STRATEGI KEBIJAKAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHANDI SUMATERA SELATAN1. Menumbuhkan Peran Serta Masyarakat, Dunia Usaha dan LSM Pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dapat berperan serta secara aktifsebagai ujung tombak pengendalian kebakaran hutan dan lahan dilakukan melaluiprogram Community Development (CD) berupa kegiatan peningkatan ekonomimasyarakat, pelatihan dan pembentukan regu-regu pemadaman di desa-desa,pendidikan lingkungan hidup dan pembinaan kelembagaan masyarakat desa. Polapendekatan CD merupakan strategi yang sangat baik dan seharusnya dilakukandalam pembangunan berkelanjutan dan sebagai dasar pengelolaan kebakaran yangberbasiskan masyarakat. Contoh praktek pendekatan CD yang dilakukan olehPT.Musi Hutan Persada dengan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat(MHBM) dan Mengelola Hutan Bersama Rakyat (MHR) terbukti menumbuhkan rasatanggung jawab masyarakat dan dapat mereduksi kebakaran hutan dan lahan.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak hanya berperan sebagai check andbalance kebijakan pemerintah, namun juga diberi ruang dan peluang memberikankontribusi secara riil dalam usaha-usaha melakukan pencegahan danpenanggulangan kebakaran hutan dan lahan sesuai kapasitas yang dimiliki.Dunia usaha khususnya yang terkait dengan pengelolaan lahan telah dibebanikewajiban dan aturan main yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan danlahan, selain itu juga perlu pengembangan jaringan antara satu dengan lainnyadalam rangka mendayagunakan sumber daya yang dimiliki. 2. Pengembangan Sistem Informasi Sistem informasi kebakaran hutan dan lahan selama ini belum berjalan dengan baik.Sistem informasi sangat penting peranannya di dalam setiap aspek pengendaliankebakaran hutan, baik itu pencegahan, peringatan dini, pemadaman, rehabilitasimaupun penyebaran informasi kepada masyarakat mengenai intensitas dampak dantindakan darurat yang perlu dilakukan. Pengembangan informasi dilakukan denganmendayagunakan saluran informasi yang ada yang dikelola oleh Posko. 3. Pengintegrasian Sumber Daya Pendukung Sumberdaya yang dapat didayagunakan dalam sistem pencegahan dan pengendaliankebakaran hutan dan lahan tersebar dan dimiliki oleh berbagai lembaga. Untuk ituperlu diidentifikasi, diinventarisasi dan diupayakan nota perjanjian dengan lembagapengelolanya dalam rangka pendayagunaan sumberdaya tersebut pada saatdiperlukan. 4. Pengembangan Kesiap-siagaan dan Sistem Peringatan Dini Prosedur kesiagaan terus menerus diaktifkan dengan dalam rangka meningkatkankewaspadaan dan melakukan antisipasi terhadap kondisi yang akan terjadi yangdapat dideteksi dengan periodesasi tingkat kerawanan yang umumnya diindikasikankecenderungan perubahan musim. Indikator kesiagaan yang standar berlaku mulaidari kondisi normal sampai krisis adalah SIAGA III, SIAGA II dan SIAGA I. Penerapansistem peringatan dini akan sangat membantu melakukan persiapan-persiapan dantindakan antisipatif. 5. Peningkatan Sumberdaya Manusia Peningkatan sumberdaya manusia sangat perlu dilakukan terhadap berbagai disiplinilmu yang terkait dan semua SDM yang terlibat dalam usaha pengendalian kebakaranhutan dan lahan, baik itu aparat
