagai geyser. Di Amerika sekitar 10.000 tahun yang lalu suku Indian mengguna-kan air panas alam (hot spring) untuk memasak, di mana daerah sekitar mata air tersebut adalah daerah bebas (netral). Beberapa sumber air panas dan geyser malah dikeramatkan suku Indian pada masa lalu seperti California Hot Springs dan Geyser di daerah wisata Napa, Cali-fornia. Saat ini panas alam bahkan digunakan sebagai pemanas ruangan di kala musim dingin seperti yang terdapat di San Bernardino, Cali-fornia Selatan. Hal yang sama juga dapat kita temui di Islandia (country
of Iceland) dimana gedung-gedung dan kolam renang dipanaskan dengan air panas alam (hot spring) yang kadang kala disebut dengan geothermal hot water. Selain sebagai pemanas, panas bumi ternyata dapat juga mengha-silkan tenaga listrik. Di atas telah di-sebutkan bahwa air panas alam ter-sebut bila bercampur dengan udara karena terjadi fraktur atau retakan maka selain air panas akan keluar juga uap panas (steam). Air panas dan steam inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Agar panas bumi (geothermal) tersebut bisa dikonversi menjadi ener-gi listrik tentu diperlukan pembangkit (power plants). Reservoir panas bumi biasanya diklasifi-kasikan ke dalam dua golongan yaitu yang bersuhu rendah (low temperature) dengan suhu <1500 C dan yang bersuhu tinggi (high tempera-ture) dengan suhu diatas 1500C. Yang paling baik untuk digunakan sebagai sumber pem-bangkit tenaga listrik adalah yang masuk kate-gori high temperature. Namun dengan perkem-bangan teknologi, sumber panas bumi dengan kategori low temperature juga dapat digunakan asalkan suhunya melebihi 500 C. Pembangkit listrik(power plants) untuk pembang-kit listrik tenaga panas bumi dapat beroperasi pada suhu yang relatif rendah yaitu berkisar antara 122 s/d 4820 F (50 s/d 2500 C). Banding-kan dengan pembangkit pada PLTN yang akan beroperasi pada suhu sekitar 10220 F atau 5500 C. Inilah salah satu keunggulan pembangkit listrik geothermal. Keuntungan lainnya ialah bersih dan aman, bahkan geothermal adalah yang terbersih dibandingkan dengan nuklir, minyak bumi dan batu bara. Pembangkit yang digunakan untuk meng-konversi fluida geothermal menjadi tenaga listrik secara umum mempunyai komponen yang sama dengan power plants lain yang bukan berbasis geothermal, yaitu terdiri dari gene-rator, turbin sebagai penggerak generator, heat exchanger, chiller, pompa, dan sebagainya. Saat ini terdapat tiga macam teknologi pembangkit panas bumi (geothermal power plants) yang dapat mengkonversi panas bumi menjadi sumber daya listrik, yaitu dry steam, flash steam, dan binary cycle. Ketiga macam teknologi ini pada dasarnya digunakan pada kondisi yang berbeda-beda. 1. Dry Steam Power Plants Pembangkit tipe ini adalah yang pertama kali ada. Pada tipe ini uap panas (steam) langsung diarahkan ke turbin dan mengaktifkan generator untuk bekerja menghasilkan listrik. Sisa panas yang datang dari production well dialirkan kembali ke dalam reservoir melalui injection well. Pembangkit tipe tertua ini per-tama kali digunakan di Lardarello, Italia, pada 1904 dimana saat ini masih berfungsi dengan baik. Di Amerika Serikat pun dry steam power masih digunakan seperti yang ada di Geysers, California Utara. 2. Flash Steam Power Plants Panas bumi yang berupa fluida misalnya air panas alam (hot spring) di atas suhu 1750 C dapat digunakan sebagai sumber pembangkit Flash Steam Power Plants. Fluida panas tersebut dialir-kan kedalam tangki flash yang tekanannya lebih rendah sehingga terjadi uap panas secara cepat. Uap panas yang disebut dengan flash inilah yang menggerakkan turbin untuk meng-aktifkan generator yang kemudian menghasil-kan listrik. Sisa panas yang tidak terpakai ma-suk kembali ke reservoir melalui injection well. Con-toh dari Flash Steam Power Plants adalah Cal-Energy Navy I flash geothermal power plants di
Coso Geothermal field, California, USA.
3. Binary Cycle Power Plants (BCPP) BCPP menggunakan teknologi yang berbe-da dengan kedua teknologi sebelumnya yaitu dry steam dan flash steam. Pada BCPP air panas atau uap panas yang berasal dari sumur pro-duksi (production well) tidak pernah menyentuh turbin. Air panas bumi digunakan untuk memanaskan apa yang disebut dengan working fluid pada heat exchanger. Working fluid kemu-dian menjadi panas dan menghasilkan uap berupa flash. Uap yang dihasilkan di heat exchanger tadi lalu dialirkan untuk memutar turbin dan selanjutnya menggerakkan genera-tor untuk menghasilkan sumber daya listrik. Uap panas yang dihasilkan di heat exchanger inilah yang disebut sebagai secondary (binary) fluid. Binary Cycle Power Plants ini sebetulnya merupakan sistem tertutup. Jadi tidak ada yang dilepas ke atmosfer.