pemerintah, dunia usaha, LSM maupun masyarakat.Upaya peningkatan SDM ini dilakukan dengan pelatihan-pelatihan, studi banding danpenyuluhan-penyuluhan. 6.Penegakan Hukum (Law Enforcement) Pelaksanaan penegakan hukum didasarkan adanya kecenderungan bahwa disetiapkesempatan adanya kecenderungan orang yang patuh dan orang yang cenderungmelanggar. Penegakan hukum dilakukan secara proporsional sesuai UU yang berlaku.Untuk melaksanakan penegakan hukum ini perlu adanya perangkat hukum dandidukung SDM yang terlatih dan adanya kemauan politik dari semua semua pihak. 7. Sistem Pendanaan Untuk menunjang pelaksanaan sistem pengendalian kebakaran diperlukan ada suatukelembagaan dalam pendanaan. Dalam kaitan ini diperlukan adanya PeraturanDaerah yang dapat memberikan kekuatan hukum, sehingga sistem pendanaan untukpengendalian kebakaran hutan dan lahan dapat terlaksana secara kongkrit. 8. Pemantapan Kelembagaan Pembentukan UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dengan harapanUPTD tersebut akan memiliki kapasitas yang tinggi dan kewenangan yang lebih luasdalam menyusun rencana dan mengkoordinasikan pelaksanaan pengendaliankebakaran hutan dan lahan, pembinaan dan pendayagunaan/mobilisasi sumberdayaserta memiliki anggaran yang memadai. Hal serupa perlu diikuti di setiap kabupatendan diharapkan Multi Stakeholders Forum (MSF) yang ada saat ini merupakanembrio terbetuknya kelembagaan yang permanen dan terintegrasi di kabupaten. Danyang tak kalah pentingnya adalah pembentukan dan pembinaan kelembagaan ditingkat desa. TANTANGAN KEDEPAN Untuk melaksanakan fungsi pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara baiksebenarnya cukup terbuka peluang yang luas terutama di era otonomi ini yangmemungkinkan daerah dapat membentuk dan mengembangkan kelembagaan yangdianggap penting dan sangat diperlukan keberadaannya. Disamping itu berdasarkanpengamatan di masyarakat lokal ternyata terdapat kearifan lokal yang berlaku disebagian masyarakat Sumatera Selatan yang mempraktekkan prinsip pembakaranterkendali yang dapat dipertanggungjawabkan. Penelusuran naskah-naskah kunomisalnya terdapat Undang-undang Simbur Cahaya yang berlaku di masa PemerintahanKesultanan Palembang Darussalam yang memuat Bab Cara Berladang yang berisipasal-pasal cara pembukaan lahan dengan pembakaran terkendali dilakukan secarabertanggung jawab. Penguatan kelembagaan dan pembinaan di level masyarakatdengan mengembangkan program Community Development (CD), membentuk regu-regu berbasiskan masyarakat merupakan potensi yang sangat besar dan diharapkandapat secara efektif meningkatkan keberhasilan pencegahan dan pengendaliankebakaran hutan dan lahan, karena masyarakatlah yang paling dekat dengan lokasikebakaran dan pihak yang seringkali melakukan kegiatan pembakaran sekaligus yangterkena dampak langsung kebakaran hutan dan lahan. Adapun tantangan yang dihadapi ke depan nampaknya lebih berat dari peluang yangada, diantaranya adalah :1.
Kemiskinan, kebodohan, keserakahan, ketergantungan terhadap alam danpertambahan jumlah penduduk yang pesat selama ini sebagai akar penyebabkebakaran hutan dan lahan yang tidak akan mudah mengubahnya meskipun dalam jangka panjang.2.
Otonomi daerah juga merupakan tantangan, karena masing-masing daerah memilikikepentingan dan persepsi yang berbeda dalam menerjemahkan otonomi daerahdalam mengelola sumber daya alam.3.
Pembentukan kelembagaan memerlukan pertimbangan yang lebih rumit, karenamenyangkut alokasi anggaran dan dukungan politik dari legislatif.4.
Kerusakan hutan dan luasnya lahan tidur di Sumatera Selatan merupakan penyediabahan bakar yang sangat besar dan potensial terbakar.5.
Pola dan praktek pembakaran hutan / lahan dalam rangka penyiapan lahanmerupakan budaya dan cara yang sulit digantikan alternatifnya.Meski betatapun besarnya tantangan yang dihadapi pada saat ini dan ke depan namunikhtiar yang terus menerus dilakukan dengan dukungan berbagai pihak makadiharapkan sedikit demi sedikit kasus kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatandapat teratasi.
1. PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menjadi pusat perhatian bukan saja di regional, bahkan sampai internasional. Kebakaran hutan ini meningkatkan suhu permukaan bumi dan mengancam pencairan suhu es di kutub utara. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan-kebijakan serta peratiran perundang-undangan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia mengenai kebakaran hutan dan lahan: 1.1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Psl 6(1): kewajiban memelihara kelestarian fungsi Lingkungan Hidup Psl 25(1): sanksi administrasi-kewenangan gubernur/bupati/walikota memaksa penanggung jawab usaha utk mencegah/mengakhiri pelanggaran Psl 41(1): sanksi sengaja merusak LH-penjara (max 10 th), denda (max Rp 500 jt) Psl 42(1): sanksi alpa merusak LH- penjara (max 3 th), denda (max Rp 100jt) Sanksi bersifat kumulatif, bukan alternatif Tindakan tata tertib: perampasan keuntungan, penutupan perush., perbaikan, dll. 1.2 Undang-Undang Namor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1). Pemerintah rnengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan (Pasai 48, ayat 1). 1.3 UU No.18/2004 tentang Perkebunan Psl. 25 (1): usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi LH Psl. 26 : larangan membuka lahan dengan pembakaran Psl. 48(1): pembakaran sengaja-penjara (max 10 th), denda (max Rp 10 milyar) Psl. 49(1): lalai membakar-penjara (max 3 th), denda (max Rp 3 milyar) Sanksi kumulatif 1.4 UU No.19/2004 tentang Kehutanan – Psl. 47(a): Perlindungan hutan dan kawasan hutan. – Psl 48(3): kewajiban pengelola hutan melindungi hutan – Psl.50 (1): larangan merusak sarana/prasarana perlindungan hutan – Psl. 78(3): sengaja : penjara (max 15 th), denda (max 5 milyar) – Psl.50(3): lalai: penjara (max 5 th), denda (max1.5 milyar) 1.5 PP No.4/2001: Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan Ruang lingkup PP ini antara lain : – Kriteria baku Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup dan kebakaran hutan dan lahan, – Tata laksana Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian, – penanggulangan, dan – Pemulihan Dampak Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. 1.5 PP No.45/2004 tentang Perlindungan Hutan Bab III: Ketentuan Umum, Pengendalian Kebakaran, Pencegahan, Pemadaman, Penanganan Pasca, Tanggung jawab pidana perdata
2. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Kebijakan Kemeneterian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga yaitu : 1. Kelembagaan 2. Operasional, dan 3. Peningkatan Peran serta dan pemberdayaan masyarakat Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana startegis dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran hutan. 