Keunggulan dari BCPP ialah dapat dioperasikan pada suhu ren-dah yaitu 90-1750C. Contoh pene-rapan teknologi tipe BCPP ini ada di Mammoth Pacific Binary Geo-thermal Power Plants di Casa Di-ablo geothermal field, USA. Diper-kirakan pembangkit listrik panas bumi BCPP akan semakin banyak digunakan dimasa yang akan datang. Masa Depan Listrik PanasBumi Meningkatnya kebutuhan ener-gi dunia ditambah lagi dengan se-makin tingginya kesadaran akan kebersihan dan keselamatan lingkungan, maka panas bumi (geothermal) akan mempunyai masa depan yang cerah. Program EGS (enhanced geothermal systems)
yang dilakukan Amerika Serikat misalnya, adalah suatu program besar-besaran untuk menjadikan geothermal sebagai salah satu primadona pembangkit listrik pada 2050 yang akan datang. Indonesia sendiri sebetulnya sangat ber-peluang untuk melakukan pemanfaatan geothermal sebagai pembangkit listrik, bahkan berpotensi sebagai negara pengekspor listrik bila ditangani secara serius. Hal ini tidak berlebihan, mengingat banyaknya sumber geothermal yang sudah siap diekploitasi di sepanjang Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Untuk mempermudah pelaksanaannya tidak ada sa-lahnya bila kita bekerja sama dengan negara maju asalkan kepentingan kita yang lebih dominan. Misalnya kita bekerja sama dengan US Department of Energy (DOE) untuk men-dapat berbagai hasil riset mereka dalam EGS.• (Gilbert Hutauruk - SBTI-Direktorat Umum & SDM)
Pembangkit listrik tenaga angin dan matahari merupakan teknologi hibrida yang terbilang baru dan ramah lingkungan, pertama diperkenalkan oleh Guiseppe seorang doktor dari perusahaan listrik Italia tahun 1995. Dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga angin saja maupun tenaga matahari saja, teknologi hibrida ini jelas lebih tinggi karena tak sepenuhnya bergantung pada matahari. Maka, bila langit medung atau malam tiba dan matahari lenyap, pembangkit listrik akan digerakkan oleh kincir angin jadi listrikpun tetap mengalir. Sebaliknya, ketika angin sedang loyo berhembus, panel-panel sel surya penangkap sinar matahari bisa terus memasok listrik. Pembangkit listrik ini cocok untuk daerah yang cuacanya sering berubah-ubah seperti di pesisir pantai. Teknologi pembangkit listrik ini sebenarnya tak rumit. la terdiri dari tiga bagian utama yaitu : Kincir angin. Panel berisi sel surya dan Penyimpanan listrik seperti terlihat pada Gambar awal. Saat angin bertiup, bilah-bilah kincir akan bergerak memutar dinamo (dynamo) yang membangkitkan arus listrik. Listrik ini kemudian disalurkan ke bagian penyimpanan yang berupa sejumlah aki mobil. Pada saat yang sama, ketika matahari bersinar panel sel surya akan menangkap sinar untuk diubah juga menjadi listrik. Panel ini berisi sel photovoltaic yang terbuat dari dua lapis silicon. Ketika terkena sinar matahari, dua lapisan silicon akan menghasilkan ion positif dan negative, dan listrikpun akan tercipta.
Listrik dari panel surya dan kincir angin itu masih berupa arus searah (direct current, DC). Padahal alat rumah tangga seperti televisi, radio, kulkas, dll, membutuhkan listrik berarus bolak-balik (alternating current, AC). Untuk itulah dibutuhkan inverter, pengubah arus DC menjadi AC 220 Volt. Pembangkit listrik ini bisa menghasilkan daya 50 kilowatt atau cukup untuk 600 kepala keluarga, dengan masing-masing keluarga memakai daya listrik 450 watt. Kelebihan dan Kekurangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Matahari Kelebihan : 1. Ramah Lingkungan (environmental friendly) 2. Praktis digunakan pada wilayah pesisir pantai 3. Tidak memerlukan perawatan khusus 4. Teknologinya tidak rumit 5. Disainnya dari bahan yang tidak mudah karatan (korosi) 6. Mudah mengoperasikan Kekurangan : 1. Butuh biaya yang cukup besar untuk pembelian dan pelatihan operator teknis 2. Tersedianya suku cadang dan aki mobil yang cukup, apalagi letaknya jauh di pulau Proyek
Hybrid
photovoltaik
dan
tenaga
angin
di
Indonesia
Proyek tersebut dinamakan dengan "Proyek Oeledo" dimulai pada tahun 1997, dan selesai pada tahun 2000. Oeledo itu sendiri merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote- Ndao di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari Kupang, kota Provinsi NTT, Rote dapat dicapai sekitar empat jam dengan feri melalui dermaga Pantai Besar. Jarak dari pelabuhan ini ke Oeledo sekitar 22 kilometer, tetapi ditempuh dengan perjalanan darat 1,5 jam karena jalan yang dilalui berupa jalan tanah dan rusak. Proyek ini diserahkan secara resmi kepada masyarakat Oeledo pada tahun 2001. Proyek Oeledo terdiri dari studi sosial-ekonomi, finansial dan teknik, kemampuan manajemen skema listrik perdesaan dengan sistem hibrid serta turut serta dalam langkah-langkah pengembangan masyarakat. Proyek ini dirancang dan diimplementasikan oleh e-7 Network of Expertise, sebuah organisasi internasional yang terdiri dari sembilan perusahaan listrik terkemuka dari negara-negara G7 (Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat), yang bekerja sama dengan Pemerintah indonesia dan organisasi non-pemerintah setempat. Sistem hibrid tersebut menyuplai 127 pelanggan dengan listrik AC 220 Volt. Energi angin dan photovoltaik membangkitkan listrik yang disimpan dalam baterei dan disuplai ke konsumen selama 24 jam. Konsumsi energi angin diukur dan dibayar pada bulan dasar kepada Pengelola Listrik Desa (PLD), yang menyediakan dan memastikan pelayanan listrik yang layak kepada para pelanggan. Sebelum adanya proyek Oeledo, masyarakat biasa menggunakan kerosin, lilin, dan