1. Kelembagaan dan keorganisasian Pasca kebakaran hutan besar tahun 1982/83 yang menghanguskan lebih kurang 3,2 juta ha hutan di Inndonesia, maka terbentuklah Departemen Kehutanan yang di dalamnya terdapat Seksi Kebakaran Hutan (Eselon IV) di bawah Sub Direktorat Pengamanan Hutan, Direktorat Perlindungan Hutan. Permasalahan kebakaran hutan kian hari terus meningkat, terbukti dengan kejadian kebakaran hutan tahun 1987, 1991, dan 1994. Pada tahun 1994, kemudian Departemen Kehutanan meningkatkan Seksi Kebakaran Hutan menjadi Sub Direktorat Kebakaran Hutan (Eselon III) di bawah Direktorat Perlindungan Hutan. Tahun 1994/1995 isu kebakaran hutan berkembang menjadi isu transboundary haze pollution, isu regional bahkan internasional. Atas kejadian itu dan mengingat diperlukan koordinasi yang lebih mantap maka dibentuklah secara bersama-sama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan BAPEDAL membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL). Tahun itu pula maka mulailah dirancang pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA), Satuan Pelaksana (SATLAK). Secara bertahap terbentuklah organisasi non-structural tersebut di seluruh propinsi di Indonesia. Tahun 2000, Departemen Kehutanan kembali menaikkan status organisasi kebakaran dari Sub Direktorat menjadi Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan (Eselon II). Sedangkan BAPEDAL juga meningkatkan organisasi pengelola kebakaran setingkat Eselon II. Tahun 2000, proses desentralisasi berjalan dan daerah mulai aktif membentuk organisasi-organisasi baru baik yang secara langsung menangani kebakaran hutan dan lahan atau secara implisit menyatu dalam job discripsinya (penjabaran pekerjaan). Organisasi yang dibentuk tingkat nasional terdiri dari : 1. BAKORNAS-PB&P (UU No.24/2007) 2. PUSDALKARHUTNAS 3. PUSDALOPS (acuannya PP No.45/2004) dan Kep. Dirjen PHKA No.21/KPTS/DJ-IV/2002 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia 4. BMG, LAPAN,BPPT, Perg. Tinggi, BASARNAS, AU,,Proyek BLN, dll 5. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat nasional Selain tingkat pusat, organisasi yang dibentuk untuk penanganan pengendalian kebakaran hutan tingkat propinsi seperti : 1. SATKORLAK-PB&P 2. PUSDALKARHUTLA 3. BAPEDALPROP 4. BRIGDALKARHUT 5. St.BMG,Perg. Tinggi, Tim SAR, AU, TNI/POLRI, LINMAS, Proyek BLN 6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat propinsi Adapun untuk tingkat Kabupaten/Kota seperti : 1. SATLAK-PB&P
2. DAMKARHUTLA 3. BAPEDALKAB 4. BRIGDALKARHUT DAOPS 5. St.BMG,Perg. Tinggi, TNI/POLRI, LINMAS 6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kabupaten Untuk Tingkat Kecamatan seperti : 1. SATGAS-PB&P 2. Regu Pemadam Kebakaran 3. Satgas Damkar lahan 4. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kecamatan
Gambar 1. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Kementerian Kehutanan Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa PUSDALOPS berada pada Eselon I PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Pusdalops merupakan eselon 2 dan mempunyai sekretariat. Brigdalkarhut berada di Unit Pelaksana Teknis PHKA yang berada di propinsi. Brigdalkarhut hanya ada di Balai/Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Di bawah Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan ada Brigdalkarhut Daerah Operasi tertentu berdasarkan kabupaten dan berada di Seksi Konservasi Wilayah atau unit Taman Nasional.
Gambar 2. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Propinsi Pengendalaian kebakaran hutan di Indonesia terdiri dari beberapa instansi yang berkepentingan. Sistem koordinasi sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan sehingga pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan dapat lebih efektif dan efisien. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 3 berikut. Berdasarkan kerangka sistem koordinasi pada gambar 3, dapat dijelaskan beberapa peranan lembaga yang dibentuk pada tingkat pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat Kecamatan. 1. Tingkat Nasional a. BAKORNAS-PB&P (Pusdalkarhutnas) : Berfungsi untuk perumusan dan penetapan kebijakan yang cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. b. Dirjen PHKA Berfungsi memegang komando sebagai Pusdalops di tingkat nasional bagi jajaran instansi kehutanan di daerah, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional. c. BMG Berfungsi koordinator dalam menyebarluaskan informasi iklim dan cuaca, terutama prediksi musim kemarau dan kejadian El Nino d. LAPAN Berfungsi menyebarluaskan informasi hotspot baik jumlah maupun pola penyebarannya e. BPPT Berfungsi membangun Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 3. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia f. Perguruan Tinggi Berfungsi mengembangkan ipteks pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta berperan sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus kebakaran g. BASARNAS koordinator pada kebakaran hutan dan lahan meluas dan sulit dikendalikan oleh SDM di tingkat daerah h. AURI berperan pada saat kondisi kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan dan memerlukan pemadaman dari udara dan pelaksanaan hujan buatan i. BLN bantuan peningkatan kapasitas SDM maupun bantuan teknis dan peralatan, sarana dan prasarana 2. Tingkat Daerah a. Propinsi • Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota (Pasal 27 PP No.4/2001) • wakil gubernur sebagai Kepala Pusdalkarhutla memegang kendali koordinasi antar para pihak terkait di daerah masing-masing. • Bapedalda menjadi Sekretariat Bersama untuk Pusdalkarhutla di daerah yang sekaligus di bawah koordinasi KLH • Dinas Kehutanan/Perkebunan Provinsi : Berfungsi berada di bawah komando Kepala Pusdalkarhutla Provinsi, dan melakukan koordinasi dengan perusahaan HPH/HTI maupun perkebunan dalam upaya pengendalian kebakaran
• BKSDA/BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur) sebagai Kepala Brigdalkar (Manggala Agni) mengkoordinasikan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di tingkat provinsi b. Kabupaten • Bupati sebagai Ka SATLAK PBP Mengkoordinir unsur-unsur terkait di tingkat Kabupaten • Bapedalkab berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi dalam hal penyebarluasan informasi hotspot dan penanganan kasus-kasus kebakaran/pembakaran. Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten • Balai Taman Nasional sebagai Daops (Daerah Operasi) mendapatkan komando langsung dari Dirjen PHKA dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten dan BKSDA
Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 3. Tingkat Masyarakat /Lapangan a. Koordinasi di bawah komando Camat dibantu oleh Kades/lurah. b. Satgas Damkar yang berasal dari unsur masyarakat, aparat kehutanan, dan perusahaan saling berkoordinasi terutaman dalam upaya mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan. c. Masyarakat Peduli Api (MPA).
2. Operasional Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam bidang operasional pada dasarnya terdiri dari 3 aspek : 1. Pencegahan Kebakaran Hutan, seperti : • Kampanye Penyadaran Masyarakat • Peningkatan teknologi pencegahan seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan • Pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan seperti embung, green belt, menara pengawas, dll. • Pemantapan perangkat lunak 2. Pemadaman Kebakaran Hutan, seperti : • Peningkatan teknologi pemadaman • Operasi pemadaman (dini dan pemadaman lanjutan). • Penyelamatan dan evakuasi 3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan, seperti : • Monitoring, evaluasi dan inventarisasi hutan bekas kebakaran. • Sosialisasi dan penegakan hukum • Rehabilitasi 3. Peningkatan Peran serta dan Pemeberdayaan Masyarakat Kebijakan terakhir dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan adalah peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Masyarakat sekitar kawasan rawan kebakaran adalah komponen yang langsung berhadapan jika terjadi kebakaran hutan atau lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, untuk itu kementerian kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan keorganisasian berbasis masyarakat. Contoh keorganisasian yang berbasis masyarakat adalah Masyarakat Peduli Api, dan Kelompok Peduli Api. Hal melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.12/Menhut-II/2009 pasal 34 sampai dengan pasal 38 yang mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat dan peran serta masyarakat
Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan merupakan permasalahan yang serius yang harus dihadapi setiap tahun pada musim kemarau. Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi belakangan ini adalah bahwa kebakaran tersebut terjadinya di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan terjadi tidak hanya dilahan kering tetapi juga bisa di lahan basah seperti lahan Gambut, terutama pada musim kemarau dimana lahan gambut tersebut mengalami kekeringan. Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia, terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-1998, diestimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,812,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-1998, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut. Sedangkan, di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% kebakaran terjadi di lahan gambut. Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta hektar) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Seperti terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi GRK di atmosfer dengan bertambahnya emisi karbon dunia, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh meningkatnya pemanasan global itu sendiri dengan penyebab utama tetap merupakan akibat ulah manusia yang melakukan pembakaran dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dan lain-lain. Kemarau ekstrim, yang seringkali
dikaitkan dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan kondisi ideal terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb. b. Terganggunya aktivitas sehari-hari Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia seharihari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan. c. Peningkatan jumlah Hama Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya. Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar. d. Terganggunya kesehatan Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut. e. Produktivitas menurun Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. 2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan a. Hilangnya sejumlah spesies Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia. b. Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula. d. Penurunan kualitas air Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana. e. Terganggunya ekosistem terumbu karang Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa. f. Menurunnya devisa negara Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.