baterei untuk memenuhi kebutuhan listriknya dengan biaya sekitar Rp 10.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per bulan. Padahal dengan menggunakan teknologi energi terbarukan, dengan tarif Rp 800,00/kWh dan biaya kapasitas yang ditentukan Rp 5000,00 (10.000,00) per 0,5 (1) A per bulan ( circuit breaker ) yang dipromosikan oleh PLD, dapat diterima oleh masyarakat dan dituangkan dalam perjanjian pelayanan antara pelanggan dan PLD. Selain penerangan dan aplikasi TV/radio, usaha skala kecil telah dibangun di Oeledo yang bertujuan untuk kelangsungan suplai listrik, seperti untuk penerangan kios-kios, lemari pendingin, pembuatan kerajinan (menjahit, mungukir kayu, dan lain-lain), proses pembuatan gula dan mendukung aktivitas kelompok perempuan di Oeledo. Ukuran emisi CO 2 , yang dihindari dalam proyek, diperkirakan dan didokumentasikan sejak tahun 2001. dan dibandingkan dengan skenario dasar. Jumlah dan kualitas perkiraan data dimungkinkan untuk menghitung secara akurat dan detil mengenai penurunan emisi. Rata-rata emisi CO 2 pembangkit listrik tenaga diesel adalah 1,1 kg CO 2 /kWh, survey proyek menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah terpencil menghasilkan rata-rata 360 kg CO 2 /year dalam suatu wilayah. Sistem hibrid Oeledo dapat menyuplai kebutuhan masyarakat sebesar 22.000 kWh per tahun dan cenderung meningkat. Jumlah energi tersebut menghasilan penghindaran emisi sekitar 24t CO 2 /year. Kapasitas maksimum yang memungkinkan adalah 44.000 kWh per year, mencukupi perluasan pelayanan di masa depan dan perubahan pola konsumsi. Sistem hibrid Oeledo terdiri dari 22 kWp dari sistem photovoltaik, 10 kW dari generator yang dibangkitkan oleh energi angin, 20 kW dari generator diesel sebagai cadangan, kapasitas penyimpanan baterei sebesar 144 kWh dan 2x20 kW IGBT inverter. Suplai dari sistem tersebut terbatas, namun layak, digunakan untuk melistriki 120 rumah tangga, sekolah-sekolah, dan tempat-tempat umum melalui distribusi jaringan LV tambahan denga jarak sekitar 3 km. Umur proyek sistem hibrid Oeledo terbatas pada faktor teknis. Komponen-komponen sistem mempunyai umur pakai 10-20 tahun. Iuran yang terkumpul dari para pelanggan listrik yang ditabung di rekening bank dapat mencukupi untuk mengganti sebagian besar komponen selama periode 15-20 tahun. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa 10-20% dari investasi dapat dikembalikan dalam waktu 20 tahun, termasuk biaya perawatan, biaya manajemen dan pergantian komponen setelah habis umur pakainya. Dengan adanya proyek ini, banyak keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat Oeledo dan negara, di antaranya: • Meningkatkan penerangan dan komunikasi • Memperluas waktu produktif bagi masyarakat • Memperbaiki pendidikan dikarenakan adanya perpanjangan waktu belajar sampai malam • Memperbaiki akses informasi melalui TV dan radio • Secara umum, dari segi kesehatan, sistem tersebut menciptakan lingkungan yang lebih bersih, mengurangi resiko kebakaran, mengurangi racun polusi di rumah karena asap dari
pembakaran kerosin, mengurangi infeksi paru-paru akut, dan mengurangi pembersihan alat-alat rumah tangga, penutup tempat tidur dan jaringan nyamuk yang akan mengurangi biaya pemeliharaan rumah. • Membuka kesempatan kerja baru dan usaha skala kecil • Menciptakan kesadaran untuk menggunakan teknologi energi terbarukan • Meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah perdesaan Indonesia . Fakta menunjukkan konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang disebut pengembangan energi hijau. Fakta menunjukkan konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang disebut pengembangan energi hijau. Yang dimaksud energi terbarukan di sini adalah energi non-fosil yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui. Bila dikelola dengan baik, sumber daya itu tidak akan habis. Di Indonesia pemanfaatan energi terbarukan dapat digolongkan dalam tiga kategori. Yang pertama adalah energi yang sudah dikembangkan secara komersial, seperti biomassa, panas bumi dan tenaga air. Yang kedua adalah energi yang sudah dikembangkan tetapi masih secara terbatas, yaitu energi surya dan energi angin. Dan yang terakhir adalah energi yang sudah dikembangkan, tetapi baru saja sampai pada tahap penelitian, seperti energi pasang surut. Energi Surya Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya dengan radiasi harian matahari rata-rata 4,8 kWh/m2. Untuk memanfaatkan potensi energi surya ada dua macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu energi surya <EM>fotovoltaik dan energi surya termal. Efesiensi sel surya fotovoltaik komersial berkisar antara sepuluh sampai 17 persen. Artinya, hanya 10 sampai 17 persen energi matahari yang diubah menjadi arus listrik. Untuk menghasilkan energi dalam skala besar diperlukan lahan yang luas. Saat ini, kendala dalam penggunaan sistem surya <EM>fotovoltaik adalah harga panel surya yang masih tinggi. Hal ini dapat diatasi misalnya dengan mengganti lapisan semikonduktor dengan unsur yang lebih kompetitif. Sedangkan keuntungan pembangkit energi surya <EM>fotovoltaik adalah dalam pembangkitan listrik tidak dihasilkan emisi CO2 atau gas berbahaya lainnya. Energi surya termal menggunakan tenaga matahari untuk menghasilkan listrik secara tidak langsung. Energi panas yang dihasilkan menggerakkan turbin uap sehingga menghasilkan listrik. Efisiensi kerja energi termal mencapai 30 persen. Sama dengan energi surya fotovoltaik, pembangkit listrik tenaga termal tidak menghasilkan emisi CO2. Sementara kelemahannya adalah pembangkit listrik ini hanya digunakan pada siang hari karena membutuhkan penyinaran langsung matahari. Pemanfaatannya bersifat komersial belum tersebar luas. Energi Biomasssa