g. Sedimentasi di aliran sungai Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus. 3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal. Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari tetangga. 4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap. Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau, dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan, dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam negara di ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-1998. Dari berbagai dampak yang muncul tersebut seharusnya pemerintah mulai bisa mereka-reka bencana musiman apa sebenarnya yang sering menghampiri Indonesia dari tahun ke tahun dan dampak apa yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Namun, untuk tidak menyebut pemerintahan kita keras kepala dan sedikit tuli untuk melakukan refleksi, sepertinya kita lebih siap menjadi barisan pemadam kebakaran dibanding mempersiapkan seperangkat aturan yang mampu paling tidak meminimalisir kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan dimasa yang akan datang. Sementara berbagai kajian belum diadopsi, walaupun pemerintah secara eksplisit meminta untuk itu, UU Kehutanan no 41 tahun 1999 dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi alam juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dan dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan. Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari UU No 41/99 ini yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun 99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan Produksi tidak memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan. Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat dari suatu Undangundang. Sedangkan Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen command and control (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumeninstrumen tersebut harus dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah). Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan
penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi. Komentar penulis : Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil. Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan terbuka kemungkinankemungkinan rasa simpatik dan bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan. Artinya dalam sekian sarana membangun kepercayaan keluar dan ke dalam kita masukkan keseriusan kita mengurus hutan. Kelalaian dan kelengahan kita menangani kebakaran hutan adalah pekerjaan mendesak yang harus segera diambil dan dilakukan. Hambatan psikologis dan politis dalam soal hutan tidaklah serumit menangani pelanggaran HAM di Timor-Timur, Kasus Aceh, pengadilan korupsi maha besar, pemulihan ekonomi yang berkesan maju mudur apalagi berurusan dengan lembaga Mahkamah Agung. Masalahnya bagaimana pemerintah ini bisa lebih cekatan dalam menangani dan mengeluarkan perintah, diikuti dengan tindakan serius dan nyata menghentikan merebaknya kebakaran hutan. Kalau tidak cekatan, kebakaran hutan maha dahsyat tahun 1997, jangan disesali, akan terulang. wallahualam bissawab (Rully Syumanda). Komentar saya : Saya cenderung sependapat dengan ungkapan penulis.Unsur keseriusan dancekatan dari pemerintah mutlat diperlukan untuk segera mengatasi kebakaran hutan dan lahan baik secara preventif maupun kuratif. Hanya saja dalam hal ini kita tidak hanya membebani tugas dan tuntunan ini hanya kepada pemerintah saja. Partisipasi masyarakat (dalam hal ini masyarakat sekitar hutan) sangat diperlukan dalam penerapan hutan milik bersama sebagai media untuk menjaga dan memelihara hutan demi mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kemudian hari. Konsep hutan milik bersama menjadi usulan yang dapat diterapkan dalam kondisi saling menuduh siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia akhirakhir ini. Bagaimanapun juga hutan adalah warisan beharga bagi anak dan cucu kita.