Energi ini berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan peternakan atau bahkan sampah. Energi ini mampu menghasilkan panas, membuat bahan bakar dan membangkitkan listrik. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konservasi biomassa menjadi bahan bakar. Hasilnya dapat berupa gas biomassa, bio ethanol, bio diesel dan bahan bakar cair (BTL). Energi Bio Ethanol Bio ethanol dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dengan kandungan hidrokarbon tinggi. Energi ini dapat digunakan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan bahan bakar bensin. Kelebihannya yaitu, mampu meningkatkan angka oktan pada bahan bakar sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja mesin modern. Keuntungan lainnya adalah rendahnya emisi gas berbahaya hasil pembakaran daripada pembakaran buang bensin Energi Bio Diesel Bio diesel dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewani, ganggang atau bahkan minyak goreng bekas serta bahan bakar kendaraan. Bila diproduksi dalam skala besar adalah meningkatkan beban lingkungan karena perkebunan mono kultur atau perkebunan dengan satu jenis tanaman sehingga dapat mengurangi produktivitas tanah serta mengganggu keseimbangan ekosistem. Kelemahan penggunaan biodiesel atau ethanol murni sebagai bahan bakar kendaraan adalah perlu modifikasi pada mesin karena ethanol dan biodiesel anatara lain akan bereaksi dengan karet dan plastik konvensional. Biomassa sangat beragam jenisnya yang pada dasarnya merupakan hasil produksi dari makhluk hidup. Biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, peternakan atau bahkan sampah. Biomassa (bahan organik) dapat digunakan untuk menyediakan panas, membuat bahan bakar, dan membangkitkan listrik, hat ini disebut bioenergi. Bioenergi berada pada level kedua setelah tenaga air dalam produksi energi primer terbarukan di Amerika Serikat. Untuk kepentingan khusus, pemanfaatan biomassa menjadi solusi yang sangat menjanjikan untuk permasalahan sampah di kota-kota besar. Pemanfaatan sampah sebagai biomassa menjadi tenaga listrik meiaitji proses pembakaran langsung (direct cornbustion) atau metalui proses pembuatan gas metana (gasifikasi) dapat menjadi solusi, walaupun proyek ini lebih mahal dibandingkan proyek pembangkit listrik lain untuk kapasitas yang setara. Pemanfaatan energi biomassa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dewasa ini teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari : 1. Pembakaran langsung (direct combustion) dalam bentuk pemanfaatan panas. Pemanfaatan panas biomassa telah dikenal sejak dulu seperti pemanfaatan kayu bakar. Pemanfaatan yang cukup besar umumnya untuk menghasilkan uap pada pembangkitan listrik atau proses manufaktur. Dalam sistem pembangkit, kerja turbin biasanya memanfaatakan ekspansi uap bertekanan dan bertemperatur tinggi untuk menggerakkan generator. Di industri kayu dan kertas, serpihan kayu terkadang langsung dimasukkan ke boiler untuk menghasilkan uap untuk proses manufaktur atau menghangatkan ruangan. Beberapa sistem pembangkit berbahan bakar batubara menggunakan biomassa sebagai sumber energi tambahan dalam boiler efisiensi tinggi untuk mengurangi emisi.
2. Konversi menjadi bahan bakar cair. Dua bahan bakar bio yang paling umum adalah ethanol dan biodiesel. Ethanol merupakan alkohol yang dibuat dengan fermentasi biomassa dengan kandungan hidrokarbon yang tinggi seperti jagung metaldi proses yang sama untuk membuat bir. Ethanol paling sering digunakan sebagai aditif bahan bakar untuk mengurangi emisi CO dan asap lainnya dari kendaraan. Biodiesel merupakan ester yang dibuat menggunakan minyak tanaman, lemak binatang, ganggang, atau bahkan minyak goreng bekas. Biodiesel dapat digunakan sebagai aditif diesel untuk mengurangi emisi kendaraan atau dalam bentuk murninya sebagai bahan bakar kendaraan 3. Pemanfaatan Gas Biomassa Pemanfaatan gas biomassa skala kecil yang banyak diaplikasikan oleh masyarakat adalah pemanfaatan gas metana hasil fermentasil yang langsung dibakar untuk dimanfaatkan panasnya. Pada skala yang lebih maju pemanfaatan gas biomassa dilakukan melalui sistem gasifikasi menggunakan temperatur tinggi untuk mengubah biomassa menjadi gas (campuran dari hidrogen, CO dan metana). Salah satu contoh pemanfaatan tersebut adalah penggunaan sekam padi pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) komersial pertama yang menggunakan. bahan bakar sekam padi berada di penggilingan padi rnifik PT (Persero) Pertani di Desa Haurgeulis, Keeamatan Haurgaulis, Kabupaten Indramayu. PLTD berkekuatan 1 x 100 kilowatt (kw) tersebut dibangun PT Indonesia Power dan PT Pertani. Prinsip keda PLTD berbahan bakar sekam padi itu adalah mencampurkan gas hasil gasifikasi sekam padi pada temperatur tinggi dengan bahan bakar minyak (BBM) di dalam ruang bakar motor diesel yang menggerakkan turbin untuk menghasii'kan tenaga listrik. Pencampuran BBM dengan gas sekam padi dapat menghemat pemakaian BBIVi hingga 80 persen dari jumlah pemakaian semula, sehingga biaya operasional untuk membangkitkan listrik dengan daya yang sama dapat berkurang jauh. Sebagai gambaran, jika PLTD berkapasitas 100 kW dioperasikan penuh dengan menggunakan BBM, dibutuhkan 0,3 liter BBM per kWh (kilowatt hour). Sementara jika ditambahkan gas sekam padi, hanya dibutuhkan 0,06 liter per kWh ditambah sekam padi sebanyak 1,5 kg per kWh. Sistem penanganan material biomassa, merupakan bagian yang cukup besar dalam modal investasi dan biaya operasi dalam fasilitas konversi energi bio. Kebutuhannya tergantung pada tipe biomassa yang akan diolah dalam teknologi konversi seperti hainya kebutuhan gudang cadangan makanan, diantaranya penyimpanan biomassa, penanganan, pengangkutan, pengurangan ukuran, pembersihan, pengeringan serta peralatan. Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan, serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Sedangkan, akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan pra-syarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat tersebut, dikembangkan berbagai energi alternatif, di antaranya energi terbarukan. Potensi energi terbarukan, seperti: biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera,
sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan, padahal potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah besar. Energi surya merupakan salah satu energi yang sedang giat dikembangkan saat ini oleh Pemerintah Indonesia. Kondisi Umum Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup besar. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi angin rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi energi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian (perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan air. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total ± 6 MW. Ada dua macam teknologi energi surya yang dikembangkan, yaitu: • Teknologi energi surya fotovoltaik; • Teknologi energi surya termal. TEKNOLOGI ENERGI SURYA FOTOVOLTAIK Teknologi dan Kemampuan Nasional Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk SHS (s olar home systems ) sudah mencapai tahap semi komersial. Komponen utama suatu SESF adalah: • Sel fotovoltaik yang mengubah penyinaran matahari menjadi listrik, masih impor, namun untuk laminating menjadi modul surya sudah dkuasai; • Balance of system (BOS) yang meliputi controller, inverter , kerangka modul, peralatan listrik, seperti kabel, stop kontak, dan lain-lain, teknologinya sudah dapat dikuasai; • Unit penyimpan energi (baterai) sudah dapat dibuat di dalam negeri; • Peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat, sistem hibrid, dan lain-lain masih diimpor. Kandungan lokal modul fotovoltaik termasuk pengerjaan enkapsulasi dan framing sekitar 25%, sedangkan sel fotovoltaik masih harus diimpor. Balance of System (BOS) masih bervariasi tergantung sistem desainnya. Kandungan lokal dari BOS diperkirakan telah mencapai diatas 75%. Sasaran Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia • Sasaran pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: Semakin berperannya pemanfaatan energi surya fotovoltaik dalam penyediaan energi di daerah perdesaan, sehingga pada tahun 2020 kapasitas terpasangnya menjadi 25 MW.
Semakin berperannya pemanfaatan energi surya di daerah perkotaan. Semakin murahnya harga energi dari solar photovoltaic , sehingga tercapai tahap komersial. • Terlaksananya produksi peralatan SESF dan peralatan pendukungnya di dalam negeri yang mempunyai kualitas tinggi dan berdaya saing tinggi. Strategi Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Strategi pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: • Mendorong pemanfaatan SESF secara terpadu, yaitu untuk keperluan penerangan (konsumtif) dan kegiatan produktif.Mengembangan SESF melalui dua pola, yaitu pola tersebar dan terpusat yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pola tersebar diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk menyebar dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan pola terpusat diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk terpusat. • Mengembangkan pemanfaatan SESF di perdesaan dan perkotaan. • Mendorong komersialisasi SESF dengan memaksimalkan keterlibatan swasta. • Mengembangkan industri SESF dalam negeri yang berorientasi ekspor. • Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien dengan melibatkan dunia perbankan. Program Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Program pengembangan energi surya fotovoltaik adalah sebagai berikut: • Mengembangkan SESF untuk program listrik perdesaan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah yang jauh dari jangkauan listrik PLN. • Meningkatkan penggunaan teknologi hibrida, khususnya untuk memenuhi kekurangan pasokan tenaga listrik dari isolated PLTD. • Mengganti seluruh atau sebagian pasokan listrik bagi pelanggan Sosial Kecil dan Rumah Tangga Kecil PLN dengan SESF. Pola yang diusulkan adalah: • Memenuhi semua kebutuhan listrik untuk pelanggan S1 dengan batas daya 220 VA; • Memenuhi semua kebutuhan untuk pelanggan S2 dengan batas daya 450 VA; • Memenuhi 50 % kebutuhan listrik untuk pelanggan S2 dengan batas daya 900 VA; • Memenuhi 50 % kebutuhan untuk pelanggan R1 dengan batas daya 450 VA. • Mendorong penggunaan SESF pada bangunan gedung, khususnya Gedung Pemerintah. • Mengkaji kemungkinan pendirian pabrik modul surya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kemungkinan ekspor. • Mendorong partisipasi swasta dalam pemanfaatan energi surya fotovoltaik. • Melaksanakan kerjasama dengan luar negeri untuk pembangunan SESF skala besar. Peluang Pemanfaatan Fotovoltaik Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang kecil dan banyak yang terpencil menyebabkan sulit untuk dijangkau oleh jaringan listrik yang bersifat terpusat. Untuk memenuhi kebutuhan energi di daerah-daerah semacam ini, salah satu jenis energi yang potensial untuk dikembangkan adalah energi surya. Dengan demikian, energi surya dapat dimanfaatkan untuk p enyedian listrik dalam rangka mempercepat rasio elektrifikasi desa. • •
Selain dapat digunakan untuk program listrik perdesaan, peluang pemanfaatan energi surya lainnnya adalah: • Lampu penerangan jalan dan lingkungan; • Penyediaan listrik untuk rumah peribadatan. SESF sangat ideal untuk dipasang di tempat-tempat ini karena kebutuhannya relatif kecil. Dengan SESF 100 /120Wp sudah cukup untuk keperluan penerangan dan pengeras suara; • Penyediaan listrik untuk sarana umum. Dengan daya kapasitas 400 Wp sudah cukup untuk memenuhi listrik sarana umum; • Penyediaan listrik untuk sarana pelayanan kesehatan, seperti: rumah sakit, Puskesmas, Posyandu, dan Rumah Bersalin; • Penyediaan listrik untuk Kantor Pelayanan Umum Pemerintah. Tujuan pemanfaatan SESF pada kantor pelayanan umum adalah untuk membantu usaha konservasi energi dan mambantu PLN mengurangi beban puncak disiang hari; • Untuk pompa air ( solar power supply for waterpump ) yang digunakan untuk pengairan irigasi atau sumber air bersih (air minum). Kendala Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia • Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi surya fotovoltaik adalah: • Harga modul surya yang merupakan komponen utama SESF masih mahal mengakibatkan harga SESF menjadi mahal, sehingga kurangnya minat lembaga keuangan untuk memberikan kredit bagi pengembangan SEEF; • Sulit untuk mendapatkan suku cadang dan air accu , khususnya di daerah perdesaan, menyebabkan SESF cepat rusak; • Pemasangan SESF di daerah perdesaan pada umumnya tidak memenuhi standar teknis yang telah ditentukan, sehingga kinerja sistem tidak optimal dan cepat rusak.; • Pada umumnya, penerapan SESF dilaksanakan di daerah perdesaan yang sebagian besar daya belinya masih rendah, sehingga pengembangan SESF sangat tergantung pada program Pemerintah; • Belum ada industri pembuatan sel surya di Indonesia, sehingga ketergantungan pada impor sangat tinggi. Akibatnya, dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga modul surya menjadi semakin mahal. 2. TEKNOLOGI ENERGI SURYA TERMAL Selama ini, pemanfaatan energi surya termal di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Para petani dan nelayan di Indonesia memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian dan perikanan secara langsung. Teknologi dan Kemampuan Nasional Berbagai teknologi pemanfaatan energi surya termal untuk aplikasi skala rendah (temperatur kerja lebih kecil atau hingga 60 o C) dan skala menengah (temperatur kerja antara 60 hingga 120 o C) telah dikuasai dari rancang-bangun, konstruksi hingga manufakturnya secara nasional. Secara umum, teknologi surya termal yang kini dapat dimanfaatkan termasuk dalam teknologi sederhana hingga madya. Beberapa teknologi untuk aplikasi skala rendah dapat dibuat oleh bengkel pertukangan kayu/besi biasa. Untuk aplikasi skala menengah dapat dilakukan oleh industri manufaktur nasional. Beberapa peralatan yang telah dikuasai perancangan dan produksinya seperti sistem atau unit berikut: • Pengering pasca panen (berbagai jenis teknologi);
Pemanas air domestic; Pemasak/oven; Pompa air (dengan Siklus Rankine dan fluida kerja Isopentane ); Penyuling air ( Solar Distilation/Still ); Pendingin (radiatif, absorpsi, evaporasi, termoelektrik, kompressip, tipe jet); Sterilisator surya; Pembangkit listrik dengan menggunakan konsentrator dan fluida kerja dengan titik didih rendah. Untuk skala kecil dan teknologi yang sederhana, kandungan lokal mencapai 100 %, sedangkan untuk sistem dengan skala industri (menengah) dan menggunakan teknologi tinggi (seperti pemakaian Kolektor Tabung Hampa atau Heat Pipe ), kandungan lokal minimal mencapai 50%. Sasaran Pengembangan Energi Surya Termal Sasaran pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Meningkatnya kapasitas terpasang sistem energi surya termal, khususnya untuk pengering hasil pertanian, kegiatan produktif lainnya, dan sterilisasi di Puskesmas. Tercapainya tingkat komersialisasi berbagai teknologi energi surya thermal dengan kandungan lokal yang tinggi. Strategi Pengembangan Energi Surya Termal • Strategi pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Mengarahkan pemanfaatan energi surya termal untuk kegiatan produktif, khususnya untuk kegiatan agro industri. • Mendorong keterlibatan swasta dalam pengembangan teknologi surya termal. • Mendor ong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efektif. • Mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mengembangkan surya termal. Program Pengembangan Energi Surya Termal Program pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Melakukan inventarisasi, identifikasi dan pemetaan potensi serta aplikasi teknologi fototermik secara berkelanjutan. Melakukan diseminasi dan alih teknologi dari pihak pengembang kepada pemakai (agroindustri, gedung komersial, dan lain-lain) dan produsen nasional (manufaktur, bengkel mekanik, dan lain-lain) melalui forum komunikasi, pendidikan dan pelatihan dan proyekproyek percontohan. • Melaksanakan standarisasi nasional komponen dan sistem teknologi fototermik. • Mengkaji skema pembiayaan dalam rangka pengembangan manufaktur nasional. • Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk berbagai teknologi fototermik. • Meningkatkan produksi lokal secara massal dan penjajagan untuk kemungkinan ekspor. • Pengembangan teknologi fototermik suhu tinggi, seperti: pembangkitan listrik, mesin stirling , dan lain-lain. Peluang Pemanfaatan Energi Surya Termal Prospek teknologi energi surya termal cukup besar, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas pasca-panen komoditi pertanian, untuk bangunan komersial atau perumahan di perkotaan. • Prospek pemanfaatannya dalam sektor-sektor masyarakat cukup luas, yaitu: • • • • • • •
Industri, khususnya agro-industri dan industri pedesaan, yaitu untuk penanganan pasca-panen hasil-hasil pertanian, seperti: pengeringan (komoditi pangan, perkebunan, perikanan/peternakan, kayu olahan) dan juga pendinginan (ikan, buah dan sayuran); • Bangunan komersial atau perkantoran, yaitu: untuk pengkondisian ruangan ( Solar Passive Building , AC) dan pemanas air; • Rumah tangga, seperti: untuk pemanas air dan oven/ cooker ; • PUSKESMAS terpencil di pedesaan, yaitu: untuk sterilisator, refrigerator vaksin dan pemanas air. Kendala Pengembangan Energi Surya Termal Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan surya termal adalah: • Teknologi energi surya termal untuk memasak dan mengeringkan hasil pertanian masih sangat terbatas. Akan tetapi, sebagai pemanas air, energi surya termal sudah mencapai tahap komersial. Teknologi surya termal masih belum berkembang karena sosialisasi ke masyarakat luas masih sangat rendah; • Daya beli masyarakat rendah, walaupun harganya relatif murah; • Sumber daya manusia (SDM) di bidang surya termal masih sangat terbatas. Saat ini, SDM hanya tersedia di Pulau Jawa dan terbatas lingkungan perguruan •
Sistem Hybrid Photovoltaik Proyek Oeledo dimulai pada tahu 1997, dan selesai pada tahun 2000. Proyek ini diserahkan secara resmi kepada masyarakat Oeledo pada tahun 2001. Proyek Oeledo terdiri dari studi sosial-ekonomi, finansial dan teknik, kemampuan manajemen skema listrik perdesaan dengan sistem hibrid serta turut serta dalam langkah-langkah pengembangan masyarakat. Proyek ini dirancang dan diimplementasikan oleh e-7 Network of Expertise, sebuah organisasi internasional yang terdiri dari sembilan perusahaan listrik terkemuka dari negara-negara G7 (Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat), yang bekerja sama dengan Pemerintah indonesia dan organisasi non-pemerintah setempat. Sistem hibrid tersebut menyuplai 127 pelanggan dengan listrik AC 220 Volt. Energi angin dan photovoltaik membangkitkan listrik yang disimpan dalam baterei dan disuplai ke konsumen selama 24 jam. Konsumsi energi angin diukur dan dibayar pada bulan dasar kepada Pengelola Listrik Desa (PLD), yang menyediakan dan memastikan pelayanan listrik yang layak kepada para pelanggan. Sebelum adanya proyek Oeledo, masyarakat biasa menggunakan kerosin, lilin, dan baterei untuk memenuhi kebutuhan listriknya dengan biaya sekitar Rp 10.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per bulan. Padahal dengan menggunakan teknologi energi terbarukan, dengan tarif Rp 800,00/kWh dan biaya kapasitas yang ditentukan Rp 5000,00 (10.000,00) per 0,5 (1) A per bulan ( circuit breaker ) yang dipromosikan oleh PLD, dapat diterima oleh masyarakat dan dituangkan dalam perjanjian pelayanan antara pelanggan dan PLD. Selain penerangan dan aplikasi TV/radio, usaha skala kecil telah dibangun di Oeledo yang bertujuan untuk kelangsungan suplai listrik, seperti untuk penerangan kios-kios, lemari pendingin, pembuatan kerajinan (menjahit, mungukir kayu, dan lain-lain), proses pembuatan gula dan mendukung aktivitas kelompok perempuan di Oeledo. Ukuran emisi CO 2 , yang dihindari dalam proyek, diperkirakan dan didokumentasikan
sejak tahun 2001. dan dibandingkan dengan skenario dasar. Jumlah dan kualitas perkiraan data dimungkinkan untuk menghitung secara akurat dan detil mengenai penurunan emisi. Rata-rata emisi CO 2 pembangkit listrik tenaga diesel adalah 1,1 kg CO 2 /kWh, survey proyek menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah terpencil menghasilkan rata-rata 360 kg CO 2 /year dalam suatu wilayah. Sistem hibrid Oeledo dapat menyuplai kebutuhan masyarakat sebesar 22.000 kWh per tahun dan cenderung meningkat. Jumlah energi tersebut menghasilan penghindaran emisi sekitar 24t CO 2 /year. Kapasitas maksimum yang memungkinkan adalah 44.000 kWh per year, mencukupi perluasan pelayanan di masa depan dan perubahan pola konsumsi. Sistem hibrid Oeledo terdiri dari 22 kWp dari sistem photovoltaik, 10 kW dari generator yang dibangkitkan oleh energi angin, 20 kW dari generator diesel sebagai cadangan, kapasitas penyimpanan baterei sebesar 144 kWh dan 2x20 kW IGBT inverter. Suplai dari sistem tersebut terbatas, namun layak, digunakan untuk melistriki 120 rumah tangga, sekolah-sekolah, dan tempat-tempat umum melalui distribusi jaringan LV tambahan denga jarak sekitar 3 km. Umur proyek sistem hibrid Oeledo terbatas pada faktor teknis. Komponen-komponen sistem mempunyai umur pakai 10-20 tahun. Iuran yang terkumpul dari para pelanggan listrik yang ditabung di rekening bank dapat mencukupi untuk mengganti sebagian besar komponen selama periode 15-20 tahun. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa 10-20% dari investasi dapat dikembalikan dalam waktu 20 tahun, termasuk biaya perawatan, biaya manajemen dan pergantian komponen setelah habis umur pakainya. Dengan adanya proyek ini, banyak keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat Oeledo dan negara, di antaranya: • Meningkatkan penerangan dan komunikasi • Memperluas waktu produktif bagi masyarakat • Memperbaiki pendidikan dikarenakan adanya perpanjangan waktu belajar sampai malam • Memperbaiki akses informasi melalui TV dan radio • Secara umum, dari segi kesehatan, sistem tersebut menciptakan lingkungan yang lebih bersih, mengurangi resiko kebakaran, mengurangi racun polusi di rumah karena asap dari pembakaran kerosin, mengurangi infeksi paru-paru akut, dan mengurangi pembersihan alat-alat rumah tangga, penutup tempat tidur dan jaringan nyamuk yang akan mengurangi biaya pemeliharaan rumah. • Membuka kesempatan kerja baru dan usaha skala kecil • Menciptakan kesadaran untuk menggunakan teknologi energi terbarukan • Meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah perdesaan Indonesia .
Background Wind is a form of solar energy. The uneven heating of the atmosphere by the sun, the irregularities of the earth's surface, and rotation of the earth cause winds. Wind flow patterns are modified by the earth's terrain, bodies of water, and vegetation. Humankind uses this wind flow, or motion energy, for many purposes, to name a few: flying a kite/zeppelin, sailing, grinding grain, pumping water, and even generating electricity.
The terms wind energy or wind power describe the process by which the wind is used to generate mechanical power or electricity. Wind turbines convert the kinetic energy in the wind into mechanical power. This mechanical power can be used for specific tasks (such as grinding grain or pumping water) or a generator can convert this mechanical power into electricity. A wind turbine works the opposite of a fan. Instead of using electricity to make wind, like a fan, wind turbines use wind to make electricity. The wind turns the blades, which spin a shaft, which connects to a generator and makes electricity. Large and modern wind turbines operate together in wind farms to produce electricity for utilities, while homeowners and remote villages, to help meet their energy needs, use small turbines. Indonesia has relatively available potential site for wind energy utilization, but its utilization is still low. Currently, research and efforts are continuously conducted to open the possibilities of increasing the wind energy utilization. Advantages/Disadvantages of Wind Energy Despite its disadvantages, wind energy offers many advantages, which explains why it's the fastest-growing energy source in the world. Research efforts are aimed at addressing the challenges to larger use of wind energy. Advantages 1. Because wind energy is fueled by the wind, a clean fuel source, it makes wind energy a clean energy. Wind energy does not pollute the air like common power plants that rely on combustion of fossil fuels, such as coal or natural gas. Wind turbines do not produce harmful emissions that cause acid rain or greenhouse gasses, so it is environmentally friendly. 2. Wind energy is a domestic source of energy, produced in the Indonesia . The nation's wind supply is relatively available (especially in the eastern part). 3. Wind energy relies on the renewable power of the wind, which cannot be used up. As already mentioned, wind is actually a form of solar energy. 4. Nowadays, wind energy is one of the lowest-priced renewable energy technologies available. Depending upon the wind resource and project financing of the particular project, wind energy cost less than 6 cents USD per kilowatt-hour (for potential site with wind speed > 5 m/s or offshore). 5. Wind turbines can be constructed on farms or ranches, thus benefiting the economy in rural areas, where most of the best wind sites are found. Farmers and ranchers can continue to work the land because the wind turbines use only a fraction of the land. Wind power plant owners make rent payments to the farmer or rancher for the use of the land. Disadvantages 1. Wind power must compete with conventional generation sources on a cost basis. Depending on how energetic a wind site is, the wind farm may or may not be cost competitive. Even though the cost of wind power has decreased dramatically in the past 10 years, the technology requires a higher initial investment than fossilfueled generators (and even other renewable based generators). 2. The major challenge to using wind as a source of power is that the wind is intermittent and it does not always blow when electricity is needed. Wind energy cannot be stored (unless batteries are used); and not all winds can be harnessed to meet the timing of electricity demands.
3. Suitable wind sites are often located in remote locations, far from cities where the electricity is needed. 4. Wind resource development may compete with other uses for the land and those alternative uses may be more highly valued than electricity generation. 5. Although wind power plants have relatively small impact on the environment compared to other conventional power plants, there is some concern over the noise produced by the rotor blades, aesthetic (visual) impacts, and sometimes birds have been killed by flying into the rotors. Most of these problems have been resolved or greatly reduced through technological development or by properly siting wind plants. General Condition in Indonesia • Wind energy development is part of national energy program in order to realize a sustainable supply and utilization of energy. • There are some potential locations in the country for wind energy utilization. • Installed capacity for wind power is relatively still small compared to its potential. Supporting Facilities To support wind energy development, the country already has various facilities: • wind potential measurement equipments; • wind energy conversion system laboratory; • field-testing laboratory; • aerodynamic laboratory – subsonic speed. Barriers Below are several barriers encountered for wind energy development in the country, viz.: • technical and financial difficulties in data access for input on establishment of wind potential map; • limited fund to access and identify potential location especially in islands and remote areas; • relatively high price for wind energy compared to fossil based energy; available wind energy products (usually for high speed application) are not suitable for the country's application (low speed).